MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Sabtu, 15 Oktober 2016

KAJIAN TENTANG MEMPELAJARI ILMU TAFSIR AL-QUR’AN



Al-Qur’an perlu dipahami, dan oleh karenanya diperlukan tafsir atasnya. Beragam bentuk, pendekatan dan cara penafsiran telah ditunjukkan oleh para ahli tafsir (mufassir) dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan ternyata belum memuaskan rasa haus para pecintanya untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, para mufassir (hingga kini) senantiasa berupaya menemukan kaedah penafsiran yang paling tepat untuk memahami kandungan (makna) Al-Qur’an dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda.

Di dunia ini tak ada kitab yang penanganannya begitu banyak menuntut keahlian, begitu banyak meminta tenaga, waktu dan biaya, seperti dilakukan orang terhadap Al-Qur’an. Kalau kita lihat sepintas saja Al-Itqan Fî ‘Ulum al-Qur’an oleh as-Suyuthî (w. 911 H.), atau Kasyfuzh-Zhunun oleh Haji Khalifah (w. 1059 H.), sudah dapat kita ketahui betapa luas ilmu-ilmu Al-Qu’ran pada masa itu.

Apa itu Ilmu Tafsir ?

Kata ﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ secara bahasa berasal dari kataﻓﺴﺮ - ﻴﻔﺴﺮ -ﺗﻔﺴﻴﺮ yang berarti mengungkapkan atau menampakkan Tafsir dapat juga diartikan al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. (Abu al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz. 4. Beirut: Dar al-Jail. 1976. hlm. 13)

Kata “tafsir”, ada beberapa pendapat yang menyatakan tentang asal katanya, yaitu:

1). Mengikuti wazan taf’il (تَفْعِيْلُ) dari akar kata al-fasr (الفَسْرُ) yang berarti al-idhah “الإِيْضَاحُ” (menjelaskan), Tibyan “تِبْيَانُ” (menerangkan), al-izhar “الإِظْهَارُ” (menampakkan), al-ibanah “الإِبَانَةُ” dan al-kasyf “الكَشْفُ” (mengungkap) makna yang abstrak. Keduanya (al-ibanah dan al-kasyf) berarti membuka (sesuatu) yang tertutup. Kata al-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Kamus Lisanul ‘Arab dinyatakan; kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata al-tafsir berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Di antara kedua bentuk kata itu (al-fasr dan al-tafsir), kata al-tafsir yang paling banyak dipergunakan.

2). Ada pendapat lain menyatakan bahwa kata al-tafsir berasal dari kata kerja yang terbalik, yaitu kata safara سَفَرَ yang berarti al-kasyf “الكَشْفُ”, seperti ungkapan “safaratil mar’atu sufuran”- سَفَرَةِ اْلمَرْأَةُ سُفُوْرًا (wanita itu membuka kerudung dari mukanya.

Menurut al-Raghib al-Asfahani seorang pakar tata bahasa Al-Qur’an, kata “al-fasr” dan “al-safr” adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafaznya. Tetapi yang pertama untuk menunjukkan arti menampakkan makna yang abstrak, sedangkan yang kedua untuk menampakkan benda kepada penglihatan mata.

Adapaun tafsir secara terminologis (istilah) terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh ulama, diantaranya 

1. Menurut Muhammad ibn Abdul 'Azhim al-Zarqani :

علم يبحث فيه عن القرأن الكريم من حيث دلالة على مراد الله تعالى بقدر الطاعة البشرية

Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur'an dari segi dilalahnya sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta’ala menurut kemampuan manusia.

2. Muhammad Badaruddin al-Zarkasyi

علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه وإستخراج حكامه وحكمته

Tafsir adalah ilmu untuk mengetahui kitab Allah (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menerangkan makna, hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

3. Abu Hayyan

علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن ومدلولاتها وأحكامها الإفرادية والتركيبية ومعانيها التي تحتمل عليها حالة التركيب وتتمات لذالك.

Tafsir adalah Pengetahuan yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an tentang sesuatu yang ditunjuk oleh suatu lafaz, tentang hukum-hukumnya ketika ia menjadi kalimat tunggal, maupun ketika ia tersusun dalam kalimat dan makna-makna yang dikandungnya ketika tersusun serta hal-hal yang menyempurnakannya.

4. Al-Dzahabi

Tafsir adalah pengetahuan yang membahas tentang maksud-maksud Allah (yang terkandung di dalam Al-Qur’an) sesuai dengan kemampuan manusia, maka ia mencukupkannya (meliputi segala aspek pengetahuan yang diperlukan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu.

Tafsir adalah rangkaian penjelasan dari suatu pembicaraan atau teks, dalam hal ini adalah Al-Qur'an atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur'an.

5. Menurut Al-Jurjani bahwa Tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun asbabun nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukkan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.

6. Menurut Al-Maturidi bahwa tafsir merupakan penjelasan yang pasti dari maksud satu lafal dengan persaksian bahwa Allah bermaksud demikian dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti melalui para periwayat yang adil dan jujur.

Kata tafsir hanya dijumpai satu kali dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat al-Furqan ; 33 :

ولا يأتونك بمثل إلا جئناك باالحق وأحسن تفسيرا (الفرقان : 33)

"Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (dengan membawa) suatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasan ". (al-Furqan ; 33)

Dari pengertian di atas, tafsir dan ilmu tafsir itu sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat dari :
1. Tafsir adalah penjelasan atau keterangan tentang Al-Qur'an. Ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana cara menerangkan atau menafsirkan aA-Qur'an.
2. Ilmu tafsir adalah sarana atau alatnya. Sedangkan tafsir adalah produk yang dihasilkan oleh ilmu tafsir.

Dalam Al-Qur'an, kata “tafsir” diartikan sebagai “penjelasan”, hal ini sesuai dengan lafal tafsir yang terulang hanya satu kali, yakni dalam (QS. Al-Furqan [25]: 33)

Tafsir diambil dari riwayat dan dirayat, yakni ilmu lughat, nahwu, sharaf, ilmu balaghah, ushul fiqh dan dari ilmu asbabun nuzul, serta nasikh mansukh.

Hukum Mempelajari Ilmu Tafsir

Mempelajari ilmu tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah,

كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad : 29)

Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata, “Di dalam petunjuk Allah Ta’ala epada hamba-hamba-Nya agar mereka mengambil ibroh dari ayat-ayat Al-Qur’an terpadat perintah yang mewajibkan mereka mengetahui tafsir ayat-ayat yang mampu diketahui oleh manusia.” (Tafsir Thobari: 1/161).

Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Sungguh seseorang di antara kami (sahabat) jika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Qur’an tidak akan melampauinya sampai dia mengetahui maknanya dan mengamalkannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad yang shahih).

Sa’id bin Jubair ra. berkata, “Barangsiapa membaca Al-Qur’an kemudian tidak tahu tafsirnya, maka seakan-akan dia seperti orang buta atau orang badui (Arab gunung).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad hasan.

Dan Juga Firman-Nya
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? ” (QS. Muhammad : 24)

Tujuan dari mempelajari tafsir, ialah :memahamkan makna-makna Al-Qur’an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya, akhlaq-akhlaqnya, dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka dengan demikian nyatalah bahwa, faidah yang kita dapati dalam mempelajari tafsir ialah : “terpelihara dari salah dalam memahami Al-Qur’an”.

Sedangkan maksud yang diharap dari mempelajarinya, ialah : “mengetahui petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, hukum-hukumnya degan cara yang tepat”.

Perhatian Para Ulama Terhadap Ilmu Tafsir Al-Quran

Para ulama sangat mencurahkan perhatian mereka kepada ilmu Al-Quran. Dan salah satu bentuk perhatian mereka adalah menulis kitab-kitab tentang tafsir dan menjelaskan makna-makna yang terkandung di dalam Al-Quran. Mereka menarik kesimpulan hukum dan faedah dari ayat-ayatnya sesuai dengan kadar ilmu, iman, dan takwa yang telah Allah berikan kepada mereka.

Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan : “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan untuk tiga perkara, yaitu: beribadah dengan membacanya, menghayati makna-maknanya, dan mengamalkan isinya. Oleh karena itu, para sahabat tidaklah beranjak dari 10 ayat yang telah mereka pelajari, hingga mereka mempelajari kandungan dari ayat-ayat tersebut. Mereka mengatakan,’kami mempelajari Al-Qur’an tentang ilmu dan amal sekaligus’.” (Syarh Muqoddimah Tafsir, hal. 7, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin)

Tafsir bil ma’tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata, “Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf”.

Ilmu Tafsir memiliki beberapa metode :

1. Metode Tahlili (analitik)

Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat,
menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.

2. Metode Ijmali (global)

Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.

3. Metode Muqarran

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

4. Metode Maudhui (tematik)

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Kesimpulan

Al-Qur’an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan Al-Qur’an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari deperlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kehendak tujuan ayat Al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.

Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simpel dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yg lainnya.

Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil, dimana segala sesuatu yg berhubungan dengan ayat, surat, asbabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yg bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah Ta’ala tersebut. Wallahu a’lam bis-Shawab

Demikian Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menyampaiakan dalam kajiannya semoga bermanfa’at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق




Minggu, 09 Oktober 2016

KAJIAN TENTANG SHALAT JAMA' DAN QASHAR DI JAMAN MODEREN


Saya bingung ketika seorang jama`ah haji menanyakan, bolehkah menjama` sholat ashar ketika kita dalam keadaan darurat (macet ) dan berhadats, sedangkan jarak perjalanannya tidak jauh misalnya, dari MINA ke Makkah?
Lalu saya menjawab, hal tersebut boleh2 saja karena shalat merupakan suatu kewajiban. Dan saya menambahkan sedikit dengan kaidah ushul fiqih :
المشقة تجلب التيسر
"Kesulitan akan mendatangkan kemudahan."
الضرورة تبيح المحظورات
"Keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang dilarang.
إذا ضاق الامر اتسع
"Bila suatu perintah itu menyusahkan, maka meluas [mudah].
ما أبيح للضرورة يتقدر بقدرها
"Sesuai yg dibolehkan karena darurat sesuai dengan ukuran kedaruratan itu."
Pembahasan Fiqhiyah:
Sebelum membahas masalah jama' dan qashar ini, ada 2 perkara yg harus diperhatikan:
1. Shalat yg terkena qashar (pengurangan rakaat) hanyalah shalat yg rakaatnya 4 (zuhur, ashar, dan isya). Adapun maghrib dan subuh maka rakaatnya tetap dalam keadaan safar, tidak dikurangi. Ini adalah kesepakatan di kalangan ulama, sebagaimana yg dinukil oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dan selainnya.
2. Qashar shalat hanya syariat yg diperuntukkan bagi imam atau yg shalat sendiri. Adapun bagi mereka yg bermakmum kepada seorang imam dalam shalat berjamaah, maka mereka mengikuti jumlah rakaat imamnya.
Dari Musa bin Salamah Al-Hudzali dia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas:
كَيفَ أُصَلِّي إِذَا كُنتُ بِمَكَّةَ إِذَا لَم أُصَلِّ مَعَ الإِمَامِ؟ فَقَالَ: رَكعَتَينِ سُنَّةَ أبي القَاسِمِ
“Bagaimana saya shalat jika saya berada di Makkah (sedang safar) dan saya tidak ikut shalat di belakang imam (berjamaah)?” Maka beliau menjawab, “Shalatlah 2 rakaat, itu merupakan sunnahnya Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Muslim: 5/197-Syarh An-Nawawi)
Maka dari atsar di atas bisa dipahami, bahwa jika seseorang shalat di belakang imam yg mukim maka dia mengikuti rakaat imamnya yaitu 4 rakaat.
3. Boleh menjama' atau mengqashar shalat jika safarnya tidak untuk maksiat
4. Shalat yg bisa dimana' adalah zhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya'. Sementara shubuh tidak bisa dijama'
5. Menjama' shalat sebab Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan di atas. Allah Ta'ala berfirman:
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj: 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”. (HR Muslim 705).
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
6.Menjama’ Shalat Karena Macet
Kita yg hidup di tengah belantara metropolitan ini seringkali disulitkan dengan urusan macet, khususnya masalah waktu shalat maghrib. Sedangkan shalat Dzhur, Ashar, Isya dan Shubuh relatif tidak terlalu berpengaruh karena waktunya leluasa.
Yang paling mengkhawatirkan adalah shalat Maghrib yang waktunya sangat singkat. Padahal jam2 seperti itu adalah jam macet di mana2. Sehingga banyak orang yg berpikiran bahwa macet itu ‘boleh’ dijadikan alasan untuk menjama’ shalat.
Tetapi apa dalilnya? Bisakah dalil darurat dijadikan alasan? Dan seberapakah nilai darurat sebuah kemacetan itu sehingga boleh menggeser waktu shalat? Adakah dalil yg shahih dan sharih dari Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam yg membolehkan jama lantaran macet?
Jawabannya tentu tidak ada. Tidak ada hadits yg bunyinya bila kalian kena macet, maka silahkan menjama’ shalat.
Lalu apakah kondisi macet sesuai dengan salah satu penyebab di atas? Misalnya dengan urusan safar, hujan, sakit, haji atau keperluan mendesak?
Kalau dikaitkan dengan safar, maka macet yg sering kita alami tidak memenuhi syarat, karena dari segi jarak tidak memenuhi standar minimal. Kalau dikaitkan dengan keperluan mendesak, di sana ada syarat bahwa hal itu tidak boleh terjadi tiap hari. Dan yg namanya darurat itu tidak boleh terjadi sepanjang waktu.
Bukankah kita masih bisa turun dari bus atau mobil untuk shalat di mana pun? Bukankah shalat itu tidak harus di dalam sebuah masjid atau musholla? Bukankah kalau tidak ada air kita masih diperbolehkan bertayamum? Bukankah air tersedia di mana2, bahkan para penjual air minum kemasan pun berkeliaran saat macet?
Maka kaidah fiqhiyah yg anda sampaikan itu masih ada pasangannya, yaitu:
الضرورة تقدر بقدرها
"Sesuatu yg dharurat itu diukur berdasarkan kadarnya."
Batasan Jama' Shalat
Ada silang pendapat yg besar di kalangan ulama dalam masalah ini, sampai2 sebagian ulama ada yg menyebutkan sampai 20 pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat ini lahir akibat perbedaan dalam menshahihkan sebuah hadits dan dalam memahami hadits2 yg menyebutkan adanya penyebutan jara' dalam safar Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di antara hadits2 yg menyebutkan adanya jarak tertentu adalah:
1. Hadits Anas di atas yg menunjukkan beliau shalat qashar di Zil Hulaifah. Sementara Zul Hulaifah jaraknya sekitar 3 mil atau 4,8 km dari Madinah, karena mil = 1,6 km
Hanya saja para ulama menyebutkan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa itu merupakan jarak minimal safar, tapi hanya menunjukkan bahwa beliau melakukan qashar di Zul Hulaifah.
2. Hadits Anas riwayat Muslim no. 691 dia berkata, “Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh, maka beliau shalat 2 rakaat.”
Hanya saja dalam hadits di atas juga tidak ada keterangan itu adalah jarak safar minimal yg diizinkan qashar. Lagipula riwayat Muslim di atas terjadi perbedaan lafazh yg mengharuskan perbedaan hukum, yaitu dalam penyebutan jarak antara 3 mil atau 3 farsakh. 1 mil = 1,6 km dan 1 farsakh = 5,541 km (walaupun tentunya ukuran 1 farsakh ini bukanlah ukuran yg disepakati).
3. Menjama’ Shalat Ketika Penuh Lumpur yg Merintangi Jalan
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yg lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunujukkan bahwa hujan dan tanah yg berlumpur (karena sebelumnya hujan) merupakan udzur (alasan) untuk tidak melakukan shalat jum’at. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Abbas di atas ”Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat)” yg merupakan illah (sebab) untuk meninggalkan shalat jum’at ketika hujan dan ketika tanah berlumpur (becek). Dan kedua hal ini termasuk kesulitan.
4. Menjamak Shalat Ketika Angin Kencang Disertai Hawa Dingin
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,”
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُنَادِي مُنَادِيْهِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ أَوْ اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ ذَاتَ الرِّيْحِ صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa mengumandangkan adzan ketika malam yang hujan dan malam yang dingin disertai angin kencang, lalu diucapkan ”shalatlah di rumah-rumah kalian”.” (HR. Ibnu Majjah)
5. Menjamak Shalat Karena Kesulitan
Dari Ibnu ’Abbas, beliau mengatakan,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya' di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yg berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yg Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim)
6. Menjamak Shalat Ketika Sakit
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits2 seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu, dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yg jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yg telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yg si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing2 adalah suatu hal yg lebih layak lagi.” (Maumu' Fatawa Ibnu Taimiyah 24/84).
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ”Semua alasan yg menjadi sebab bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah adalah alasan yg membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh karena itu, boleh menjamak shalat karena hujan, lumpur yg menghadang di jalan, anging yg kencing membawa hawa dingin menurut pendapat yg nampak pada Imam Ahmad. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yg mengalami istihadhah dan wanita yg menyusui (yg harus sering berganti pakaian karena dikencingi oleh anaknya)”. (Maumu' Fatawa Ibnu Taimiyah 24/14).
Batasan Qashar Shalat
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ
“Jika kalian mengadakan perjalanan di muka bumi maka tidak mengapa atas kalian untuk mengqashar shalat jika kalian khawatir orang-orang kafir akan membahayakan kalian.” (QS. An-Nisa’: 101)
Dari Ya’la bin Umayyah dia berkata kepada Umar bin Al-Khaththab meminta penjelasan ayat di atas:
فَقَد أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ: عَجِبتُ مِمَّا عَجِبتَ مِنهُ فَسَأَلتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – عَن ذَلِكَ فَقَالَ: ((صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الله بِهَا عَلَيكُم فَاقبَلُوا صَدَقَتَهُ)).
“Sekarang manusia sudah merasa aman (tidak ada bahaya dari orang kafir). Maka Umar menjawab, “Aku juga mengherankan hal tersebut, karenanya aku juga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Itu (qashar) adalah sedekah yang Allah bersedekah kepada kalian, karenanya terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim no. 686)
Dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu anha dia berkata:
فَرَضَ الله الصَّلاةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّت صَلاةُ السَّفَرِ وَزِيدَ في صَلاةِ الحَضَرِ
“Dia awal kali Allah mewajibkan shalat, Dia mewajibkannya 2 rakaat 2 rakaat dalam keadaan mukim dan safar. Belakangan, shalat dalam keadaan safar ditetapkan sebagaimana awalnya, dan shalat dalam keadaan mukim ditambah (jadi 4 rakaat).” (HR. Al-Bukhari no. 1090 dan Muslim no. 685
Hukum Qashar Shalat
Pendapat yg lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwa mengqashar shalat bagi musafir hukumnya adalah wajib. Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Hasan bin Saleh, dan merupakan mazhab Zhahiriah dan selainnya, serta yg dikuatkan oleh Asy-Syaukani dalam Nail Al-Authar: 3/202.
Di antara dalil-dalil mereka adalah:
1. Hadits Ya’la bin Umayyah di atas. Sisi pendalilannya adalah adanya perintah Nabi shallallahi alaihi wasallam untuk menerima sedekah dari Allah (shalat qashar), sementara hukum hukum asal perintah beliau adalah wajib.
2. Hadits Aisyah di atas yg tegas menunjukkan bahwa dalam safar, shalat kembali kepada rakaat asalnya yaitu dua rakaat. Karenanya barangsiapa yang shalat itmam (4 rakaat) dalam safar maka dia telah menambah 2 rakaat tanpa ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya.
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata:
صَحِبتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – فَكَانَ لا يَزِيدُ في السَّفَرِ عَلَى رَكعَتَينِ وَأَبَا بَكرٍ وَعُمَرَ وَعُثمَانَ كَذَلِكَ
“Saya bersahabat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebegitu lama), akan tetapi dalam safar beliau tidak pernah shalat lebih dari 2 rakaat. Demikian pula yg dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. Al-Bukhari no. 1102)
Kapan musafir mulai mengqashar?
Ibnu Al-Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yg kami hafal pendapat mereka telah bersepakat bahwa siapa yg ingin safar maka dia boleh mengqashar jika dia sudah meninggalkan semua rumah yg ada di kampung yang dia keluar darinya.”
Apa yg disebutkan oleh Ibnu Al-Mundzir di sini akan adanya ijma’ adalah sebatas apa yg beliau hafal -sebagaimana yg beliau sendiri ingatkan-, karena kenyataannya ada silang pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Pendapat yg beliau sebutkan tersebut adalah pendapat mayoritas ulama, dan di antara dalil mereka adalah atsar dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau pernah safar lalu beliau melakukan qashar bersama yg lainnya dalam keadaan mereka melihat rumah2 (di dalam kampung). Lalu ketika mereka pulang, mereka mengqashar dalam keadaan mereka melihat rumah2.
Atsar di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2/569) secara mu`allaq dengan konteks al-jazm (pemastian keshahihannya).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
أَقَامَ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – تِسعَةَ عَشَرَ يَقصُرُ، فَنَحنُ إِذَا سَافَرنَا تِسعَةَ عَشَرَ قَصَرنَا وَإِن زِدنَا أَتمَمنَا
“Nabi shallallahu alaihi wasallam tinggal di tepat safarnya selama 19 hari sambil mengqashar shalat. Karenanya, jika kami safar selama 19 hari kami mengqashar dan jika lebih maka kami melakukan shalat itmam (rakaat sempurna).” (HR. Al-Bukhari no. 1080)
Dan pembatasan 19 hari inilah yang dipilih oleh Ishaq bin Rahawaih dan yg dikuatkan oleh Asy-Syaukani.
Maraji': Dhiya` As-Salikin fii Ahkam wa Adab Al-Musafirin karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.
Demikian Ibnu Mas'ud menjelaskan dalam kajiannya semoga bermanfaat. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

Jumat, 27 Mei 2016

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGQADHA’ PUASA RAMADHAN


Saat ini kita berada di sepuluh terakhir bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan memasuki bulan penuh kemuliaan, bulan Al-Qur’an, yaitu bulan Ramadhan. Di antara amalan yang disunnahkan di bulan Sya’ban adalah memperbanyak puasa sunnah. Namun yang masih memiliki utang puasa selama beberapa hari lebih utama baginya untuk menunaikan qodho puasa karena sempitnya kesempatan untuk menunaikan utang tersebut.
Sebagian orang sering menganggap remeh penunaian qodho puasa ini. Sampai-sampai bertahun-tahun utang puasanya menumpuk karena rasa malas untuk menunaikannya, padahal ia mampu. Berbeda halnya jika ia tidak mampu karena mungkin dalam kondisi hamil atau menyusui bertahun-tahun sehingga ia mesti menunaikan utang puasa pada dua atau tiga tahun berikutnya. Yang terakhir memang ada udzur. Namun yang kita permasalahkan adalah yang dalam keadaan sehat dan mampu tunaikan qodho puasa. Qodho puasa tetap wajib ditunaikan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintahkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.” (HR. Muslim no. 335).
Qadha’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qadha’ puasanya sampai bulan Sya’ban.
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ . قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِىِّ أَوْ بِالنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
“Aku punya hutang puasa Ramadan, aku tak dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al Bukhari)
Akan tetapi yang dianjurkan adalah qadha’ Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »
“Dan Hutang terhadap Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Harus diketahui pula, bahwa seorang yang berhutang puasa di dalam bulan Ramadhan, maka ia wajib mengqadhanya sebelum datang Ramadhan selanjutnya.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : ( كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) .
’Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah aku mempunyai hutang puasa dari bulan Ramadhan, lalu aku tidak mampu mengqadhanya melainkan di dalam bulan Sya’ban, yang demikian itu karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalny rahimahullah mengomentari hadits ini:
وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ اهـ
Dan diambil pelajaran dari semangatnya ‘Aisyah radhiyallalhu ‘nha untuk mengqadhanya di dalam bulan Sya’ban, BAHWA TIDAK BOLEH MENGAKHIRKAN QADHA SAMPAI MASUK KE DALAM RAMADHAN YANG LAIN.” Lihat kitab Fath Al Bary ketika mengomentari hari di atas.
Barangsiapa yang belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta`khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur dalam penundaan qadha`-nya.
Namun jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat :
Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya. Demikian penuturan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, [Kairo : Darush Shahwah], 1992, hal. 64).
Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua : (1) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109). (2) Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).
Wajib mengqadha dan membayar fidyah, dan ini adalah pendapatnya Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Asy Syafi’ie, Ishaq, Ats Tsaury dan Al Auza’iy rahimahumullah.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
من فرَّط في صيام شهر رمضان حتى يدركه رمضان آخر فليصم هذا الذي أدركه، ثم ليصم ما فاته، ويطعم مع كل يوم مسكيناً
“Barangsiapa yang meremehkan puasa Ramadhan sampai datang Ramadhan selanjutnya, maka berpuasalah ia bulan ini yang ia dapati (dari Ramadhan yang kedua) kemudian berpuasalah ia atas apa yang ia tinggalkan, dan memberikan maka setiap harinya seorang miskin.” HR. Ad Daruquthny dan ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Furu’ (5/64): “diriwayatkan oleh Sa’id dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma”, riwayat ini dishahihkan juga oleh An Nawawi di dalam kitab Al Majmu’ (6/346) .
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata tentang seseorang yang sakit lalu tidak berpuasa sampai memuali dulu, ia berpuasa sampai datang Ramadhan yang lain:
يصوم الذي حضره ويصوم الآخر ويطعم كل ليلة مسكيناً
“Ia berpuasa yang telah hadir dan brpuasa lainnya serta memberikan makanan setiap hari seorang miskin.” (HR. Ad Daruquthni (2/197) dan beliau berkata: “Sanadnya shahih mauquf.”
Dalil pendapat pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). Ath-Thahawi dalam masalah ini meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka.” (wajadtuhu ‘an sittin min ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).
Imam Syaukani menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah ra dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).
Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 210).
Wajib mengqadha saja adalah pendapatnya Al Hasan Al Bashry, An Nakh’i, Al Bukhari berkata di dalam kitab shahihnya:
قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني : النخعي- : إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا ، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ . ثم قال البخاري : وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ ، إِنَّمَا قَالَ : ( فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ) اهـ
“Berkata Ibrahim yaitu An Nakh’i: “Jika ia meremehkan sampai datang ramadhan lain, maka ia berpuasa pada keduanya dan ia tidak berpendapat ada kewajiban fidyah atasnya dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) membayar fidyah, kemudia Al Bukhari berkata: “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman: “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha` (ta`khir al-qadha`), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi bulan Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata, ”Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya.” (wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalil pendapat jumhur ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah rah dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (maa qadhaytu syai`an mimmaa yakuunu ‘alayya min ramadhaana illaa sya’baana hatta qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallama) (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).
Masalah Fidyah
Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah.
Hal itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).
Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,”…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),”…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).
Pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. Sebab pendapat sahabat –yang dalam ushul fiqih disebut denganmazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. Imam Syaukani berkata,”Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,”…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).
Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka”, tidaklah dapat diterima. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.210 mengatakan,”Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.”
Masalah Waktu Qadha
Adapun waktu qadha`, yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jadi mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa`) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa.
Dalilnya adalah hadits Aisyah rah di atas bahwa dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad, hadits sahih). (Terdapat hadits-hadits yang semakna dalam lafazh-lafazh lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871-872, hadits no. 1699).
Memang hadits di atas adalah hadits mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan dan/atau perbuatan ‘Aisyah rah. Jadi ia memang bukan hadits marfu’, yaitu hadits yang isinya adalah perbuatan, perkataan, dan diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun adakalanya sebuah hadits itu mauquf, tapi dihukumi sebagai hadits marfu’. Para ulama menyebut hadits semacam ini dengan sebutan al-marfu’ hukman, yakni hadits yang walaupun secara redaksional (lafzhan) adalah hadits mauquf tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’ (Mahmud Thahhan,Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 131).
Hadits al-marfu’ hukman mempunyai ciri antara lain bahwa objek hadits bukanlah lapangan pendapat atau ijtihad. Dengan kata lain, bahwa seorang sahabat tidaklah berkata, berbuat, atau berdiam terhadap sesuatu kecuali dia telah memastikan bahwa itu berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Shubhi Shalih, ‘Ulumul Hadits wa Musthalahuhu, hal. 207-208).
Mengenai hadits ‘Aisyah rah di atas terdapat indikasi bahwa ia adalah al-marfu’ hukman. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal. 123-124 dengan mengatakan : “Adalah jauh sekali, terjadi perbuatan itu dari ‘Aisyah -yang tinggal dalam rumah kenabian- tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nash ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk mengqadha` puasa adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha` hendaknya dilaksanakan sebelum datangnya Ramadhan yang baru. Jika tidak demikian, maka seseorang telah melampaui batas. Kalau qadha` itu boleh ditunda hingga datangnya Ramadhan yang baru, niscaya perkataan ‘Aisyah rah itu tidak ada faidahnya. Lagi pula pendapat mengenai wajibnya mengqadha` sebelum datangnya Ramadhan yang baru telah disepakati oleh para fuqaha, kecuali apa yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, rahimahullah.”
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah. Adapun dalam hal waktu mengqadha`, qadha` wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya. Wallahu a’lam
Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق