MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Kamis, 17 Maret 2016

KAJIAN TENTANG DUDUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM



Duduk terlihat sebagai masalah sepele, namun tidak bagi orang yg benar2 ingin mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam segala aktivitasnya.

Mungkin kita kurang menyadari bahwa bahasa tubuh bisa menyampaikan suatu pesan tanpa kata-kata. Seperti yg diungkapkan oleh Janine Driver, penulis You Can’t Lie to Me.
Pada buku yg dinobatkan sebagai New York Time's best seller ini, Driver membeberkan beberapa posisi duduk dan berdiri yg umum dilakukan oleh orang2 sekitar kita, termasuk kita sendiri.
Duduk menyilangkan kaki
Bagi yg terbiasa duduk menyilangkan kaki, menurut Driver, memiliki kepercayaan diri yg tinggi, berani memegang kendali.  Lalu, bagaimana jika pria duduk menyilangkan kaki saat bersama teman. Nah, arti di balik posisi duduk seperti itu adalah dirinya sangat tertarik dan nyaman saat bersamanya.                                    
Duduk dengan kaki terbuka lebar
Drive mengatakan, bila duduk dengan kaki terbuka lebar, maka menandakan bahwa pribadi yg mendominasi dan memiliki kekuasaan yg besar. Selain itu, Tidak pernah sungkan dalam memperlihatkan kepada lingkungan sekitar bahwa dia berkuasa. Singkat kata, dia memiliki karakter yg arogan, sombong, dan kurang memiliki empati.

Lantas bagaimana seorang muslim saat mencontok duduknya baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam? Berikut ini adalah beberapa cara duduk yg pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

1.    Duduk Bersila.

Duduk ini dilakukan dengan cara menyilangkan kedua kaki yg berada dalam posisi rebah dan terlipat, sehingga persilangannya ada di antara kedua betis. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah duduk bersila dari setelah selesai sholat subuh, hingga terbit matahari;

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ
 كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَسْنَاءَ

Jika Nabi shalat subuh, beliau duduk di tempat duduknya hingga matahari terbit & bersinar terang. [HR. Abudaud No.4210].

Jabir bin Samurah radiallahu-anhu berkata: “Adalah Nabi sallallahu ‘alaihi wassalam setelah bersembahyang Fajar (Subuh), baginda duduk bersila di tempatnya sehingga terbitnya matahari yang indah (keputihan sinarnya)”. (HR. Abu Daud dan lain-lain, dinukil dan dinilai sahih oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Salihin (tahqiq & takhrij Shaikh Syu‘aib al-Arnuth; Maktabah al-Ma’mun, Jeddah 1996) – no: 821).

2.    Duduk Qurfasha.

Duduk ini dilakukan dengan cara melipat lutut dan menegakkannya sehingga kedua telapak kaki menjejak lantai. Kemudian kedua tangan merangkul kedua lutut tersebut. Namun, cara duduk seperti ini dilarang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dilakukan ketika mendengarkan khutbah Jum’at (sanad hadistnya Hasan).

أنها رأت رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد وهو قاعد القرفصاء قالت: «فلما رأيت رسول الله صلى الله عليه
 وسلم المتخشع في الجلسة أرعدت من الفرق».

Ia (Qabilah) melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. di masjid sedang duduk qurfasha (Duduk Qurfasha yakni duduk bertumpu pada pinggul, kedua paha merapat ke perut dan tangan memegang beti)."

Qabilah berkata, "Manakala aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk dengan khusyu', maka akupun dibawa oleh perasaan takjub karena wibawanya." (Diriwayatkan oleh 'Abd bin Humaid, dari `Affan bin Muslim, dari `Abdullah bin Hasan, dari kedua orang anaknya, yang bersumber dari Qabilah binti Makhramah)

Abdullah ibnu Umar radiallahu ‘anhuma berkata: “Saya melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam di halaman Ka’bah, beliau duduk dengan menegakkan kedua lututnya, (yaitu) dengan melingkar kedua tangannya ke sekeliling lututnya, dan ini cara duduk al-Qurfusha’”. (HR. Bukhari dan dinukil oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Salihin no: 822)

3.    Duduk Bertinggung (Nongkrong)

Duduk ini dilakukan seperti berjongkok dengan seluruh telapak kaki menjejak lantai, bagian (maaf) pantat tidak menyentuh lantai. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah duduk bertinggung ketika sedang makan kurma.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam duduk bertinggung sambil makan kurma.” (HR. Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim – no: 2044).

4.    Duduk Iftirasy.

Duduk ini sama dengan duduk antara dua sujud maupun sujud ketika tahiyatul awal dalam sholat.

عَنْ عَا ءشَةَ قَا لَتْ : وَكَانَ َيفرشُ رجْلَهُ اليُسْرَى َوَينْصبُ رجْلَهُ اليُمْنَى (رواه مسلم)
Dari Aisyah رضى لله عنها , ia berkata, “ Dan beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya [HR. Muslim di dalam kitab shohihnya juz 1 no 497].

5.    Duduk Tawarruk.

Duduk ini sama dengan duduk ketika tahiyatul akhir dalam sholat.

Humaid As Saidy d berkata :
… حَتَى إ ذا كَا نَتْ فى السَجَدَ ة الَتى فيهَا التَسْليْم، أخْرَجَهُ رجْلَهُ اليُسْرَى َوجَلَسَ عَلَى شَقّ الأيْسَر
مُتَوَرّكًا  (رواه ابى حا تم فى صحيحه)
Hingga apabila sujud yang di dalamnya akan salam Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya dan duduk di atas sisi kirinya dalam keadaan tawwarruk (duduk dengan meletakkan pantatnya di atas tanah) [ HR Abu Hatim di dalam kitab shohihnya ].

6.    Duduk Ihtiba

عن جده أبي سعيد الخدري قال: «كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في المسجد احتبى بيديه».

Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di masjid, maka ia duduk secara ihtaba dengan kedua tangannya (Ihtaba adalah duduk Qurfasha sambil bersandar)." (Diriwayatkan oleh Salamah bin Syabib, dari `Abdullah bin Ibrahim al Madini, dari Ishaq bin Muhammad al Anshari, dari Rabih bin `Abdurrahman bin Abi Sa'id, dari bapaknya yang bersumber dari kakeknya Abi Sa'id al Khudri r.a)

7.    Duduk Selonjor

عن عمه، «أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه على الأخرى».

Sesungguhnya ia melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbaring telentang di masjid, dan salah satu kakinya ditumpangkan pada kaki lainnya." (Diriwayatkan oleh Sa'id bin `Abdurrahman al Makhzumi dan lainnya, mereka menerima dari Sufyan, dari Zuhri, dari `Abbad bin Tamim yang bersumber dari pamannya (Ia adalah `Abdullah bin Zaid bin `Ashim bin Muhammad, ia adalah seorang sahabat dan dikatakan bahwa ia yang membunuh Musailamah al Kadzdzab (Nabi palsu).

8.    Duduk Bertetekan

عن جابر بن سمرة قال: «رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم متكئا على وسادة على يساره».

Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk bertelekan pada sebuah bantal di sebelah kirinya." (Diriwayatkan oleh `Abbas bin Muhammad ad Dauri al Baghdadi, dari Ishaq bin Manshur, dari Israil, dari simak bin Harb, yang bersumber dari Jabir bin Samurah r.a.

عن علي بن الأقمر قال: سمعت أبا جحيفة يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا آكل متكئا».

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku tak mau makan sambil bertelekan " (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari `Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan, dari `Ali bin al `Aqmar, yang bersumber dari Abu Juhaifah r.a.)

عن جابر بن سمرة قال: «رأيت النبي صلى الله عليه وسلم متكئا على وسادة»

Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk bertelekan pada sebuah bantal." (Diriwayatkan oleh Yusuf bin `Isa, dari Waki', dari Ismail, dari Simak bin Harb, yang bersumber dari Jabir bin Samurah r.a.)

Berikut ini adalah beberapa cara duduk yang dilarang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

1.    Duduk Qurfasha ketika mendengarkan khutbah Jum’at.

2. Duduk berselonjor atau bertelekan tangan ke belakang ketika mendengarkan khutbah Jum’at.

3.    Duduk bertelekan dengan sebelah tangan.

4.    Duduk bersandar miring ke arah sebelah sisi badan ketika sedang makan.

Diriwayatkan dari Shohabat Mu’adz bin Anas rodhiyallohu ‘anhu,” Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang duduk bertinggung (duduk dalam keadaan kedua tangan memeluk kedua lutut) pada hari Jum’at yaitu pada saat imam sedang berkhutbah.” (Hadits Hasan : Abu Dawud no.1110 dan at-Tirmidzi no. 514 dari Shohabat Mu’adz bin Anas rohiyalloohu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata : “Hadits ini hasan.” Lihat Hidaayatur Ruwaat II/105 no.1338)

Abu Juhaifah radiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Jangan makan sambil bersandar.” (HR. Bukhari dan dinukil oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Salihin – no: 746).

Duduk ini adalah duduk seperti duduknya orang2 yg sombong. Lagipula duduk ini ketika makan akan menyebabkan makanan tidak dapat dicerna dengan baik. Duduk di kuburan muslim, namun tentang hal ini, ada pula yg menyatakan bahwa duduk yg dimaksud adalah duduk ketika buang hajat di kuburan muslim.

5.    Duduk Iq'a

Yang dimaksud cara duduk syetan ini dijelaskan oleh Ibnu Ruslan di dalam kitab Syarhus Sunan dengan keterangannya sebagai berikut, “Dengan menghamparkan kedua kaki dan menduduki keduanya.

Adapun Abu Ubaid dan ulama lainnya menafsiri pengertian aqibisy syaithan itu dengan duduk iq’a yang terlarang. Adapun hadis tentang duduk iq’a itu sebagai berikut :

Dari Abu Hurairah ia berkata “rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyuruh aku terhadap tiga amalan dan melarang aku dari tiga amalan (di dalam salat). “beliau memerintahkan aku salat dua rakaat duha setiap hari, witir sebelum tidur, dan saum tiga hari pada setiap bulan. Dan melarang aku dari tiga amln (di dalam salat). Beliau melarang aku mematuk-matuk seperti mematuk-matuknya seekor ayam (tergesa-gesa), duduk iq’a seperti duduknya anjing dan menoleh-noleh seperti menoleh-nolehnya musang. (HR. Ahmad)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّه سَمِعَ طَاوُسًا يَقُولُ قُلْنَا لِابْنِ عَبَّاسٍ فِي الْإِقْعَاءِ عَلَى الْقَدَمَيْنِ فِي السُّجُودِ فَقَالَ هِيَ السُّنَّةُ قَالَ قُلْنَا إِنَّا لَنَرَاهُ جُفَاءً بِالرَّجُلِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هِيَ سُنَّةُ نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ma'in] telah menceritakan kepada kami [Hajjaj bin Muhammad] dari [Ibnu Juraij] telah mengabarkan kepadaku [Abu Az Zubair] bahwa dia mendengar [Thawus] berkata; kami bertanya kepada [Ibnu Abbas] mengenai duduk iq`a' (duduk bersimpuh) di atas kedua tumit di antara sujud." Ibnu Abbas menjawab; "itu termasuk sunnah." Kata Thawus; "kami berkata; "Sesungguhnya kami melihatnya kurang sopan." Ibnu Abbas menjawab; "Itu adalah sunnah Nabimu shallallahu 'alaihi wasallam." [HR. Abu Daud No.719].

Hadits yang semkana tentang larangan duduk iq’a di riwayatkan pule oleh At-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah dari sahabat Ali bin Abu Thalib yaitu dengan lafal : Janganlah duduk iq’a pada duduk antara dua sujud.”

Cara duduk iq’a yang dilarang itu adalah dengan menempelkan kedua belah pantat (bokong) di atas bumi sambil menancapkan kedua betis dan menempatkan kedua tangannya di atas Bumi” seperti duduknya seekor anjing” lihat Nailul Authar, II:310.

6.    Duduk Al-Maghdhub
                                                                                                                                            
عَنْ أَبِيهِ الشَّرِيدِ بْنِ سُوَيْدٍ قَالَ مَرَّ بِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا جَالِسٌ هَكَذَا وَقَدْ وَضَعْتُ يَدِىَ الْيُسْرَى
خَلْفَ ظَهْرِى وَاتَّكَأْتُ عَلَى أَلْيَةِ يَدِى فَقَالَ « أَتَقْعُدُ قِعْدَةَ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ ».

Syirrid bin Suwaid radiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam melintas di hadapan aku sedang aku duduk seperti ini, yaitu saya bersandar kepada tangan kiri saya yg saya letakkan di belakang. Lalu baginda bersabda, "Adakah engkau duduk sebagaimana duduknya orang2 yg dimurkai ?” (HR. Abu Daud, dinukil dan dinilai sahih oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Salihin no: 824.) Wallahu a’lam bis-Shawab

Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajian tentang duduk yg dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan semoga bermanfa’at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق




Selasa, 15 Maret 2016

KAJIAN TENTANG LAFAZH SALAM SESUAI SUNNAH, ADAKAH SALAM YANG SALAH?



Imam Nawawi menyebutkan dalam Shohih Muslim Bab ‘Di antara kewajiban seorang muslim adalah menjawab salam’. Lalu dibawakanlah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ ». قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ ».

