Islam mengajarkan agar suatu kaum mengurus jenazah anggotanya yang wafat. Jenazah Muslim hukumnya fardhu kifayah untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, hingga dikuburkan. Allah Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya bahwa manusia harus dikuburkan saat meninggal dunia.
ثُمَّ أَمَاتَهُۥ فَأَقْبَرَهُۥ
"Kemudian, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur." (QS. Abasa : 21)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ بَيْنَا رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ أَوْ قَالَ فَأَقْعَصَتْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ أَوْ قَالَ ثَوْبَيْهِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُلَبِّي
Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata, "Ada seorang laki-laki ketika sedang wukuf bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di 'Arafah terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga ia terinjak" atau dia Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata, "Hingga orang itu mati seketika". Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mandikanlah dia dengan air dan (air) yang dicampur daun bidara dan kafanilah dengan dua helai kain, Atau Beliau berkata, dengan dua helai pakaian (ihram) nya dan janganlah diberi wewangian dan jangan pula diberi tutup kepala (serban) karena dia nanti Allah akan membangkitkannya pada hari qiyamat dalam keadaan bertalbiyyah". (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
وقال الإمام الشافعي رحمه الله : (حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لا يسع عامتهم، وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية أجزأ إن شاء الله تعالى). الأم (1/312).
"Berkata Imam As-Syafi'i rahimahullah, "Kewajiban manusia atas mayit adalah memandikan, (mengkafankan), menshalatkan dan meeguburkannya. Dan apabila seseorang dari mereka telah melakukan hal itu maka cukuplah insya Allah mendapat pahala." (Al-Umm : 1 hal. 312)
Dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Prosedur ini dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dalam syariat Islam. Namun dalam keadaan darurat, di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat di atas maka pengurusan jenazah dilakukan dengan cara darurat. Sebagai contoh keadaan dharurat adalah jenazah mutilasi, meninggal karena wabah menular seperti tha'un, korban corona (covid 19), mati yang tidak ketahuan dan tenggelam yang sudah membusuk, atau terbakar, mereka tetap dimandikan bila memungkinkan.
يجب تغسله كما يغسل غيره إذا أمكن ذلك ، فإن لم يمكن فإنه يُيمّم ، لأن التيمم يقوم مقام التغسيل بالماء عند العجز عن ذلك .
"Wajib untuk memandikannya sebagaimana jenazah yang lainnya jika memungkinkan. Namun apabila tidak memungkinkan untuk memandikannya maka ditayamumi. Karena tayamum bisa menggantikan kedudukan pemandian jenazah dengan air yang tidak bisa dilakukan."
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang pengurusan jenazah dalam keadaan darurat. Fatwa tersebut lahir pada 31 Desember 2004 setelah bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2004 silam. Untuk kondisi darurat tersebut, MUI pun berfatwa bahwa jenazah boleh tidak dimandikan saat hendak dikubur. Tapi, apabila memungkinkan, sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah. Meski kafan darurat itu terkena najis.
Tak hanya itu, menurut MUI, mayat boleh dishalatkan sesudah dikuburkan meski dari jarak jauh (shalat ghaib). Boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu'tamad (pendapat yang kuat). Jenazah pun wajib segera dikuburkan. Pemakaman tersebut bisa dilakukan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas. Meski terdiri atas satu atau beberapa liang kubur. Tak hanya itu, dalam kondisi seperti tsunami Aceh, mayat tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.
Terkait cara memandikan dan mengkafani jenazah dharurat korban mutilasi, berikut keterangan ulama madzahb Syafi'i,
Kewajiban kita masih tetap sama dengan janazah lainnya, mengkafani, menshalati dan menguburkannya hanya dalam masalah memandikan diganti dengan tayammum.
قال النووي رحمه الله : إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غسل لتهرى لم يغسل بل ييمم، وهذا التيمم واجب لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة، فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء إلى التيمم
Imam an-Nawawi rahimahullah menulis, “Apabila tidak memungkinkan untuk memandikan jenazah lantaran langkanya air ataupun jenazah terbakar, maka jenazah tak perlu dimandikan, tetapi cukup ditayamumi. Tayamum ini wajib. Sebab ia adalah upaya mensucikan yang tidak berhubugan dengan menghilangkan najis, sehingga wajib beralih kepada tayamum saat tidak memungkinkan menggunakan air.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, 5/128)
(وَيَلْزَمُ) عَلَى طِرِيْقِ فَرْضِ الْكِفَايَةِ (فِي الْمَيِّتِ)… الْمُسْلِمِ غَيْرِ الْمُحْرِمِ وَالشَّهِيْدِ (أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ غُسْلُهُ وَتَكْفِيْنُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَيْهِ وَدَفْنُهُ ) (قَوْلُهُ غُسْلُهُ) أَيْ أَوْ بَدُلُهُ وَهُوَ التَّيَمُّمُ كَمَا لَوْ حُرِقَ بِالنَّارِ وَكَانَ لَوْ غُسِلَ تَهَرَّى .
"Dan wajib menurut secara fardlu kifayah pada mayat yang muslim selain orang yang mati dalam keadaan ihram dan mati syahid (dalam pertempuran membela agama) empat perkara, yaitu: memandikannya, mengkafaninya, melakukan shalat atasnya dan menguburnya. Ucapan pengarang: memandikannya, artinya atau penggantinya, yaitu tayammum, sebagaimana andaikata mayat yang terbakar oleh api dan andaikata dimandikan maka dagingnya terlepas dari tubuhnya." (Al-Bajuri 1/ 242 – 243).
وَإِنْ كان بِحَيْثُ لو غُسِّلَ تَهَرَّى لِحَرْقٍ أو نَحْوِهِ يُمِّمَ بَدَلَ الْغُسْلِ لِعُسْرِهِ
“Apabila janazah dalam keadaan rusak karena terbakar atau lainnya yang andai di mandikan kulitnya akan terkelupas maka janazah tersebut ditayammumi sebagai pengganti dari mandi karena sulitnya melaksanakan pemandian”. (Asna al-Mathalib I/305).
وَلَوْ وُجِدَ جُزْءُ مَيِّتٍ مُسْلِمٍ غَيْرِ شَهِيدٍ صُلِّيَ عَلَيْهِ بَعْدَ غُسْلِهِ وَسُتِرَ بِخِرْقَةٍ وَدُفِنَ كَالْمَيِّتِ الْحَاضِرِ ، وَإِنْ… كَانَ الْجُزْءُ ظُفْرًا أَوْ شَعْرًا لَكِنْ لَا يُصَلَّى عَلَى الشَّعْرَةِ الْوَاحِدَةِ
قَوْلُهُ : ( وَلَوْ وُجِدَ جُزْءُ مَيِّتٍ ) أَيْ تَحَقَّقَ انْفِصَالُهُ مِنْهُ حَالَ مَوْتِهِ أَوْ فِي حَيَاتِهِ وَمَاتَ عَقِبَهُ فَخَرَجَ الْمُنْفَصِلُ مِنْ حَيٍّ وَلَمْ يَمُتْ عَقِبَهُ إذَا وُجِدَ بَعْدَ مَوْتِهِ فَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَيُسَنُّ مُوَارَاتُهُ بِخِرْقَةٍ وَدَفْنُهُ .اهـ .
"Bila diketemukan bagian dari janazah orang muslim maka wajib di sholati setelah terlebih dahulu dimandikan dan dibungkus dengan kain, dan juga dikuburkan selayaknya janazah yang hadir, meskipun bagian tersebut hanyalah kuku atau rambut hanya saja bila hanya sehelai rambut tidak perlu disholati.
(Perkataan pengarang “Bila di ketemukan bagian dari janazah orang muslim”) dengan syarat bila diketahui pasti anggota tersebut milik mayit saat ia sudah mati/saat matinya, atau saat hidupnya kemudian mati setelahnya, berbeda dengan bagian tubuh yang terpisah dari orang hidup namun ia tidak mati setelah anggautanya terpisah dan baru diketemukan saat ia mati maka tidak wajib disholati”. [ Hasyiyah Bujairami VI/98, I/455 ].
Menurut ulama madzhab Hambali,
قال ابن قدامة رحمه الله : ( والمجدور , والمحترق , والغريق , إذا أمكن غسله غسل , وإن خيف تقطعه بالغسل صب عليه الماء صبا , ولم يمس , فإن خيف تقطعه بالماء لم يغسل , وييمم إن أمكن , كالحي الذي يؤذيه الماء , وإن تعذر غسل الميت لعدم الماء ييمم , وإن تعذر غسل بعضه دون بعض , غسل ما أمكن غسله , وييمم الباقي , كالحي سواء ) انتهى من المغني 2/209
"Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Jenazah yang terkena virus penyakit berbahaya, orang yang terbakar, dan orang yang tenggelam, jika memungkinkan untuk dimandikan maka harus dimandikan. Namun jika ada halangan lainnya, maka boleh untuk melakukan tayamum bagi si jenazah. Jika tidak didapati air, jenazah ditayamumi. Jika penggunaan air pada sebagian anggota tubuh tidak memungkinkan, maka yang memungkinkan dimandikan/disiram air sedangkan untuk yang tidak terkena siraman air maka jenazah ditayamumi." (Al-Mughni, 2/209).
Adapun menurut ulama madzhab Hanafi adalah,
1. Imam Burhanudin Ibnu Mazah mengatakan,
وإن أوجد شيئاً من أطراف ميت كيد أو رجل أو رأس لم يغسل ولم يصلِ عليه، ولكنه يدفن
"Jika hanya ditemukan potongan tubuh mayit, seperti tangan atau kaki, atau kepala saja, dia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, namun langsung dimakamkan."
Kemudian beliau menyebutkan keterangan dari Imamnya, disebutkan oleh al-Hasan bin Ziyad dari Abu Hanifah, beliau mengatakan,
إذا وجد أكثر البدن غسل وكفن وصلي عليه ودفن. وإن كان نصف البدن، ومعه الرأس غسل وصلي عليه ودفن
"Jika ditemukan potongan tubuh mayat yang lebih utuh, dia dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan. Dan jika ditemukan separoh jasad dan ada kepalanya maka dikafani, dimandikan, dishalati, dan dimakamkan."
Beliau juga mengatakan,
وإن كان مشقوقاً نصفين طولاً، فوجد منه أحد النصفين لم يغسل، ولم يصلِ عليه، ولكنه يدفن لحرمته، وإن كان نصف البدن بلا رأس غسل، ولم يصلِ عليه. وإن كان أقل من نصف البدن ومعه الرأس غسل وكفن ودفن ولا يصلى عليه
“Jika terbelah memanjang separoh, dan ditemukan hanya separohnya, maka tidak dimandikan, tidak dishalati, namun dikubur dalam rangka memuliakan jasadnya. Jika ditemukan separoh jasad melintang tanpa kepala maka dimandikan dan tidak dishalati. Jika kurang dari separoh jasad dan ada kepalanya, dia dimandikan, dikafani, dikuburkan dan tidak dishalati.” (al-Muhith al-Burhani, 2:364).
2. Keterangan dalam Hasyiyah Ibn Abidin,
لو وجد طرف من أطراف إنسان أو نصفه مشقوقا طولا أو عرضا يلف في خرقة إلا إذا كان معه الرأس فيكفن
“Jika ditemukan potongan anggota badan manusia atau ditemukan separoh badan terbelah memanjang atau melintang, cukup dibungkus dengan kain (tidak dimandikan), kecuali jika ada kepalanya maka dia dikafani.” (ar-Raddul Mukhtar, 2:222).
Dari beberapa keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan,
1. Potongan jasad mayat, ada yang disikapi sebagai layaknya manusia utuh dan ada yang disikapi bukan sebagai manusia.
2. Potongan jasad yang disikapi sebagaimana layaknya manusia, wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan sebagaimana layaknya jenazah. Sebaliknya, potongan jasad yang tidak disikapi sebagaimana layaknya manusia, tidak dimandikan dan tidak dishalati, tapi cukup dibungkus dengan kain dan dikuburkan.
3. Potongan yang disikapi sebagai jasad manusia utuh:
- Potongan jasad mayat yang lebih dari separoh, meskipun tanpa kepala
- Potongan kurang dari separoh badan bersama kepala
4. Potongan yang disikapi BUKAN sebagai jasad manusia utuh
- Hanya potongan anggota badan, seperti tangan, kaki
- Hanya potongan separoh tanpa kepala. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar