MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 10 September 2025

KAJIAN TENTANG LARANGAN MEMBANGGAKAN NASAB DAN LELUHUR


Dalam Al-Qur’an dengan tegas memberikan peringatan kepada semua umat Islam bahwa derajat dan kemuliaan seseorang tidak diukur dengan keturunan, nasab, ras maupun bangsa, namun ketakwaan. Hal ini sebagaimana tertulis dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menjadi penegas larangan membanggakan keturunan. Ahmad bin Musthafa Al-Farran dalam Tafsirul Imami Asy-Syafi’i, mengatakan,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ: أي اِنَّ أَرْفَعَكُمْ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ، وَفِي هَذِهِ الْأَيَةِ نَهْيٌ عَنِ التَّفَاخُرِ بِالنَّسَبِ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (QS Al-Hujurat, [49]: 13). Maksudnya, bahwa yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah yang paling bertakwa dari kalian. Dan dalam ayat ini juga merupakan larangan untuk berbangga-bangga dengan keturunan.” (Ahmad bin Musthafa Al-Farran, Tafsirul Imami Asy-Syafi’i, [Dar At-Tadmuriyah: tanpa tahun], juz III, hal.1281).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan abadi. Semua tingkah laku, perbuatan dan ucapannya menjadi contoh yang harus diteladani. Ia merupakan insan sempurna yang tidak memiliki kekurangan sama sekali. Karenanya, tidak heran jika Allah SWT menjadikannya sebagai nabi terbaik dari yang lainnya, makhluk termulia melebihi para malaikat-Nya.

Salah satu contoh yang harus dipetik oleh setiap orang saat ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagaimana ia mengajarkan putra-putrinya untuk tidak bangga dengan nasab keturunannya. Ia tidak pernah mengajarkan putra-putrinya untuk bangga dan sombong karena sudah terlahir menjadi anaknya. Bahkan ia murka andaikan ada dari salah satu keturunannya yang membanggakan diri karena sudah menjadi keturunannya.

Hal ini bisa kita lihat bersama, bagaimana Rasulullah mendidik keluarganya untuk tidak bangga dengan tingginya nasab. Bahkan Rasulullah juga memperingati Sayyidah Fatimah untuk tidak bangga sekalipun terlahir sebagai putrinya. Hal itu tidak lain selain untuk menunjukkan bahwa garis keturunan sama sekali tidak memiliki nilai apa-apa di sisi Allah swt, yang bisa menyelamatkan seseorang hanyalah amal ibadah dan ketakwaan.

Pelajaran di atas bisa kita lihat dalam salah satu hadits berasal dari Sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai golongan orang Quraisy! Peliharalah diri kalian karena aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Bani Abdi Manaf! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muthalib! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad! Mintalah kepadaku apa saja yang kamu mau (dari hartaku), sungguh aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah.” (HR Bukhari dalam Sunan Al-Kubra).

Syekh Badruddin Al-Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memberikan nasihat kepada keluarganya, ia memanggil semuanya lengkap dengan nasab mereka satu persatu sebagaimana hadits di atas. Hal itu untuk menunjukkan bahwa nasab atau keturunan Rasulullah sekalipun jika tidak berlandaskan iman dan takwa, maka tidak akan memiliki nilai dan jaminan apa-apa di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat. Karena itu, Rasulullah mengajarkan keluarga-keluarganya untuk tidak mengandalkan keturunan, namun lebih pada amal ibadah.

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah juga dengan tegas melarang orang-orang untuk tidak membanggakan nasab keturunan, bahkan orang yang biasa melakukan hal itu akan menjadi manusia yang sangat hina. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamb ersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَام يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْم جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونَنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّه مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءُ بِأَنْفِهِ

“Hendaklah mereka segera berhenti dari membangga-banggakan nenek-moyang mereka yang telah wafat. Mereka itu hanyalah arang neraka jahanam, atau mereka lebih hina di sisi Allah dari hewan yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR At-Tirmidzi, dan bernilai hadits Hasan dalam Jami’ul Kabir).

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ وَبِيَدِي لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلَا فَخْرَ وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَائِي وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الْأَرْضُ وَلَا فَخْرَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْحَدِيثِ قِصَّةٌ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Abu Nadhrah dari Abu Sa'id dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Saya adalah penghulu bani Adam pada hari kiamat, bukannya untuk membanggakan diri. Di tanganku terdapat bendera pujian, bukannya untuk membanggakan diri, dan tidak ada seorang Nabi pun pada hari itu, baik Adam maupun yang lain kecuali berada di bawah benderaku. Akulah orang yang pertama kali di bangkitkan (dari kubur) bukannya untuk membanggakan diri." Dan di dalam redaksi hadits terdapat kisah, Abu Isa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih. (HR. At-Tirmidzi no.3548)

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَجُلًا اعْتَزَى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعَضَّهُ وَلَمْ يُكَنِّهِ فَنَظَرَ الْقَوْمُ إِلَيْهِ فَقَالَ لِلْقَوْمِ إِنِّي قَدْ أَرَى الَّذِي فِي أَنْفُسِكُمْ إِنِّي لَمْ أَسْتَطِعْ إِلَّا أَنْ أَقُولَ هَذَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا إِذَا سَمِعْتُمْ مَنْ يَعْتَزِي بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوهُ وَلَا تَكْنُوا

Dari Ubay bin Ka'b, bahwa ada seorang laki-laki membanggakan nasabnya seperti perbuatan orang-orang jahiliah, namun ia menahan dan tidak menyatakannya secara fulgar. Orang-orang pun memandang ke arahnya, maka laki-laki itu pun berkata, "Sesungguhnya aku bisa memahami apa yang ada pada kalian, dan tiada yang bisa saya lakukan kecuali ini, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami, "Jika kalian mendengar seseorang membanggakan nasabnya seperti orang jahiliah, maka tahanlah dan jangan kalian tampakkan dengan fulgar." (HR. Ahmad no.20284).

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ

dari Anas sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak terjadi hari kiamat sehingga orang membanggakan diri di masjid." (HR. Ahmad no.12079)

Imam Ahmad meriwayatkan di Musnadnya dari Ubay bin Kaab berkata, 

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ انْتَسَبَ رَجُلَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ فَمَنْ أَنْتَ لَا أُمَّ لَكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَسَبَ رَجُلَانِ عَلَى عَهْدِ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ أَحَدُهُمَا أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ حَتَّى عَدَّ تِسْعَةً فَمَنْ أَنْتَ لَا أُمَّ لَكَ قَالَ أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ ابْنُ الْإِسْلَامِ قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام أَنَّ هَذَيْنِ الْمُنْتَسِبَيْنِ أَمَّا أَنْتَ أَيُّهَا الْمُنْتَمِي أَوْ الْمُنْتَسِبُ إِلَى تِسْعَةٍ فِي النَّارِ فَأَنْتَ عَاشِرُهُمْ وَأَمَّا أَنْتَ يَا هَذَا الْمُنْتَسِبُ إِلَى اثْنَيْنِ فِي الْجَنَّةِ فَأَنْتَ ثَالِثُهُمَا فِي الْجَنَّة

“Ada dua orang yang menyebutkan nasabnya pada zaman Rasulullah. Salah seorang dari keduanya berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan. Lalu kamu siapa, tidak ada ibu bagimu?’ Lalu Rasulullah bersabda, “Ada dua orang yang menyebut nasab mereka pada zaman Musa. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan (sampai dia menyebut sembilan orang leluhurnya) lalu kamu siapa tidak ada ibu bagimu?’ Yang lain menjawab, ‘Aku adalah fulan bin fulan bin Islam’.” Nabi bersabda, “Lalu Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua orang yang membanggakan nasab mereka berdua, ‘Kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada sembilan leluhur, mereka semuanya di Neraka dan kamu orang yang kesepuluh. Adapun kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada dua orang, mereka di Surga, maka kamu adalah orang ketiga yang di Surga.” (HR. Ahmad no.20241)

Dengan demikian, maka tentu membanggakan keturunan sama sekali bukanlah contoh meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat anti dengan kepopuleran nasab. Ia merupakan tipikal manusia yang memandang semua manusia sama saja, tidak ada yang lebih mulia dan lebih sempurna hanya dengan bermodalkan keturunan.

Bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemuliaan sejati hanyalah dengan ketakwaan dan ketaatan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam satu haditsnya, yaitu,

أَيُّهَا النَّاسُ! أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ وَلاَ أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Wahai manusia! Ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu, dan bahwa nenek moyang kalian adalah satu. Ingatlah bahwa tidak ada keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, atau sebaliknya, dan tidak ada keunggulan bagi orang yang berkulit putih atas kulit hitam, atau sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan.” (HR Ahmad dalam Jami’ul Hadits).

Beberapa penjelasan di atas memberikan pelajaran bagi kita bahwa nasab keturunan memang benar-benar tidak layak untuk dibanggakan. Bahkan orang seperti Rasulullah sekali pun memberikan peringatan kepada keluarganya, terkhusus kepada putrinya Sayyidah Fatimah, bahwa menjadi putri atau putra siapa saja tidak menjamin keselamatan baginya, termasuk keturunan para nabi.

Oleh karena itu, salah satu nasihat penting yang disampaikan oleh Sayyid Abdullah Al-Haddad dalam kitab an-Nashaihud Diniyah adalah bahwa membanggakan keturunan termasuk dari perbuatan-perbuatan yang tercela, dan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang agama Islam. Dalam kitabnya ia mengatakan,

وَمِنْهَا تَزْكِيَةُ النَّفْسِ وَالثَّنَاءُ عَلَيْهَا وَالْفَخْرُ بْالْأَبَاءِ مِنْ أَهْلِ الدِّيْنِ وَالْفَضْلِ وَالتَّبَجُّجِ بِالنَّسَبِ وَذَلِكَ مَذْمُوْمٌ وَمُسْتَقْبَحٌ جِدًّا وَقَدْ يبْتَلىَ بِهِ بَعْضُ أَوْلاَدِ الْأَخْيَارِ مِمَّنْ لاَبَصِيْرَةَ لَهُ وَلَا مَعْرِفَةَ بِحَقَائِقِ الدِّينِ

“Termasuk dari sifat sombong adalah menganggap dirinya suci, menyombongkan diri karena menjadi keturunan orang-orang saleh dan mulia, membanggakan diri dengan keturunan. Hal-hal tersebut termasuk akhlak yang tercela, dan sangat jelek sekali. Sungguh hal itu terkadang menimpa sebagian keturunan orang-orang yang terpandang, yang mana mereka tidak memiliki pandangan batin dan tidak mengetahui hakikat ajaran Islam.” (Sayyid Abdullah Al-Haddad, An-Nashaihud Diniyah wal Washayal Imaniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tanpa tahun], hal.189). Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar