Tak bisa dipungkiri, bahwa toleransi merupakan sebuah keniscayaan. Dalam Islam, toleransi sangat dianjurkan untuk pemeluknya. Islam, sangat menganjurkan sikap berbuat baik, tolong menolong, hidup harmonis, tanpa memandang agama, suku, budaya, dan ras manusia.
Islam termasuk agama yang sangat perhatian terhadap tata etika pergaulan sosial, termasuk hubungan antarpemeluk agama. Islam amat menekankan perdamaian dan sebisa mungkin menghindari permusuhan, apalagi ketika hal itu sampai menimbulkan pertumpahan darah. Perbuatan adil mesti ditegakkan kepada siapa saja, tak terkecuali kepada orang-orang yang berbeda golongan dan keyakinan.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْن
"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah: 8).
Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671) mengutip beberapa pendapat ulama perihal sejarah diturunkannya ayat di atas. Dalam kitabnya disebutkan, suatu saat Qatilah hendak mendatangi anak putrinya, Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar, untuk memberikan anting dan barang-barang lainnya. Ketika itu Qatilah adalah mantan istri Sayyidina Abu Bakar (ia ditalak sejak masa jahiliyah).
Setelah bertemu, Asma’ yang saat itu sudah memeluk agama Islam menolak dengan tegas pemberian itu, bahkan ia menyuruh sang ibu keluar meninggalkan rumahnya, dengan alasan “tidak diperbolehkannya menjalin kerukunan dan pergaulan” dengan pemeluk agama lain. Dengan perasaan kecewa, Qatilah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan kejadian yang dialaminya. Setelah semuanya disampaikan kepadanya, turunlah ayat diatas (QS. Al-Mumtahanah : 8)." (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Darul Kutub al-Mishriah, cetakan kedua: 1964], juz XVI, h. 59).
Peristiwa tersebut disebutkan dalam hadits,
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أَسْمَاءَ -هِيَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا-قَالَتْ: قَدَمت أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدُوا، فأتيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: "نَعَمْ، صِلِي أُمَّكَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bintil Munzir, dari Asma binti Abu Bakar r.a. yang menceritakan, "Ibuku datang, sedangkan dia masih dalam keadaan musyrik di masa terjadinya perjanjian perdamaian dengan orang-orang Quraisy. Maka aku datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku datang, ingin berhubungan dengan diriku, bolehkah aku berhubungan dengannya?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ya, bersilaturahmilah kepada ibumu'." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain at-Taimi yang dijuluki dengan Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H), dalam kitab tafsirnya mengatakan, ayat ini menjadi dasar untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain. Bentuk perbuatan baik itu, misalnya, adalah dengan cara memperlakukan mereka secara adil, berinteraksi dengan baik, tidak mengganggu keberadaan, dan saling tolong-menolong. (Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Bairut, Darul Ihya at-Turatsi: 1999], juz X, h. 520).
Dari penjelasan ar-Razi di atas, dapat kita pahami bahwa berbuat baik dan bersikap toleran, serta menjalin pergaulan dengan pemeluk agama lain, merupakan ajaran Islam yang sesungguhnya. Membangun kerukunan dengan pemeluk agama lain dengan cara memberlakukan mereka dengan baik, sopan, adil, dan bijaksana termasuk wujud pengamalan pesan Al-Qur’an.
Syekh Abu Abdillah bin Abdurrahman as-Sa’idi (w. 1376 H), dalam tafsirnya mengatakan, ada banyak alasan untuk melakukan kebaikan, sekali pun kepada kelompok agama lain. Alasan-alasan tersebut, misalnya, bergaul dengan dasar kesopanan, berbuat baik karena adanya hubungan kerabat, menjadi tetangga, atau jika keduanya tidak ada, alasan terakhir adalah karena hubungan kemanusiaan. (Syekh as-Sai’idi, al-Qawa’idul Hissan fi Tafsiril Qur’an, [Maktabah ar-Rusydu, cetakan pertama: 1999], h. 35).
Sementara itu Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, menjelaskan hal yang sama, bahwa umat Islam diperbolehkan berbuat baik pada pemeluk non muslim. Ibnu Katsir menyatakan kebolehan tersebut berlaku selama orang kafir tersebut tidak memerangi non muslim.
Pada ayat selanjutnya, Allah melarang umat Islam untuk berteman dan bergaul dengan pemeluk agama lain, apabila mereka memerangi umat Islam, atau membantu kelompok-kelompok yang menyerang Islam.
Sebagaimana ditegaskan,
اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS Al-Mumtahanah: 9).
Secara tegas, Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang umat Islam untuk berkawan dan menjalin hubungan dengan pemeluk agama lain pada ayat di atas, hanya saja poin penting yang perlu dipahami adalah kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, bahwa setiap ayat harus diletakkan dalam proporsi dan sesuai dengan konteksnya masing-masing, karena sejatinya ayat Al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa yang dengan sewenang-wenang bisa diterapkan di mana-mana. Maka, tidak boleh memaksakan ayat yang diturunkan dalam posisi perang, mislanya, untuk diterapkan dalam keadaan damai.
Begitu juga dengan Indonesia, negara aman nan majemuk dalam banyak hal, termasuk agama. Ayat di atas tidak bisa diterapkan di Indonesia sebab konteks perang atau penyerangan terhadap umat Islam tidak ada, dan semua pemeluk agama mempunyai ikatan perjanjian untuk hidup bersama dengan damai dalam naungan konsitutusi.
Ada 4 motto dakwah Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah) yang selalu diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya:
*Pertama;* at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah Ta'ala,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
"Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS. Al-Baqarah: 143).
*Kedua;* at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah Ta'ala,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
"Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (QS. Al-Hadid: 25)
*Ketiga;* at-tasammuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah Ta'ala,
فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
*Keempat;* al-i'tidal atau tegak lurus berbuat adil. Dalam Al-Qur'an Allah Ta'ala berfirman,
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8).
Keaimpulannya, bahwa ajaran Islam yang bersifat universal (rahmatan lil’alamin) mengajarkan umatnya berpikir, berperilaku, dan berinteraksi yang didasari sikap tawazun (seimbang) dalam dimensi duniawi dan ukhrawi. Islam juga meletakkan dasar ajaran untuk mengimplementasikan sikap moderasi beragama, termasuk di dalamnya menghargai perebedaan agama, menghormati keyakinan dan cara beribadah umat yang berbeda agama, bersikap toleransi, dan berlaku adil terhadap semua umat beragama. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar