MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 12 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENDIRIKAN BANGUNAN DI PEMAKAMAN UMUM (WAKAF)




Hukum membangun sebuah bangunan di makam umum adalah haram karena bisa menimbulkan kesan mengagungkan kuburan dan dapat menghabiskan lahan pemakaman yang seharusnya digunakan untuk umum. Namun, beberapa hal yang diperbolehkan antara lain memasang nisan sederhana untuk penanda identitas atau menata makam dengan cara yang tidak permanen (seperti batu biasa) dan tidak berlebihan, terutama jika tujuannya adalah untuk melindungi dari kerusakan identitas makam. 

Dalam Kitab Fath Al-Mu’in dijelaskan,

   وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل.   ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه

Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan (Syekh Zainuddin Al-Maliabari, Fath al-Mu’in, hal.219).   

Lebih lanjut penjelasan Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim dalam kitab karyanya Al-Bina' 'Ala Al-Qubur sebagai berikut,

المقبرة المسبَّلة  

أما المقبرة المسبَّلة، فهي بقعة غير مملوكة، خُصِّصت للدفن، بحيث لا يجوز أن يُبنى فيها دار للسكنى أو حمّام أو مصنع أو نحو ذلك. فدخل طعام أنه كان مملوكاً، وأن المالك سيبلها للدفن، وعلمُنا أنه كان مواتاً حتى شُرع في الدفن فيه، وكذا مَن يُعلَم حاله قبل تخصيصه للدفن، لأن الأصل عدم الملك، فظاهر الحال أنه كان مواتاً حتى خُصص للدفن.  

أما طعام أنه مملوك، فإن يُعلَم أنه سيّبله فنيظر، وليس من موضوعنا، لأنه إن لم يُحكم بالتسبيلا حكم بقاء الملك عند الدفن، ويكون للورثة الاستيلاء على البقعة، ورفعها أو البناء فيها للسكنى أو غير ذلك، بعد بليّ من دُفن فيها سابقاً، إلى غير ذلك مما لا يهمّنا.  

*Pemakaman (umum) yang diwakafkan*

Adapun pemakaman yang diwakafkan, yaitu tanah yang tidak dimiliki oleh individu (wakaf), yang dikhususkan untuk tempat penguburan, sehingga tidak boleh dibangun di atasnya rumah tinggal, pemandian, pabrik, atau yang sejenisnya.

Jika diketahui bahwa tanah tersebut dulunya milik seseorang dan pemiliknya mewakafkannya untuk penguburan, serta diketahui statusnya sebelum diwakafkan, maka status tanah tersebut tetap sebagaimana asalnya.

Namun, jika tidak diketahui statusnya sebelum diwakafkan, maka yang jelas adalah tanah tersebut dianggap sebagai tanah mati (mubâh) hingga digunakan untuk penguburan.

Bagi mereka yang mengetahui status tanah tersebut sebelum diwakafkan untuk penguburan, maka statusnya tetap sebagaimana asalnya.

Namun, jika diketahui bahwa tanah tersebut milik seseorang dan dia mewakafkannya untuk penguburan, maka perlu dikaji lebih lanjut.

Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan kita karena jika wakaf tersebut tidak sah, maka hukumnya tetap milik ahli waris untuk menguasai tanah tersebut, menggalinya, atau membangunnya untuk hunian atau keperluan lain setelah jenazah yang dikuburkan di dalamnya telah membusuk, dan seterusnya, yang tidak relevan dengan pembahasan kita saat ini." (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.27)

القدر المشروع لرفع القبر  

لم أطلع على ما يُستدل به في هذا بالنسبة إلى غير المَلِك، إلا أن يُقال: إن الظاهر أن يُبيَّن، لذلك الأصل الذي تقتضيه طبيعة الحال، وهو إعادة تراب الحفرة إليها بلا نقصان ولا زيادة، ويؤيد بأحاديث النهي عن الزيادة الآتية، فإن مفهومها جواز إعادة تراب الحفرة سواء أقل أم أكثر.  

وربما يُعترض هذا بقول فضالة (أخفوا) على ما قدَّمْنا.  

ويمكن أن يُجاب: بأنه لعل البِقْعَة التي حُفر فيها القبر تُرابية، فيختلط التراب الخارج من الحفرة بالتراب الذي حولها، فلا يتميز، وفيه شيء.  

ولكن وَرَدَ الدليل على مقدار الرفع في المَلِك، وعممه العلماء في المَلِك وغيره لعدم الفَرْق؛ ففي صحيح ابن جَبان:  

(كندا بالأصل ويحتمل بتحريك).  

Tinggi kubur yang disyariatkan bagi selain pemilik tanah tidaklah jelas berdasarkan dalil yang dapat dijadikan pegangan, kecuali jika dikatakan bahwa yang jelas adalah mengembalikan tanah galian kubur ke tempatnya tanpa ada kekurangan atau kelebihan.

Hal ini diperkuat oleh hadits-hadits yang melarang menambah tanah pada kubur, yang secara implisit menunjukkan bolehnya mengembalikan tanah galian ke dalam lubang kubur, baik jumlahnya sedikit atau banyak.

Mungkin ada yang keberatan dengan argumen ini berdasarkan perkataan Fudhalah "tutuplah (kubur itu)", seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Namun, dapat dijawab bahwa tanah yang digali untuk kubur mungkin bercampur dengan tanah di sekitarnya sehingga tidak dapat dibedakan dengan jelas.

Ada dalil yang menjelaskan tentang ukuran tinggi kubur bagi pemilik tanah, dan para ulama menggeneralisasikannya untuk pemilik tanah dan selainnya karena tidak ada bedanya.

Dalam Shahih Ibn Hibban disebutkan: "Dibuatkan seperti punuk unta (yakni sekitar sejengkal)." Ini menunjukkan ukuran tinggi kubur yang disunnahkan.' (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.48)

أخبرنا السختياني، ثنا أبو كامل الجحدري، ثنا الفضيل بن سليمان، ثنا جعفر بن محمد، عن أبيه، عن جابر بن عبد الله: أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم (أُحد له، ونُصب عليه اللبن نصبا، ورفع قبره من الأرض نحوًا من شبر). فهذا عمل أكابر الصحابة رضي الله عنهم، ولا نعلم لهم مخالفا، والصحابة ذلك اليوم متوافرون بالمدينة، ولم يرد في الكتاب أو السنة ما يخالف ذلك فكان حجة.  

كيفية رفع القبر  

الصفة الطبيعية لإعادة التراب إلى الحفرة: أن ينشأ عن ذلك شيء من الارتفاع مسنما، وهذا هو الأصل الذي لا ينبغي أن يتعدى إلا بدليل.  

استدل من يقول بالتسطيح بحديث التسوية المتقدم بناءً على أن المراد جعل القبر متساوياً، وقد سبق رده وبيان ماهو – إن شاء الله – الحق.  

واستدلوا أيضًا بحديث أبي داود عن القاسم بن محمد قال: (دخلت على عائشة، فقلتُ: يا أماه! اكشفي لي عن قبر النبي صلى الله عليه وآله وسلم وصاحبيه، فكشفت لي عن ثلاثة قبور، لا مشرفة ولا لاطئة، مبطوحة ببطحاء العُرَصَة).  

Telah mengabarkan kepada kami As-Sakhtiyani (Syeikh Sakhtiyani merujuk pada Syeikh Ayyub As-Sakhtiyani, seorang tabi'in terkemuka dari Basrah yang hidup dari tahun 66-131 H), telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Al-Jahduri, telah menceritakan kepada kami Al-Fudhail bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Beliau diusung (ke kubur) dengan berjalan kaki, dan ditaburi tanah di atasnya setinggi satu jengkal, kemudian beliau meninggikan kuburnya dari tanah sekitar satu jengkal."

Ini adalah perbuatan para sahabat senior yang mulia, dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi mereka.

Para sahabat pada masa itu banyak yang berada di Madinah, dan tidak ada riwayat dari Al-Qur'an atau Sunnah yang menyelisihi hal ini, sehingga riwayat ini menjadi hujjah.

Cara meninggikan kubur:

Cara yang alami dalam mengembalikan tanah ke dalam lubang kubur adalah dengan membiarkannya sedikit menonjol seperti punuk unta, dan ini adalah cara yang seharusnya tidak dilanggar kecuali dengan dalil.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kubur itu harus diratakan dengan tanah berdasarkan hadits perataan kubur yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, pendapat ini telah dibantah dan telah dijelaskan apa yang benar, insya Allah.

Mereka juga berdalil dengan hadits riwayat Abu Dawud dari Al-Qasim bin Muhammad, dia berkata:

"Saya menemui Aisyah dan berkata, 'Wahai Ummah, tunjukkanlah kepadaku kubur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya.' Maka beliau menunjukkan kepadaku tiga kubur yang tidak meninggi dan tidak pula rendah, tetapi datar di tanah lapang.'" (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.49). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar