Beberapa waktu yang lalu paska pilpres 2019 lini masa media sosial sempat viral dengan video "Mubahalah" Nur Sugi Raharja yang akhirnya tenggelam oleh video atau berita yang lebih heboh dan viral lainnya. Nur Sugi Raharja ini oleh banyak kalangan disebut Dus Nur karena sebutan "Gus Nur" yang sempat dilekatkan padanya dinilai tidak layak. Tidak layak disebut Gus karena bukan putra kyai, tidak lahir dari seorang ulama, dan yang lebih membuat tidak layak menyandang gelar "Gus" adalah isi ceramahnya yang tidak mencerminkan ilmu & akhlak islami. Sugi Nur yang pernah melakukan mubahalah dengan sangat emosional melaknat orang-orang di sekeliling Presiden Jokowi. Lantas bagaimana studi keIslaman melihat hal tersebut?
Mubahalah dalam Islam dikenal dan pernah terjadi di zaman Rasul, saat diskusi antara Rasul dengan orang Nasrani perihal kedudukan Isa AS. Dan diabadikan dalam QS. Ali Imran ayat 59-61. Mubahalah itu diajukan Rasulullah kepada kaum Nasrani, dan dilakukan untuk urusan agama untuk kepentingan yang fundamental, menyatakan kebenaran, bukan urusan duniawi dan hawa nafsu serta niatnya tulus. Bukan untuk menggapai kemenangan semata.
Menurut bahasa kata mubahalah [arab: المباهلة] turunan dari kata al-Bahl [arab: البَهْل] yang artinya laknat. Dalam Lisan al-Arab dinyatakan,
البَهْل: اللعن، وبَهَله الله بَهْلاً أي: لعنه، وباهل القوم بعضهم بعضاً وتباهلوا وابتهلوا: تلاعنوا، والمباهلة: الملاعنة.
"Al-Bahl artinya laknat. Kalimat ‘bahalahullah bahlan’ artinya Allah melaknatnya. Kalimat ‘baahala al-qoumu ba’dhuhum ba’dha’ artinya saling melaknat satu sama lain. Al-Mubahalah berarti Mula’anah (saling melaknat)."
Memurut istilah adalah,
أَن يجتمع القوم إِذا اختلفوا في شيء فيقولوا لَعْنَةُ الله على الظالم منا
"Berkumpulnya sekelompok dalam rangka ketika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, lalu mereka berdoa: Semoga laknat Allah atas orang yang zalim di antara kita. (Lisan al-Arab, 11/71)
Imam Ar-Raghib al-Asfahani seorang pakar tata bahasa arab mengatakan,
والبهل والابتهال في الدعاء الاسترسال فيه، والتضرع؛ نحو قوله ـ عز وجل ـ: {ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ} [آل عمران: 61]، ومن فسر الابتهال باللعن فلأجل أن الاسترسال في هذا المكان لأجل اللعن
Al-Bahl dan Ibtihal dalam doa, artinya bersungguh-sungguh tanpa batas dalam berdoa. Seperti disebutkan dalam firman Allah, (yang artinya), “Kemudian kita melakukan ibtihal, dan kita tetapkan laknat Allah untuk orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran: 61). Ulama yang menafsirkan ibtihal dengan laknat karena umumnya orang lepas kontrol ketika itu, disebabkan melakukan laknat. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 63).
Mubahalah termasuk salah satu metode dakwah yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Metode ini digunakan untuk melawan orang kafir dan orang musyrik yang bersikap sombong, dengan tidak mau menerima kebenaran, tetap kukuh di atas kebatilan dan kesesatan. Padahal telah disampaikan dalil-dalil yang sangat jelas, yang menunjukkan kesesatannya.
Imam Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Ibnu Ishaq dalam sirahnya, bahwa suatu ketika kota Madinah kedatangan tamu orang-orang nasrani dari daerah Najran. Diantara mereka ada 14 orang yang merupakan pemuka dan tokoh agama di Najran. dari 14 orang itu, ada 3 orang yang menjadi tokoh sentral: Aqib, gelarnya Abdul Masih. Dia pemuka kaum, yang memutuskan hasil musyawarah masyarakat. as-Sayid, dia pemimpin rombongan. Nama aslinya al-Aiham. Dan yang ketiga Abul Haritsah bin Alqamah. Dulunya orang arab, kemudian pindah ke Najran dan menjadi uskup di sana.
Ketika mereka sampai di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melaksanakan shalat asar. Mereka kemudian masuk masjid dan shalat dengan menghadap ke timur.
As-Sayid dan Aqib menjadi jubir mereka di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قال لهما رسول الله صلى الله عليه وسلم : " أسلما "
“Kalian mau masuk islam?” tanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قالا قد أسلمنا
Mereka menjawab, "Kami telah masuk islam,"
قال : " إنكما لم تسلما فأسلما "
"Sungguh kalian berdua belum masuk islam, berislamlah kalian," Sanggah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
قالا بلى ، قد أسلمنا قبلك
“Kami telah masuk islam sebelum kamu.” Jawab mereka.
قال : " كذبتما ، يمنعكما من الإسلام دعاؤكما لله ولدا ، وعبادتكما الصليب وأكلكما الخنزير "
“Dusta, kalian bukan orang islam disebabkan kalian menganggap Allah punya anak, kalian menyembah salib, dan makan babi.” Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قالا فمن أبوه يا محمد ؟
“Jika Isa bukan anak Allah, lalu siapa ayahnya?” Tanya mereka
فصمت رسول الله صلى الله عليه وسلم عنهما فلم يجبهما
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diam, tidak menjawab keduanya.
فأنزل الله في ذلك من قولهم وإختلاف أمرهم صدر سورة آل عمران إلى بضع وثمانين آية منها
"Maka Allah menurunkan dari peristiwa tersebut penjelasan mengenai perkataan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, iaitu pada permulaan surah Al Imran sampai dengan lapan puluh ayat lebih darinya..." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/50).
Maka sebab itulah Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam untuk bermubahalah sebagaimana firman-Nya,
إنَّ مَثَلَ عِيسَى عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ . الْـحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلا تَكُن مِّنَ الْـمُمْتَرِينَ . فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
"Sesungguhnya penciptaan Isa di sisi Allah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran: 59–61).
Diriwayatkan pula bahwa pada satu ketika datang delegasi Nasrani dari Najran untuk berdialog dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah dalam subjek perbandingan agama antara Nasrani dan Islam. Setelah disampaikan segala hujah yang benar yang tidak mampu dijawab oleh delegasi Nasrani, mereka tetap enggan mengakui kebenaran Islam, apa lagi memeluknya. Keengganan delegasi Nasrani ini menyebabkan Allah swt menurunkan ayat di atas. Sabda Rasulullah saw.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ جَاءَ الْعَاقِبُ وَالسَّيِّدُ صَاحِبَا نَجْرَانَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدَانِ أَنْ يُلَاعِنَاهُ قَالَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ
Dari Hudzaifah ra, berkata; Al-‘Aqib dan as-Sayid dari Najran mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melaknat beliau, Hudzaifah berkata; salah satu dari mereka berkata kepada temannya; ‘Jangan kamu lakukan, Demi Allah, Seandainya dia benar seorang nabi maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita. Kemudian keduanya berkata: wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya kecuali memang orang itu sangat terpercaya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.” Maka para shahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Berdirilah wahai Abu Ubaidah bin Jarrah! ‘ setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah saw bersabda: ‘Dialah orang kepercayaan umat ini. (HR. Bukhari).
Dalam ayat di atas (QS. Ali Imran: 59–61), Allah mengajarkan bahwa ketika bermubahalah, hendaknya orang yang bermubahalah mengumpulkan keluarganya, anak dan istrinya. Mereka didatangkan di majlis mubahalah, kemudian saling mendoakan laknat bagi siapa yang berdusta. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ { تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ } الْآيَةَ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا وَفَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَقَالَ اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلِي
Dari Amir bin a’ad bin Abi Waqqash ra, dari ayahnya berkata, "Ketika turun ayat ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau bersabda, ‘Ya Allah, mereka keluargaku.’ (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).
Tujuan mengumpulkan keluarga, anak, istri ketika mubahalah, bukan menimpakan dampak buruk Mubahalah kepada mereka. Karena dampak buruk dari laknat ketika Mubahalah, hanya mengenai pelaku. Tujuan mengumpulkan mereka adalah untuk semakin meyakinkan dan menunjukkan keseriusan diantara mereka untuk melakukan Mubahalah.
Ibnu Hajar mengatakan,
ومما عُرف بالتجربة أن من باهل وكان مبطلاً لا تمضي عليه سنة من يوم المباهلة، وقد وقع لي ذلك مع شخص كان يتعصب لبعض الملاحدة فلم يقم بعدها غير شهرين
"Berdasarkan pengalaman, orang yang melakukan mubahalah di kalangan pembela kebathilan, tidak bertahan lebih dari setahun sejak hari mubahalah. Itu pernah saya alami sendiri bersama seorang yang memiliki pemikiran menyimpang, dan dia tidak bertahan hidup lebih dari 2 bulan." (Fathul Bari, 8/95).
Ibnu Abbas ra, mengomentari orang Nasrani Najran,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ أَبُو جَهْلٍ لَئِنْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عِنْدَ الْكَعْبَةِ لَآتِيَنَّهُ حَتَّى أَطَأَ عَلَى عُنُقِهِ قَالَ فَقَالَ لَوْ فَعَلَ لَأَخَذَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عِيَانًا وَلَوْ أَنَّ الْيَهُودَ تَمَنَّوْا الْمَوْتَ لَمَاتُوا وَرَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ فِي النَّارِ وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُبَاهِلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَرَجَعُوا لَا يَجِدُونَ مَالًا وَلَا أَهْلًا
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata; “Abu Jahal berkata; jika aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di Ka’bah sungguh aku akan mendatanginya hingga aku injak lehernya.” Ia berkata; Ibnu Abbas berkata; “Jika ia melakukannya sungguh Malaikat akan menyambar penglihatannya, seandainya Yahudi mengharap kematian maka pasti mereka akan mati dan melihat tempat duduknya di Neraka. Jika keluar orang-orang yang melaknati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam niscaya mereka akan pulang tanpa mendapatkan harta maupun keluarga.” (HR. Ahmad).
Perlu diketahui, terlalu sering bersumpah dan berjanji adalah sesuatu yang tidak baik, meski kita adalah seorang yang jujur dan selalu menepati janji. Sebagaimana dijelaskan al-Muhasibi dalam kitabnya Risâlah al-Mustarsyidin,
وَلَا تُكْثِرُ الْأَيْمَانَ وَإِنْ كُنْتَ صَادِقًا
“Dan janganlah sering bersumpah meskipun engkau benar.” (Imam al-Harits al-Muhasibi, Risalah al-Mustarsyidin, Dar el-Salam, halaman 136)
Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah memberi tambahan penjelasan atas nasehat Imam al-Muhasibi di atas. Beliau mengutip suatu perkataan,
علامة الكاذب جوده بيمينه من غير مستحلف له
“Alamat seorang pembohong adalah kegemarannya mengobral sumpah tanpa diminta.” (Imam al-Harits al-Muhasibi, Risalah al-Mustarsyidin, Dar el Salam hal. 136). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar