Sebelum umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam diwajibkan untuk mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, ternyata umat nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad sudah diwajibkan mengerjakan shalat. Dalam al-Qur’an sudah dijelaskan tentang kewajiban mengerjakan shalat nabi-nabi terdahulu serta umat-umatnya. Akan tetapi, yang mucul dalam benak pikiran apakah umat-umat terdahulu juga mengerjakan shalat lima waktu sebagaimana umat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam? Apakah nama shalat mereka sama dengan nama shalat umat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam? Semenjak kapan Nabi Muhammad diperintahkan mengerjakan shalat? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan menjadi pembahasan kita pada pembahasan sejarah shalat.
1. Sejarah Shalat Sebelum Islam
Tercatat dalam sejarah bahwa umat terdahulu juga mengerjakan shalat, sebagai bukti dalam ajaran agama Ariyah dan Samiyah mewajibkan semua orang mengerjakan shalat dalam waktu-waktu yang telah ditentukan. Begitu pula dengan agama Majusi, dalam ajaran mereka mewajibkan bagi semua orang yang telah menginjak masa baligh untuk mengerjakan shalat tiga kali dalam sehari semalam. Yang pertama shalat Subuh, kedua shalat Asar, dan ketiga shalat Isya’. Dalam agama Majusi ini pun terdapat shalat sunnah seperti shalat saat menaiki kendaraan dan turun dari kendaraan.
Agama Yahudi pun juga mewajibkan umatnya mengerjakan shalat dalam sehari semalam, shalat pada hariSabtu, saat tiba awal bulan, shalat setiap ada acara tertentu, dan shalat jenazah. Adapun shalat dalam sehari semalam yang diwajibkan oleh agama Yahudi adalah shalat pada tengah malam dan shalat Subuh yang mereka beri nama dengan Syama’. Saat mengerjakan shalat Syama’ ini orang-orang Yahudi membaca ayat-ayat tertentu yang ada dalam kitab Taurat.Syama’ merupakan ritual ibadah yang dikerjakan sebelum tidur dan saat bangun dari tidur, mereka mempunyai keyakinan dengan mengerjakan shalat pada dua waktu di atas dapat menghindarkan diri dari sesuatu yang menyakitkan, menjauhkan dari kejelekan, ruh-ruh jahat,[1] dan dapat memadamkan api neraka.
Selain dua shalat di atas agama Yahudi juga mengerjakan tiga shalat lain yang mereka beri nama dengan Tephillah, Yang pertama shalat yang mereka sebut dengan Tephillah Hasyhar yaitu shalat yang dikerjakan pada waktu subuh,[2] kedua shalat Asar yang mereka sebut dengan Tephillah Hamnahah, dan ketiga Tephillah Ha’rabit yang mereka kerjakan pada waktu shalat Maghrib. Jika dijumlah, shalat yang dikerjakan oleh orang-orang Yahudi baik dari Syama’ danTephillah maka jumlahnya ada lima kali shalat yang mereka kerjakan dalam sehari semalam.
Selain shalat lima waktu di atas, mereka juga mengerjakan shalat pada hari Sabtu sedangkan orang-orang Nashrani mengerjakan pada hariMinggu. Ini sama halnya dengan orang Islam yang mengerjakan shalat pada hari Jumat.
Adapun shalat yang dikerjakan oleh orang Yahudi pada waktu datangnya awal bulan ini, juga dikerjakan oleh orang-orang Majusi yang mereka sebut dengan nama shalat Antaremah.[3] Selain dua agama itu, agama Budha dan orang-orang Eropa juga menjalankannya.
2. Shalat Pada Zaman Jahiliyah Dan Penyembah Berhala
Tidak terdeteksi dalam sejarah bahwa orang-orang Jahiliyah dan penyembah berhala mengerjakan shalat, sebab tidak ditemukan sama sekali kalimat shalat dari goresan pena mereka, namun hal ini tidak menunjukkan mereka tidak mengerjakan shalat, sebab pada musim-musim tertentu mereka berbondong-bondong mengerjakan haji, memiliki syiar agama tertentu, dan metode pendekatan diri pada tuhan mereka. Merupakan hal yang mustahil apabilamereka bodoh akan shalat, sebabshalat itu sendiri menjadi hal yang sangat lumrah bagi semua agama. Meski shalat merupakan hal lumrah, namun kita tidak bisa mengatakan shalat orang Jahiliyah sama dengan metode shalat orang Yahudi dan Nashrani, sebab pemahaman dan praktek shalat berbeda-beda mengikuti perbedaan agama.
Dalam al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa orang Jahiliyah di Makkah juga mengerjakan shalat, dalam surat al-Anfal ayat 35 menyebutkan:
(وَمَا كَانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً)
“Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.”
Mengenai ayat di atas ulama Tafsir menjelaskan bahwa orang-orang Quraisy melakukan tawaf di sekeliling Baitullah dalam keadaan telanjang, bersiul, dan bertepuk tangan. Shalat menurut pandangan orang-orangJahiliyah hanya sebatas doa, mereka mengganti posisi bacaan tasbih dengan siulan dan tepuk tangan.[4] Sedangkan menurut ulama lain, ritual orang Jahiliyah tidak bisa dikatakan dengan shalat ataupun ibadah, sebabdalam ritual itu mereka hanya bermain dan bersenda gurau.[5] Bila dilihat dari model shalat yang mereka lakukan, memang sangat tidak pantas dikatakan sebagai ibadah, sebab dalam beribadah seorang manusia harus menghadap pada Tuhan dengan sopan dan tawadlu’. Sedangkan shalat yang mereka praktekkan menafikan kesopanan dan ketawadlu’an.
Cara ibadah yang lakukkan oleh orang Jahiliyah (bermain-main, canda, dan gurau) juga sering kita temukan pada agama-agama lain, yang shalat mereka dengan menggunakan lagu, musik, dan tarian. Mereka meyakini bahwa ibadah dengan cara demikian bisa mendapatkan ridla dan belas kasih dari tuhannya. Padahal ibadah dengan menggunakan cara tersebut merupakan ibadah orang-orangJahiliyah (orang bodoh).
3. Ibadah Shalat Pra Isra’ Mi’raj
Syari’at Islam diturunkan dengan cara berangsung-angsur dan sedikit demi sedikit. Allah menurunkan syari’at dengan cara berangsung-angsur agar umat Islam tidak merasa berat dan kaget dalam memeluk agama Islam. Seperti keharaman minuman keras, terdapat empat tahap saat mengharamkan minuman yang memabukkan ini. Bahkan Siti ‘Aisyah pernah berkata: “Bila minuman keras diharamkan secara sekaligus maka tidak ada satupun orang Arab yang mau memeluk agama Islam.” Siti ‘Aisyah berkata demikian, melihat kondisi orang Arab yang minum khamer sama halnya kita yang minum air tawar.
Demikian juga dengan kewajiban ibadah shalat, shalat bukanlah kewajiban bagi orang Islam saat permulaan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul Allah, namun pada waktu permulaan kenabian, Allah hanya menanamkan pada hati pemeluk agama Islam kalimat Tauhid (Keesaan Allah) saja. Setelah tertanam dalam hati mereka Kalimat Tauhid, barulah Allah mewajibkan shalat pada pemeluk agama Islam pada waktu malam Isra’ dan Mi’raj.
Dari sini, bisa ditarik sebuah kesimpulan, jika shalat tidak diwajibkan bagi Nabi Muhammad dan semua umatnya sebelum adanya Isra’ dan Mi’raj, kecuali ritual shalat yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad seperti shalat pada paruh kedua dari pertengahan malam.[6]
Meskipun shalat bukanlah sebuah kewajiban bagi umat Islam sebelum Isra’ dan Mi’raj, namun tidak bisa diragukan bahwa Nabi sudah mengerjakan shalat saat di Makkah sebelum Isra’, sebab al-Qur’an menjelaskan dalam surat al-Mudatsir, al-Kautsar, dan surat yang diturunkan di Makkah lainnya, bahwa Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengerjakan shalat. Demikian pula yang tercatat dalam buku-buku Sejarah dan Hadits-Hadits Rasul, bahwa Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat bersama dengan Siti Khadijah hingga Khadijah wafat, sedangkan wafatnya Khadijah sebelum Isra’. Abu Talib juga pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat bersama AbuThalib, sedangkan Abu Thalib meninggal sebelum Isra’.
Bila diteliti lebih lanjut, pertama kali wahyu diturunkan adalah surat al-‘Alaq dan dalam surat tersebut sudah menjelaskan tentang orang Quraisy yang melarang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat sebagaimana firman Allah surat al-‘Alaq ayat 9-10:
(أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى عَبْداً إِذَا صَلَّى)
“Bagaimana pendapatmu tentang orang melarang. Seorang hamba ketika dia melaksanakan shalat.”
Ayat ini diturunkan spesial untuk Abdul Uzzah bin Hisyam (Abu Jahal) yang melarang Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat di Maqam Ibrahim. Abu Jahal berkata: “Bila aku melihat Muhammad mengerjakan shalat maka akan aku tusuk lututnya.”[7]
Dalam riwayat lain menjelaskan bahwa perintah melaksanakan wudlu dan shalat sudah dimulai semenjak pertama kali Jibril diutus Allah untuk memberitahukan pada Nabi Muhammad bahwa dirinya terpilih menjadi utusan Allah di muka bumi. Pada saat itu juga, Jibril mengajarkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam cara berwudlu dan shalat dengan cara Jibril berwudlu terlebih dahulu kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengikutinya, kemudian Jibril shalat dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengikutinya. Setelah usai belajar wudlu dan shalat pada Jibril, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkannya pada Siti Khadijah.[8]
Dari bukti-bukti di atas sangat jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengerjakan shalat di hadapan semua manusia semenjak tahun pertama dari tahun kenabiannya.
Namun sekarang yang masih janggal dalam pikirian adalah berapa kali Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dalam sehari semalam? Berapa rakaat shalat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum diwajibkannya shalat lima waktu?
Sejarah mencatat, bahwa sebelum disyariatkan shalat lima waktu dalam sehari semalam pada malam Isra’, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengerjakan shalat, namun pada waktu itu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam hanya mengerjakan shalat dua kali dalam sehari semalam yang waktunya terletak pada pagi hari dua rakaat dan sore hari dua rakaat.[9] Jadi pada permulaan terutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sudah jelas bahwa beliau mengerjakan shalat. Adapun shalat yang beliau kerjakan hanya dua kali dalam sehari semalam dan berjumlah empat rakaat.
4. Ibadah Shalat Pasca Isra’ Mi’raj
Ulama sepakat shalat lima waktu diwajibkan pada waktu malam Isra’ Mi’raj. Namun mereka masih berselisih pendapat mengenai tragedi Isra’ itu sendiri. Sebagian riwayat menyatakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Isra’ pada bulan ke 15 dari terutusnya menjadi Rasulullah. Ada pula yang mengatakan Isra’ terjadi tiga tahun sebelum hijrahnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah. Ulama lain mengakatan Isra’nya Nabi saw terjadi satu tahun sebelum hijrah. Sebagian lagi berpandangan bahwa Nabi Isra’ pada tahun kelima dari kenabian.[10] Dan sebagian sejarawan muslim berpandangan malam Isra’ terjadi pada tahun ke 11 dari kenabian[11] dan Isra’ tersebut setelah wafatnya Siti Khadijah.
Dari sekian pendapat mengenai Isra’ dan Mi’raj, penulis lebih memilih pendapat yang terakhir, sebab mayoritas sejarawan menyatakan Siti Khadijah wafat pada tahun ke 10 dari kenabian dan itu sebelum Isra’. Bila ada ulama yang berpendapat sebelum Siti Khadijah wafat sudah menjalakan ritual shalat maka shalat yang dikerjakan oleh Siti Khadijah itu bukanlah shalat lima waktu, akan tetapi beliau shalat sebagaimana Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat sebelum diwajibkannya shalat lima waktu.
Dari keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa shalat lima waktu diwajibkan saat Isra’. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya: “Hadits riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: “Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku didatangi Buraq. Lalu aku menunggangnya sampai ke Baitul Maqdis. Aku mengikatnya pada pintu masjid yang biasa digunakan mengikat tunggangan oleh para nabi. Kemudian aku masuk ke masjid dan mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah aku keluar, Jibril datang membawa bejana berisi arak dan bejana berisi susu. Aku memilih susu, Jibril berkata: “Engkau telah memilih fitrah.” Lalu Jibril membawaku naik ke langit. Ketika Jibril minta dibukakan, ada yang bertanya:” Siapakah engkau?” Dijawab: “Jibril.” Ditanya lagi: “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab:” Muhammad.” Ditanya:” Apakah ia telah diutus?” Jawab Jibril: “Ya, ia telah diutus.” Lalu dibukakan bagi kami. Aku bertemu dengan Adam. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Kemudian aku dibawa naik ke langit kedua. Jibril as. minta dibukakan. Ada yang bertanya:” Siapakah engkau?” Jawab Jibril: “Jibril.” Ditanya lagi: “Siapakah yang bersamamu? “Jawabnya: “Muhammad.” Ditanya:” Apakah ia telah diutus?” Jawabnya:” Dia telah diutus.” Pintu pun dibuka untuk kami. Aku bertemu dengan Isa bin Maryam as. dan Yahya bin Zakaria as. Mereka berdua menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Aku dibawa naik ke langit ketiga. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: “Siapa engkau?” Dijawab: “Jibril.” Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?” “Muhammad saw.” jawabnya. Ditanyakan: “Dia telah diutus?” “ Dia telah diutus.” jawab Jibril. Pintu dibuka untuk kami. Aku bertemu Yusuf as. Ternyata ia telah dikaruniai sebagian keindahan. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Aku dibawa naik ke langit keempat. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: “Siapa ini?” Jibril menjawab: “Jibril.” Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?” “ Muhammad.” jawab Jibril. Ditanya:” Apakah ia telah diutus?” Jibril menjawab: “Dia telah diutus.” Kami pun dibukakan. Ternyata di sana ada Nabi Idris as. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Allah Taala berfirman: “ Kami mengangkatnya pada tempat (martabat) yang tinggi.” Aku dibawa naik ke langit kelima. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: “Siapa?” Dijawab:” Jibril.” Ditanya lagi:”Siapa bersamamu?” Dijawab: “Muhammad.” Ditanya: “Apakah ia telah diutus?” Dijawab: “Dia telah diutus.” Kami dibukakan. Di sana aku bertemu Nabi Harun as. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Aku dibawa naik ke langit keenam. Jibril as. minta dibukakan. Ada yang bertanya: “Siapa ini?” Jawabnya: “Jibril.” Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?” “ Muhammad.” jawab Jibril. Ditanya: “Apakah ia telah diutus?” Jawabnya:” Dia telah diutus.”Kami dibukakan. Di sana ada Nabi Musa as. Dia menyambut dan mendoakanku dengan kebaikan. Jibril membawaku naik ke langit ketujuh. Jibril minta dibukakan. Lalu ada yang bertanya:” Siapa ini?” Jawabnya:” Jibril.” Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?” Jawabnya: “Muhammad.” Ditanyakan: “Apakah ia telah diutus?” Jawabnya: “Dia telah diutus.” Kami dibukakan. Ternyata di sana aku bertemu Nabi Ibrahim as. sedang menyandarkan punggungnya pada Baitul Makmur. Ternyata setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat masuk ke Baitul Makmur dan tidak kembali lagi ke sana. Kemudian aku dibawa pergi ke Sidratul Muntaha yang dedaunannya seperti kuping-kuping gajah dan buahnya sebesar tempayan. Ketika atas perintah Allah, Sidratul Muntaha diselubungi berbagai macam keindahan, maka suasana menjadi berubah, sehingga tak seorang pun di antara makhluk Allah mampu melukiskan keindahannya. Lalu Allah memberikan wahyu kepadaku. Aku diwajibkan salat lima puluh kali dalam sehari semalam. Tatkala turun dan bertemu Nabi saw. Musa as., ia bertanya: “Apa yang telah difardlukan Tuhanmu kepada umatmu?” Aku menjawab: “Salat lima puluh kali.” Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan kuat melaksanakannya. Aku pernah mencobanya pada Bani Israel. Aku pun kembali kepada Tuhanku dan berkata:” Wahai Tuhanku, berilah keringanan atas umatku.” Lalu Allah mengurangi lima salat dariku. Aku kembali kepada Nabi Musa as. dan aku katakan:” Allah telah mengurangi lima waktu salat dariku.” Dia berkata: “Umatmu masih tidak sanggup melaksanakan itu. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan lagi.” Tak henti-hentinya aku bolak-balik antara Tuhanku dan Nabi Musa as. sampai Allah berfirman: “Hai Muhammad. Sesungguhnya kefardluannya adalah lima waktu shalat sehari semalam. Setiap shalat mempunyai nilai sepuluh. Dengan demikian, lima shalat sama dengan lima puluh salat. Dan barang siapa yang berniat untuk kebaikan, tetapi tidak melaksanakannya, maka dicatat satu kebaikan baginya. Jika ia melaksanakannya, maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya barang siapa yang berniat jahat, tetapi tidak melaksanakannya, maka tidak sesuatu pun dicatat. Kalau ia jadi mengerjakannya, maka dicatat sebagai satu kejahatan.” Aku turun hingga sampai kepada Nabi Musa as., lalu aku beritahukan padanya. Dia masih saja berkata:” Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan.” Aku menyahut: “Aku telah bolak-balik kepada Tuhan, hingga aku merasa malu kepada-Nya.” (Shahih Muslim No.234)
Hadits di atas menunjukkan pertama kali pensyari’atan shalat lima waktu dalam sehari semalam dan pensyaria’atan shalat itu sendiri terjadi pada waktu malam Isra’ Mi’raj. Selain Hadits di atas, masih banyak lagi Hadits-Hadits Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang Isra’ Mi’raj yang pada waktu itu Allah mewajibkan bagi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh umatnya untuk mengerjakan shalat.
