Hukum segala sesuatu adalah halal dan sesuatu itu tidaklah haram kecuali diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang disampaikan oleh Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah ketika memulai pembahasan beliau dalam kitab "Al-Ath'imah" (masalah makanan). (Kitab Ad-Darar Al-Mudhiyah Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani hal. 432 Darul Aqidah Cetakan Tahun 1425 H)
Dalil kaidah diatas adalah firman Allah Ta'ala,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah, "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-An'am : 145)
Dari Sa'ad bin Abi Waqash, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.
"Sesungguhnya (seseorang dari) kaum Muslim yang paling besar dosanya adalah yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut diharamkan karena pertanyaannya." (HR. Al-Bukhari no. 6745)
Cumi-cumi merupakan salah satu hewan laut yang dihalalkan oleh syara’ untuk mengonsumsinya. Namun setiap kali mengonsumsi cumi-cumi, kita pasti mendapati cairan hitam yang berada di dalam daging cumi-cumi ini. Bahkan seringkali cairan hitam yang ada pada cumi-cumi justru merupakan pelengkap kenikmatan makan bagi sebagian orang.
Hal yang menjadi pertanyaan, sebenarnya apakah status dari cairan hitam pada cumi-cumi ini? Apakah najis, sehingga tidak boleh untuk dikonsumsi, atau suci sehingga bebas untuk dikonsumsi?
Dalam menyikapi status cairan hitam yang terdapat dalam cumi-cumi, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Ulama yang berpandangan suci berpijak pada ketentuan bahwa cairan hitam merupakan cairan khusus yang hanya dimiliki oleh cumi-cumi yang berfungsi untuk sembunyi dari hewan laut yang akan memangsanya. Cairan ini tidak dapat disamakan dengan kotoran-kotoran yang terdapat di dalam ikan yang memang secara umum dihukumi najis.
وفي ثمرة الروضة الشهية لطلبة العلم من الإندونسية بمكة المحمية :ص 12
مسئلة : ما قولكم زاد علمكم نافعا أمين في سواد بعض الحيتان المعروف ببلدنا (جاواه نوس أهو نجس أم بينوا لنا نقلا شافيا.
الجواب : قد حكم صاحب البغية بنجاسته وخطأ من فال بطهارته اه_ ص :16 في باب النجاسة ومثله في سفينة الصلاة فراجع.
فاعلم أن هذه المسئلة قد وقع فيها اختلاف بين أهل المعرفة با لحيتان أن هذ الأسود أهو من الباطن أم لا فينبغي للعاقل أن يتحقق هذا الشيئ لأن هذا ممايتعلق بالعيان
Masalah : Bagaimana pendapat anda sekalian (semoga Allah menambahkan ilmu kalian) tentang tinta hitam yang keluar dari sebagian ikan (cumi-cumi) yang sudah dikenal di negara kami (jawa : ikan nus), apakah dihukumi najis? mohon dijelaskan dengan keterangan yang memuaskan.
Jawab : Penulis kitab Bughyatul Musytarsyidin pada bab An-Najasah halaman 16 menghukumi najis dan menganggap salah jika ada orang yang menghukumi suci. Keterangan yang sama ditemukan dalam kitab Safinatus Shalah. Silahkan ditinjau kembali.
Ketahuilah bahwasanya terjadi perselisihan pendapat antara para pakar dibidang perikanan, apakah cairan hitam yang keluar dari ikan tersebut keluar dari bagian dalam ikan atau tidak? Maka dari itu harus dipastikan dulu mengenai hal ini sebab ini adalah sesuatu yang dapat dibuktikan langsung. (Kitab Tsamrat Ar-Raudloh As-Syahiyyah, hal : 12).
Penjelasan ulama yang berpandangan bahwa cairan hitam pada cumi-cumi dihukumi suci, misalnya terdapat dalam kitab Bulghah At-Thullab Fi Talkhis Fatawi Masyayikh Al-Anjab,
وفي بلغة الطلاب في تلخيص قتاوى الأنجاب للشيخ طيفور علي وفا المدوري ص : 106
(مسألة: ث) السواد الذي يوجد في بعض الحيتان مما اختلف فيه هل هو من الباطن فيكون نجسا أو لا فيكون طاهرا, فينبغي للعاقل أن يتحققه لأنّ هذا مما يتعلّق بالعيان. قلت: يعني أنّ هذا السواد إذا كان من الباطن فهو أشبه بالقيئ فيكون نجسا وإلّا فهو أشبه باللعاب فيكون طاهرا. وقد قال بعض مشايخنا: أنّ هذا السواد شيء جعله الله لصاحبه ترسا يتترس به عن كبار الحيتان فإذا قصده حوت كبير ليأكله أخرج هذا السواد فاختفى به عنه فلا يقاس بالقيئ ولا باللعاب لكونه خاصا له بهذه الخصوصية ويكون طاهرا والله أعلم
“Warna hitam yang ditemukan di sebagian jenis ikan merupakan sebagian persoalan yang diperselisihkan apakah termasuk kategori cairan yang keluar dari bagian dalam ikan sehingga tergolong najis, atau bukan dari bagian dalam sehingga dihukumi suci. Hendaknya bagi orang yang berakal agar memperdalam permasalahan ini karena termasuk suatu hal yang berhubungan dengan realitas. Aku (pengarang) berkata cairan hitam ini jika memang berasal dari bagian dalam maka lebih serupa dengan muntahan sehingga dihukumi najis, jika tidak dari dalam maka serupa dengan air liur sehingga dihukumi suci. Sebagian guruku pernah berkata: “cairan hitam ini merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Allah pada hewan yang memilikinya untuk dijadikan tameng agar dapat berlindung dari makhluk laut yang lebih besar. Ketika terdapat makhluk laut besar yang akan memangsanya maka ia mengeluarkan cairan hitam ini agar dapat bersembunyi. Maka cairan hitam ini tidak dapat disamakan dengan muntahan ataupun air liur, sebab cairan hitam ini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas hewan ini, sehingga dihukumi suci” (Syekh Thaifur Ali Wafa, Bulghah At-Thullab Fi Talkhis Fatawi Masyayikh Al-Anjab hal. 106)
Ibnu Hajar Al-Haitami, Ibnu Ziyad, Muhammad Ar-Ramli dan yang lainnya bersepakat atas sucinya darah dan kotoran yang berada di perut ikan kecil, dan boleh memakannya, dan tidak najisnya minyak karenanya. Bahkan Imam Muhammad Ar-Ramli memberlakukan juga ikan besar atas hal yang demikian. Maka menurut pemahaman saya, tinta yang terdapat dalam cumi bisa diqiaskan dengan ta'bir diatas.
Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa cairan hitam pada cumi cumi adalah sesuatu yang najis dan tidak dapat dikonsumsi, berpijak pada ketentuan umum dalam hewan bahwa segala sesuatu yang tergolong bagian dalam hewan dan bukan merupakan juz dari hewan maka dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, sebab menurut pandangan mereka, cairan hitam tergolong cairan yang keluar dari bagian dalam cumi-cumi, bukan dari bagian luar. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Bughyah al-Mustarsyidin dan Sullam Al-Munajat,
الذي يظهر أنّ الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس, إذ صريح عبارة التحفة أنّ كلّ شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس, ومنه هذا الأسود للعلّة المذكورة إذ هو دم أو شبهة
“Cairan hitam yang ditemukan pada sebagian makhluk laut dan bukan merupakan daging ataupun darah dihukumi najis. Sebab teks dalam kitab Tuhfah menegaskan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang berada di bagian dalam adalah sesuatu yang bukan termasuk dari juz (juz/organ) hewan dan dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, karena alasan yang telah dijelaskan. Sebab cairan hitam ini sejatinya adalah darah atau serupa (dengan darah).” (Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 15)
ان ماخرج من بعض حيوانات البحر وهو شيء أسود كالحبر الذي يكتب به نجس لانه فضلة خرج من الجوف. (شرح سلم المناجاة ص 7)
"Segala sesuatu yang keluar dari sebagian jenis hewan-hewan laut yang berwarna hitam seperti tinta untuk menulis maka hukumnya najis. Karena sesungguhnya cairan itu adalah lendir yang keluar dari rongga perut". (Kitab Sullam Al-Munajat hal. 7).
Jika berpijak pada ulama yang berpendapat najis, siapa saja yang ingin mengonsumsi cumi-cumi wajib baginya untuk membersihkan cumi-cumi dari cairan hitam ini, sekiranya daging dapat menjadi bersih. Selain itu wajib baginya untuk menyucikan tangan atau anggota tubuh lain yang terkena cairan hitam ini. Jika berpegangan pada pendapat bahwa cairan hitam itu suci maka boleh bagi seseorang untuk menikmati cumi-cumi lengkap dengan cairan hitamnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi najis tidaknya cairan hitam pada cumi-cumi, para ulama berbeda pendapat antara yang menghukumi suci dan najis. Kedua pendapat tersebut sama-sama dapat digunakan oleh masyarakat secara umum.
Namun yang perlu diketahui bahwa cairan hitam cumi-cumi adalah cairan yang berasal dari kantong tinta yang letaknya di luar lambung cumi. Dengan demikian, tinta cumi tidak berasal dari organ pencernaan (tempat istihalah lumrahnya) tetapi dari kelenjar khusus yang ditampung dalam kantong tinta yang menjadi ciri khas hewan jenis ini. Dengan kata lain, ia tidak bisa disamakan dengan kencing, kotoran atau muntah. Dan jelas juga tak bisa dikategorikan sebagai darah. Cairan tersebut lebih menyerupai cairan tubuh di luar organ pencernaan semisal sperma, susu atau keringat yang masing-masing mempunyai fungsi khusus di luar yang berkaitan dengan pencernaan. Lubang keluarnya tinta juga tidak melalui anus atau kelamin cumi tetapi langsung ke rongga/corong khusus yang disebut siphon. Jadi tinta tersebut tidak masuk dalam kategori sesuatu yang keluar dari “dua jalan”.
Dari berbagai pertimbangan di atas, saya cenderung memilih pendapat yang menganggap cairan tinta cumi sebagai cairan suci sehingga tak mengapa dikonsumsi. Berbagai argumen yang menganggapnya najis sebab disamakan dengan darah, mirip darah, muntah atau kotoran hasil pencernaan tidaklah tepat. Ia bukanlah sisa makanan yang harus dikeluarkan dari tubuh dan bukan pula darah yang harus terus berada dalam tubuh. Wallahu a’lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar