Selasa, 24 Oktober 2017
KAJIAN TENTANG SIKAP BIJAK DAN ADIL TENTANG POLIGAMI
Sejarah mencatat bahwa Ghoilan bin Salamah Ats-Tsaqofi ketika masuk Islam memiliki sepuluh isteri [Kitabu Ahkamun Nisa’ hal.151]. Umairoh Al-Asadi ketika memeluk Islam memiliki delapan isteri [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]. Sementara Naufal bin Muawiyah addiyali ketika masuk islam mempunyai lima orang isteri [HR. Muslim]. Hal itu mereka sampaikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau lalu memerintahkan, “Pilihlah empat dari mereka!”. Dari hadits-hadits tersebut ulama sepakat bahwa lelaki diperbolehkan memperisteri lebih dari satu dan tidak lebih dari empat wanita.
Di negara kita, pembicaraan tentang poligami selalu hangat di dengar, terutama setelah dai kondang KH. Abdullah Gymnastiar menikah dengan istri keduanya. Mereka yang menolak hukum poligami pun berusaha mencari justifikasi dari Al-Quran dan Hadits yang mendukung sikap anti mereka. Biasanya mereka berdalil dengan ayat 3 surat An-Nisa’, bahwa seorang laki-laki boleh berpoligami jika mampu beruat adil.
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
"Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja—atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya." (QS. An-Nisa’ [4]: 3).
Tetapi ayat 129 surat yang sama menjelaskan siapapun tak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrinya. Ini artinya, poligami sebenarnya tidak dibolehkan, karena kebolehan itu tergantung pada syarat “adil” yang mustahil direalisasikan.
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa' : 29)
Jika kita mengkaji penjelasan para ulama seputar kedua ayat di atas, tidak ada kontradiksi samasekali antara keduanya. Karena adil yang dimaksudkan pada ayat 3, bukan adil yang dimaksud oleh ayat 129. Memang, penggalan pertama ayat 129 berbunyi: “Dan sekali-kali kamu tidak akan bisa berbuat adil di antara para isteri kamu walaupun kamu sangat menginginkan hal itu…” Tetapi ketika kita lanjut membaca, maka ada penggalan berikutnya yang berbunyi, ”…Maka janganlah kamu terlalu condong (terhadap istri yang lebih kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung….”
Jelas bahwa mafhûm mukhâlafah (makna sebaliknya) dari penggalan kedua di atas ialah: “Berbuat adillah engkau di antara mereka agar mereka tidak terkatung-katung”, karena lawan dari “Jangan terlalu condong (jangan berat sebelah)” adalah “Berlaku luruslah (berlaku adillah)”.
Jika demikian, jelas bahwa makna “adil” pada penggalan pertama, bukan makna “adil” pada penggalan kedua. Sebab jika diartikan sama, tentu akan menimbulkan makna kontradiktif, karena ayatnya akan berbunyi: “Dan kamu sekali-kali tidak akan bisa berkalu adil terhadap isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka berlaku adillah…!”
Sudah dijelaskan bahwa tidak ada orang yang bisa berlaku adil, lantas mengapa diperintah berbuat adil? Itu namanya membebani manusia dengan sesuatu yang tak mampu ia lakukan, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 284;
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak mampu ia laksanakan”.
Jadi adil dalam frase pertama berarti adil dalam urusan hati (seperti rasa cinta yang lebih kepada isteri yang lain). Adil dalam hal inilah yang tak mampu dilakukan oleh manusia, sehingga mereka tak diperintahkan untuk berlaku adil dalam hal ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda: “Ya Allah inilah pembagianku dalam apa yang aku punyai (mampu melakukannya, yaitu urusan nafkah dan menginap) dan janganlah mencelaku pada apa yang Engkau punya dan tidak aku punya (urusan hati).” [HR. Abu Dawud]
Jadi arti “Janganlah berlaku condong (berbuat adillah)..” pada penggalan ayat kedua berarti adil dalam muamalah (seperti pemberian nafkah, giliran menginap, penyediaan fasilitas, pendidikan anak dsb). Adil dalam hal inilah yang mampu dilakukan oleh manusia.
Dengan demikian pemahaman ayat tersebut tidak akan kontradiktif. Karena tafsirannya akan berbunyi: “Engkau sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil dalam hal hati, karena hati adalah urusan Allah. Dia bisa saja menjadikanmu lebih mencintai salah satu di antara istri-istrimu. Tetapi janganlah kecendrungan hati ini membuat engkau tidak berlaku adil dalam bermuamalah kepada mereka. Janganlah kecintaanmu yang lebih kepada salah satu di antara merkea membuatmu tidak memperhatikan yang lain sehingga mereka terkatung-katung.” Dengan demikian tidak akan terjadi makna yang kontradiktif.
Hal diatas dikuatkan oleh Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dituturkan ‘Aisyah rah,
كَانَ رَسُولُ الله يقسم بين نسائه فَيَعْدِلُ ثم َيَقُولُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ
Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku bersumpah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu, janganlah Engkau memasukkanku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi tetapi tidak aku sanggupi (yaitu hatinya)." (HR Muslim ).
Dan dalam hadits lain Imam Muslim meriwayatkan
عن قتاده : ذكرنا ان عمر بن الخظاب كان يقول اللهم اما قلبى فلا أَمْلِكُ! واما سوى ذلك , فأرجو أن أعدل
Umar bin khatab Berkata, "Ya Allah , bahwa sungguh hatiku tidak sanggup aku kuasai untuk berbuat adil! Dan sesuatu yang selain hati, aku berharap saya dapat berbuat adil." (HR. Muslim). Hadits sayidina Umar ini mengisyarahkan sebagai penjelas bagi hadits ‘Aisyah tah diatas, dengan demikian dapat dipahami dari dua uraian tersebut bahwa yang dimaksud dengan adil yang tidak disanggupi oleh Nabi adalah soal membagi waktu, dan menafkahi istri dan anak-anak yatimnya. Berlaku adil dalam hal kasih sayang urusan hati dari pernyataan sayidina Umar ra sendiri bahwa hal tersebut tidak mungkin untuk kita lakukan, maka dalam hal adil seorang suami yang beristrikan lebih dari satu adalah bukan adil kasih sayang, dikarenakan adil kasih sayang seorang suami tidak pernah bisa. karena apabila adil kasih sayang yang dimaksudkan sama dengan halnya tidak diperbolehkan berpoligami disebabkan telah mengisyaratkan kepada sesuatu yang hampir mustahil untuk dipenuhi.
Ada juga yang berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda di atas mimbar :
عن المسور بن مخرمة : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر وهو يقول إن بني هشام بن المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم علي بن أبي طالب فلا آذن لهم ثم لا آذن لهم ثم لا آذن لهم إلا أن يحب ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم فإنما ابنتي بضعة مني يريبني ما رابها ويؤذيني ما آذاها
“Keluarga Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali bila Ali menceraikan putriku dan menikahi anak perempaun mereka. Sungguh Fathimah adalah bagian dari diriku, meragukanku apa yang meragukannya, menyakitiku apa yang menyakitinya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Umumnya, mereka yang menolak poligami menjadikan dasar hadits ini guna mendukung sikap anti poligami nya.
Namun, ketika dicermati kembali, anggapan tersebut tertolak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat An Nisa’: 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” [QS. An-Nisa’: 3].
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan seorang laki-laki menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk menikahi satu isteri saja bila ia khawatir tak mampu berbuat adil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri memiliki sembilan isteri. Maka sebagaimana ucapan beliau adalah dalil, begitu juga dengan perbuatan beliau.
Adapun alasan Nabi melarang Ali ra berpoligami karena perbuatan itu menyakiti Fathimah rah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal ini memang benar. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, menyakiti yang seperti apa? Kalau “menyakiti” berupa perasaan Sayyidah Fathimah rah yang tersakiti karena dimadu, tentu bukan itu yang dimaksud, karena Nabi sendiri berpoligami, dan perasaan tidak enak serta cemburu itu akan selalu ada di hati para istri beliau. Istri-istri beliau juga perempuan seperti Fathimah rah. Para sahabat Nabi yang lain juga banyak berpoligami, apakah mereka dilarang berpoligami lantaran istri-istri mereka cemburu? Atau istri mereka memang tidak ada yang memiliki sifat cemburu? Tetapi jika yang dimaksudkan “menyakiti” itu adalah karena Ali ra ingin menikahi anak perempuan Abu Jahal, sehingga hal ini akan menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini dengan sabda beliau,
وَإِنِّى لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا ، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ أَبَدًا
“Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal, akan tetapi demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasul Allah dan anak perempuan musuh Allah pada seorang laki-laki selamanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Mengomentari hadits di atas Ibnu At-Tîn berkata: “Pendapat paling tepat dalam menafsirkan kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan Ali ra mengumpulkan putri beliau dengan anak perempuan Abu Jahal karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’.
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku tidak mengharamkan perkara yang halal’, maksudnya, dia (anak perempuan Abu Jahal) itu halal dinikahi oleh Ali jika saja Fatimah bukan istrinya. Adapun mengumpulkan keduanya akan menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena merasa tersakitinya Fathonah ra, maka hal itu tidak dibolehkan.
”Pelarangan bukan karena “tersakitinya” Fathimah ra, melainkan tersakitinya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantaran tersakitinya Fatimah ra, dan umat sepakat tentang keharaman menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentang hal ini Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dalam hadits ini terdapat keterangan tentang keharaman menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara apapun, meskipun dengan melakukan perbuatan yang mubah. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa tersakiti dengan hal itu maka tidak boleh dilakukan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Tidak pantas bagi kalian menyakiti Rasulullah." [QS. Al-Ahzab: 53].”
*Mengatur, bukan Melarang*
Islam yang merupakan agama fitrah, tentunya datang untuk memenuhi dan mengatur naluri kemanusiaan. Ia tidak datang untuk mencegah poligami, tetapi mengatur bagaimana cara berpoligami yang benar. Karena poligami adalah fenomena yang lumrah dan kodrati sepanjang sejarah manusia.
Poligami adalah pilihan sosial yang mubah, boleh dilakukan dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya. Tidak wajib dan tidak dibolehkan bagi laki-laki yang merasa tidak sanggup berbuat adil.
Adapun jika tidak dapat berbuat adil dalam menjatah giliran malam, harta dan selainnya, maka sebaiknya dia harus mencukupkan satu wanita saja. Jika tidak, maka dia termasuk golongan yang disinyalir oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ لأَحَدِهِمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً.
“Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri lalu cenderung kepada salah satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia datang pada hari Kiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong.” (HR. Tirmidzi)
Namun yang terpenting adalah kita tidak boleh membenci hukum kebolehan ini, apalagi mengatakan bahwa poligami bukan merupakan Syariat Islam. Ketika ada orang yang melakukannya, tentu tidak boleh dibenci atau disalahkan, karena ia menjalani sesuatu yang dibolehkan baginya, bahkan bisa jadi dianjurkan berdasarkan hadits-hadits yang menganjurkan untuk memperbanyak umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika ada kasus rumahtangga poligami yang rusak karena berberapa oknum yang tidak mampu berbuat adil, tidak boleh lantas menyalahkan poligaminya. Sebab banyak juga rumah tangga monogami yang berantakan. Dengan demikian, tidak karena rusaknya rumah tangga non poligami kita menyalahkan monogaminya. Wallahu a’lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Rabu, 18 Oktober 2017
EDISI KHUTHBAH JUM'AT (Tiga Faktor Penyelamat)
*Khuthbah Pertama*
اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ بِفَضْلِهِ اتَّقَى اْلمُتَقُوْنَ رَبَّهُمْ، وَبِفَضْلِهِ ازْدَلَفَ إِلَى جَنَّاتِ الكَرَامَة. أَشْهَدُ أَنْ لَا اله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله. اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أما بعد.
فياعباد الله أوصِيكم ونفسى بتقوى الله فقد فاز المتقون ، اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
*Jama'ah shalat Jum’at rahimakumullah,*
Kejayaan dan kemuliaan yang dicapai seseorang, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa tidak menutup kemungkinan mengalami kehancuran. Kehancuran itu akan terjadi manakala manusia tidak menuruti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, kehancuran atau keruntuhan harus kita cegah dengan selalu memperhatikan dan menuruti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam salah satu hadits, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pertunjuk kepada kita agar dapat menyelamatkan diri dari kehancuran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan:
ثَلاثٌ مُنَجِّيَاتٌ ، وثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ ، فَأَمَّا الْمُنَجِّيَاتُ : فَتَقْوَى اللهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلانِيَةِ ، وَالْقول بالحق فِي الرِّضَا والسخط ، وَالْقَصْدُ فِي الْغِنَى وَالْفَقْرِ . وأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ : فَشُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
"Ada tiga hal yang bisa menyelamatkan dan tiga hal yang bisa merusak. Yang menyelamatkan antara lain (1) takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak antara lain (1) bakhil yang kelewatan, (2) nafsu yang diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri." (HR. Al-Baihaqi)
Dalam riwayat lain disebutkan,
ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ: خَشْيةُ الله فِى السِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ وَالْعَدْلُ فِى الرِّضَى وَالْغَضَبِ وَالْقَصْدُ فِى الْفَقْرِ وَالْغِنَى
Ada tiga perkara yang dapat menyelematkan: takut kepada Allah, baik pada waktu sembunyi (sepi) maupun terang-terangan, berlaku adil baik pada waktu rela maupun marah dan hidup sederhana baik waktu miskin maupun kaya (HR. Thabrani dari Anas ra).
Dua hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi dan Imam At-Thabrani diatas secara tegas menjelaskan sikap-sikap yang saling bertentangan. Tiga penyakit perilaku yang terahir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya, menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.
Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana, karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yang terbayang sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, serta aqidah, syari’ah, dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut *taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah.* Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa muttaba’un atau hawa nafsu yang dituruti. Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah kita merasakan: kita terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata “sendirian” karena ia berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari pengamatan Allah.
Namun yang harus kita pahami, takut pada Allah berarti takut pada murka, siksa dan azab-Nya yang membuat kita harus meninggalkan segala hal yang akan mendatangkan siksa, azab dan kemurkaan-Nya itu. Rasa takut kepada Allah seperti ini harus kita tunjukkan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga serta dimanapun kita berada, karena Allah Maha Mengetahui apapun yang kita lakukan dan dimanapun kita melakukannya.
Sedangkan Allah Ta'ala sendiri harus kita dekati sehingga kapan, dimanapun dan bagaimanapun situasi dan kondisinya harus membuat kita merasa dekat dengan Allah swt, karenanya ada perintah di dalam Islam untuk taqarrub ilallah atau mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Manakala seseorang telah memiliki rasa takut Kepada Allah Ta'ala, maka dia menjadi orang yang mudah menerima peringatan sehingga dapat mengubah pola hidupnya dari yang tidak benar menjadi benar, Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan shalat. Dan barangsiapa mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali (mu)." (QS. Fathir [35]:18).
Dalam Surat At-Thalaq ayat 2, Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.” (QS. At-Thalaq : 2)
*Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah,*
Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, “berlaku adil dalam kondisi ridla maupun marah” (al-‘adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yang pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Yang halal selalu halal kendatipun kita tak menyukainya.
Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap terhadap mereka. Karena itu, karena itu berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan lawan dari perilaku merusak i‘jâbul mar’i binafsih atau ujub terhadap diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah subhânahu wata’âlâ.
Faktor yang membawa manusia pada keselamatan adalah berkata benar dan berlaku adil. Hal ini karena, kehidupan suatu masyarakat juga akan selamat dari malapetaka manakala kedilan ditegakkan. Karena itu banyak sekali ayat dan hadits yang memerintahkan kita berlaku adil, baik adil kepada orang yang kita sukai maupun orang yang kita benci.
Jangan sampai seseorang berlaku adil kepada orang yang disenanginya dengan memberikan kemudahan yang berlebihan, sedangkan kesalahannya ditutup-tutupi dan tidak dihukum sebagaimana mestinya meskipun tingkat kesalahannya sangat besar, sementara orang orang yang tidak disukainya jangankan diberi kemudahan, kesalahan kecil pun diberi hukuman dengan sangat berat hingga melebihi batas kesalahannya, salah satu ayat yang memerintahkan kita berlaku adil adalah firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl [16]:90).
Meskipun demikian, seorang muslim jangan sampai salah paham terhadap keadilan lalu dia menjadi bingung harus bersikap bagaimana. Adil adalah berpihak pada kebenaran dan memegangnya erat-erat sehingga todak berat sebelah, tidak memihak kepada salah satu kelompok atau orang tertentu. Karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan sikapnya yang akan memotong tangan Fatimah, anaknya bila mencuri.
Sikap ini merupakan keadilan sehingga jangankan orang lain, anak sendiri saja kalau bersalah tetap akan dihukum , bukan seseorang yang bersalah tapi orang lain yang dituntut menanggung bebannya. Dalam krisis ekonomi sekarang, masyarakat juga amat mendambakan keadilan ekonomi sehingga yang menjadi penyebab krisis ubu seharusnya dituntut tanggungjawabnya.
Sahabat Umar bin Khattab RA ketika menjadi khalifah telah menunjukkan keadilannya. Kala itu, Ali mengajukan gugatan atas orang Yahudi yang telah mencuri baju perangnya dan tentu saja orang Yahudi itu menyangkal. Tapi karena Ali juga juga tidak bisa menunjukkan saksi yang dapat menguatkan dan membuktikan tuduhannya.
Umar pun tidak mau mengambil keputusan sewenang-wenang, akhirnya Umar memenangkan perkara orang Yahudi itu. Ternyata diluar sidang orang Yahudi itu tergugah dengan keadilan yang mengagumkan dari sang khalifah, akhirnya diapun mengakui kesalahannya dan menyatakan diri masuk Islam. Kehidupan pribadi dan masyarakat memang akan berjalan dengan baik manakala keadilan ditegakkan
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan (ghâyah) melainkan sebatas sarana (wasîlah), karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di antara sangat irit (pelit) dan mubadzir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara “kebutuhan” dan “keinginan”. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan keperluannya. Karena kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara keinginan luas tak terbatas.
Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apapun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya juga untuk orang lain. Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yang ia miliki. Jangan sampai kita menjadi sangat kikir (syuhhun muthâ‘), yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam hadits di atas.Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ الشُّحَّ
“Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang sebelum kamu.” (HR. Abu Dawud)
Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.
*Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah,*
Dengan demikian, pola hidup sederhana bukanlah didengungkan pada saat krisis ekonomi seperti sekarang ini dan bukan hanya untuk yang miskin, tapi juga untuk yang kaya, bukan hanya untuk yang kaya tapi juga untuk yang miskin.
Akhirnya, semakin kita sadari kalau kehidupan yang selamat, bahagia dunia dan akhirat hanya bisa kita raih manakala kita jalani yang sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dengan kembali kepada Islam, kita kembali meraih kejayaan, kemuliaan, dan keagungan pribadi sebagai muslim.
Demikian khutbah Jum’at kita yang singkat pada hari ini, semoga bermanfaat bagi kita bersama. Aamiin
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
*Khotbah Kedua*
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ
KAJIAN TENTANG GHIBAH DAN LARANGANNYA
Ghibah (menggunjing) termasuk dosa besar, namun sedikit yang mau menyadari hal ini.
Apa itu ghibah?
Ghibah itu termasuk dosa besar. Namun perlu dipahami artinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).
Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129).
Dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai. Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain. Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya. Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”
Bahkan dikatakan dalam Majma’ Al Anhar (2: 552), segala sesuatu yang ada maksud untuk mengghibah termasuk dalam ghibah dan hukumnya haram.
Hukum ghibah itu diharamkan berdasarkan kata sepakat ulama. Ghibah termasuk dosa besar. Sebagian ulama membolehkan ghibah pada non muslim seperti Yahudi dan Nashrani sebagaimana diisyaratkan dalam Subulus Salam (4: 333), sebagiannya lagi tetap melarang ghibah pada kafir dzimmi.
Sudah dijelaskan sebelumnya mengenai “Ghibah itu Apa?” Sekarang kita akan melihat dalil yang menunjukkan bahwa ghibah tergolong dosa dan perbuatan haram, bahkan termasuk dosa besar.
Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167).
Ghibah yang terjadi bisa cuma sekedar dengan isyarat. Ada seorang wanita yang menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Tatkala wanita itu hendak keluar, ‘Aisyah berisyarat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut pendek. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
قَدِ اغْتَبْتِيهَا
“Engkau telah mengghibahnya.” (HR. Ahmad 6: 136).
Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fathul Qadir, 5: 87)
Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar setiap muslim menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah."
Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Allah mengharamkan mengghibahi seseorang ketika hidup sebagaimana Allah mengharamkan memakan daging saudaramu ketika ia telah mati.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 168).
Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 169).
Ghibah termasuk dosa karena di akhir ayat disebutkan Allah Maha Menerima Taubat. Artinya, apa yang disebutkan dalam ayat termasuk dalam dosa karena berarti dituntut bertaubat. Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa ghibah termasuk perbuatan yang diharamkan, lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 129.
Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.”
Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:
1- Mengadu tindak kezhaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzhalimiku.”
2- Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
3- Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”
4- Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan kemungkaran terhadap maksiat atau kemungkaran yang ia lakukan padahal kita sudah menasehati orang tersebut dengan berbagai cara namun dia mengabaikannya, bukan pada masalah lainnya.
6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)
Semoga Allah memberi taufik untuk menjaga lisan ini supaya senantiasa berkata yang baik. Aamiin Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى اقول الطريق*
Selasa, 17 Oktober 2017
KAJIAN HADITS TENTANG AIR KENCING KUCING NAJIS DAN AIR LIURNYA TIDAK NAJIS
Berawal dari status akun FB Zur'ah Ar Rozy (wahabi=red) mengatakan bahwa *AIR KENCING KUCING TIDAK NAJIS,* maka sy buat kajian tentangnya.
Dalam status FB yg ditulisnya dia mengatakan sbb:
*Masalah Kencing Kucing*
Ketika beredar pendapat ana tentang kencing kucing bahwa ia suci berdasarkan hadits: ia (kucing) adalah suci. dan nabi memberi alasannya: karena ia selalu berkeliling diantaramu. Sebagian orang meledek dan menyinyir dan menganggapnya sebagai sebuah kemungkaran.
Bismillah saya tanggapi: Sebelumnya terima kasih buat antum yang memberi saya kritikan dalam masalah ini. Soal kritik mengkritik dalam masalah ilmiyah adalah perkara yang lumrah. Yang tidak lumrah itu adalah memaksakan pendapat dalam masalah ijtihadiyah yang tidak ada nashnya.
Pertama: Masalah ini bukanlah masalah yang menjadi ijma ulama, sehingga orang yang menyelisihinya dianggap sesat. Para ulama berbeda pendapat apakah kencing dan kotoran hewan yang tidak halal dagingnya itu najis atau tidak. Madzhab yang empat menyatakan kenajisannya diqiyaskan kepada kotoran keledai karena nabi megatakan bahwa ia najis.
Sedangkan Imam Asy Sya'biy, Imam Al Bukhari dan Dawud Adz Dzahiri berpendapat bahwa ia tidak najis. Karena tidak adanya dalil yang menyatakan kenajisannya.
Al Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Al Auza'iy: Bagaimana kencing binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya seperti bighol dan keledai ? Beliau berkata: "dahulu mereka terkena itu di peperangan mereka, namun mereka tidak mencucinya sama sekali.
Yang rajih adalah pendapat jumhur. Wallahu a'lam
Namun untuk kucing, saya berpendapat bahwa ia tidak najis baik bekas minumnya atau kencing dan kotorannya sesuai alasan yang diberikan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam.
Alasan saya adalah:
1. Nabi menghukumi secara mutlak tentang kucing:
إنها ليست بنجس
Sesunggunya ia (kucing) itu tidak najis. Dlomir ha itu kembali kepada hirroh (kucing). Kalaulah yang suci itu bekas minumnya saja, tentu dlomirnya bukan ha tapi hu karena su'ru (bekas minum) itu bentuknya mudzakkar.
Tapi Nabi menyatakan bahwa kucing itu tidak najis secara mutlak. Ini ini mencakup semuanya. Karena dalil yang mutlak hendaknya dibawa kepada kemutlakannya sampai ada dalil yang mengikatnya. Jika ada yang berkata bukankah sebab hadits itu tentang bekas minumnya, maka dijawab: yang dianggap itu adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab.
2. Hadits tersebut khusus dalam masalah kucing, sehingga mengkhususkan pendapat imam yang empat yang berpendapat najis semua kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Manthuq hadits lebih didahulukan dari pada qiyas. Dan jika pun diterima qiyas, namun itu bersifat umum. Sedangkan ini khusus untuk kucing. Dan dalil yang umum bila bertemu dengan dalil yang khusus maka keumumannya dikhususkan.
3. Nabi memberikan alasan mengapa kucing tidak najis: beliau bersabda:
إنما هي من الطوافين عليكم والطوافات
Sesungguhnya ia adalah binatang yang selalu berkeliling diantara kalian.
Maksud beliau adalah bahwa ia sulit untuk dihindari sedangkan sesuatu yang sulit dihindari tentunya mendatangkan kemudahan.
Namun yang harus diingat adalah bahwa kesucian kotoran kucing ini berkaitan dengan illat yang nabi sebutkan tadi yaitu sulit dihindari. Adapun jika illatnya hilang maka dihukumi najis sebagaimana pendapat jumhur ulama. Karena kaidah ushul fiqih berkata: hukum itu mengikuti illatnya, jikaillatnya ada maka hukum ada. Dan jika illatnya tidak ada maka hukumpun tidak ada.
*Inilah Kajian Asimun Ibnu Mas'ud Tentang Hadits Tersebut*
*HADITS BERIKUT TENTANG AIR LIUR KUCING, BUKAN TENTANG AIR KENCINGNYA*
حدثنا إسحق بن موسى الأنصاري حدثنا معن حدثنا مالك بن أنس عن إسحق بن عبد الله بن أبي طلحة عن حميدة بنت عبيد بن رفاعة عن كبشة بنت كعب بن مالك وكانت عند ابن أبي قتادة أن أبا قتادة دخل عليها قالت فسكبت له وضوءا قالت فجاءت هرة تشرب فأصغى لها الإناء حتى شربت قالت كبشة فرآني أنظر إليه فقال أتعجبين يا بنت أخي فقلت نعم قال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إنها ليست بنجس إنما هي من الطوافين عليكم أو الطوافات. (روه الترمذي فى سننه كتاب الطهارة)
Telah berkata kepada kami Ishaq bin Musa Al-Anshari, telah berkata kepada kami Ma'an, telah berkata kepada kami Malik bin Anas, dari Ishaq bin Abdullah bin Thalhah dari Hamidah binti Usaid bin Rifa'ah dari Kabsyah binti Ka'ab bin Malik dia berada disamping Abu Qatadah. Sesungguhnya Abu Qatadah masuk lalu Kabsyah menyiapkan air wudhu buat beliau. Lalu datanglah seekor kucing lalu minum darinya (air wudhu tersebut). Lalu Abu Qatadah menyodorkan bejananya hingga kucing itu minum. Kabsyah menyatakan: Beliau melihat aku memandang kepadanya, lalu ia berkata: Wahai anak saudaraku apakah kamu merasa heran? Kabsyah menjawab: Ya. Lalu Abu Qatadah menyatakan: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaa, "Sesungguhnya kucing itu tidak najis sungguh kucing itu termasuk hewan yang sering bersama kalian." (HR. Tirmidzi dalam Kitab Thaharah)
Hadits ini telah di-shahih-kan oleh para imam ahli hadits, diantaranya: imam Malik, Syafi’i, Bukhari, Tirmidziy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daruquthni, Hakim, Baihaqiy, Al Baghawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar dan lain-lain.
Imam at-Tirmidzi menyatakan: Hadits Hasan Shahih. Imam Malik telah baik dalam menyampaikan hadits ini dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah dan tidak seorang pun yang menyampaikan secara lebih sempurna dari Imam Malik.
Ikut meriwayatkan hadits ini bersama Imam Malik, Husein al-Mu’allim dan Hammam bin Yahya.
Riwayat Husein Al-Mu’allim disampaikan Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/245 dari jalan Husein al-Muallim dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah dari Ummu Yahya dari bibinya bintu Ka'ab.
Imam Al-Baihaqi menyatakan: Ummu Yahya adalah Humaidah dan bintu Ka'ab adalah Kabsyah bintu Ka'ab. Demikian juga riwayat Hammam bin Yahya disampaikan Imam Al-Baihaqi (1/245) dari dua jalan periwayatan dari Hammam dari Ishaq bin Abdillah bin Abu Thalhah dari Ummu Yahya dari Kabsyah.
Banyak ulama menshahihkan hadits ini, di antara mereka:
1. Al-Bukhari sebagaimana disampaikan imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (1/ 245)
2. At-Tirmidzi dalam sunannya 1/1553
3. Al-Uqaili dalam al-Kaamil (2/142) dengan menyatakan: Sanadnya sah dan shahih.
4. Ad-daraquthni dalam al-Ilal 6/163.
5. Imam ibnu Hajar dalam kitab Talkhish al-Habier 1/54 menyatakan: Hadits ini dishahihkan oleh imam al-Bukhori, at-Tirmidzi, al-Uqaili dan ad-Daraquthni
6. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya
7. Ibnu Abdilbarr dalam at-tamhid (1/324)
8. Al-Haakim dalam al-Mustadrak (1/159-160).
9. Al-Baihaqi dalam ma’rifatu as-Sunan (1/313)
10. An-Nawawi dalam al-majmu’ 1/225
Mereka adalah ulama pakar hadits yang menshahihkan hadits ini.
*Penjelasan Umum*
Kucing adalah binatang yang banyak berada dirumah dan banyak bersentuhan dengan manusia. Ia masuk rumah dan sangat dekat dengan bejana-bejana yang digunakan untuk minum dan digunakan manusia juga. Hadits ini memiliki sebab yaitu kisah Abu Qatadah yang menyerahkan air kepada seekor kucing, lalu Kabsyah seorang menantunya merasa heran atas perbuatan Abu Qatadah. Ketika beliau melihat rasa heran tersebut maka beliau menyatakan bahwa beliau telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sungguh kucing itu bukanlah benda najis, ia termasuk yang selalu berkeliling atau berada di tengan-tengah kita (Thawaafin). Hal ini menunjukkan sahabat yang mulia Abu Qatadah memahaminya seperti yang terjadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa kucing itu bukan najis dzatnya dan ia termasuk yang selalu berkeliling atau berada di tengan-tengah kita (Thawaafin). Inilah yang menyebabkan kucing tersebut tidak najis.
*Faedah Hadits*
1. Air liur Kucing dan mulutnya tidak najis menurut mayoritas ulama, dengan alasan:
2. Keadaan kucing sebagai thawwafin (yang selalu berkeliling atau berada di tengan-tengah kita).
3. Keterangan jelas dan gamblang bahwa ia bukanlah benda najis
4. Kebolehan wudhu dari bekas sisa minum kucing dibejana tersebut.
5. Disukai bagi kita dari sisi kebersihan untuk mencuci bejana yang berisi air yang dijilat oleh kucing sebanyak satu kali.
6. Ketetapan atau ketentuan suatu benda itu najis harus datang keterangan yang shahih dan tegas dari Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Kucing adalah binatang yang selalu berkeliling atau berada di tengan-tengah kita.
8. Boleh memiliki kucing.
9. Air yang telah dijilat oleh kucing tetap suci dan mensucikan dan dapat dipakai untuk menghilangkan hadats kecil atau besar dan berwudlu.
Imam ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan setelah menyampaikan hadits ini: Hadits ini dengan lafazhnya menunjukkan tidak adanya larangan dari sisa kucing. Dengan sebab tidak makruhnya ini maka yang selainnya dari hewan yang selalu berkeliling atau berada di tengan-tengah kita juga tidak makruh. (Al-Mughni 1/11)
Dengan demikian hukum ini tidak terbatas hanya pada kucing, namun juga kepada semua hewan yang banyak berada disekeliling kehidupan rumah yang serupa dengannya atau lebih kecil lagi bentuknya, selama masih termasuk thawaafin.
Indahnya cara pendidikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menghubungkan hukum dengan sebab hukum tersebut. Hal ini memiliki banyak manfaat diantaranya:
1. Menjadi dasar atas ketinggian dan kesempurnaan syari’at Islam
2. Menguatkan iman dengan hukum tersebut bila mengerti sebab hukumnya
3. Hukum ini berkembang kepada semua masalah yang memiliki sebab hukum yang sama dengannya.
*Masaail Fikih Tentang Hukum sisa bekas dari kucing*
Dalam masalah ini ada dua pendapat para ulama;
Pertama: Sisa bekas kucing adalah suci. Ini adalah madzhab Ali bin Abi Thalib, al-Abbas bin Abdil muthalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Abu Qatadah, al-Hasan bin Ali, al-Husein bin Ali, Alqamah, Ibrohim, Atha bin Yasaar, Ishaq bin Rahuyah, (lihat Al-Ausath ibnu Al-Mundzir 1/301-302 dan Ath-Thuhur hlm 282) dan imam yang tiga; Imam Malik (lihat al-Istidzkar 1/209 dan Bidayatul Nujtahidin 1/21), Asy-Syafi’i (Al-Majmu’ 1/175 dan Raudhatuth Thalibin 1/32) dan Ahmad bin Hambal (Al-Mughni 1/44). Juga pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari ulama madzhab Hanafiyah.(lihat Syarh Ma’aani Al-Atsar 1/19).
Mereka berdalil dengan hadits abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu diatas yang jelas sekali menunjukkan ketidak najisannya.
Kedua: Hukumnya najis namun diberikan keringanan sehingga dimakruhkan bekas kucing karena umum menimpa manusia. James Harrison Authentic Jersey Inilah madhab Hanafiyah (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 1/383-384). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
RENUNGAN & NASEHAT DIRI
قال الرجل :
Seorang pria mengatakan:
ﺣﻴﻦ ﺃﻋﺠﺒﺖ ﺑﺰﻭجتى .. ﻛﺎﻧﺖ ﻓﻲ ﻧﻈﺮﻱ
ﻛﺄﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﺨﻠﻖ ﻣﺜﻠﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ
Dulu, saat aku mengagumi istriku, dalam pandanganku seakan-akan Allah tidak menciptakan wanita sepertinya di dunia ini.
ﻭﻟﻤﺎ ﺧﻄﺒﺘﻬﺎ .. ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮﻳﻦ ﻣﺜﻠﻬﺎ
Saat aku meminangnya, ternyata aku melihat banyak wanita yg sepertinya.
ﻭﻟﻤﺎ ﺗﺰﻭﺟﺘﻬﺎ .. ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮﻳﻦ ﺃﺟﻤﻞ ﻣﻨﻬﺎ
Saat aku menikahinya, ternyata aku melihat banyak wanita yg lebih cantik darinya.
ﻓﻠﻤﺎ ﻣﻀﺖ ﺑﻀﻌﺔ ﺃﻋﻮﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺯﻭﺍﺟﻨﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﺃﻥ ﻛﻞُّ ﺍﻟﻨَﺴَﺎﺀِ ﺃﺣْﻠَﻰ ﻣِﻦْ ﺯَﻭﺟَﺘِﻲ !
Setelah berlalu beberapa tahun dari pernikahan kami, ternyata aku melihat semua wanita jauh lebih menawan dari istriku.
ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ : ﺃﻓﺄﺧﺒﺮﻙ ﺑﻤﺎ ﻫﻮ ﺃﺩﻫﻰ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻭﺃﻣﺮّ ؟ !
Seorang Syeikh lantas bertanya, “Maukah kau aku beritahu tentang kenyataan yg lebih lebih dahsyat dan lebih pahit dari itu..?
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺮﺟﻞ : ﺑﻠﻰ
Laki-laki itu menjawab, “Tentu saja mau”
ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ : ﻭﻟﻮ ﺃﻧﻚ ﺗﺰﻭﺟﺖ ﻛﻞ ﻧﺴﺎﺀ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ .. ﻟﺮﺃﻳﺖ ﺍﻟﻜﻼﺏ ﺍﻟﻀﺎﻟﺔ ﻓﻲ ﺷﻮﺍﺭﻉ ﺍﻟﻤﻨﺎﻃﻖ ﺍﻟﺸﻌﺒﻴﺔ ﺃﺟﻤﻞ ﻣﻦ ﻛﻞّ ﻧﺴﺎﺀ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ !!
Sang Syeikh kemudian menimpali, “Sekiranya kamu menikah dengan
semua wanita yg ada di dunia ini,
maka kamu akan melihat anjing-anjing (betina) yg tersesat di jalan jauh lebih cantik dari semua wanita yg ada di dunia”
ﺍﺑﺘﺴﻢ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﺑﺘﺴﺎﻣﺔ ﺧﻔﻴﻔﺔ ﻭﻗﺎﻝ : ﻟﻤﺎﺫﺍ ﺗﻘﻮﻝ ﺫﻟﻚ ؟
Laki-laki tadi tersenyum ringan lalu bertanya, “Kenapa anda berkata seperti itu ?”.
ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ : ﻷﻥ ﺍﻟﻤﺸﻜﻠﺔ ﻟﻴﺴﺖ ﻓﻲ ﺯﻭﺟﺘﻚ، ﺍﻟﻤﺸﻜﻠﺔ ﺃﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﺃﻭﺗﻲ ﻗﻠﺒﺎً ﻃﻤّﺎﻋﺎً، ﻭﺑﺼﺮﺍً ﺯﺍﺋﻐﺎً، ﻭﺧﻼ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺃﻥ ﻳﻤﻸ ﻋﻴﻨﻪ ﺇﻻ ﺗﺮﺍﺏ ﻣﻘﺒﺮﺗﻪ .. ﻣﺸﻜﻠﺘﻚ ﺃﻧﻚ ﻻ ﺗﻐﺾّ ﺑﺼﺮﻙ ﻋﻤﺎ ﺣﺮّﻡ ﺍﻟﻠﻪ
ﺃﺗﺮﻳﺪ ﺷﻴﺌﺎً ﺗﺮﺟﻊ ﺑﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻚ ﺇﻟﻰ ﺳﺎﻟﻒ ﻋﻬﺪﻫﺎ ( ﺃﺟﻤﻞﻧﺴﺎﺀ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ) ؟
Syeikh menjawab, “Masaalahnya bukan pada istrimu, masalahnya bila manusia memiliki hati yang rakus dan mata yang jelalatan, serta tak lagi punya rasa malu kepada Allah, maka tidak ada yang dapat menutupi matanya kecuali tanah kuburannya. Permasaalahanmu, kamu tidak bisa menundukkan pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan Allah.
Apakah kamu ingin sesuatu yang akan membuat istrimu selalu terlihat seperti dulu (wanita yang paling cantik di dunia ) ?
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺮﺟﻞ : ﻧﻌﻢ
Laki-laki itu menjawab, “Ya”.
ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ : ﺍﻏﻀﺾ ﺑﺼﺮﻙ
Syeikh mengatakan, “Tundukkanlah pandanganmu”
*Catatan:*
Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; sesungguhnya Allah Amat Mendalam Pengetahuan-Nya tentang apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nur 24:30)
Dahulu, jauh sebelum datangnya islam, masyarakat jahiliyah telah mengetahui bahwa menjaga pandangan adalah bagian dari akhlak terpuji. Antarah bin Syaddad, seorang penyair kawakan pada masa jahiliyah mengatakan, “
وَأَغُضُّ طَرْفِي مَا بَادَتْ لِي جَارَتِي # حَتَّى يُوَارِيَ جَارَتِي مَأْوَاهَا
“Dan akupun terus menundukkan pandanganku, saat istri tetanggaku nampak, begitulah hingga ia masuk ke dalam rumahnya”
Ingat kembali pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhu-:
يَا عَلِيّ ُ..! لاَتُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ, فَإِنَّمَا لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الأَخِيْرَةُ
“Wahai Ali.. jangan kau ikutkan pandangan pertama (tanpa sengaja) dengan pandangan selanjutnya, karena bagimu pandangan yang pertama dan tidak halal bagimu pandangan yang terakhir” (HR. Tirmidzi) Wallahu a’lam
Senin, 16 Oktober 2017
KAJIAN TENTANG AMPUNAN DAN SIKSA ADALAH ATURAN ALLAH TA'ALA
*(Kajian Tafsir Ali Imran: 128-129 Latar Belakang Qunut Nazilah)*
*A. Teks Ayat dan Tarjamahnya*
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ () وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki; dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran : 128-129)
*B. Kaitan dengan Ayat Sebelumnya*
1. Ayat sebelumnya mengungkap beberapa hikmah pertolongan yang diberikan Allah Ta'ala terhadap orang mu`min dalam peristiwa perang badar. Ayat berikutnya menegaskan bahwa nasaib orang kafir yang tidak mendapar tolongan Allah itu, sangat tergantung pada kebijaksanaan Allah Ta'ala, apakah mendapat ampunan ataukah mendapat siksaan.
2. Ayat sebelumnya membuktikan bahwa Allah Ta'ala berkuasa untuk memenangkan satu fihak dan mengalahkan fihak lain. Ayat berikutnya menegaskan bhawa ampunan dan siksa bukanlah urusan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu tidak sepatutnya manusia memaksakan keinginan untuk menyiksa atau mengampuni fihak manapun.
3. Pada penghujung ayat 127 dijelaskan bahwa dengan adanya pertolongan Allah yang diberikan pada orang mu`min sehingga bisa mengalahkan orang kafir adalah untuk menjatuhkan derajat kafir. Ayat berikutnya menegaskan bahwa siapa yang patut dijatuhkan derajatnya dengan siksaan, siapa pula yang patut dimuliakan dengan ampunan, sepenuhnya menjadi wewenang Allah Ta'ala, bukan wewenang lain-Nya.
*C. Tinjauan Historis*
1. Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus shahabatnya untuk da’wah kepada kaum musyrikin. Shahabat yang diutus tersebut diperlakukan oleh tokoh musyrikin secara tidak baik, maka Rasul berdo’a ketika bangun dari ruku' rakaat terakhir untuk keselamatan kaum muslimin dan kehancuran musyrikin. Perhatikan hadits berikut.
عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي سَالِمٌ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ الْفَجْرِ يَقُولُ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
Diriwayatkan dari al-Zuhri, dari Salim dari ayahnya yang mendengar Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala bangun dari ruku terakhir (dalam shaalat) shubuh berdo’a: Ya Allah kutuklah si Pulan, kutuklah si Pulan, si pulan dan si pulan setelah mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ maka turunlah ayat (Qs.3:128) لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ hingga فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ. (HR. Al-Bukhari)
*(Keterangan Hadits Al-Bukhari Nomor 4193)*
Riwayat hadits tersebut berisi mengenai tema “Teguran Allah kepada Rasulullah ketika beliau melaknat seseorang”. Kutipan hadits di atas diambil kitab Shahih Bukhari dengan nomor 4193. Selain dari kitab Shahih Bukhari, hadits dengan sanad dan matan yang sama juga terdapat dalam kitab Fathul Bari' nomor 4559. Menurut ijma ulama, hadits di atas termasuk dalam kategori hadits Shahih. Sehingga bisa dijadikan referensi yang baik untuk mengkaji makna sebuah ayat, maupun digunakan sebagai inspirasi dalam rangka mencari solusi atas sebuah permasalahan. hadits ini juga merupakan rujukan yang kuat untuk mendalami makna Quran Surat ali 'Imran ayat 128, dilihat dari sisi metode tafsir bil Ma’tsur khususnya tafsir Quran bil Hadits. Walaupaun, tidak sedikit hadits yang didalamnya menjelaskan keterkaitan ayat dengan ayat lainnya, atau yang disebut dengan istilah tafsir bil Ma’tsur ayat bil ayat. Sehingga bisa dikatakan bahwa kajian seperti ini, menurut teori metodologi tafsir bil ma’tsur merupakan “pintu gerbang” utama untuk membuka “tabir” makna secara utuh sebuah ayat al Quran.
Dilihat dari sisi matannya (isi/kandungan), hadits di atas termasuk hadits yang memiliki kaitan dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam hal ini, Hadits Bukhari nomor 4193 berisi mengenai riwayat yang menjelaskan kandungan makna sebuah ayat Al-Qur'an, dan atau sebagai riwayat yang memaparkan contoh penerapan kandungan makna ayat al Quran di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam konteks hadits ini, yaitu terkait dengan Qur'an Surat ali 'Imran ayat 128.
Pada bulan Shafar tahun keempat hijriah, peristiwa ini terjadi. Ketika itu datang Abu Barra` ‘Amir bin Malik menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah, kemudian oleh beliau diajak kepada Islam. Ia tidak menyambutnya, namun juga tidak menunjukkan sikap penolakan.
Kemudian dia berkata: “Wahai Rasu-lullah, seandainya engkau mengutus shahabat-shahabatmu kepada penduduk Najd untuk mengajak mereka kepada Islam, aku berharap mereka akan menyambutnya.”
Beliau berkata: “Aku mengkhawatirkan perlakuan penduduk Najd atas mereka.” Tapi kata Abu Barra`: “Aku yang menjamin mereka.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus 70 orang shahabat ahli baca Al-Qur`an, termasuk pemuka kaum muslimin pilihan. Mereka tiba di sebuah tempat bernama Bi`ru Ma’unah, sebuah daerah yang terletak antara wilayah Bani ‘Amir dan kampung Bani Sulaim. Setibanya di sana, mereka mengutus Haram bin Milhan, saudara Ummu Sulaim bintu Milhan, membawa surat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada ‘Amir bin Thufail. Namun ‘Amir bin Thufail tidak menghiraukan surat itu, bahkan memberi isyarat agar seseorang membunuh Haram. Ketika orang itu menikamkan tombaknya dan Haram melihat darah, dia berkata: “Demi Rabb Ka’bah, aku beruntung.”
Kemudian ‘Amir bin Thufail menghasut orang-orang Bani ‘Amir agar memerangi rombongan shahabat lainnya, namun mereka menolak karena adanya perlindung-an Abu Barra`. Dia pun menghasut Bani Sulaim dan ajakan ini disambut oleh ‘Ushaiyyah, Ri’l, dan Dzakwan. Mereka pun datang mengepung para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu membunuh mereka kecuali Ka’b bin Zaid bin An-Najjar yang ketika itu terluka dan terbaring bersama jenazah lainnya. Dia hidup hingga terjadinya peristiwa Khandaq.
Dari Hanzhalah bin Abi Sufyan diterangkan bahwa yang dido’akan Rasul itu adalah Shafwan bin Umayah, Suhail bin Amr, Haris bin Hisyam, kemudian turun
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
"Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. [QS. Ali Imran : 128]. (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat itu tidak disebut shalat tertentu, melainkan secara umum qunut selama satu bulan.
Dalam riwayat Ibn Khuzaimah diterangkan bahwa qunut itu dilakukan pada shalat maghrib, isya, shubuh, zhuhur dan ashar. (Shahih Ibn Khuzaimah, I hal. 312-315)
Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa setelah Qs.3:128 ini turun, Rasul menghentikan do’a qunut tersebut. (Shahih Muslim, I hal. 466, Shahih Ibn Khuzaimah, I hal. 315)
Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa setelah QS. Ali Imran : 128 ini turun, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lagi mendo’akan kehancuran musyrikin.
Menghancurkan kemusyrikan, bukan denghan do’a agar Allah menurunkan siksa, melainkan dengan cara jihad melawan mereka. Allah Ta'ala berfirman:
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ
"Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman." (QS. At-Taubah : 14)
Dengan demikian, secara histories ayat ini turun lebih dahulu di banding ayat sebelumnya.
2. Ibn al-Jauzi berpendapat bahwa sebab turun ayat ini tidak kurang dari lima peristiwa yaitu :
(a) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terluka pada perang Uhud, dahinya berdarah dan giginya ada yang patah kemudian berliau bersabda:
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
"Bagimana mungkin suatu kaum bisa beruntung yang melakukan seperti ini pada Nabinya yang menyeru pada jalan Allah. Tidak lama kemudian turunlah ayat ini." (HR. Muslim)
Pendapat ini dikemukan pula oleh Ibn Abbas dan Qatadah.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: قَالَ حُمَيْد وَثَابِتٌ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: شُجّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أحُد، فَقَالَ: "كَيْفَ يُفْلِحُ قُوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ؟ ". فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ}
Imam Bukhari mengatakan bahwa Humaid ibnu Sabit meriwayatkan dari Anas ibnu Malik, bahwa Nabi Saw. terluka pada wajahnya dalam Perang Uhud, lalu beliau bersabda, "Bagaimana memperoleh keberuntungan suatu kaum yang berani melukai wajah nabi mereka?" Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya : "Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu." (Ali Imran: 128)
(b) diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutuk orang dari kalangan munafiq, maka ayat ini turun.
(c) diriwayatkan dari Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa iba terhadap kekalahan di perang Uhud, maka ayat ini turun sebagai berita gembira bagi Nabi.
(d) Muqatil Ibn Sulaiman menerangkan bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh da’I Ahl a-Shuffah ke Kabilah bani Salim dan dzakwan, namun dibantai oleh kaum musyrikin. Kemudian Rasul berdo’a selama empat puluh hari ingin membalas kekejaman mereka, maka turun ayat ini!
(e) menurut al-Waqidi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Hamzah terluka, maka Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bertekad membalas kekejaman kafirin. Kemudian ayat ini turun.
Memperhatikan sebab turn di atas, jelaslah bawa (QS. Ali Imran : 128-129) ini turun berkaitan dengan kesedihan Rasul terhadap orang mu`min yang ditindas oleh orang kafir.
*D. Tafsir Tiap Ayat*
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْء
"ٌTak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu."
Menurut al-Baidlawi pangkal ayat ini, serat kaitannya dengan ayat sebelumnya yang menandaskan bahwa Allah Ta'ala, dengan menolong mu`min pada perang Badar berfungsi menjatuhkan derajat orang kafir. Maka pada ayat ini ditandaskan bahwa kebijaksanaan Allah itu bukan urusan hamba-Nya.
أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُم
ْ"Atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka."
Apakah Allah Ta'ala mengampuni mereka, karena bartaubat, ataukah mengadzab mereka, karena tetap kafir. Semua itu bukan urusan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan tanggung jawabnya. Tanggung jawab rasul dan umatnya adalah mengajak manusia ke jalan yang benar, memberi peringatan terhadap yang salah, dan memerangi orang yang melawan jihad. Satu fpihak ayat ini sebagai teguran pada hamba Allah yang bersikeras menginginkan agar orang kafir disiksa, dikalahkan dan dikutuk. Sisi lain, ayat ini sebagai berita gembira pada Rasul dan umatnya, agar mereka tidak terlalu jauh memikirkan nasib orang kafir, apakah mau diampuni Allah atas taubat mereka atau disiksa oleh-nya karena kekufuran. Menurut al-Farra, perkataan أَوْ (atau) pada ayat ini berma’na حَتّى (sehingga). Dengan demikian artinya “Bukan urusanmu, sehingga Allah mengampuni mereka bila bertaubat, dan menyiksa mereka karena tidak mau kembali pada jalan yang benar”. (Tafsir al-Nasafi)
فَإِنَّهُمْ ظَالِمُون
َ"Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim."
Yang jelas bahwa orang kafir itu adalah manusia yang berbuat zhalim. Kalau sudah zhalim, maka sepantasnya mendapat siksaan dari dosanya itu.
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
"Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi."
Pangkal ayat ini mengandung penegasan, mengapa Allah Ta'ala mempunyai wewenang untuk bertindak apapun? Karena kepunyaan Allah segala apa yang di langit dan di bumi.
يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ
"Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki;"
Allah memberi ampunan kepada orang yang bertaubat. Dalam ayat ini ditegaskan لِمَنْ يَشَاءُ bagi yang Ia kehendaki, karena yang mendapat ampunan ada syaratnya ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Firman-Nya:
وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا
"Barang siapa yang bertaubat dan beramal shalih, sesungguhnya Allah mengampuni orang yang bertaubat." (QS. Al-Furqan : 71)
فَأَمَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ
"Adapun orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, mudah-mudahan mereka termasuk orang yang beruntung." (QS. Al-Wasbang : 67)
6. وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ
"Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki;"
Allah Ta'ala mempunyai wewenang menyisa siapa saja yang Dia kehendaki. Namun Allah sesuai dengan kebijakannya tetap menjatuhkan siksa hanya pada orang kafir, atau yang berbuat dosa tanpa taubat.
Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong." (QS. Ali Imran : 91)
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Namun demikian perlu diingat, bahwa Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Tegasnya Dia, tidak akan menyksa manusia tanpa dosa, tapi bisa saja mengampunyi hamba-Nya tanpa syarat. Inilah Kemahapengampunan Allah.
*E. Beberapa Ibrah*
1. Nilai yang terkandung dalam pertistiwa ditolaknya doa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam :
(a) Rasul dan umatnya tidak diperkenankan mendo’akan orang musyrik dicelakakan Allah,
(b) memenangkan Islam, jangan hanya mengandalkan do’a, tapi mesti berjuang dengan menghimpun kekuatan,
(c) bila kaum musyrikin ingin dikalahkan, maka kaum muslimin harus kuat dalam segala aspek kehidupan.
2. Urusan siksa atau ampunan merupakan wewenang Allah, bukan tanggung jawab Rasul atau umatnya.
3. Allah memiliki segalanya, tapi dia tetap berpegan pada kebijaksanaan yang sifatnya adil dan Maha penyayang.
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Sabtu, 14 Oktober 2017
KAJIAN TENTANG MEMPELAJARI ILMU TAFSIR AL-QUR’AN
Al-Qur’an perlu dipahami, dan oleh karenanya diperlukan tafsir atasnya. Beragam bentuk, pendekatan dan cara penafsiran telah ditunjukkan oleh para ahli tafsir (mufassir) dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan ternyata belum memuaskan rasa haus para pecintanya untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, para mufassir (hingga kini) senantiasa berupaya menemukan kaedah penafsiran yang paling tepat untuk memahami kandungan (makna) Al-Qur’an dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda.
Di dunia ini tak ada kitab yang penanganannya begitu banyak menuntut keahlian, begitu banyak meminta tenaga, waktu dan biaya, seperti dilakukan orang terhadap Al-Qur’an. Kalau kita lihat sepintas saja Al-Itqan Fî ‘Ulum al-Qur’an oleh as-Suyuthî (w. 911 H.), atau Kasyfuzh-Zhunun oleh Haji Khalifah (w. 1059 H.), sudah dapat kita ketahui betapa luas ilmu-ilmu Al-Qu’ran pada masa itu.
*Apa itu Ilmu Tafsir?*
Kata ﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ secara bahasa berasal dari kataﻓﺴﺮ - ﻴﻔﺴﺮ -ﺗﻔﺴﻴﺮ yang berarti mengungkapkan atau menampakkan Tafsir dapat juga diartikan al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. (Abu al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz. 4. Beirut: Dar al-Jail. 1976. hlm. 13)
Kata “tafsir”, ada beberapa pendapat yang menyatakan tentang asal katanya, yaitu:
1). Mengikuti wazan taf’il (تَفْعِيْلُ) dari akar kata al-fasr (الفَسْرُ) yang berarti al-idhah “الإِيْضَاحُ” (menjelaskan), Tibyan “تِبْيَانُ” (menerangkan), al-izhar “الإِظْهَارُ” (menampakkan), al-ibanah “الإِبَانَةُ” dan al-kasyf “الكَشْفُ” (mengungkap) makna yang abstrak. Keduanya (al-ibanah dan al-kasyf) berarti membuka (sesuatu) yang tertutup. Kata al-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Kamus Lisanul ‘Arab dinyatakan; kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata al-tafsir berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Di antara kedua bentuk kata itu (al-fasr dan al-tafsir), kata al-tafsir yang paling banyak dipergunakan.
2). Ada pendapat lain menyatakan bahwa kata al-tafsir berasal dari kata kerja yang terbalik, yaitu kata safara سَفَرَ yang berarti al-kasyf “الكَشْفُ”, seperti ungkapan “safaratil mar’atu sufuran”- سَفَرَةِ اْلمَرْأَةُ سُفُوْرًا (wanita itu membuka kerudung dari mukanya.
Menurut al-Raghib al-Asfahani seorang pakar tata bahasa Al-Qur’an, kata “al-fasr” dan “al-safr” adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafaznya. Tetapi yang pertama untuk menunjukkan arti menampakkan makna yang abstrak, sedangkan yang kedua untuk menampakkan benda kepada penglihatan mata.
Adapaun tafsir secara terminologis (istilah) terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh ulama, diantaranya :
*1. Menurut Muhammad ibn Abdul 'Azhim al-Zarqani*
علم يبحث فيه عن القرأن الكريم من حيث دلالة على مراد الله تعالى بقدر الطاعة البشرية
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur'an dari segi dilalahnya sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta’ala menurut kemampuan manusia.
*2. Muhammad Badaruddin al-Zarkasyi*
علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه وإستخراج حكامه وحكمته
Tafsir adalah ilmu untuk mengetahui kitab Allah (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menerangkan makna, hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
*3. Abu Hayyan*
علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن ومدلولاتها وأحكامها الإفرادية والتركيبية ومعانيها التي تحتمل عليها حالة التركيب وتتمات لذالك.
Tafsir adalah Pengetahuan yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an tentang sesuatu yang ditunjuk oleh suatu lafaz, tentang hukum-hukumnya ketika ia menjadi kalimat tunggal, maupun ketika ia tersusun dalam kalimat dan makna-makna yang dikandungnya ketika tersusun serta hal-hal yang menyempurnakannya.
*4. Al-Dzahabi*
Tafsir adalah pengetahuan yang membahas tentang maksud-maksud Allah (yang terkandung di dalam Al-Qur’an) sesuai dengan kemampuan manusia, maka ia mencukupkannya (meliputi segala aspek pengetahuan yang diperlukan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu.
Tafsir adalah rangkaian penjelasan dari suatu pembicaraan atau teks, dalam hal ini adalah Al-Qur'an atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur'an.
*5. Menurut Al-Jurjani*
Tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun asbabun nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukkan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
*6. Menurut Al-Maturidi*
Tafsir merupakan penjelasan yang pasti dari maksud satu lafal dengan persaksian bahwa Allah bermaksud demikian dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti melalui para periwayat yang adil dan jujur.
Kata tafsir hanya dijumpai satu kali dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat al-Furqan ; 33 :
ولا يأتونك بمثل إلا جئناك باالحق وأحسن تفسيرا (الفرقان : 33)
"Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (dengan membawa) suatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasan ". (al-Furqan ; 33)
Dari pengertian di atas, tafsir dan ilmu tafsir itu sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat dari :
1. Tafsir adalah penjelasan atau keterangan tentang Al-Qur'an. Ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana cara menerangkan atau menafsirkan aA-Qur'an.
2. Ilmu tafsir adalah sarana atau alatnya. Sedangkan tafsir adalah produk yang dihasilkan oleh ilmu tafsir.
Dalam Al-Qur'an, kata “tafsir” diartikan sebagai “penjelasan”, hal ini sesuai dengan lafal tafsir yang terulang hanya satu kali, yakni dalam (QS. Al-Furqan [25]: 33)
Tafsir diambil dari riwayat dan dirayat, yakni ilmu lughat, nahwu, sharaf, ilmu balaghah, ushul fiqh dan dari ilmu asbabun nuzul, serta nasikh mansukh.
*Hukum Mempelajari Ilmu Tafsir*
Mempelajari ilmu tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah,
كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad : 29)
Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata, “Di dalam petunjuk Allah Ta’ala epada hamba-hamba-Nya agar mereka mengambil ibroh dari ayat-ayat Al-Qur’an terpadat perintah yang mewajibkan mereka mengetahui tafsir ayat-ayat yang mampu diketahui oleh manusia.” (Tafsir Thobari: 1/161).
Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Sungguh seseorang di antara kami (sahabat) jika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Qur’an tidak akan melampauinya sampai dia mengetahui maknanya dan mengamalkannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad yang shahih).
Sa’id bin Jubair ra. berkata, “Barangsiapa membaca Al-Qur’an kemudian tidak tahu tafsirnya, maka seakan-akan dia seperti orang buta atau orang badui (Arab gunung).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad hasan.
Dan Juga Firman-Nya :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? ” (QS. Muhammad : 24)
Tujuan dari mempelajari tafsir, ialah :memahamkan makna-makna Al-Qur’an, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, akhlaq-akhlaqnya, dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka dengan demikian nyatalah bahwa, faidah yang kita dapati dalam mempelajari tafsir ialah : “terpelihara dari salah dalam memahami Al-Qur’an”.
Sedangkan maksud yang diharap dari mempelajarinya, ialah : “mengetahui petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, hukum-hukumnya degan cara yang tepat”.
*Perhatian Para Ulama Terhadap Ilmu Tafsir Al-Quran*
Para ulama sangat mencurahkan perhatian mereka kepada ilmu Al-Quran. Dan salah satu bentuk perhatian mereka adalah menulis kitab-kitab tentang tafsir dan menjelaskan makna-makna yang terkandung di dalam Al-Quran. Mereka menarik kesimpulan hukum dan faedah dari ayat-ayatnya sesuai dengan kadar ilmu, iman, dan takwa yang telah Allah berikan kepada mereka.
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin seorang ulama wahabi juga menjelaskan : “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan untuk tiga perkara, yaitu: beribadah dengan membacanya, menghayati makna-maknanya, dan mengamalkan isinya. Oleh karena itu, para sahabat tidaklah beranjak dari 10 ayat yang telah mereka pelajari, hingga mereka mempelajari kandungan dari ayat-ayat tersebut. Mereka mengatakan, ’kami mempelajari Al-Qur’an tentang ilmu dan amal sekaligus’.” (Syarh Muqoddimah Tafsir, hal. 7)
Tafsir bil ma’tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata, “Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf”.
*Ilmu Tafsir memiliki beberapa metode*
*1. Metode Tahlili (analitik)*
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.
*2. Metode Ijmali (global)*
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.
*3. Metode Muqarran*
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
*4. Metode Maudhui (tematik)*
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
*Kesimpulan :*
Al-Qur’an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan Al-Qur’an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari deperlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kehendak tujuan ayat Al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simpel dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yg lainnya.
Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil, dimana segala sesuatu yg berhubungan dengan ayat, surat, asbabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yg bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah Ta’ala tersebut. Wallahu a’lam bis-Shawab
Demikian Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menyampaiakan dalam kajiannya semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق
Jumat, 13 Oktober 2017
HUKUM SEWA MENYEWA (IJAROH)
Pada masa sekarang ini semakin banyak muncul masalah dalam bidang muamalah. Dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka masalah pun semakin kompleks, khususnya dalam bidang fiqhiyah. Untuk menyikapi kondisi yg seperti ini, kita dituntut untuk dapat berfikir secara logis serta tetap konsisten memegang teguh dasar2 agama Islam.
Manusia sebagai makhluk social yg tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, juga senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan muamalah. Praktek muamalah yg sering dilakukan diantaranya jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan praktek muamalah kita tak hanya menggunakan rasio akal tapi juga tetap berpegang pada Al-Qur’an dan hadist sebagai dasarnya.
Salah satu bentuk muamalah yg akan sy bahas dalam artikel ini adalah sewa menyewa. Sewa menyewa menjadi praktek muamalah yg masih banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Untuk itu, sangat penting untuk membahas secara rinci tentang pengertian, hukum, dasar hukum, rukun, syarat, serta hal2 yg diperdebatkan oleh ulama tentang sewa menyewa agar manusia menjadi semakin mantap dengan akad sewa menyewa yg sering dilakukan dalam kehidupannya.
Secara etimologis, kata ijarah berasal dari kata ajru yg berarti ‘iwadh (pengganti). Oleh karena itu, tsawab (pahala) disebut juga dengan ajru (upah). Dalam syari’at Islam sewa menyewa dinamakan ijarah yaitu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.
Kalau dalam kitab2 fiqh kata ijarah selalu diterjemahkan dengan “sewa menyewa” maka hal tersebut jangan diartikan menyewa barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi dipahami dalam arti luas. Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yg berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jadi menjual manfaatnya bukan bendanya.
Ahli fiqih dalam berbagai madzhab telah menegaskan bahwa akad sewa-menyewa adalah akad yg dibenarkan dalam syari’at. Dan bahkan ia termasuk satu akad yg telah dijalankan oleh para nabi sejak zaman dahulu kala. Sebagai buktinya simaklah firman Allah Ta’ala berikut :
لَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang2 yg baik".[Al-Qashash ; 27]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menjalankan akad ini, diantaranya ketika berhijrah, beliau menyewa seorang lelaki dari Bani Diel, sebagai penunjuk jalan dari kota Makkah menuju ke kota Madinah. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan juga ulama lainnya, terlebih yg menuliskan siroh beliau.
Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Seluruh ulama di berbagai belahan bumi dan juga ulama2 generasi pertama umat, Islam sepakat untuk membolehkan akad sewa-menyewa.” [Bidayatul Mujtahid 2/220]
Secara logika, akad sewa adalah solusi tepat bagi terjadinya hubungan yg adil antara pemilik barang dengan penggunanya. Pemilik barang mendapatkan imbalan atas kegunaan barangnya, sebagaimana penyewa berhak mendapatkan kegunaan barang sewaannya dalam batas waktu yg disepakati.
Andai pemilik barang dipaksa meminjamkan barangnya kepada yg membutuhkan tanpa ada imbalan sedikit pun, tentu ini sangat menyusahkannya. Sebagaimana ide ini mendorong masyarakat untuk bersikap malas, karena merasa memiliki peluang untuk menggunakan barang milik orang lain.
Sebaliknya pun demikian, bila setiap orang diwajibkan memiliki barang, dan tidak boleh menyewa, tentu sangat merepotkan. Betapa banyak orang yg tidak mampu memiliki rumah, kendaraan, berbagai peralatan, dan lainnya secara sendiri. Tentu kondisi semacam ini sungguh menyulitkan kebanyakan orang. Dengan demikian, terbuktilah bahwa akad sewa-menyewa adalah solusi tepat terwujudnya hubungan yg adil antara pemilik barang dan penyewa.
Telah dikemukakan di muka bahwa sewa-menyewa adalah sarana pertukaran kepentingan antara pemilik barang dengan penyewa. Dengan membayar sejumlah imbalan penyewa berhak memanfaatkan barang, sedang sebagai imbalannya pemilik barang mendapatkan uang.
Sebagai konsekuensinya, untuk dapat menjalankan akad ini dengan benar, kita harus mengenal apa saja yg boleh kita jadikan sebagai “uang sewa”. Secara garis besar, ulama ahli fiqih telah menjelaskan bahwa yg dapat Anda jadikan sebagai “uang sewa” ialah segala harta yg dapat kita perjualbelikan. Dengan demikian, berbagai persyaratan yg telah kita ketahui tentang barang yg boleh diperdagangkan berlaku pada barang yang hendak kita jadikan sebagai “uang sewa”.
Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Adapun kententuan barang yg dapat dijadikan sebagai ‘uang sewa’ ialah segala benda yg dapat diperjual belikan, maka boleh dijadikan sebagai ‘uang sewa’.” [Bidayatul Mujtahid 2/220]
Sebagai salah satu aplikasi langsung dari ketentuan ini, maka para ulama mengharuskan adanya kejelasan “uang sewa”. Dengan adanya kejalasan pada “uang sewa” baik nominal ataupun tempo pembayarannya, diharapkan tidak terjadi persengketaan.
عَنْ حَنْظَلَةُ بْنُ قَيْسٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَاْسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَاذِ يَاتِ وَأَقْبَالِ الجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَالزَّرْعِ فَيَهْلِكُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهْلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَبَأْسَ بِهِ
"Hanzhalah bin Qais al-Anshari mengisahkan: Aku pernah berrtanya kepada Rafi’ bin Khadij Radhiyallahu anhu perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak (dinar dan dirham). Maka beliau menjawab, “Tidak mengapa. Sejatinya dahulu semasa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang ‘sewa uang’ berupa hasil tanaman yg tumbuh di dekat sungai, parit, dan hasil tumbuhan tertentu. Dan ketika musim panen tiba, bisa jadi tanaman bagian ini rusak sedangkan bagian ini utuh sedangkan bagian itu rusak. Kala itu tidak ada penyewaan ladang kecuali dengan cari ini, karena itu mereka dilarang menyewakan ladangnya. Adapun menyewakan ladang dengan ‘uang sewa’ yg telah jelas nan pasti maka tidak mengapa.” [Riwayat Muslim hadits no. 4034]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukilkan dari sebagian ulama yg menjelaskan bahwa hadits di atas menjadi dalil kuat bolehnya menyewakan ladang dengan “uang sewa” berupa emas, perak, segala bentuk bahan makanan dan benda lainnya asalkan jelas jumlahnya. Menurut mereka, segala barang yg dapat dijadikan sebagai “pembayaran” dalam akad jual beli, maka boleh dijadikan “uang sewa” dalam penyewaan ladang. Ketentuan ini berlaku selama barang tersebut tidak mengandung unsure gharar (ketidakpastian) [At-Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr 3/40]
Adapun barang yg menjadi objek akad sewa ketentuannya adalah peryama barangnya harus halal.
Akad sewa-menyewa sejatinya adalah salah satu bentuk akad jual-beli, hanya saja yg diperjualbelikan ialah kegunaan barang dan bukan fisik barangnya. Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Akad sewa-menyewa sejatinya adalah jual beli, dengan demikian setiap orang yg dibenarkan untuk berjual beli maka ia pun boleh untuk sewa-menyewa.” [At-Tanbih: 122]
Berangkat dari fakta ini, tidak diragukan bahwa barang2 haram dalam syari’at, semisal babi, anjing, dan yg serupa dengannya tidak halal diperjualbelikan, baik fisiknya maupun kegunaanya.
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
”Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Dia mengharamkan pula atas mereka hasil penjualannya.” [Riwayat Ahmad 1/247 dan Abu Dawud hadits no. 3490]
Keumuman hadits ini mencakup hasil penjualan fisik barang haram, dan juga penjualan fungsinya melalui akad sewa-menyewa.
Ketentuan Kedua: Disewa Untuk Tujuan Yang Halal
Harta benda dan segala yg ada pada diri Anda adalah nikmat dan karunia Allah Azza wa Jalla. Sebagai konsekuensinya, Anda berkewajiban untuk menggunakannya dengan cara2 yg benar dan dalam batasan yg dibenarkan pula. Dengan demikian, segala nikmat Allah Ta’ala yg Anda miliki dapat menunjang terlaksananya peribadatan Anda kepada Allah Azza wa Jalla.
Anda bisa bayangkan, betapa indahnya hidup Anda bila Anda benar2 menggunakan segala karunia Allah Azza wa Jalla guna menunjang peribadatan Anda.
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِح
“Sebaik-baik harta halal adalah harta yg dimiliki oleh orang yang shalih.” [Riwayat Ahmad 4/197]
Berangkat dari prinsip ini, ulama ahli fiqih telah menegaskan akan keharaman menyewakan barang atau diri Anda untuk bekerja dalam hal-hal yg melanggar syari’at.
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشْرَةً عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُلَهُ
“Berkaitan dengan khamar, Rasulullah Shllallahu ‘alaihi wa sallam melaknati sepuluh kelompok orang: pemerasnya, orang yg meminta untuk diperaskan, peminumnya, pembawanya (distrbutornya), orang yg dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yg menyajikan), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yg dibelikan untuknya.” [Riwayat at-Tirmidzi hadits no. 1295 dan Ibnu Majah: 3381]
Di antara bentuk sewa-menyewa (jual jasa) yg diharamkan dalam Islam ialah menyewakan biduanita untuk mendengarkan lagu. Kepastian hukum ini selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَتَبِيْعُوا الْقَيِّنَاتِ وَلاَ تَشْتَرُوْهُنَّ وَلاَ تُعَلِّمُوْهُنَّ وَلاَ خَيْرَفِي تِجَارَةٍ فِيْهِنَّ وَثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ
“Janganlah kalian menjual biduanita, jangan pula kalian membeli mereka. Sebagaimana jangan pula kalian mengajarkan mereka untuk benyanyi. Tidak ada baiknya memperdagangkan biduanita dan sudah barang tentu hasil penjualannya haram.” [Riwayat at-Tirmiczi hadits no. 1282]
Diantara bentuk sewa-menyewa yg diharamkan dalam Islam ialah menyewakan jasa perdukunan dan perzinaan. Padahal Anda pasti mengetahui bahwa Islam membolehkan menyewa seorang wanita atau lelaki untuk suatu pekerjaan yang halal. Sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ، وَمَهْرِ الْبَغِىَ
“Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, upah perdukunan, dan perzinaan.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2122]
Demikianlah saudaraku! Setiap orang yang memiliki andil langsung atau tidak dalam perbuatan keji atau mungkar akan mempertanggungjawabkan perbuatannya baik di dunia maupun di akhirat. Yang demikian itu karena setiap pelaku kemungkaran, bila tidak mendapatkan dukungan dari seluruh orang yg ada disekitarnya, tentu tidak akan kuasa menjalankan kemungkarannya. Dan sebagai orang yg beriman, tentu Anda benci terhadap segala bentuk andil dalam kemungkaran. Wallohu a'lam bis-Showab
Bagaimana dengan penyewaan villa di Puncak sebagaimana gambar hehehe...... just kidding
Kamis, 12 Oktober 2017
EDISI KHUTBAH JUM'AT (Tiga Sifat Manusia)
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي امْتَنَّ عَلَى الْعِبَادِ بِأَنْ يَجْعَلَ فِي كُلِّ زَمَانِ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، يَدْعُونَ مَنْ ضَلَّ إِلَى الْهُدَى، وَيَصْبِرُونَ مِنْهُمْ عَلَى الأَذَى، وَيُحْيُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ أَهْلَ الْعَمَى، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى :أعوذ بالله من الشيطان الرجيم . وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مّمّن دَعَآ إِلَى اللّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
*Hadirin Jama’ah Jum’at di mulikan Allah*
Di dalam al-Qur’an ada tiga binatang kecil diabadikan ileh Allah menjadi nama surah, yaitu al-Naml ( semut), al-‘Ankabut (laba-laba), dan al-Nahl (lebah). Ketiga binatang ini masing-masing memiliki karakter dan sifat, sebagimana digambarkan oleh al-Qur’an. Dan hal itu patut dijadikan pelajaran oleh manusia
Semut memiliki sifat suka menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa henti-hentinya. Konon, binatang ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun sedangkan usianya tidak lebih dari satu tahun. Kelobaanya sedemikian besar sehingga ia berusaha memikul sesuatu yang lebih besar dari badannya, meskipun sesuatu tidak itu tidak berguna baginya.
*Hadirin Sidang Jum’at yang dimuliakan Allah*
Lain halnya dengan laba-laba, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an bahwa sarang laba-laba adalah tempat yang paling rapuh,
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui." (QS. Al-Ankabut : 41)
Ia bukan tempat yang aman, apa pun yang berlindung di sana atau disergapnya akan binasa. Jangankan serangga yang tidak sejenis, jantannya pun setelah selesai berhubungan disergapnya untuk dimusnahkan oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan hingga dapat saling memusnahkan.
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa di dalam masyarakat atau rumah tangga yang keadaannya seperti laba-laba; rapuh, anggotanya saling tindih-menindih, sikut menyikut seperti anak laba-laba yang baru lahir. Kehidupan ayah dan ibu serta anak-anak tidak harmonis, antara pimpinan dan bawahan saling curiga.
*Sidang Jum’at Yang Dimuliakan Allah*
Akan halnya dengan lebah, memiliki insting yang sangat tinggi, oleh al-Qur’an digambarkan sebagimana dalam Firmannya :
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ(68)ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”. kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan." (QS. An-Nahl : 68-69).
Sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau empat agar tidak terjadi pemborosan dalam lokasi. Yang dimakannya adalah kembang-kembang dan tidak seperti semut yang menumpuk-numpuk makanannya, lebah mengolah makanannya dan hasil olahannya itulah menjadi lilin dan madu yang sangat bermanfaat bagi manusia untuk dijadikan sebagai penerang dan obat. Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja dan segala yang tidak berguna disingkirkan dari sarangnya. Ia tidak mengganggu yang lainnya kecuali yang mengganggunya, bahkan kalaupun menyakiti (menyengat) sengatannya dapat menjadi obat.
Oleh karenanya, wajarlah kalau Nabi mengibaratkan orang mukmin yang baik seperti lebah, sebagaimana dalam sabdanya:
قال رسول الله صم : مثل المؤمن مثل النحلة لا تأكل إلا طيبا ولا تضع إلا طيبا وإن وقعت فى شئ لا تكسر.
Rasulullah bersabda: Perumpaan seorang mukmin adalah seperti lebah. Ia tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang baik, dan bila berada pada suatu tempat tidak merusak”
*Hadirin Jama’ah Jumat Yang Dimuliakan Allah*
Dalam kehidupan kita di dunia ini contoh-contoh di atas seringkali diibaratkan dengan berbagai jenis binatang. Bahkan kalau manusia tidak mengetahui posisinya sebagai makhluk yang memiliki aturan dalam hal ini petunjuk-petunjuk agama bisa saja menempati posisi lebih rendah dari binatang bahkan lebih sesat dari binatang.
Jelas ada manusia yang berbudaya semut, yaitu suka menghimpun dan menumpuk materi atau harta (tanpa disesuaikan dengan kebutuhan. Menumpuk-numpuk harta tanpa ada pemanfaatan dalam agama (dalam bentuk zakat dan sadaqah) tidak sedikit problem masyarakat bersumber dari budaya tersebut. Pemborosan adalah termasuk budaya tersebut di atas yaitu hadirnya berbagi benda baru yang tidak dibutuhkan dan tersingkirnya benda-benda lama yang masih cukup bagus untuk dipandang dan bermanfaat untuk digunakan. Dapat dipastikan bahwa dalam masyarakat kita, banyak semut-semut yang berkeliaran.
Di dalam al-Qur’an dijelaskan tentang sekelompok manusia yang akan tersiksa di akhirat, karena mereka bekerja keras tanpa mempertimbangkan akibat buruknya:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ(2)عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ(3)تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً(4)تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ ءَانِيَةٍ
“banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas diberi minum (dengan air) dari sumer yang sangat panas”
Menurut riwayat ayat di atas menunjuk kepada sekelompok manusia yang dalam kehidupan dunia melakukan kegiatan yang menjadikan badan mereka letih dan capek, tetapi kegiatan mereka tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, yaitu yang bersangkutan lengah dari kewajiban keagamaannya. Mereka menjadi budak harta, tergila-gila dengannya sehingga melupakan segala sesuatu, sehingga di akhirat mereka masuk ke dalam neraka.
Entah berapa banyak jumlah laba-laba yang ada disekitar kita, yaitu mereka yang tidak lagi butuh berpikir apa, di mana, dan kapan ia makan, tetapi yang mereka pikirkan adalah siapa yang mereka jadikan mangsa, siapa lagi yang akan ditipu, dan bagimana cara mengambil hak orang.
*Hadirin Sidang Jum’at yang dirohmati Allah*
Demikian pula di dalam masyarakat kita berapa banyak manusia-manusia lebah, tidakkah lebih banyak manusia-manusia semut atau manusia laba-laba. Manusia lebah itu adalah mereka yang tidak boros, tidak suka makan atau mengambil haknya orang, yang dimakannya adalah saripati bunga, dan ketika mengambil saripati itu tidak menjadikan bungan itu rusak atau tidak menjadi buah.
Itulah gambaran orang mukmin yang baik tidak memakan makanan yang haram, mengambil uang negara untuk kepentingan diri sendiri. Kemudian apa yang keluar dari mulutnya bukan sesuatu yang menyakiti persaaan tetapi sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan. Dan bila berada pada suatu tempat atau daerah tidak menjadi pengacau dan penyebab kericuhan. Tetapi justru kehadirannya sangat diharapkan oleh orang banyak.
Oleh karenanya, dalam kesempatan ini marilah kita merenungkan dan mencontoh sifat-sifat yang dimiliki oleh lebah itu, tidak menconoth sifat-sifat semut dan laba-laba, sehingga kita dapat mendapatkan nikmatnya kehidupan di dunia ini, lebih-lebih nikmatnya kehidupan yang abadi di akhirat nanti yaitu surga. Aamiin.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم
وسارعوا إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموات والأرض أعدت للمتقين
بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى وإياكم من الآيات والذكر الحكيم وتقبل منى ومنكم إله هو الغفور الرحيم
*Khutbah Kedua*
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Langganan:
Postingan (Atom)