Pernah ada seseorang yang bertanya kepada A’isyah tentang shalat malam Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab
أَلَيْسَ تَقْرَأُ هَذِهِ السُّورَةَ؟ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ، إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ قِيَامَ اللَّيْلِ فِي أَوَّلِ هَذِهِ السُّورَةِ، فَقَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلًا حَتَّى انْتَفَخَتْ أَقْدَامُهُمْ، وَأَمْسَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَاتِمَتَهَا اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا، ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ التَّخْفِيفَ فِي آخِرِ هَذِهِ السُّورَةِ فَصَارَ قِيَامُ اللَّيْلِ تَطَوُّعًا بَعْدَ أَنْ كَانَ فَرِيضَةً
Pernahkah anda membaca surat ini (surat Al-Muzammil)? Sesungguhnya Allah mewajibkan shalat malam seperti di awal surat ini. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan shalat malam selama setahun, sampai kaki mereka bengkak, dan Allah tidak turunkan ayat-ayat akhir surat ini selama 12 bulan. Kemudian Allah menurunkan keringanan untuk shalat malam seperti disebutkan pada akhir surat ini, sehingga shalat malam hukumnya anjuran, setelah sebelumnya kewajiban. (HR. Nasai 1601, Ibnu Khuzaimah 1127).
Kemudian keterangan lainnya juga terdapat dalam hadis panjang yang menceritakan dialog antara Heraklius dengan Abu Sufyan, ketika dia mendapat surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan,
“Apa yang diperintahkan nabi itu kepada kalian?”
Jawab Abu Sufyan, yang saat itu sedang berdagang di Syam,
يَقُولُ : اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ؛ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
Nabi itu mengajarkan, “Beribadahlah kepada Allah semata dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, tinggalkan apa yang menjadi ajaran nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk shalat, zakat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari 7 dan Muslim 1773)
Ketika menjelaskan hadits ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan,
وهو يدل على أن النبي كان أهم ما يأمر به أمته الصلاة ، كما يأمرهم بالصدق والعفاف ، ، واشتُهر ذلك حتى شاع بين الملل المخالفين له في دينه ، فإن أبا سفيان كان حين قال ذلك مشركا ، وكان هرقل نصرانيا . ولم يزل منذ بُعث يأمر بالصدق والعفاف ، ولم يزل يصلي أيضا قبل أن تفرض الصلاة
Kisah ini menunjukkan bahwa perintah terpenting yang diserukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah shalat, sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk bersikap jujur, menjaga kehormatan… Ajaran ini menjadi terkenal hingga tersebar ke berbagai pengikut agama selain islam. Karena Abu Sufyan ketika dialog itu masih musyrik, dan Heraklius beragama Nasrani. Dan sejak diutus beliau senantiasa memerintahkan untuk bersikap jujur dan menjaga kehormatan, beliau juga senantiasa shalat, sebelum shalat diwajibkan (shalat 5 waktu). (Fathul Bari Ibn Rajab, 2/303).
Sebagian ulama mengatakan, kewajiban shalat pertama kali adalah 2 rakaat di waktu subuh dan 2 rakaat sore hari. Berdasarkan keterangan Qatadah – seorang tabiin, muridnya Anas bin Malik –,
كان بدءُ الصيام أمِروا بثلاثة أيام من كل شهر ، وركعتين غدوة ، وركعتين عشية
Puasa pertama kali yang diperintahkan adalah puasa 3 hari setiap bulan, dan shalat 2 rakaat di waktu pagi dan 2 rakaat di waktu sore. (Tafsir At-Thabari, 3/501).
Meskipun ada ulama yang menolak keterangan Qatadah ini. Apapun itu, intinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat telah mengenal shalat sebelum peristiwa isra mi’raj.
Kedua, tidak ada keterangan yang jelas tentang tata cara shalat sebelum isra mi’raj.
Ketiga, tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjadi imam nabi-nabi yang lain pada saat peristiwa isra mi’raj. Shalat apakah yang beliau lakukan?
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kejadian isra’ mi’raj, diantara penggalannya,
ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ
“Kemudian aku masuk masjid (Al-Aqsa) dan aku shalat 2 rakaat.” (HR. Muslim 162).
Syaikh Athiyah Shaqr pernah ditanya tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjidil Aqsha, ketika peristiwa isra’. Kemudian beliau membawakan keterangan dari kitab Al-Mawahib Al-Laduniyah dengan syarah Az-Zurqani,
وقد اختُلف في هذه الصلاة، هل هي فرض أو نفل قال بعض العلماء إنَّها فرْض، بناء على ما قاله النُّعماني، وقال البعض: إنها نفْل، وإذا قلنا: إنها فرْض، فأي صلاة هي؟ قال بعضهم الأقرب أنها الصبْح، ويُحتمل أن تكون العشاء
Diperselisihkan tentang shalat ini. apakah shalat wajib ataukah sunah. Sebagian ulama mengatakan wajib, berdasarkan keterangan An-Nu’mani, dan sebagian mengatakan, shalat sunah. Jika kita mengatakan itu wajib, lalu itu shalat apa? Sebagian berpendapat, yang mendekati, itu shalat subuh, bisa juga shalat isya.. ada yang mengatakan itu terjadi sebelum mi’raj (naik ke langit) dan ada yang mengatakan terjadi sesudah mi’raj.
Kemudian beliau membawakan keterangan As-Syami,
ليسا بشيء، سواء قلنا صلَّى بهم قبل العروج أم بعده؛ لأن أول صلاة صلاها النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ من الخَمْس مُطلقًا الظُّهر بمكة باتفاق، ومن حمل الأوَّليَّة على مكةَ فعليه الدليل
Pendapat-pendapat ini tidak perlu dihiraukan, baik pendapat yang mengatakan shalat jamaah itu sebelum mi’rajj atau sesudah mi’raj. Karena shalat wajib 5 waktu yang pertama kali dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak adalah shalat zuhur di Mekah dengan sepakat ulama. Dan siapa yang mengatakan ada shalat wajib pertama sebelum di Mekah maka dia harus membawakan dalil..
Setelah cukup detail membawakan rincian perselisihan, beliau mengakhiri dengan nasehat,
ومهما يكن من شيء فالخلاف في هذا الموضوع ليست له نتيجة عملية
“Apapun itu, perselisihan dalam kasus semacam ini, tidak memiliki manfaat yang bisa diamalkan.”
Dalam kitab Mukasyafatul Qulub dan Hayatu Muhammad karya Muhammad Husein Haykal disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan Isra’ dan Mi’raj dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina), dengan mengendarai Buraq, bersama Malaikat Jibril, lalu naik ke langit (Mi’raj). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menerima perintah salat lima waktu di Sidratul Muntaha atau Baitul Makmur.
Sebelum sampai di Sidratul Muntaha, pada langit pertama, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersama Malaikat Jibril minta dibukakan pintu langit dan ditanya: “Siapa?” Jibril menjawab: “Saya Jibril.” Ditanya lagi: “Siapa yang datang bersama kamu?” Jibril menjawab: “Muhammad.” Ditanya lagi: “Apakah ia diutus?” Jibril kembali menjawab: “Ya.” Kemudian kalimat selamat datang pun diucapkan untuk Baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan pintu langit dibukakan. Saat dibukakan pintu langit, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Nabi Adam As. Lalu Jibril memperkenalkan: Ini ayahmu; Adam, kemudian mengucapkan salam padanya, Rasul pun mengucapkan salam. Nabi Adam menjawab salam tersebut dan mengucapkan: “Selamat datang wahai Nabi yang saleh.” Perjalanan dilanjutkan ke langit kedua, ketiga hingga ke tujuh. Di langit kedua sampai ke tujuh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertemu dengan Yahya dan Isa, dengan Nabi Yusuf (ketiga), Nabi Idris (keempat), Nabi Harun (kelima) dan Nabi Musa (keenam).
Saat akan berpisah dengan Nabi Musa As di langit keenam, Musa menangis. Saat ditanya kenapa dia menangis, Musa menjawab: “Aku menangis karena umat Nabi (Muhammad) yang diutus setelahku akan banyak masuk surga dari umatku.”
Kemudian perjalanan dilanjutkan lagi ke langit yang ke tujuh. Rasulullah SAW bertemu Nabi Ibrahim, ayah para nabi. Nabi Ibrahim menyambutnya: “Selamat datang wahai anakku dan Nabi yang saleh.” Dan langsung naik ke Sidratul Muntaha, kemudian dilanjutkan ke Baitul Makmur.
Baitul Makmur adalah tempat yang selalu dimasuki oleh tujuh ribu malaikat setiap harinya. Di sana, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam disuguhi tiga gelas masing-masing berisi khamr, susu dan madu. Rasul memilih gelas yang berisi susu yang berwarna putih seperti putih (fitrah)-nya diri Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya.
Di sana pula Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pertama kalinya menerima perintah salat sebagai ibadah wajib bagi umat Islam. Saat itu, perintah salat wajib dilaksanakan 50 kali setiap harinya. Rasulullah kemudian turun dan bertemu dengan Nabi Musa dan menceritakan perihal salat ini.
Nabi Musa mengatakan sesungguhnya umatmu akan merasa berat mengerjakan salat 50 waktu setiap hari. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kembali meminta keringanan dan didapatlah keringanan sehingga perintah salat menjadi 40 waktu setiap harinya. Kemudian Rasul menghadap Nabi Musa dan menceritakan masalah ini. Nabi Musa kembali menyarankan seperti saran yang dia berikan sebelumnya: “Sesunggunya umatmu akan merasa berat mengerjakan salat 40 waktu setiap hari. Kembalilah kepada Tuhanmu (Allah) dan mintalah keringanan untuk umatmu.”
Nabi Musa mengatakan sesungguhnya umatmu akan merasa berat mengerjakan salat 50 waktu setiap hari. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kembali meminta keringanan dan didapatlah keringanan sehingga perintah salat menjadi 40 waktu setiap harinya. Kemudian Rasul menghadap Nabi Musa dan menceritakan masalah ini. Nabi Musa kembali menyarankan seperti saran yang dia berikan sebelumnya: “Sesunggunya umatmu akan merasa berat mengerjakan salat 40 waktu setiap hari. Kembalilah kepada Tuhanmu (Allah) dan mintalah keringanan untuk umatmu.”
Setelah berkali-kali Nabi Musa menyarankan agar minta keringanan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun kembali menemui Allah Subhanahu wa Ta'ala selama beberapa kali sebelum akhirnya Dia menetapkan salat dikerjakan lima kali dalam sehari semalam. Dengan jumlah itu yang sudah lima kali itu pun, Nabi Musa masih menyarankan agar Rasul kembali menghadap-Nya dan meminta keringanan.
Pada pagi hari setelah malamnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan isra’, malaikat Jibril datang mengajarkan cara salat dan ketentuan waktu pelaksanaannya kepada Nabi. Malaikat Jibril memberikan contoh. Ia melaksanakan salat dua rakaat sewaktu fajar menyingsing (salat subuh), empat rakaat kala matahari tergelincir sedikit dari tengah, empat rakaat lagi sewaktu bayangan mencapai dua kali lipat panjangnya, tiga rakaat sewaktu matahari tenggelam dan empat rakaat sewaktu mega merah lenyap.
Sebelum disyariatkannya ibadah lima waktu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya melaksanakan ibadah salat dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat pada sore harinya seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim As.
“Dirikanlah salat sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam. Dan dirikanlah pula salat Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh) malaikat.” (QS Al-Isra: 78)
Ayat barusan menerangkan waktu-waktu salat yang lima.
Menurut hadist Nabi yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia bercerita: Suatu hari ketika Rasul sedang berbincang-bincang dengan sahabat Anshar dan Muhajirin, datanglah orang Yahudi dan menanyakan tentang sesuatu yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam.
Menurut hadist Nabi yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia bercerita: Suatu hari ketika Rasul sedang berbincang-bincang dengan sahabat Anshar dan Muhajirin, datanglah orang Yahudi dan menanyakan tentang sesuatu yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: “Salat Zuhur dikerjakan setelah tergelincir matahari; Ashar adalah salatnya Nabi Adam ketika makan buah khuldi dan tobatnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala pada saat Magrib. Sedangkan Isya adalah salatnya para Rasul dan Subuh sebelum terbit matahari.”
Dan waktu shalat sudah ditentukan oleh Allah.,
Sementara itu, dalam beberapa keterangan disebutkan bahwa shalat 5 waktu yang dikerjakan oleh umat islam saat ini, berasal dari shalat para nabi terdahulu…
1. Shubuh, manusia pertama yang melakukan shalat ini adalah nabi Adam As, yaitu saat Adam diturunkan ke Bumi untuk menjadi khalifah (pengelola) di muka bumi. Konon Adam megerjakan shalat dua rakaat, menjelang terbit fajar. Rakaat pertama; sebagai tanda syukur karena terlepas dari kegelapan malam. Sedangkan rakaat kedua, bersyukur atas datangnya siang.
2. Zhuhur, manusia yang pertama kali yang mengerjakan shalat ini adalah nabi Ibrahin As, saat Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepadanya agar menyembelih anaknya Nabi Ismail As, dan Allah mengantikannya dengan seekor domba. Seruan itu datang pada waktu tergelincir matahari, lalu sujud Nabi Ibrahim sebanyak empat rakaat. Rakaat pertama, adalah sebagai tanda bersyukur bagi penebusan, yang kedua adalah tanda syukur atas dihilangkannya kedukaan dari dirinya dan anaknya, ketiga tanda syukur atas keridhaan Allah, dan keempat tanda syukur karena Allah menganti tebusannya.
3. Ashar, manusia yang pertama kali melakukan shalat ashar adalah nabi Yunus, saat ia keluar dari perut ikan Nun (paus). Ikan nun mengeluarkan nabi Yunus dari perutnya ke tepi pantai, sedangkan waktu itu telah masuk waktu ashar. Maka, bersyukurlah nabi Yunus dan mendirikan shalat empat rakaat karena terhindar dari empat kegelapan. Rakaat pertama, kegelapan akibat kesalahan meninggalkan kaumnya, kedua, kegelapan malam dalam lautan, ketiga, kegelapan malam akibat berhari-hari lamanya di dalam perut ikan Nun, dan keempat kegelapan dalam perut ikan Nun.
4. Maghrib, manusia yang pertama mengerjakan shalat maghrib adalah nabi Isa As, yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkannya dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, sedang waktu itu telah terbenam matahari. Maka, nabi Isa bersyukur dan bersujud sebanyak tiga kali. Rakaat pertama adalah untuk menafikkan bahwa tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, kedua menafikkan zina yang dituduhkan atas ibunya, dan yang ketiga untuk meyakinkan kaumnya bahwa tuhan itu hanya satu dan bukan tiga.
5. Isya, manusia yang pertama melakukannya adalah nabi Musa As, ketika itu nabi Musa tersesat mencari jalan keluar dari negeri Madyan, sedang dalam dalam dadanya penuh dengan duka cita. Allah swt menghilang kan semua perasaan duka citanya pada waktu malam. Lalu, shalatlah nabi Musa empat rakaat sebagai tanda bersyukur. Rakaat pertama sebagai tanda duka cita terhadap istrinya, kedua sebagai tanda duka cita terhadap Fir’aun, yang ketiga tanda dukacita terhadap saudaranya Harun, dan yang keempat adalah tanda duka cita terhadap anak Fir’aun. Wallahu ’alam
Referensi:
[1] Abraham Cohen, Everyman’s Talmud, ( Schocken,1995), h. 286, 299, 405.
[2] Hastings, Dictionary of the Bible, ( Mittwoch, S, 8, Berakah 21b), h.444.
[3] The old Persian Religion, ( Yasna, 1, 8), h.124.
[4] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Dar al-Hadits, 2002 H./1423 H.), jld. 2, h.306.
[5] Muhammad bin Jarir Yazid bin Katsir bin Ghalib, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Cet. (Muassasah ar-Risalah), jld. 9, h. 159.
[6] Ali bin Burhanuddin al-Halabi, As-Sirah al-Halabiyah fi Sirah al-Amin al-Ma’mun, (Dar al-Ma’rifah), jld.1, h. 302.
[7] Muhammad bin Jarir Yazid bin Katsir bin Ghalib, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, ( Muassasah ar-Risalah), jld.16, h.163.
[8] Ali bin Burhanuddin al-Halabi, As-Sirah al-Halabiyah fi Sirah al-Amin al-Ma’mun, (Dar al-Ma’rifah), jld.1, h.252.
[9] Zainuddin bin Faraj bin Rajab al-Hanbali, Fathulbari Syarh Shahih al-Bukhari, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, 1996 M./1417 H.), cet.I, jld.1, h.304.
[10] Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘Ala Muslim, ( Bairut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi,1392 H.), cet. II, jld.2, h.274.
[11] Umar Abdul Jabbar, Khulashah Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyidi al-Mursalin, ( Surabaya: Maktabah asy-Syeh Salim bin Sa’d Nabhan), cet.II , jld.1, h.43.
[1] Abraham Cohen, Everyman’s Talmud, ( Schocken,1995), h. 286, 299, 405.
[2] Hastings, Dictionary of the Bible, ( Mittwoch, S, 8, Berakah 21b), h.444.
[3] The old Persian Religion, ( Yasna, 1, 8), h.124.
[4] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Dar al-Hadits, 2002 H./1423 H.), jld. 2, h.306.
[5] Muhammad bin Jarir Yazid bin Katsir bin Ghalib, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Cet. (Muassasah ar-Risalah), jld. 9, h. 159.
[6] Ali bin Burhanuddin al-Halabi, As-Sirah al-Halabiyah fi Sirah al-Amin al-Ma’mun, (Dar al-Ma’rifah), jld.1, h. 302.
[7] Muhammad bin Jarir Yazid bin Katsir bin Ghalib, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, ( Muassasah ar-Risalah), jld.16, h.163.
[8] Ali bin Burhanuddin al-Halabi, As-Sirah al-Halabiyah fi Sirah al-Amin al-Ma’mun, (Dar al-Ma’rifah), jld.1, h.252.
[9] Zainuddin bin Faraj bin Rajab al-Hanbali, Fathulbari Syarh Shahih al-Bukhari, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, 1996 M./1417 H.), cet.I, jld.1, h.304.
[10] Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘Ala Muslim, ( Bairut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi,1392 H.), cet. II, jld.2, h.274.
[11] Umar Abdul Jabbar, Khulashah Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyidi al-Mursalin, ( Surabaya: Maktabah asy-Syeh Salim bin Sa’d Nabhan), cet.II , jld.1, h.43.
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa'at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق
Tidak ada komentar:
Posting Komentar