MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 07 April 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMBUNUH TERDUGA TERORIS ATAU BUGHOT MENURUT ISLAM

Al-Irhab (Teroris dalam Bahasa Arab disebut dengan kata ‘الإرهاب’ berasal dari kata (أرهب – يرهب – إرهابا) maknanya adalah “menimbulkan rasa gentar”. Makna ini tidaklah terpuji atau tercela secara langsung kecuali jika diketahui maknanya oleh orang yang mengatakannya. Kalau tidak, maka dilihat dari dampaknya. Siapa yang mengatakan bahwa “Irhab” dalam Islam selalu berarti pembunuhan, maka dia keliru. Irhab artinya adalah menimbulkan rasa gentar, bukan membunuh.

Bughat ( بُغَاةٌ )adalah bentuk jamak اَْلبَاغِيُ, yang merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal dari kata بَغى (fi’il madhi), يبْغِيُ (fi’il mudhari’), dan بُغْيَةً – بَغْيًا بُغَاءً – (mashdar). Kata بَغى mempunyai banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zhalim), إِعْتَدَى / تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui batas), dan كَذَبَ (berbohong).

Dengan demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknya اَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zhalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ الْمُسْتَعْلِيْ (orang yang berbuat zhalim dan menyombongkan diri).

Dalam definisi syar’i bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghyu (pemberontakan).

Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul Qadir Audah, dalam kitabnya التشريع الجنائي الإسلامي ) At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy), dan oleh Syekh Ali Belhaj, dalam kitabnya فصل الكلام في مواجهة ظلم الحكام (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)

*A. Menurut Ulama Hanafiyah.*

… البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق (حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48)

“Al-Baghyu (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (pemimpin) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).

*B. Menurut Ulama Malikiyah.*

… البغي … الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا …

… البغاة … فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه (شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)

“Al-Baghyu adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (pemimpin) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…

Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (pemimpin besar/tertinggi) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).

*C. Menurut Ulama Syafi’iyah.*

… البغاة … المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة لهم و تأويل و مطاع فيهم (نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153)

“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).

… هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع (أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )

“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah/komunitas), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)

*D. Menurut Ulama Hanabilah.*

… البغاة … الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع (شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114)

“Bughat adalah orang-orang yang memberontak kepada seorang imam (walaupun ia bukan imam yang adil) dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).

*Hukum Pembunuhan*

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya." (QS. An-Nisa' : 93).

Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا وَلَا مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا

"Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengutusku (berbuat kekerasan) untuk memaksa orang lain atau menjerumuskannya, akan tetapi Dia mengutusku sebagai seorang pengajar (mu'allim) dan orang memudahkan urusan (muyassir)". (HR. Muslim no. 2703)

Dalam Islam, pembunuhan  merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana  ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum qisash (hukum mati) bagi seorang pembunuh. Tetapi dalam kasus ini, Polisi pembunuh teroris bisa digolongkan kepada pembunuh yang melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’i), Yakni orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’i berhak membela dan mempertahankan dirinya.

Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku teror yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.

Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar,  atau teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.

Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi seperti teror di sarinah, dimana pelaku sudah  mengacungkan pistol, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597).

Dan bagi polisi tersebut baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan kehormatan dari seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.

Dalil masalah ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, 

فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع المتقين

“Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah : 194)

Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.

Sementara dalam as-sunnah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

من قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة)

“Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid,   siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang pelaku.

Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadits riwayat Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره (رواه البخاري وأحمد والترمذي)

“Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya, “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab, “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

من أذل عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم القيامة (رواه أحمد)

“Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Ta'ala akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia.” (HR. Ahmad)

Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqqun ja’iz),  maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.

Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut madzhab al-Hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha (al-Malikiyyah, al-Hanafiyyah, dan as-Syafi'iyah). Hanya saja madzhab Syafi'i memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

كن خير ابني آدم (رواه أبو داود)

“Jadilah sebaik-baiknya bani adam (HR. Abu Daud).

Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadits ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafi'i adalah bahwa membela diri sendiri sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur yang lain berpegang pada firman Allah Ta'ala,

ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah : 195)

فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله

“Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah." (QS. Al-Hujuraat : 9)

Para fuqaha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan, maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan diatas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

من شهر سيفه ثم وضعه فدمه هدر (رواه الإمام الحاكم)

"Siapa saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal darahnya." (HR. Al-Hakim)

Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq (komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadits ini shahih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadits ini dalam kitab shahihnya.

Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya, Abu Hurairah ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bertanya,

يا رسول الله ، أرأيت إن جاء رجل يريد أخذ مالي؟ قال: فلا تعطه مالك، قال: أرأيت إن قاتلني؟ قال: قاتله، قال: أرأيت إن قتلني؟ قال: فأنت شهيد، قال: أرأيت إن قتلتُه؟ قال: هو في النار (رواه مسلم)

“Wahai Rasulullah, “bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab, “jangan kau berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Bagaimana jika ia menyerangku”.?. Beliau menjawab, “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku.?”. Beliau menjawab, “kamu syahid“. Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab, “Dia masuk neraka.“ (HR. muslim).

Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam perkara yang mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan. Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada qishash atau pun diyat baginya. (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332).

Namun, pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia adalah seorang teroris. 

Andaikan pemerintah Indonesia menggunakan hukum Islam, maka hukum pidana bagi teroris adalah hukuman mati. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (QS. Al Maidah: 33)

Ayat ini berbicara tentang terorisme. Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan tentang ayat ini: “Huruf أَوْ (atau) di sini berfungsi untuk menunjukkan urutan. (Teroris) yang hanya membunuh, hukumannya adalah dibunuh. (Teroris) yang membunuh dan merampas harta hukumannya dibunuh lalu disalib. (Teroris) yang hanya merampas harta dan tidak membunuh, hukumannya potong tangan. Dan (teroris) yang hanya membuat teror (tidak membunuh dan merampas harta) hukumannya diasingkan dari negerinya.”

Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam Manhajus Salikin menjelaskan ayat ini: “Yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang mengganggu masyarakat dengan perampokan, perampasan atau pembunuhan. Bila mereka membunuh dan merampas harta, hukumannya dibunuh dan disalib. Bila mereka hanya membunuh, diputuskan hukuman mati. Bila mereka hanya merampas harta, hukumannya dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Bila mereka hanya membuat teror, hukumannya diasingkan dari negerinya." Wallahu a’lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 21 Maret 2021

KAJIAN TENTANG MI'RAJ NABI KE SIDRATIL MUNTAHA, BAITUL MA'MUR DAN PERINTAH SHALAT

Setelah delapan tahun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendakwahkan agama Allah kepada kaumnya dengan didampingi dan dilindungi oleh dua orang kuat suku Qurays, yakni pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah, maka pada tahun ini Rasulullah pun harus rela ketika keduanya dipanggil menghadap Sang Rabb. Dengan demikian, pada waktu itu Nabi tiada lagi memiliki pembela yang cukup kuat di hadapan kaumnya sendiri yang memusuhi kebenaran. Dalam sejarah Islam tahun ini disebut ’amul huzni, tahun kesedihan.

Atas cobaan yang teramat berat dan bertubi-tubi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari embargo kaum Qurays, penolakan kaum Thaif atas hijrah Rasul dan para shahabat serta wafatnya paman beliau Abu Thalib dan istrinya Khadijah, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memberikan ”sekadar hiburan” kepada Muhamad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang berkabung dengan segala keadaan dan perasaannya. Rasulullah menerima ”sepaket perjalanan rekreasi” untuk menyegarkan kembali ghirroh (semangat) perjuangannya dalam menegakkan misi Tauhid di Bumi.

”Paket perjalanan” yang kemudian disebut sebagai Isra’ Mi’raj ini sejatinya adalah sebuah pesan kepada seluruh umat Muhammad bahwa, segala macam cobaan yang seberat apa pun haruslah kita lihat sebagai sebuah permulaan dari akan dianugerahkannya sebuah kemuliaan kepada kita. Dalam peristiwa itu, tepatnya 27 Rajab, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat saja langsung menuju langit dari Makkah, namun Allah tetap membawanya menuju Masjidil Aqsha, pusat peribadahan nabi-nabi sebelumnya

Shalat telah diwajibkan bagi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pengikutnya sejak diturunkannya firman Allah pada awal kenabian, 

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلاً 

"Hai orang yang berselimut (Muhammad),),bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)... (QS. Al-Muzzammil, 73:1-19) 

Ini adalah petunjuk bahwa Rasulullah dan para pengikutnya yang baru berjumlah sedikit kala itu memiliki kewajiban untuk bangun pada tengah malam untuk menjalankan kewajiban shalat. 

*Sidratil Muntaha*

Sidratul muntaha (سدرة المنتهى), Allah sebutkan makhluk istimewa ini dalam Al-Quran, di surat An-Najm,

أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى  وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى  عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى  عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى  إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى  مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى  لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

"Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?  Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,  yaitu  di Sidratil muntaha.  di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.  penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.  Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (QS. An-Najm: 12 – 18)

Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon besar yang berada di langit ketujuh. Ia adalah pemisah. Disebut muntaha (akhir) karena ia merupakan batas akhir dari sebuah perjalanan. Tidak ada satu makhluk pun yang pernah melewatinya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Pohon Sidr adalah Pohon Bidara.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

سُمِّيَتْ سِدْرَةَ الْمُنْتَهَى لأَنَّ عِلْمَ الْمَلاَئِكَةِ يَنْتَهِي إِلَيْهَا، وَلَمْ يُجَاوِزْهَا أَحَدٌ إِلاَّ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

“Dinamakan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat (tentang jarak perjalanan) berakhir padanya. Tidak ada satu makhluk pun yang pernah melewatinya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (An-Nawawi, Al-Minhaj juz 2 hal. 214).

Ibnu Abbas dan para ahli tafsir mengatakan,

سميت سدرة المنتهى لأن علم الملائكة ينتهي إليها ولم يجاوزها أحد إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم وحكي عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أنها سميت بذلك لكونها ينتهي إليها ما يهبط من فوقها وما يصعد من تحتها من أمر الله تعالى

"Dinamakan sidratul muntaha (pohon puncak), karena ilmu malaikat puncaknya sampai di sini. Tidak ada yang bisa melewatinya, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dinamakan sidratul muntaha karena semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari sana dan semua yang naik, ujungnya ada di sana." (Ta’liqat ‘ala Shahih Muslim, Muhamad Fuad Abdul Baqi, 1/145).

Tidak jauh berbeda dengan apa yang dsampaikan Imam As-Sa’di. Dalam tafsirnya, beliau menjelaskan alasan penamaan sidratul muntaha,

سميت سدرة المنتهى، لأنه ينتهي إليها ما يعرج من الأرض، وينزل إليها ما ينزل من الله، من الوحي وغيره، أو لانتهاء علم الخلق إليها أي: لكونها فوق السماوات والأرض، فهي المنتهى في علوها أو لغير ذلك، والله أعلم.

"Dinamakan sidratul muntaha, karena tempat pohon ini merupakan puncak segala sesuatu yang naik dari bumi, dan yang Allah turunkan, pangkalnya di sidratul muntaha, baik wahyu atau lainnya. Bisa juga dimaknai, karena sidartul muntaha merupakan puncak yang diketahui makhluk. (lebih dari itu, makhluk tidak tahu), karena pohon ini berada di atas langit dan bumi. Sehingga sidratul muntaha merupakan puncak ketinggian, atau lainnya."

Terdapat beberapa riwayat shahih yang menjelaskan sifat fisik Sidratul Muntaha, berikut diantaranya,

Hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَرُفِعَتْ لِي سِدْرَةُ المُنْتَهَى، فَإِذَا نَبِقُهَا كَأَنَّهُ قِلاَلُ هَجَرَ وَوَرَقُهَا  كَأَنَّهُ آذَانُ الفُيُولِ فِي أَصْلِهَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ نَهْرَانِ بَاطِنَانِ، وَنَهْرَانِ ظَاهِرَانِ، فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ، فَقَالَ: أَمَّا البَاطِنَانِ: فَفِي الجَنَّةِ، وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ: النِّيلُ وَالفُرَاتُ

"Aku melihat Shidratul-Muntaha di langit ke tujuh. Buahnya seperti kendi daerah Hajar, dan daunnya seperti telinga gajah. Dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril, apakah keduanya ini?” Dia menjawab, “Adapun dua yang dalam itu ada di surga sedangkan dua yang di luar itu adalah Nil dan Eufrat." (HR. Bukhari 3207)

Dalam riwayat Ahmad (12673), terdapat keterangan,

رُفِعَتْ لِي سِدْرَةُ الْمُنْتَهَى فِي السَّمَاءِ السَّابِعَةِ

“..kemudian aku melihat sidratul muntaha di langit ketujuh..” (HR. Ahmad)

Hadits dari Asma bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang Sidratul Muntaha,

يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي ظِلِّ الفَنَنِ مِنْهَا مِائَةَ سَنَةٍ، أَوْ يَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا مِائَةُ رَاكِبٍ، فِيهَا فِرَاشُ الذَّهَبِ كَأَنَّ ثَمَرَهَا الْقِلَالُ

"Orang yang naik kuda baru bisa melintasi bayang-bayangnya selama seratus tahun atau seratus penunggang kuda, bisa dinaungi bayang-bayangnya, di sana ada laron dari emas, buahnya seperti kendi besar." (HR. Turmudzi 2541).

Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَتَّى انْتَهَى بِي إِلَى سِدْرَةِ المُنْتَهَى، وَغَشِيَهَا أَلْوَانٌ لاَ أَدْرِي مَا هِيَ

“…hingga saya berhenti di sidratil muntaha, dan pohon ini diliputi warna, yang saya tidak tahu apa itu.”

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمَّا عُرِجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ ذُهِبَ بِي إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، …. فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللَّهِ مَا غَشِيَهَا، تَغَيَّرَتْ، فَمَا أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا

"Ketika saya dimi’rajkan ke langit ke tujuh, saya diajak ke sidratul muntaha,… ketika pohon ini diliputi perintah Allah, dia berubah. Tidak ada seorangpun manusia yang mampu menggambarkannya, karena sangat indah." (HR. Abu Ya’la Al-Mushili 3450 dan dishahihkan Husain Salim Asad).

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

“لَمَّا أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، انْتُهِيَ بِهِ إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، وَهِيَ فِي السَّمَاءِ السَّادِسَةِ، إِلَيْهَا يَنْتَهِي مَا يُعْرَجُ بِهِ مِنَ الأَرْضِ فَيُقْبَضُ مِنْهَا، وَإِلَيْهَا يَنْتَهِي مَا يُهْبَطُ بِهِ مِنْ فَوْقِهَا فَيُقْبَضُ مِنْهَا”، قَالَ: {إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى} [النجم: 16]، قَالَ: “فَرَاشٌ مِنْ ذَهَبٍ”

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diisra’kan, beliau dihentikan di Sidrah al-Muntaha, yang terletak di langit keenam. Sesuatu yang naik dari bumi akan bermuara di sana dan ditahan di sana. Dan sesuatu dari atasnya berhenti padanya, lalu ditahan di tempat tersebut. Allah berfirman: ‘(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya).’ (QS. An Najm: 16). Abdullah berkata lagi, “Yaitu hamparan dari emas.” (HR. Muslim dalam Kitabul Iman, 173).

Besarnya pohon ini, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Dan pohon ini benar-benar ada di langit ketujuh dalam sejumlah riwayat. Kecuali riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang menyebutnya berada di langit keenam. Tapi, bisa juga tafsinya adalah bahwa akar pohon ini berada di langit keenam. Dan pohonnya yang besar berada di langit ketujuh. Maha Suci Allah yang berkuasa atas segala sesuatu.

*Baitul Ma'mur*

Baitul makmur adalah kabah penduduk langit sebagaimana kabah di bumi sebagai pusat ibadah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ ﺑﻌﺪ ﻣﺠﺎﻭﺯﺗﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ : ‏« ﺛﻢ ﺭﻓﻊ ﺑﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻤﻌﻤﻮﺭ , ﻭﺇﺫﺍ ﻫﻮ ﻳﺪﺧﻠﻪ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﺳﺒﻌﻮﻥ ﺃﻟﻔﺎً ﻻ ﻳﻌﻮﺩﻭﻥ ﺇﻟﻴﻪ ﺁﺧﺮ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ‏» ﻳﻌﻨﻲ ﻳﺘﻌﺒﺪﻭﻥ ﻓﻴﻪ ﻭﻳﻄﻮﻓﻮﻥ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﻄﻮﻑ ﺃﻫﻞ ﺍﻷﺭﺽ ﺑﻜﻌﺒﺘﻬﻢ , ﻛﺬﻟﻚ ﺫﺍﻙ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻤﻌﻤﻮﺭ ﻫﻮ ﻛﻌﺒﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ , ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻭﺟﺪ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﺨﻠﻴﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﺴﻨﺪﺍً ﻇﻬﺮﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻤﻌﻤﻮﺭ , ﻷﻧﻪ ﺑﺎﻧﻲ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ ﺍﻷﺭﺿﻴﺔ ,

“Terdapat dalam Shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa saalm bersabda ketika peristiwa Isra’ pada saat melewati langit ke tujuh, ‘kemudian aku diangkat menuju baitul makmur, padanya masuk (datang) setiap hari 70.000 malaikat yang tidak akan kembali lagi’. Yaitu mereja beribadah dan berthawaf sebagaimana penduduk bumi thawaf di ka’bah mereka . Demikian juga baitul makmur ia adalah ka’bah penduduk langit ketujuh. Oleh karena itu, didapati Nabi Ibrahim Al-Khalil alihisshalatu wassalam menyandarkan badannya pada baitul makmur karena ia telah membangun ka’bah di bumi”

Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah berkata,

ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﻫﻮ ﺑﻴﺖ ﺣﺬﺍﺀ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺗﻌﻤﺮﻩ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ,يصلي ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﺳﺒﻌﻮﻥ ﺃﻟﻔﺎً ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺛﻢ ﻻ ﻳﻌﻮﺩﻭﻥ ﺇﻟﻴﻪ . ﻭﻛﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﻋﻜﺮﻣﺔ ﻭﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭﻏﻴﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ

“Dari Ibnu Abbas, ia adalah rumah yang disekitar ‘Arsy yang dimakmurkan oleh para malaikat. 70.000 malaikat shalat di situ setiap hari kemudian mereka tidak akan kembali. Demikian juga pendapat Ikrimah, Mujahid dan banyak para salaf.”

Posisnya sejajar di atas ka’bah di bumi. Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata,

” ﻭﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻤﻌﻤﻮﺭ “ ، ﺑﻜﺜﺮﺓ ﺍﻟﻐﺎﺷﻴﺔ ﻭﺍﻷﻫﻞ، ﻭﻫﻮ ﺑﻴﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺣﺬﺍﺀ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﺤﻴﺎﻝ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ

“Baitul Makmur: banyaknya yang memenuhi dan penduduknya, yaitu rumah di langit sekitar ‘Arsy dan sejajar dengan Ka’bah bumi.”

*Perintah Shalat 5 Waktu*

Ibadah shalat lima waktu diwajibkan pada umat ini saat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam masih tinggal di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah dilakukan. Tepatnya saat malam isra’ mi’raj. Satu setengah tahun sebelum hijrah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah,

فلما كان ليلة الإسراء قبل الهجرة بسنة ونصف ، فرض الله على رسوله صلى الله عليه وسلم الصلوات الخمس ، وفصل شروطها وأركانها وما يتعلق بها بعد ذلك ، شيئا فشيئا

“Pada malam isra’ mi’raj, tepatnya satu setengah tahun sebelum hijrah, Allah mewajibkan shalat lima waktu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian secara berangsur, Allah terangkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, serta hal-hal yang berkaitan dengan shalat” (Tafsir Ibnu Katsir)

Menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya, kewajiban shalat malam dihapuskan setelah ayat ke 20 atau ayat terakhir dari surat al-Muzammil ini diturunkan oleh Allah Ta'ala. 

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ 

"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah..." (QS. Al-Muzammil : 20)

Pelaksanaan ibadah shalat menunjukkan bahwa Baitul Maqdis di Yerusalem merupakan salah satu tempat sangat penting posisinya dalam agama Islam sebagai kiblat pertama umat Islam. Kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi Shalat dan para pengikutnya menghadap Baitul Maqdis, sebelum akhirnya Allah memerintahkan umat Islam untuk memindahkan kiblatnya ke Ka'bah di Makkah. Pemindahan arah kiblat ini terjadi di tengah-tengah ibadah shalat sedang berlangsung. Masjid tempat dilaksanakan shalat ketika perintah berpindah kiblat ini diturunkan hingga sekarang disebut sebagai Masjid Kiblatain (Masjid Dua Kiblat). 

Allah senantiasa melibatkan Masjidil Aqsho dalam setiap perkembangan ajaran-ajaran seputar Shalat. Termasuk menghadap ke Baitul Maqdis sebelum dipindahkan kiblatnya ke Ka'bah. Perintah Shalat lima waktu diterima setelah Rasulullah dikaruniai singgah di Baitul Maqdis (QS. Al-Isra', 17:1) dalam perjalanan menuju Sidratul Muntaha. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 18 Maret 2021

KAJIAN TENTANG KEUTAMAAN BULAN SYA'BAN

Hari ini tanggal 19 Maret 2021 bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1442 Hijriah. Bulan Sya’ban adalah bulan ke 8 dari Kalender Hijriyah. Dinamakan Sya’ban karena penduduk Arab saat itu bercerai berai untuk mencari air, ada yang bilang untuk mencari kebaikan.

Dinamakan Sya’ban ( شَعْبَانَ ) diambil dari lafazh شَعْبٌ yang artinya kelompok atau golongan karena orang-orang Arab dahulu pada bulan tersebut berpencar-pencar ( يَتَشَاعَب ) untuk mencari sumber air. Juga karena mereka berpisah-pisah ( تَشَاعُب / terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya’ban karena bulan tersebut muncul ( شَعَبَ ) di antara dua bulan mulia, yaitu Rajab dan Ramadhan. Bentuk jamaknya adalah شَعَبَنَات dan شَعَابِيْن. 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dinamakan Sya’ban karena sibuknya mereka mencari air atau sumur setelah berlalunya bulan Rajab yang mulia. Dan ada juga yang berpendapat selain itu." (Lihat Lisanul ‘Arab dan Fat-hul Baari (IV/251)

Seperti bulan-bulan lainnya, bulan Sya’ban memiliki beberapa keistimewaan tersendiri dari bulan-bulan lainnya. Antara lain :

*1. Bulan Sya’ban merupakan bulannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam*

Makhluk yang paling mulya serta paling dicintai oleh Allah swt. Nabi saw bersabda,

وَشَعْبَانُ شَهْرِي فَمَنْ عَظَّمَ شَهْرَ شَعْبَانَ فَقَدْ عَظَّمَ أَمْرِي، وَمَنْ عَظَّمَ أَمْرِي كُنْتُ لَهُ فَرَطًا وَذُخْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البيهقي)

“Sya’ban adalah bulanku, barang siapa yang mengagungkan bulan Sya’ban maka ia benar-benar mengagungkanku, dan barang siapa yang mengagungkan urusanku, maka aku pendahalunya dan penyimpannya kelak di hari kiamat” (HR. Al-Baihaqi)

Dalam riwayat lain disebutkan,

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ تَعَالَى وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ

“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadlan bulan umatku” (HR. Ibnu Asakir)

*2. Diangkatnya amal perbuatan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala*

Sebagaimana dalam hadits,

يَا رَسُولَ اللهِ ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ ، قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Usamah bin Zaid ra, “Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam suatu bulan seperti berpuasa bulan Sya’ban ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Bulan tersebut bulan yang sering dilupakan oleh orang-orang, bulan itu berada di antara bulan Rajab dan Ramadlan. Padahal di bulan tersebut, amal-amal perbuatan manusia diangkat ke Tuhan semesta alam (Allah Ta'ala), dan saya senang amal perbuatan saya diangkat sementara saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. An-Nasa’i)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,

عمل العام يرفع في شعبان ؛ كما أخبر به الصادق المصدوق ويعرض عمل الأسبوع يوم الاثنين والخميس ، وعمل اليوم يرفع في آخره قبل الليل ، وعمل الليل في آخره قبل النهار . فهذا الرفع في اليوم والليلة أخص من الرفع في العام ، وإذا انقضى الأجل رفع عمل العمر كله وطويت صحيفة العمل

Amalan manusia dalam satu tahun, diangkat pada bulan Sya’ban. Sebagaimana dikabarkan oleh As-Shodiqul Mashduq (Orang yang jujur lagi dibenarkan, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bahwa Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal.

Demikian pula amalan dalam sepekan dilaporkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis. Adapun amalan (pent, harian) siang dilaporkan di penghujung siang sebelum malam tiba. Dan amalan malam dilaporkan di penghujung malam sebelum tibanya siang.

Pelaporan amal harian, lebih khusus daripada pelaporan amal tahunan.

Ketika ajal seseorang datang, seluruh amal perbuatan yang dia lakukan di selama hidupnya, akan diangkat seluruhnya. Kemudahan lembaran catatan amalnya akan digulung.” (Hasyiyah Ibnul Qayyim ‘alas Sunan Abi Dawud, 12/313)

*3. Bulan untuk berdoa kepada Allah Ta'ala*

Bulan Sya’ban sangat dekat dengan bulan suci Ramadhan. Umat Islam dianjurkan untuk memohon panjang umur kepada Allah SWT agar dapat mengalami Bulan Ramadhan, bulan penuh kemurahan Allah SWT. Sedangkan lafal doa yang lazim dibaca adalah doa yang sama dengan doa bulan Rajab sebagai berikut,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ  

“Ya Allah, berkatilah kami pada Bulan Rajab dan Bulan Sya’ban. Sampaikan kami dengan Bulan Ramadhan.” 

Doa panjang umur itu juga dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana riwayat hadits berikut,  

كان إذا دخل رجب قال اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان 

“Jika masuk bulan Rajab, Rasulullah berdoa, ‘Ya Allah, berkatilah kami pada Bulan Rajab dan Sya‘ban. Sampaikan kami ke Bulan Ramadhan.’” 

Syekh Ibnu Rajab menyimpulkan bahwa riwayat ini menganjurkan umat Islam untuk memohon panjang umur dengan niat untuk menambah kebaikan dan beramal saleh di masa mendatang. Pandangan Ibnu Rajab ini dikutip oleh Syekh Abdur Rauf Al-Munawi ketika mensyarahkan kumpulan hadits Jami‘us Shaghir berikut ini,

قال ابن رجب: فيه أن دليل ندب الدعاء بالبقاء إلى الأزمان الفاضلة لإدراك الأعمال الصالحة فيها فإن المؤمن لا يزيده عمره إلا خيرا. 

“Syekh Ibnu Rajab mengatakan, pada hadits ini terdapat dalil anjuran doa panjang umur hingga waktu-waktu utama (Ramadhan) agar dapat melakukan amal saleh di waktu-waktu tersebut. Pasalnya, tidak bertambah usia orang beriman melainkan bertambah kebaikannya,” (Lihat Abdur Rauf Al-Munawi, Faidhul Qadir bi Syarhi Jami‘is Shaghir, [Beirut, Darul Makrifah, 1972 M/1391 H], cetakan kedua, juz V, halaman 131). 

Sya'ban dinamakan bulan ruwah karena bulan ini adalah bulan di mana para arwah leluhur yang telah mendahului kita menengok keluarga yang ditinggalkan di dunia. Dan keluarga yang masih hidup berbondong-bondong mendoakan arwah para leluhur menjelang bulan ramadhan. Baik melalui do'a, sedekah, tahlil dan tahmid maupun langsung berziarah ke kubur. Bulan sya'ban menjadi bulan special, artinya ada beberapa tradisi yang berlaku di bulan ini yang tidak dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Diantara tradisi itu adalah menengok makam atau meziarahi kubur orang tua, kakek-nenek, saudara, sanak family, suami atau istri, anak atau bapak yang telah mendahului.

Yang patut dipahami bahwa doa dari orang yang hidup kepada orang yang mati itu bermanfaat. Dalil yang mendukungnya adalah firman Allah,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al Hasyr: 10).

Ayat di atas menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a. Ayat ini mencakup umum, yaitu ada doa yang ditujukan pada orang yang masih hidup dan orang yang telah meninggal dunia.

Dari keterangan ini kita dapat menyimpulkan bahwa niat dan itikad baik yaitu niat meningkatkan amal ibadah dan amal shaleh serta  memperbaiki diri di bulan sya'ban untuk menyambut datangnya ramadhan sangat dianjurkan oleh agama.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG KONTROVERSI NABI MUHAMMAD SAW MELIHAT ALLAH TA'ALA SAAT MI'RAJ

Salah satu perdebatan seputar Isra’ dan Mi’raj adalah, apakah dalam peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad melihat Allah secara langsung dengan mata kepala? Bila menilainya hanya dengan akal tentu sulit menerima. Tapi bila agama hanya didasarkan pada akal maka akan rusak.

Agama adalah riwayat bukan berdasar akal semata. Dalam konteks ini akal hanya pelengkap. Oleh karena, ketika berita Isra’ dan Mi’raj sampai kepada Abu Bakar, beliau berkata, “Kalau yang bicara adalah Nabi Muhammad, lebih dari itu aku pasti percaya”.

Pertanyaan di atas sebenarnya telah terjadi sejak dulu. Pada era sahabat, perdebatan apakah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Allah langsung dalam Mi’rajnya menjadi wacana hangat. Seperti telah maklum, ada yang percaya dan adapula sebaliknya.

Perdebatan terjadi antara Aisyah dan Ibnu Abbas. Aisyah menyatakan:

مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا – صلى الله عليه وسلم – رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ . ثُمَّ قَرَأَتْ لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Siapa yang berkata padamu bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Tuhannya maka ia telah berdusta, lalu beliau membaca, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (HR Bukhari).

Sedangkan Ibnu Abbas  dalam musnad Imam Ahmad (Juz 6: 212), menyatakan sebaliknya.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه رَأَيْتُ رَبِّى تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “Aku telah melihat Tuhanku yang Maha Suci dan Maha Tinggi.” (HR Ahmad)

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bary jilid 8 hal.708, setelah menyebutkan pendapat-pendapat yang menyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Tuhannya dan pendapat yang sebaliknya, berkata, “Hadits-hadits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Tuhannya, ada yang diriwayatkan secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang diriwayatkan secara mutlak. Oleh kerana itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-hadits yang mutlak tersebut kepada hadits-hadits yang muqayyad”.

Kemudian Ibnu Hajar rahimahullah menggabungkan (menjamak) antara kedua pendapat yang kelihatannya saling bertentangan tersebut dengan menyatakan, “Dengan ini kita dapat mengumpulkan antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Allah) dengan pendapat Aisyah yang justru mengingkarinya yaitu dengan membawa pengingkaran Aisyah kepada penglihatan dengan mata, adapun penetapan Ibnu Abbas adalah penglihatan dengan hatinya."

Berkata Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi: “Jamak (penggabungan) dari Ibnu Hajar ini sangat bagus dan dengan ini kita dapat mengambil seluruh riwayat-riwayat tersebut”. (Al-Iman, karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi hal. 24).

Ibnu Abbas, dalam konteks ini, menyimpulkan bahwa peristiwa Nabi Muhammad melihat Allah adalah pernyataan yang tak mungkin diambil berdasarkan Ijtihad, sebab bukan ranah ijtihad karena tidak bisa dinalar dengan akal. Dengan model analisa ini, menurut para ulama, pendapat Ibnu Abbas lebih kuat. Seputar perbedaan pendapat para ulama, lebih detailnya dijelaskan dalam kitab As-Syifa Bita’rif Huquq Al-Mustafa juz 1 hal.195-196.

Namun demikian dalam Tafsir As-Sa'di, Tafsir Al-Baghawi, Tafsir At-Thobari, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurthubi memang saat menjelaskan makna surat An-Najem ayat 13-14 adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat malaikat Jibril 'alaihissalam,

وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ. عِندَ سِدْرَةِ الْمُنتَهَىٰ 

"Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha." (QS. An-Najm : 13-14). Dan Imam Al-Qurthubi mengutip riwayat Imam Muslim dari Aisyah radhiyallaha 'anha berikut dalam tafsirnya,

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ دَاوُدَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ كُنْتُ مُتَّكِئًا عِنْدَ عَائِشَةَ فَقَالَتْ يَا أَبَا عَائِشَةَ ثَلَاثٌ مَنْ تَكَلَّمَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ قُلْتُ مَا هُنَّ قَالَتْ مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ قَالَ وَكُنْتُ مُتَّكِئًا فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْظِرِينِي وَلَا تَعْجَلِينِي أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ } { وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى } فَقَالَتْ أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا مِنْ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ فَقَالَتْ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ } أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ { وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ } قَالَتْ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ وَاللَّهُ يَقُولُ { يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ } قَالَتْ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يُخْبِرُ بِمَا يَكُونُ فِي غَدٍ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ وَاللَّهُ يَقُولُ { قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ } و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ حَدِيثِ ابْنِ عُلَيَّةَ وَزَادَ قَالَتْ وَلَوْ كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ لَكَتَمَ هَذِهِ الْآيَةَ { وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ } حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ هَلْ رَأَى مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبَّهُ فَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَقَدْ قَفَّ شَعَرِي لِمَا قُلْتَ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِقِصَّتِهِ وَحَدِيثُ دَاوُدَ أَتَمُّ وَأَطْوَلُ

Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Dawud dari asy-Sya'bi dari Masruq dia berkata, "Ketika aku duduk bersandar di samping Aisyah, maka dia berkata, 'Wahai Abu Aisyah (Masruq)! Ada tiga perkara, barangsiapa yang memperbincangkan salah satu darinya, berarti dia telah melakukan pembohongan yang amat besar terhadap Allah.' Aku bertanya, 'Apakah tiga perkara itu? ' Aisyah menjawab, 'Pertama, barangsiapa mengklaim bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Tuhannya maka sungguh dia telah membesarkan kebohongannya terhadap Allah.' Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata, 'Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru, (dengarlah kata-kataku ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman,

 وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ

 'Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain.' (QS. Al Takwir: 23). Dan Firman Allah, 

وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى

'Dan sungguh Muhammad telah melihat 'dia' dalam bentuk rupanya yang asal sekali lagi.' (QS. An Najm: 13). 

Maka Aisyah menjawab, 'Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau telah menjawab dengan bersabda, "Yang dimaksud 'dia' dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), aku tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan bumi.' Kemudian Aisyah berkata lagi, 'Apakah kamu tidak pernah mendengar bahwa Allah, 

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

'Dia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat dan mengetahui hakikat segala penglihatan mata, dan Dialah Yang Maha Bersifat Lemah Lembut lagi Maha Mendalam pengetahuannya.' (QS. Al An'am: 103). Atau, apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah,

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ 

 'Dan tidaklah layak bagi seorang manusia, bahwa Allah mengajaknya berbicara kecuali berupa wahyu (dengan diberi mimpi) atau dari balik dinding (dengan mendengar suara saja) atau dengan mengutuskan utusan (Malaikat), lalu utusan itu menyampaikan wahyu kepadanya dengan izin Allah sesuatu yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana'. (QS. Asy Syura: 51). Kemudian Aisyah berkata lagi, 'Barangsiapa yang mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyembunyikan sebagian dari kitab Allah, maka sungguh dia telah membesarkan pendustaan terhadap Allah, sebagaimana firman Allah,

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ 

'Wahai Rasulullah, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu, dan jika kamu tidak melakukannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya) ' (QS. Al Maidah: 67). 

Kemudian Aisyah berkata, "Barangsiapa mengklaim bahwa dia mampu mengabarkan tentang takdir yang akan terjadi besok, maka sungguh dia telah membesarkan kebohongan terhadap Allah. Allah berfirman, 

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّه

'Katakanlah (hai Muhammad), tidak satu pun makhluk yang di langit dan bumiyang mengetahui kegaiban kecuali Allah'. (QS. An Naml: 65). 

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami Dawud dengan sanad ini semisal hadits Ibnu Ulayyah, dan dia menambahkan, "Aisyah berkata, 'Kalau seandainya Muhammad telah menyembunyikan sebagian dari wahyu yang diturunkan kepadanya, niscaya dia menyembunyikan ayat ini, 

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ

'(Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang mana Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, 'Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah', sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu sesuatu yang mana Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti) ' (QS. al-Ahzab: 37). 

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Ismail dari asy-Sya'bi dari Masruq dia berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah, 'Apakah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Rabbnya? ' Dia menjawab, 'Maha Suci Allah, sungguh bulu kuduku merinding karena perkataan yang kamu ucapkan tadi'." Lalu dia membawakan hadits tersebut dengan kisahnya. Dan hadits Dawud lebih sempurna dan panjang."  (HR. Muslim no. 259, Abu Daud dan At-Tirmidzi no.2994)

Terdapat di dalam hadits yang shahih pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menegaskan bahwa manusia apapun tidak mungkin melihat Tuhannya di dunia. Beliau bersabda,

تعلَّموا أنه لن يرى أحد منكم ربه عز وجل حتى يموت

“Yakini, bahwa seorang pun diantara kalian tidak akan bisa melihat Tuhannya sampai dia mati.” (HR. Muslim 7283, Ahmad dalam Musnadnya 5/433)

Yang menjadi perbedaan ulama adalah apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj ataukah tidak?

Perselisihan semacam ini adalah perbedaan pendapat yang masing-masing bisa ditoleransi. Karena itu, memilih pendapat apapun yang disukai dan diyakini dalam hal ini tidak dihukumi bersalah atau layak divonis memiliki aqidah menyimpang. 

Imam Adz-Dzahabi ulama madzab Hambali mengatakan,

ولا نعنف من أثبت الرؤية لنبينا في الدنيا، ولا من نفاها، بل نقول الله ورسوله أعلم، بل نعنف ونبدع من أنكر الرؤية في الآخرة، إذ رؤية الله في الآخرة ثبتت بنصوص متوافرة…

Kita tidak boleh bersikap keras terhadap orang yang berpendapat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia maupun yang berpendapat sebaliknya. Sikap yang tepat, kita mengatakan, Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Dan kita bersikap keras dan menilai sesat orang yang mengingkari Allah bisa dilihat pada hari kiamat. Karena keterangan bahwa Allah bisa dilihat pada hari kiamat terdapat dalam berbagai dalil yang shahih (Siyar A’lam Nubala’, juz 10 hal. 114).

Pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, mereka meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj. Sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Ibnu Taimiyah ulama madzab Hambali beliau mengatakan,

كان النزاع بين الصحابة في أن محمدا صلى الله عليه وسلم هل رأى ربه ليلة المعراج؟ فكان ابن عباس رضي الله عنهما وأكثر علماء السنة يقولون: إن محمدا صلى الله عليه وسلم رأى ربه ليلة المعراج وكانت عائشة رضي الله عنها وطائفة معها تنكر ذلك

"Perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat adalah apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya pada malam isra mi’raj? Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan mayoritas ulama ahlus sunah berpendapat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya ketika isra mi’raj. Sementara Aisyah dan beberapa tokoh yang bersamanya, mengingkari aqidah ini." (Majmu’ Fatawa, 3/386).

Beberapa riwayat yang mendukung pendapat ini,

a. Keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, tentang firman Allah di surat An-Najm, yang artinya, ‘Sesungguhnya Muhammad telah melihat-nya pada waktu yang lain,  (yaitu) di Sidratil Muntaha.’ Ibnu Abbas menjelaskan tentang ayat ini,

رأى ربه فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى

"Beliau melihat Tuhannya dan mendekat. Sehingga jaraknya seperti dua busur atau lebih dekat." (HR. Turmudzi 3280)

b. Dari Qatadah, bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

رأى محمدٌ ربَّه

“Nabi Muhammad melihat Tuhannya” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunah no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Bab Tauhid no. 280)

c. Keterangan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau ditanya oleh Marwan bin Hakam, apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya. Jawab beliau, ‘Ya, beliau telah melihatnya.’ (HR. Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunah no. 218, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad, no. 908).

Ada juga pendapat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan hati.

Terdapat satu hadits yang mendukung pendapat ini, namun haditsnya lemah/dhaif. Karena statusnya hadits mursal. Hadits tersebut dari seorang tabi'in, Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Apakah anda melihat Tuhan anda?’ jawab beliau,

رأيته بفؤادي، ولم أره بعيني

“Saya melihat dengan mata hatiku dan tidak dengan mata kepalaku.” (HR. At-Thabari 27/46-47, dan Ibnu Abi Hatim no. 18699)

Diantara riwayat lain yang mendukung pendapat ini (bahwa Nabi melihat Allah) adalah keterangan Ibnu Abbas menurut salah satu riwayat dari Abul Aliyah,

أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى ربه بفؤاده مرتين

"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya dengan hatinya dua kali." (HR. Muslim no. 176, Ahmad dalam musnad 1/223).

Kemudian, dalam hadits dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu 'anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Nabi melihat Allah ketika isra mi’raj? Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نور أنى أراه

“Ada cahaya, bagaimana aku melihat-Nya.”

Dalam riwayat lain, “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim 178, Turmudzi 3282, Ahmad 21392, dan yang lainnya).

Pendapat lainnya adalah tawaqquf (tidak mengambil sikap)

Diantara yang berpendapat demikian adalah Sa’id bin Jubair, ulama tabi'in, murid Ibnu Abbas. Said pernah mengatakan,

لا أقول رآه ولا لم يره

“Saya tidak berpendapat Nabi melihat Allah, tidak pula berpendapat beliau tidak melihat Allah.” (HR. Abu Ya’la, simak Masail fi Ushul Ad-Diyanat, hlm. 66)

Imam Al-Qodhi Iyadh (Ulama Syafi’iyah) mengatakan,

ووقف بعض مشايخنا في هذا، وقال: ليس عليه دليل واضح، ولكنه جائز أن يكون

"Beberapa guru kami tidak mengambil sikap dalam perselisihan ini. Mereka mengatakan, ‘Tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini. Meskipun secara logika itu memungkinkan untuk terjadi." (As-Syifa, juz 1 hal.261). 

Syaikh Ibnu Athoillah As-Sukandari menyampaikan diawali dengan firman Allah Azza wa Jalla,

وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ

"Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui." (QS. Al-An’am 18)

الحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِذْ لَوْحَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ ماَحَجَبَهُ وَلَوكاَنَ لَهُ ساَتِرٌ لَكاَنَ لِوُجُوْدِهِ حاَصِرٌ وَكُلُّ حاَصِرٍ لشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قاَهِرٌ

"Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya."

يَعْنِي أَنَّ الحِجاَبَ لاَ يَتَّصِفُ بِهِ الحَقُّ سُبْحاَنَهُ وَتَعاَلىَ ِلاسْتِحاَلَتِهِ فيِ حَقِّهِ

"Yakni, bahwa penghalang tidak akan pernah terjadi menyertai Allah Subhanahu wa Ta’ala Al-Haq Subhanallah, karena hal itu mustahil bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala."

وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ أَيُّهاَ العَبْدُ بِصِفاَتِكَ النَّفْساَنِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ وَعاَلَجَهاَ

"Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan."

إِن الحِجاَبَ يَرْتَفِعُ عَنْكَ فَتَصِلُ إِلىَ النَّظْرِ إِلَيْهِ بِعَيْنِ بَصِيْرَتِكَ وَهُوَ مَقاَمُ الإِحْساَنِ الَّذِي يُعَبِرُوْنَ عَنْهُ بِمَقاَمِ المُشاَهَدَةِ

"Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihat-Nya, apabila anda tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 16 Maret 2021

KAJIAN TENTANG MI'RAJ NABI DAN BENARKAH PERINTAH SHALAT BERAWAL DARI TAHIYYAT

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (QS. Al-Isra': 1)

Ada empat kitab yang secara spesifik menjelaskan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu : 1). Qishshah Mi'rajin Nabi karya Syekh Najmudin Al Ghoidzi: 2). Tashilul Ghiba min Qissatil Isra' wa Mi'rajin Nabi karya Syekh Sahli bin Salim Assamarani: 3). I'anatul Muhtaj fi Qishshatil Isra' wal Mi'raj karya Syekh Ahmad Abdul Hamid Al Qandali: 4). Nurus Siraj fi Bayanil Isra' wal Mi'raj karya Syekh Ahmad Fauzan bin Zain Muhammad bin Muhamma Zain Arrambani. 

Dalam kitab itu dijelaskan secara rinci bagaimana proses isra' dan mi'raj itu terjadi. Sehingga etnografi Isra’ Mi’raj terasakan dengan baik dan umat Islam di masa kini masih menikmati kemukjizatan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Belakangan ini beredar kisah viral terkait riwayat mi'raj Nabi bersama malaikat Jibril dan percakapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Allah Ta'ala di sidratil muntaha yang diantaranya diabadikan dalam bacaan tahiyat dalam shalat. Bahkan dikatakan bahwa shalat itu berawal dari tahiyat (penghormatan) antara Nabi dan Allah Ta'ala. Benarkah demikian?

Imam al-‘Izz ad-Din bin Abd as-Salam yang mendapat julukan rajanya ulama (sulṭhanul ulama’) menjelaskan secara spiritual (rohani) dalam Maqaṣid al-‘Ibadat (1995: 12-13 & 28-30) bahwa kalimat at-Taḥiyyat al-Mubarakat aṣ-Shalawat aṭ-Thayyibat Lillah dan Asyhadu An La Ilaha Illallah berhubungan dengan Allah. Kalimat as-salam ‘alaika ayyuha an-nabiyyu wa raḥmatullah wa barkatuh dan asyhadu anna Muḥamadar Rasalullah berhubungan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sedangkan kalimat as-salam ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillah aṣ-ṣhaliḥin berhubungan dengan hamba-hamba Allah yang saleh dari penduduk bumi dan penduduk langit. Tidak lain karena shalat memang memiliki hubungan (koneksi) secara langsung, baik kepada muṣhalli (orang yang shalat) sendiri, Allah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun kepada seluruh orang beriman yang ada di alam semesta.

Di dalam Kitab I'anah At-Thalibin juz 1 hal. 198 dijelaskan, 

(فائدة) ذكر الفشني في شرح الاربعين أن في الجنة شجرة اسمها التحيات، وعليها طائر اسمه المباركات، وتحتها عين اسمها الطيبات، فإذا قال العبد ذلك في كل صلاة نزل ذلك الطائر من فوق الشجرة وانغمس في تلك العين ثم خرج منها وهو ينفض أجنحته فيتقطر الماء من عليه، فيخلق الله من كل قطرة ملكا يستغفر له إلى يوم القيامة.

"Menurut Imam al-Fasyani dalam syarh al-Arba'in, bahwa taḥiyat adalah nama sebuah pohon yang ada di surga. Ia bertengger di atas pohon burung bernama mubarakat, dan dibawahnya sebuah mata air bernama ṭhayyibat. Ketika orang yang shalat membaca tahiyat (at-taḥiyyat al-mubarakat aṣ-ṣhalawat aṭ-ṭhayyibat lillah) dalam tasyahhud akhir, maka burung mubarakat langsung menukik dari pohon ṭahiyat untuk menyelami sungai thayyibat dan kemudian terbang lagi ke atas. Percikan-percikan air sungai thayyibat yang berhamburan dari bulu burung mubarakat dijadikan malaikat oleh Allah, di mana para malaikat itu sama-sama memintakan ampun (membaca istigfar) kepada Allah untuk orang yang salat tersebut sampai hari kiamat." (I'anah At-Thalibin juz 1 hal. 198)

Keagungan kalimat taḥyat yang harus dibaca oleh setiap muṣhalli ini sebenarnya memiliki sejarah yang sangat agung dan luar biasa mengagumkan secara spiritual. Hal ini dapat dikonfirmasi dari peristiwa isra’-mi'raj. Dalam sebuah riwayat yang banyak beredar di medsos dikisahkan, bahwa ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan malaikat Jibril melewati Sidratul Muntaha yang diliputi oleh awan yang di dalamnya memancar kilauan cahaya yang berwarna-warni, maka malaikat Jibril memilih berhenti dan membiarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berjalan sendiri.

Mengetahui hal itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata kepadanya, “jangan tinggalkan aku seorang diri”. Malaikat Jibril menjawab, “tidak ada daya dan kekuatan bagi kami, sebab Dia (Allah) memiliki tempat tertentu dan khusus yang tidak bisa kami lalui”. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi, “ayo, kita jalan lagi bersama-sama meskipun hanya setapak demi setapak”. Malaikat Jibril pun akhirnya berjalan bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setapak demi setapak. Tidak lama kemudian, malaikat Jibril hampir saja terbakar oleh pancaran cahaya, keagungan, dan kemuliaan. Dia pun tiba-tiba mengecil seperti burung pipit dan menjadi lemah.

Setelah mengalami hal itu, dia mengisyaratkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar mengucapkan salam ketika sampai di maqam khiṭab (tempat pertemuan antara Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkomunikasi). Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai di maqam khiṭab, beliau langsung memanggil salam seraya berkata, “At-Taḥiyyat al-Mubarakat aṣ-Shalawat aṭ-Thayyibat lillâh (seluruh kehormatan, keberkahan, rahmat, dan kebaikan adalah sepenuhnya milik Allah)”. Allah Subhanahu wa Ta'ala langsung menjawab salam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut seraya berkata, “Assalam ‘alaika ayyuha an-Nabiyyu wa raḥmatullah wa barkatuh (kesejahteraan, kasih-sayang, dan keberkahan Allah untukmu, wahai Nabi)”. Mendengar jawaban Allah Subhanahu wa Ta'ala itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin hamba-hamba Allah yang shaleh mendapat bagian dari pertemuan agung tersebut seraya berkata, “Assalam ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillah aṣ-Shaliḥin (kesejahteraan atas kami dan hamba-hamba Allah yang shaleh)”. Mendengar percakapan agung tersebut, seluruh penghuni langit dan bumi sama-sama bersaksi seraya berkata, “Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna muḥamadar rasulullh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. (lihat Durar as-Saniyah dikatakan bahwa derajat hadits ini maudhu' makdzub (palsu dan bohong)

Berikut diantara riwayat tentang kisah hiwar (percakapan) dan tahiyat (penghormatan) antara Nabi dan Allah Ta'ala tersebut,

حوار التشهـُّد: يبدأ المشهد بسيدنا رسول الله وهو يمشي في معيـَّة سيدنا جبريل في طريقهما لسِدرة المنتهى في رحلة المعراج، وفي مكان ما يقف سيدنا جبريل عليه السلام, فيقول له سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم: أهنا يَترُك الخليل خليله؟ قال سيدنا جبريل: لكلٍّ منا مقام معلوم يا رسول الله, إذا أنت تقدَّمتَ اخترقت, وإذا أنا تقدَّمتُ احترقت, وصار سيدنا جبريل كالحلس البالي من خشية الله, فتقدَّم سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم إلى سِدرة المنتهى, واقترب منها, ثم قال سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: التحيات لله والصلوات الطيبات, ردَّ عليه ربُّ العزة: السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته, قال سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين, فقال سيدنا جبريل، وقال الملائكة المقرَّبون: أشهد أنْ لا إله إلا الله, وأشهد أنَّ محمدًا رسول الله.

(الدرر السنية : درجة الحديث موضوع، مكذوب)

Menurut Imam Nawawi al-Jawi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa sampai ke maqam khiṭab tanpa adanya rintangan dan halangan tertentu karena memang Allah telah menghendakinya. Allah telah memberikan kekuatan dan kesiapan secara khusus kepada beliau. Berbeda dengan malaikat Jibril yang memang tidak diberikan kekuatan dan kesiapan. Sehingga dia terhalang dan tidak bisa sampai ke maqam khiṭab. Dalam pertemuan agung tersebut, menurut Imam ad-Diba’î dalam Maulid ad-Diba’î (hlm. 19),

اَلرَّاقِيْ إِلٰى حَضْــرَةِ الْمَلَكِ الْوَهَّابِ ۞ حَتَّى نَظَرَ إِلٰى جَمَالِهٖ بِلاَ سِتْرٍ وَّلاَ حِجَابٍ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menatap secara langsung keindahan Allah Yang Maha Indah dan tidak dihalangi oleh tirai atau kain yang paling tipis sekalipun."

Sementara sebuah riwayat lain yang shahih menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan lafadz Tahiyat yang dibaca saat duduk tasyahud, disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari Muslim, namun tidak ada hubungannya dengan peristiwa Isra Mi’raj.

Sahabat Abdullah Ibnu Mas'ud bercerita, "ketika kami shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada saat duduk tasyuhud, kami membaca,

السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ قَبْلَ عِبَادِهِ ، السَّلاَمُ عَلَى جِبْرِيلَ ، السَّلاَمُ عَلَى مِيكَائِيلَ ، السَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ

"Kesejahteraan atas Allah sebelum para hamba-Nya, kesejahteraan atas Jibril, kesejahteraan atas Mikail, kesejahteraan atas Fulan…"

Mendengar ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلاَمُ ، فَإِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَقُلِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ . فَإِنَّهُ إِذَا قَالَ ذَلِكَ أَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ صَالِحٍ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . ثُمَّ يَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ الْكَلاَمِ مَا شَاء. 

“Sesungguhnya Allah adalah pemilik kesejahteraan. Jika kalian duduk untuk tasyahud dalam shalat kalian maka ucapkanlah,

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ

‘Segala ucapan penghormatan, shalat/do’a dan karunia hanya milik Allah. Semoga keselamatan tercurah untukmu wahai Nabi. Bergitu pula rahmat Allah dan karunia Nya serta keselamatan semoga diberikan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh’.

“Jikalau seseorang mengucapkan ini maka akan mencakup seluruh hamba Allah yang sholeh baik di langit maupun di bumi”.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

"Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Nya dan utusan Nya’.

Kemudian hendaklah dia berdo’a dengan do’a yang inginkan” (HR. Bukhari 5762 & Muslim 402)

Berikut kelengkapan haditsnya,

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِي شَقِيقٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْنَا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ قَبْلَ عِبَادِهِ السَّلَامُ عَلَى جِبْرِيلَ السَّلَامُ عَلَى مِيكَائِيلَ السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ وَفُلَانٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ فَإِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّهُ إِذَا قَالَ ذَلِكَ أَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ثُمَّ يَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنْ الْكَلَامِ مَا شَاءَ. (روه البخاري)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا نَقُولُ فِي الصَّلَاةِ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ ، السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ ، فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ : إنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ ، فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ : التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ . - فَإِذَا قَالَهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ - أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ. (روه مسلم) 

Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A'masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; "Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kami mengucapkan, "ASSALAAMU 'ALALLAHI QABLA 'IBAADIHI, ASSALAAMU 'ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU 'ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU 'ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika'il, kepada fulan dan fulan)." Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda, "Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; "AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU 'ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU 'ALAINAA WA 'ALA 'IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih. Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; "ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN 'ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya)." Setelah itu ia boleh memilih do'a yang ia kehendaki." (HR. Bukhari no.5762)

Hadits ini menunjukkan bahwa hadits at-Tahiyat, tidak ada hubungannya dengan peristiwa Isra' Mi’raj. Dan sahabat baru diajari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau mendengar tahiyat sahabat yang keliru tersebut.

Memang benar, ada beberapa kitab tafsir seperti tafsir Al-Alusi dan lainnya yang menyebutkan kisah tahiyat kaitanya dengan isra' mi’raj di atas, namun sangat disayangkan tanpa menyebutkan sanadnya agar lebih tsiqah (kuat). 

Berikut kutipan dari tafsir Al-Alusi,

قوله تعالى : ( سَلامٌ قَوْلاً مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ ) يّـس /58 ، فقالوا : " يشير إلى السلام الذي سلمه الله على حبيبه عليه السلام ليلة المعراج إذ قال له : " السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته " ، فقال في قبول السلام : " السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين " انتهى . انظر "روح المعاني" للآلوسي" (3/38).

Terlepas dari beragam penjelasan terkait peristiwa mi'raj Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama adalah memahami akan kewajiban melaksanakan shalat lima waktu buah hasil dari mi'raj Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang harus ditegakkan. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 04 Maret 2021

EDISI KHUTBAH JUM'AT (TIGA HAL UTAMA DI BULAN RAJAB)

 *Khutbah Pertama*

اَلْحَمْدُ ِللهِ، اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَحْرَمَ رَجَبَ بِإِسْرَاءِ الرَّسُوْلِ مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ اْلأقْصَى ، وَالَّذِيْ يَأْمُرُنَا بِالتَّقْوَى مْدَّةَ أُمُوْرِنَا ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ فِيْ كُلِّ أَهْوَالِنَا ، أشْهَدْ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أشْرَفِ عِبَادِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَعِتْرَتِهِِِِ أمََّا بَعْدُ :

فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ   

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*   

Alhamdulillah, pada jum'at ini kita masih berada di bulan mulia, yaitu bulan Rajab 1442 H. Perlu kita syukuri karena Rajab termasuk bulan yang mulia. Kata Rajab berasal dari kata “tarjib” yang bermakna agung dan mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keistimewaan terhadap Rajab di antara bulan-bulan lain yang juga menyandang predikat mulia, yaitu Muharram, Dzulhijjah, Dzulqa’dah, dan Rajab. Bulan Rajab adalah bulan yang penuh rahmat, anugerah, dan kebaikan dari Allah Ta'ala.   

Menurut Syekh Abdul Qodir Al Jailani dalam kitab al-Ghuniyah, Rajab terdiri dari tiga huruf, yaitu Ra’, Jim, dan Ba’. Ra’ adalah Rahmatullâh (rahmat Allah), Jim adalah Jûdullâh (kemudahan Allah), dan Ba’ adalah Birrullâh (kebaikan Allah). Maksudnya, mulai awal hingga akhir bulan Rajab, Allah melimpahkan tiga anugerah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu limpahan rahmat, kemudahan, dan kebaikan dari Allah Ta'ala. Ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan dari bulan Rajab.  

Kemuliaan bulan Rajab semakin bertambah dengan peristiwa monumental  isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari dari Masjidil haram  Makkah menuju masjidil Aqsho Palestina. Kemudian dilanjutkan dari masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha untuk menghadap Allah Ta'ala sang pencipta Alam semesta. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Isra’ ayat 1,   

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ  

"Maha-Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsho yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Isra' : 1).

Peristiwa tersebut juga mendapat penjelasan dalam Shahih Bukhari,  juz 5 halaman 52. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bertemu dengan Allah Ta'ala dan memerintahkan Nabi untuk melaksanakan shalat fardlu sebanyak lima puluh rakaat setiap hari. Nabi menerima dan kemudian kembali pulang, dalam perjalanan belia bertemu dengan Nabi Musa AS, Nabi Musa mengingatkan bahwa umat Nabi Muhammad tidak akan mampu dengan perintah shalat lima puluh kali sehari, Nabi Musa mengatakan, umatku telah membuktikannya. Lalu meminta kepada Nabi Muhammad untuk kembali pada Allah Ta'ala, mohonlah keringanan untuk umatmu. Kemudian Nabi menghadap kepada Allah dan diringankan menjadi shalat sepuluh kali. kemudian Nabi Muhammad kembali kepada Nabi Musa, dan Nabi Musa mengingatkan sebagiamana yang pertama.  Kembali Nabi menghadap Allah hingga dua kali, dan akhirnya Allah mewajibkan shalat lima waktu. Nabi Muhammad kembali pada Nabi Musa, Nabi musa tetap mengatakan bahwa umatmu tidak akan kuat wahai Nabi Muhammad, Nabi Muhammad menjawab, saya malu untuk kembali menghadap pada Allah dan saya ridho dan pasrah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.    

Peristiwa isra’ dan mi’raj yang terjadi di bulan Rajab semakin menambah terhadap kemuliaan bulan ini, lalu amalan apa yang perlu dilakukan dalam bulan Rajab yang mulia ini?    

Pertama adalah melakukan puasa sunnah di bulan Rajab. Terkait kesunahan puasa di bulan Rajab ini terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahih Muslim juz 2 halaman 811,

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: " كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ "   

“Utsman bin Hakim berkata: saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab, ketika itu kami berada di bulan Rajab. Sa’id menjawab: saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berpuasa hingga kami berkata bahwa beliau tidak akan berbuka. Dan beliau juga pernah berbuka hingga kami berkata bahwa beliau tidak akan beepuasa.” (HR. Muslim)   

Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim juz 8 halaman 38, hadits di atas tidak menunjukkan larangan khusus atau kesunahan khusus puasa di bulan Rajab. Karena itu, kesunahan puasa di bulan Rajab melihat terhadap dua aspek, pertama hukum asal puasa hukumnya adalah sunnah. Kedua, perintah Nabi yang menganjurkan puasa di bulan-bulan mulia, bulan Rajab adalah salah satunya. Imam ats-Tsauri sebagaimana dikutip Ibnu Rajab dalam kitab Lathaiful Ma’arif juz 1 halaman 119 menyatakan, “Aku amat menyukai amalan puasa di bulan-bulan haram (mulia). Hal ini telah dipraktikkan oleh sebagian ulama salaf yang berpuasa di setiap bulan yang mulia, seperti Ibnu Umar, Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq as-Sabi’i.”    

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*   

Kedua, selalu menjalankan kewajiban shalat lima waktu tepat pada waktunya. Musthafa As Siba’i dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah, Durus wa ‘Ibar, jilid 1 halaman 54 menjelaskan bahwa jika Nabi melakukan isra’ dan mi’raj dengan ruh dan jasadnya sebagai mu’jizat, maka sebuah keharusan bagi tiap Muslim menghadap (mi’roj) kepada Allah Ta'ala lima kali sehari dengan jiwa dan hati yang khusyu’. Dengan shalat yang khusyu’, seseorang akan merasa diawasi oleh Allah Ta'ala, sehingga ia malu untuk menuruti syahwat dan hawa nafsu, malu untuk berkata kotor, malu untuk mencaci orang lain, malu untuk berbuat bohong, dan sebaliknya lebih senang dan mudah untuk melakukan banyak kebaikan. Hal tersebut demi untuk mengagungkan keesaan Allah, kebesaran Allah, sehingga dapat menjadi makhluk Allah yang terbaik di muka bumi ini.     

Ketiga, Rajab adalah bulan yang tepat untuk bertobat dari segala maksiat. Ibnu Rajab dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif juz 1 halaman 122 menganjurkan umat manusia untuk bertobat di bulan Rajab yang mulia ini. Beliau mengatakan: “Putihkanlah lembaran hitammu di bulan Rajab, dengan amal baik yang menyelamatkanmu dari api yang melalap.”    

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*   

Mengapa kita perlu memperhatikan bulan Rajab yang mulia ini? Karena Bulan Rajab adalah bulan yang mulia. Berdoa pada Allah di bulan ini tidak akan sia-sia. Sungguh beruntung seseorang yang memperbaiki amalan, menjauhkan diri dari perbuatan keji dan kemungkaran. Beramal di bulan ini bagaikan mendapatkan emas mulia, memanfaatkan waktu dengan taat merupakan hal yang utama.    

Syekh Dzunnun Al-Mishri sebagaimana dikutip Syekh Abdul Qadir dalam kitab al-Ghuniyah juz 1 halaman 326 mengatakan, Rajab adalah bulan untuk meninggalkan kejelekan, Sya’ban adalah bulan untuk menambah ketaatan, Ramadhan adalah bulan untuk menjemput kemuliaan. Seseorang yang tidak meninggalkan kejelekan, tidak melaksanakan ketaatan, tidak menjemput kemuliaan, maka ia adalah pengikut setan.  Na‘ûdzu billâhi min dzâlik.   

Selain itu, Rajab adalah bulan bercocok tanam, Sya’ban bulan untuk menyiram, dan Ramadhan adalah bulan panen hasil bertanam. Setiap orang akan menuai apa yang ia tanam, setiap orang akan menuai perbuatannya. Siapa pun yang tidak menghiraukan tanamannya, ia akan menyesal di hari pembalasan.   

Di Bulan Rajab ini, semoga kita menjadi hamba yang terhindar dari segala kejelekan dan kemaksiatan, selalu beruntung dengan melakukan banyak ladang amal ibadah, mendapatkan pahala amal ibadah yang berlipat dan mendapatkan ridha dari Allah Ta'ala.  Aamiin ya rabbal ‘alamiin.     

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا    باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ   

*Khutbah kedua*  

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا   أَمَّا بَعْدُ: 

فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ   

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

KAJIAN TENTANG DARAH HAIDH MENJADI NUTRISI BAYI DALAM KANDUNGAN


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, 

هَلْ أَتَىٰ عَلَى ٱلْإِنسَٰنِ حِينٌ مِّنَ ٱلدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا إنَّا خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَٰهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

"Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat." (QS. Al-Insan : 1-2)

Ada yang bertanya, kenapa kalau wanita sedang mengandung atau terhitung mulai positif hamil, dia tidak lagi Haidh atau Menstruasi? 

Dimanakah darah haidhnya tersebut? Dan apakah benar asupan makanan janin bayi dari padanya?

Jawab : Menstruasi atau haid, juga sering disebut datang bulan, adalah siklus normal bulanan di mana wanita mengalami perdarahan dari vagina.

Darah yang keluar dari vagina ini sering disebut sebagai darah kotor. Namun, anggapan tersebut tidak benar jika dilihat dari sudut pandang kesehatan dan sains.

Darah haid bukanlah darah kotor seperti yang selama ini banyak dipercaya. Darah haid sebenarnya tidak berbeda dengan darah dari luka atau darah mimisan. Hanya saja, darah menstruasi mengandung sisa jaringan dari dinding rahim yang luruh setelah proses ovulasi.

Menstruasi terjadi ketika lapisan pada dinding rahim dalam yang banyak mengandung pembuluh darah luruh dan keluar lewat vagina.

Setiap bulan tubuh akan mempersiapkan kehamilan dengan melepaskan sel telur. Pelepasan sel telur dari indung telur inilah yang disebut sebagai ovulasi. Jika sel telur yang dilepas tidak dibuahi sel sperma, sel telur akan ikut larut dan keluar bersama dengan darah dari dinding rahim.

Darah haidhnya orang yang sedang hamil menjadi nutrisi gizi atau makanan asupan sang janin atau bayi selama di dalam perut sang ibu.

Jawaban ini mungkin tidak logis atau tak mendasar sekali menurut ilmu kedokteran. Tapi jawaban tersebut ada dalam kitab fikih Hambali kitab Syarh Umdah (شرح عمدة) juz 1 hal. 522 Kitab Thaharah Bab Haidh karya Ibnu Taimiyah terbitan Daar Al-'Alim Al-Fawaid disana dijelaskan, 

ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ » ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺤﻴﺾ

ﺍﻟﺤﻴﺾ ﻣﺼﺪﺭ ﺣﺎﺿﺖ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺗﺤﻴﺾ حيضا ﻭﻣﺤﻴﻀﺎ : ﺇﺫﺍ ﺟﺮﻯ ﺩﻣﻬﺎ، ﻭﻳﺴﻤﻰ ﺍﻟﺪﻡ ﺣﻴﻀﺎ ، ﻭﻫﻮ ﺩﻡ ﺧﻠﻘﺔ ﻭﺟﺒﻠﺔ ، ﻭﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺑﻨﺎﺕ ﺁﺩﻡ ﺑﺤﻜﻤﺔ ﻏﺬﺍﺀ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻭﻧﺒﺎﺗﻪ ، ﻓﺎﻟﻮﻟﺪ ﻳﺨﻠﻖ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺛﻢ ﻳﻐﺬﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺣﻢ ﺑﺪﻡ ﺍﻟﻄﻤﺚ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻭﻟﺪ ﺗﺤﻮﻝ ﺍﻟﺪﻡ ﻟﺒﻨﺎ ﻓﻴﺮﺿﻊ ﻣﻨﻪ ، ﻓﺈﺫﺍ ﺧﻠﺖ ﺍﻟﺮﺣﻢ ﻣﻦ ﻭﻟﺪ ﺍﺟﺘﻤﻊ ﺍﻟﺪﻡ ﺛﻢ ﺧﺮﺝ ﻓﻲ ﺃﻭﻗﺎﺕ ﻣﻌﻠﻮﻣﺔ

"Kata Al-Haidhu (menstruasi) adalah mashdar dari kata haidh (menstruasi) wanita yang sedang menstruasi, ketika darahnya keluar disebut darah haidh, ia adalah darah awal penciptaan dan pembentukan manusia. Allah Ta'ala telah menetapkan anak keturunan Adam as dengan hikmah (darah haidh) menjadi makanannya (janin) anak dan pertumbuhannya. Maka seorang anak diciptakan dari air (sperma) laki-laki dan air (sel telor/ovum) wanita kemudian dia makan di dalam rahim dengan darah menstruasi, apabila dia lahir maka darah berubah menjadi air susu (ASI) maka dia minum darinya. Maka apabila rahim kosong dari (janin) anak darah akan terkumpul lalu keluar pada waktu-waktu tertentu." (Syarh Umdah juz 1 hal. 522)

Dalam sebuah artikel dokter Syahir Fuad Ismail yang mengatakan bahwa keterangan diatas telah disepakati oleh para pakar fikih dan dokter,

ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻣﻦ ﺩﻡ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻏﺬﺍﺀ ﻟﻠﻮﻟﺪ ﺇﺫ ﻗﺪﺭ ﻭﺣﺼﻞ ﺣﻤﻞ، ﻭﻫﺬﺍ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻭﺍﻷﻃﺒﺎﺀ

"Saat wanita hamil dua minggu, lapisan baru dalam uterus akan berkembang dan menebal untuk memberi makan si kecil."

Tubuh wanita tersebut mengeluarkan hormon atau sinyal kimia yang mengeluarkan telur dari sebuah kantung (folikel) dalam ovariumnya ketika telur sudah matang.

Saat terjadi ovulasi, tubuh wanita itu mengeluarkan telur ke dalam tuba falopi. Hormon-hormon yang bekerja –estrogen dan progesteron– membuat suhu tubuhnya agak naik sedikit. Dan itu bisa dilacak menggunakan termometer suhu badan.

Lalu mengapa darah haidh (yang katanya dianggap darah kotor) bisa menjadi nutrisi/asupan gizi bagi janin??? Darah haidh bukanlah darah kotor, dia adalah telur (ovum) yang tidak dibuahi oleh sperma. Pada orang hamil melalui pengaturan hormon telur tidak akan masak. Sel sel telur yg tidak masak tersebut akan menjadi nutrisi bagi janin.

Jadi yang diserap janin itu adalah "calon darah haid", yang belum jadi darah kotor yang bercampur bakteri. Secara medis, darah kotor adalah darah yang kekurangan oksigen (deoxygeneted blood) atau kadar karbon dioksidanya terlalu tinggi. Sebaliknya, darah yang banyak oksigen disebut dengan darah bersih (oxygenated blood).

Coba kita perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini yang terdapat dalam surah Ath-Thariq, 

فَلۡیَنظُرِ ٱلۡإِنسَـٰنُ مِمَّ خُلِقَ  خُلِقَ مِن مَّاۤءࣲ دَافِقࣲ یَخۡرُجُ مِنۢ بَیۡنِ ٱلصُّلۡبِ وَٱلتَّرَاۤىِٕبِ  إِنَّهُۥ عَلَىٰ رَجۡعِهِۦ لَقَادِرࣱ

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).” (QS. Ath-Thariq : 5-8)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia untuk berpikir dan meneliti, bagaimana ia diciptakan? Dan dari apa dia diciptakan? Jawabannya: Dari air! Sebagaimana kita jelaskan sebelumnya. Namun dalam kalimat berikutnya, Allah menyebutkan sifat dari air itu dengan kata ‘daafiq’. Artinya air yang bergerak dan hidup.

Dan hal inilah yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Berdasarkan sains, spermatozoon bergerak dengan menggunakan ekornya dalam salurah air mani sehingga bertemu dengan sel telur dan terjadi pembuahan di antara keduanya.

Subhanallah... Allahu Akbar... Ternyata kita hanya dari setetea air, yang berkembang dan nutrisi darah haidh. ''Maha Benar Allah Dengan Segala Firman-Nya, Maha Sempurna Allah Dengan Segala Ciptaannya''. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*