“Hak muslim pada muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang menanyakan, ”Apa saja keenam hal itu?” Lantas beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam padanya, (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya, (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’), (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim no. 2162)

Dewasa ini sering kita temui komunitas muslim yang katanya paling nyunnah meributkan masalah lafazh ucapan salam. Mereka mengatakan bahwa yang benar jika mengucapkan salam kepada satu orang cukup dengan
السلام عليك
dan tidak dengan
السلام عليكم
karena menurut pemahaman mereka zhomir/kata ganti tunggal itu ك (kamu) bukan كم (kalian/jama’) dengan rujukan hadits berikut:

عن جابر بن سليم قال رأيت رجلا يصدر الناس عن رأيه لا يقول شيئا إلا صدروا عنه قلت من هذا قالوا هذا رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت عليك السلام يا رسول الله مرتين قال لا تقل عليك السلام فإن عليك السلام تحية الميت قل السلام عليك … الحديث اخرجه الامام ابو داود والبيهقي وروى الترمذي

Dari Jabir bin Salim berkata : Saya melihat seseorang yang manusia selalu bersandar kepada pendapatnya, tidaklah ia mengatakan sesuatu kecuali mereka akan bersandar kepadanya. Saya berkata: siapa ini ? maka mereka berkata: ini adalah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, maka saya berkata : “Alaikassalam wahai ya Rasulullah…” sebanyak 2 kali. Maka beliau berkata : “Janganlah engkau berkata ‘Alaikassalam Sesungguhnya ‘Alaikassalam adalah penghormatan kepada mayit., tetapi katakanlah Assalamu’alaika. (HR. Abu Dawud, Baihaqi dan Tirmidzi)

عَنْ أَبِي جُرَيٍّ الْهُجَيْمِيِّ رضي الله عنه قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : عَلَيْكَ السَّلَامُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ : ( لا تَقُلْ عَلَيْكَ السَّلامُ ، فَإِنَّ عَلَيْكَ السَّلامُ تَحِيَّةُ الْمَوْتَى ) روه أبو داود (5209) والترمذي (2722)

Dari Abu Jurai Al-Hujaimi radhiyallahu ‘anhu, aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan berkata, ‘Alaikassalam ya Rasulullah? Rasulullah bersabda, “Jangan kamu mengucapkan ‘Alaikassalam karena sesungguhnya ‘alaikassalam itu penghormatan untuk orang yang meninggal/mati.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Terkadang yang membikin heran adalah orang yang mengucapkan salam dengan Assalamu’alaika (sesuai hadits) kepada satu teman yang dijumpainya tetapi saat menyebutnya dengan panggilan antum (kamu semua). Inilah dampak sok nyunnah, sok ahli tata bahasa Arab tetapi sebenarnya tidak paham sama sekali. Satu sisi dia mengkritik disisi lain dia tidak sadar kalau salah.

Salam yang kita maksudkan dalam kajian ini ialah ucapan السلام عليكم atau lafaz السلام عليك yang sesuai sunah? Adapun kalimat السلام itu sendiri mempunyai makna tersendiri yang disebutkan oleh para ulama:
• Sebagian mereka (para ulama) mengatakan السلام adalah nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika seseorang mengucapkan السلام عليه berarti dia mengucapkan Nama Allah atas kamu” yang bermakna “Semoga kamu berada dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala”
• Sebagian mereka (para ulama) juga mengatakan السلام bermakna السلامه (keselamatan), jadi makna ucapan السلام عليله adalah “Keselamatan untukmu” (Al Minhaj Syarhu Shohihi Muslim, Jilid 7 hal 262, Kitab As-Salam)

Imam Nawawi Rahimahullah menyebutkan “Ketahuilah bahwa memulai salam hukumnya adalah sunnah dan menjawab salam hukumnya adalah wajib. Jika orang yang mengucapkan salam terdiri dari sekelompok orang (jama’ah) maka berlaku bagi mereka hukum sunnah kifayah yang berarti jika salah satu dari mereka mengucapkan salam, maka sunnah salam tersebut menjadi hak mereka seluruhnya. Jika orang yang disalami adalah satu orang maka wajib (Fardhu ‘Ain) dia untuk menjawab. Jika orang yang disalami adalah sekelompok orang (Jama’ah) maka hukum menjawab salam bagi mereka menjadi Fardhu Kifayah, yang berarti jika salah seorang dari mereka sudah menjawab salam, maka terputuslah dosa / kesalahan bagi yang belum menjawab salam. (Al Minhaj, Jilid 7 hal 261)

Berkata Imam Nawawi Rahimahullah, “ Dicintai/Mustahab bagi seorang yang memulai salam dengan mengucapkan ورحمة الله وبركاته السلام وعليكم dengan menggunakan kata ganti jamak (كم) walaupun yang disalami cuma satu orang, dan orang yang menjawab mengatakan وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته (Syarh Riyahdush Sholihin Ibnu Utsaimin (ulama’ wahabi) Jilid 3, hal 10)

Dalilnya adalah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا مَرَّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي مَجْلِسٍ فقَالَ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ” فقَالَ عَشْرُ حَسَنَاتٍ ثُمَّ مَرَّ رَجُلٌ آخَرَ فقَالَ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فقَالَ عِشْرُونَ حَسَنَةً فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرَ فقَالَ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ فقَالَ ثَلَاثُونَ حَسَنَةً …الخ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang pemuda melewati Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang dalam keadaan duduk disebuah Majelis. Maka Pemuda ini mengucapkan “Assalamu’alaikum”, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “bagi dia 10 kebaikan”. Lalu lewat Pemuda yang lain dan mengatakan : “Assalamu’alaikum wa rahmatullah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Bagi dia 20 kebaikan” kemudian lewat lagi Pemuda yang lainnya mengatakan : “Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan :”Bagi dia 30 kebaikkan” (HR. IbnuHibban 493, Abu Daud 5195, Tirmidzi 2689 dan ini adalah lafadz Ibnu Hibban)

Jika seseorang memberikan salam dengan السلام عليكم maka jawab yang lebih adalah وعليكم السلام ورحمة الله dan yang lebih baik lagi dari ini adalah وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Allah berfirman dalam Surat An Nisa : 86

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”. (QS. An-Nisa’: 86)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- beliau bersabda:

خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالُوا السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَزَادُوهُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ

“Dahulu Allah mencipta Adam ‘alaihissalam yang tingginya enam puluh hasta kemudian berfirman, “Pergilah kamu dan berilah salam kepada mereka para malaikat dan dengarkanlah bagaimana mereka menjawab salam penghormatan kepadamu dan juga salam penghormatan dari anak keturunanmu”. Maka Adam menyampaikan salam, “Assalaamu ‘alaikum” (kesalamatan atas kalian). Mereka menjawab, “Assalaamu ‘alaika wa rahmatullah,” (kesalamatan dan rahmat Allah atasmu) mereka menambahkan kalimat ‘wa rahmatullah’. Nanti setiap orang yang masuk surga bentuknya seperti Adam -alaihissalam- dan manusia terus saja berkurang (tingginya) sampai sekarang”. (HR. Al-Bukhari no. 3079,5759 dan Muslim no. 6227)

Dari Imran bin Al-Hushain -radhiallahu anhu- dia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرٌ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ عِشْرُونَ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ ثَلَاثُونَ

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan mengucapkan, “Assalamu alaikum?” Beliau membalas salam orang tersebut, kemudian orang itu duduk. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Sepuluh pahala.” Setelah itu ada orang lain yang datang dan mengucapkan salam, “Assalamu alaikum warahmatullah.” Beliau membalas salam orang tersebut, kemudian orang itu duduk, maka beliau bersabda: “Dua puluh pahala.” Setelah itu ada lagi orang yang datang dan mengucapakan salam, “Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” beliau membalas salam orang tersebut kemudian orang itu duduk. Beliau lalu bersabda: “Tiga puluh pahala.” (HR. Abu Daud no. 5195, At-Tirmizi no. 2689, dan Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (5/11), “Sanadnya kuat.”)

Singkatnya ucapan salam adalah sunah Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi wa salam, dengan lafazh Assalamu’alaika atau Assalamu’alaikum keduanya baik. Para ulama menjelaskan bahwa As-Salam itu termasuk nama Allah. Sehingga jika kita mengucapkan Assalamu’alaikum, maka ini berarti kita mendo’akan saudara kita agar dia selalu mendapat penjagaan dari Allah Ta’ala. Ada juga sebagian ulama mengartikan bahwa As-Salam dengan keselamatan. Sehingga jika kita mengucapkan Assalamu’alaikum, maka ini berarti kita mendo’akan saudara kita agar dia mendapatkan keselamatan dalam masalah agama ataupun dunianya. Jadi makna salam yang terakhir ini berarti kita mendo’akan agar saudara kita mendapatkan keselamatan dari berbagai macam kerancuan dalam agama, selamat dari syahwat yang menggelora, juga agar diberi kesehatan, terhindar dari berbagai macam penyakit, dan bentuk keselamatan lainnya. Dengan demikian, salam adalah bentuk do’a yang sangat bagus sekali. Wallahu a’lam bis-Shawab

Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannnya dan semoga bermanfa’at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق

KAJIAN TENTANG MENJENGUK ALLAH TA'ALA SEDANG SAKIT, KAPAN?




Sekilas judul artikel ini sangat mengagetkan, padahal untuk mengetuk hati yg keras membatu (tak mau peduli dengan orang lain) harus dikagetkan agar memiliki rasa empati.

Apa itu empati? mengapa kita harus berempati kepada orang lain? Apa bedanya dengan simpati? Kata empati sering kali diartikan dengan rasa peduli. Tapi rasa empati jauh lebih mendalam dari peduli.

Menurut wikipedia bahasa Indonesia, Empati adalah kemapuan seseorang untuk mengenali , mempersepsi, dan merasakan pesaraan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya. Seseorang yg berempati akan mampu mengetahui pikiran dan kemauan orang lain.

Jadi dengan berempati, kita akan masuk kedalam dunia orang lain, dan sama2 merasakan apa yg dirasakannya.

Mengapa harus berempati? karena Islam senantiasa mengajarkan kita untuk berempati, baik kepada sesama manusia, dan kepada semua makhlukp ciptaan-Nya

مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ فَإِنَّ اللَّهَ فِى حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yg mencukupi kebutuhan saudarnya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya, dan barang siapa yg melepaskan satu kesusahan yg dialami oleh seorang muslim, maka Allah akan menghindarkannya dari satu kesusahan di hari kiamat.'' (HR. Muslim)

Diantara rasa empati yg ada pada seorang muslim adalah menjenguk orang sakit. Hukum menjenguk orang sakit adalah fardhu kifayah, karena ada perintah dan merupakan hak saudara sesama muslim.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ

“Hak seorang muslim terhadap muslim yg lain ada lima yaitu menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yg bersin (bila yg bersin mengucapkan hamdalah, jika tidak maka tidak didoakan)." (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 5615)

Bara’ bin Azib berkata,

وعَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ ، قَالَ:أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم …وَأَمَرَ بِسَبْعٍ : عِيَادَةِ الْمَرِيضِ ، وإتباع الْجَنَائِزِ ، وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ ، وَرَدِّ السَّلاَمِ ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي

“Rasulullah melarang dan memerintahkan kami dalam tujuh perkara: Kami diperintah untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan menolong orang yg dizholimi, memperbagus pembagian, menjawab salam dan mendoakan orang yg bersin…” (HR. Bukhari no. 18698)

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman di hari Kiamat:

« يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي . قَالَ : يَارَبِّ ،كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعِزَّةِ ؟ فَيَقُولُ : أَمَاعَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ ، وَلَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ ؟ وَيَقُولُ : يَا ابْنَ آدَمَ ، اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي . فَيَقُولُ : كَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعِزَّةِ ؟ فَيَقُولُ : أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلانًا اسْتَطْعَمَكَ فَلَمْ تُطْعِمْهُ ، أَمَاعَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي ؟ وَيَقُولُ : يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي . فَيَقُولُ : أَيْ رَبِّ ، وَكَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعِزَّةِ ؟ فَيَقُولُ : أَمَاعَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلانًا اسْتَسْقَاكَ فَلَمْ تَسْقِهِ ، وَلَوْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي ؟ » .

"Hai anak Adam, Aku telah sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana cara sy menjenguk-Mu, sedangkan Engkau Tuhan penguasa alam semesta? Allah menjawab: Apakah engkau tidak mengetahui bahwa seorang hamba-Ku bernama Fulan sedang sakit tetapi engkau tidak mau menjenguknya. Sekiranya engkau mau menjenguknya, pasti engkau dapati Aku di sisinya.

Wahai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi engkau tidak mau memberikan makan kepada-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caranya saya memberi makan kepada-Mu, sedang Engkau Tuhan penguasa alam semesta? Allah berfirman: Ketahuilah, apakah engkau tidak peduli adanya seorang hamba-Ku, si Fulan, telah datang meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberinya makan. Ketahuilah, sekiranya engkau mau memberinya makan, pasti engkau akan menemukan balasannya di sisi-Ku.

Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak mau memberi-Ku minum. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caranya aku memberi-Mu minum, padahal Engkau Tuhan penguasa semesta alam? Allah berfirman: hamba-Ku, si Fulan, minta minum kepadamu tetapi engkau tidak mau memberinya minum. Ketahuilah, sekiranya engkau memberinya minum, pasti engkau akan menemui balasannya di sisi-Ku." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mengungkapkan dialog antara Allah dengan hamba-Nya menggunakan kata2 kiasan. Sebab Allah Maha Suci dari kekurangan dan kelemahan yg biasa menjadi sifat yg melekat pada makhluk.

Lapar, haus dan sakit adalah kelemahan yg melekat pada makhluk dan hal2 tersebut sama sekali jauh dari sifat2 Allah Ta'ala. Maksud dari kata kiasan yg digunakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alahi wa sallam dalam hadits ini, dalam ilmu balaghah disebut dengan tasybih baligh. Artinya, ungkapan yg sangat mendalam untuk menggambarkan suatu kondisi sehingga pendengarnya ikut larut dalam kesedihan atau kegembiraan, simpati atau antipati terhadap keadaan yg digambarkan oleh pembicara.

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan bahwa seorang manusia yg sakit atau lapar atau haus benar2 sangat mendambakan pertolongan dan bantuan, mengharapkan orang yg dapat menghiburnya. Kondisi yg sangat memprihatinkan ini oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam digambarkan sebagai penderitaan yg dirasakan oleh Allah juga. Padahal Allah adalah Dzat yg Maha Perkasa, Maha Sempurna, Maha Gagah, Maha Berkuasa dan sifat2 Maha lainnya, sehingga suatu hal yg sangat mustahil menurut akal jika Allah menderita sakit, lapar dan haus.

Menggunakan ungkapan dengan bahasa kiasan seperti yg diutarakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits di atas, dimaksudkan untuk mengetuk hati manusia yg paling halus, paling sensitif agar bersungguh-sungguh memperhatikan nasib orang lain yg sedang mengalami penderitaan dan berjuang sepenuh hati untuk menyelamatkan si penderita.

Keselamatan orang lain dikaitkan dengan bantuan yg kita berikan kepadanya membuktikan, bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman kemusnahan atau penderitaan. Sehingga manusia selamat dan hidup sejahtera, aman dan tenteram di dunia ini.

Oleh karena itu, untuk mendorong hati manusia menaruh rasa belas kasih kepada sesamanya, peduli terhadap sesama, Allah gambarkan orang2 yg sedang sakit atau menderita kehausan dan kelaparan sebagai kondisi yg dialami oleh Allah sendiri.

Dengan demikian orang2 yg beriman dimotivasi, ditumbuhkan semangatnya agar peduli dan bermurah hati membantu orang yg lapar atau kehausan atau orang yg sedang sakit dengan menjenguknya.

Orang2 yg berbuat kebaikan semacam ini Allah janjikan keselamatan dan pahala di akhirat dengan balasan tidak terhingga. Wallahu a'lam bis-Shawab.

Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa'at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق

KAJIAN TENTANG SAMPAINYA DO'A DAN PAHALA UNTUK MAYIT



Berdo'a dan bersedekah yg diniatkan kebaikan pahalanya untuk mayit, telah menjadi ijma’ (aklamasi) para Salafush Shalih, dan imam kaum muslimin dari zaman ke zaman. Ijma’ ulama ini berdasarkan dalil2 yg shahih (kuat) dan sharih (jelas) yg bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah. Tidak ada yg menolak hal ini kecuali ia telah menyelisihi keyakinan yg telah disepakati oleh para ulama dan kaum muslimin. Kehujjahan Ijma’ telah diakui semua umat Islam, kecuali para pengikut hawa nafsu.

Dan mengenai konsensus ulama mengenai permasalahan ini, secara tegas dan lugas telah dijabarkan oleh para ulama dalam kitab2 mereka diantaranya :

1. Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata : “Adapun berdo'a dan bersedekah, maka keduanya telah disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya (mayit), dan keduanya memiliki dasar dalam nash syariat.” (Ibnu Katsir,7 /465)

2. Imam Nawawi setelah menyebutkan rentetan hadits2 yg menjadi hujjah sampainya sedekah kepada mayit mengatakan: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bersedekah untuk mayit dan itu disunahkan melakukannya, dan sesungguhnya pahala sedekah itu sampai kepadanya dan bermanfaat baginya, dan juga bermanfaat buat yg bersedekah. Dan, semua ini adalah ijma’ (kesepakatan) semua kaum muslimin.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/20.)

3. Abu Sulaiman Walid Al-Baji mengatakan: “Maka, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan bersedekah darinya, hal itu diizinkan untuknya, karena sedekahnya itu termasuk apa2 yg bisa mendekatkan dirinya (kepada Allah).” (Al-Muntaqa’ Syarh al Muwatta’, 4/74)

4. Ibnu Qudamah Al-Hanbali mengatakan: “Amal apapun demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yg dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfa'at bagi mayit itu.” (Al Mughni, hal. 567-569)

5. Al-Khatib Asy-Syabini mengatakan: “Sedekah bagi mayit membawa manfa'at baginya, wakaf membangun masjid, dan membuat sumur air dan semisalnya ..” (Mughni Muhtaj, 3/69-70)

6. Imam Al-Bahuti Al-Hanbali mengatakan : Imam Ahmad mengatakan, bahwa semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)

7. Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya Bab Maa Yustahabu Liman Tuwuffiya Fuja’atan An Yatashaddaqu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yg dianjurkan bagi yg wafat tiba2, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayyit). (Shahih Bukhari)

8. Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, memasukkan hadits ini dalam Bab Sampainya pahala Sedekah kepada Mayit. (Shahih Muslim)

9. Imam Nasa'i dalam kitab Sunannya memasukkan hadits ini dalam Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit) (Sunan Nasa'i)

Dan masih banyak lagi perkataan dan tulisan para ulama yg menjelaskan permasalahan ini, namun dari mereka kami rasa sudah cukup.

Sebagai pelengkap, kami sertakan fatwa ulama su’udiyah (wahabi) berikut ini :

1. Mantan Mufti Saudi Arabia yg bernama Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz berfatwa: “Adapun bersedekah dan berdo'a bagi mayit kaum muslimin, maka semua ini disyari'atkan.” (Fatawa Nur ‘Alad Darb, 1/89)

2. Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin mengatakan: “Adapun sedekah buat mayit, maka itu tidak apa2, boleh bersedekah (untuknya).” (Fatawa Nur ‘Alad Darb, No. 44)

Amalan yg Sampai pada Mayit

Berikut rincian beberapa amalan yg ada dalil menunjukkan manfa'atnya amalan tersebut:

1. Haji dan Umrah

Hadits ang membicarakan tentang sampainya pahala haji dan umrah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا ».

Istri Sinan bin Salamah Al Juhani meminta bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yg meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya?! Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. An-Nasai no. 2634, Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At-Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An Nasai Al Kubro 3613. Sanad hadits ini shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).

Dalam riwayat lain,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».

Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yg meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari 1513 dan Muslim 1334, lafazhnya adalah dari An Nasai dalam sunannya no. 2635).

Begitu pula boleh mengumrohkan orang yg tidak mampu,

عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ ».

Dari Abu Rozin Al ‘Uqoili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An Nasai no. 2638, sanadnya shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).

Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ

“Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim no. 997).

Juga didukung oleh hadits,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ».

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yg berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah no. 2903, Abu Daud 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962).

2. Qodho’ puasa wajib

Dalam hadits ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yg mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yg nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147) Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3: 525).

3. Utang (qodho’) nadzar

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yg belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

اقْضِهِ عَنْهَا

“Tunaikanlah nadzar ibumu.” (HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638)

4. Sedekah atas nama mayit

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfa'at jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfa'at.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yg siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756).

Sedekah untuk mayit akan bermanfa'at baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. (Lihat Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 24: 314).

5. Amalan sholih dari anak yg sholih

Segala amalan sholih yg dilakukan oleh anak yg sholih akan bermanfa'at bagi orang tuanya yg sudah meninggal dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yg telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).

Di antara yg diusahakan oleh manusia adalah anak yg sholih.

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yg paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451).

6. Do’a untuk mayit

Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfa'at bagi si mayit, baik dari anaknya, orang yg melakukan shalat jenazah untuknya, dan kaum muslimin secara umum. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al Hasyr: 10).

Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfa'atan yg dapat diberikan oleh orang yg masih hidup kepada orang yg sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yg masih hidup ataupun yg sudah meninggal dunia.

Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yg mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yg akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yg bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” (HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’).

Do’a kepada saudara kita yg sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yg di kala ia tidak mengetahuinya.

7. Do’a anak yg sholih, sedekah jariyah dan ilmu yg diambil manfa'atnya

Dalam hadits disebutkan,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yg dimanfa'atkan, atau do’a anak yg sholeh” (HR. Muslim no. 1631).

Singkatnya do'a, sedekah dan amal shalih yg dihadiahkan untuk mayit sesuai firman Allah Ta'ala dan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sampai kepada mayit. Jadi kalau ada yg mengatakan tidak sampainya sedekak kepada mayit maka itu bukan akidah kami jangan usil, fahimtum?. Wallahu a'lam bis-Shawab

Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa'at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق

KAJIAN TENTANG “MENGGERAKKAN TELUNJUK SAAT TASYAHUD” DAN "MENEPUK BAHU IMAM"




Melihat dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yg menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. Permasalahan-permasalahan seperti ini, yg berkembang ditengah masyarakat merupakan salah satu permasalahan yang perlu dibahas secara ilmiah. Dalam kondisi mayoritas masyarakat yg jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka menyaksikan masalah-masalah sepertinya sering terjadi debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya yang kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan fenomena yang sangat menyedihkan tatkala akibat yg terjadi hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’, padahal kalau kita mau memperhatikan penjelasan para ulama Imam Madzahib yaitu Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali serta memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy. Kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnu Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidak menimbulkan perpecahan maupun permusuhan dikalangan para ulama. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah mengambil segala perkara dengan dalil dan penjelasannya.

Terkait hujjah mengerakkan telunjuk disaat tasyahud adalah sebagai berikut :

أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semua meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair.

عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده اليسرى على ركبته اليسرى ويشير بإصبعه ولا يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله

“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya diatas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaitan”. Dan beliau berkata : “adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.

Dari Nafi' beliau berkata:

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ وَأَتْبَعَهَا بَصَرَهُ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَهِىَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ ». يَعْنِى السَّبَّابَةَ

Abdullah bin 'Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk" (HR ِAhmad)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُحَرِّكُ الْحَصَى بِيَدِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ لَا تُحَرِّكْ الْحَصَى وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَلَكِنْ اصْنَعْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ قَالَ وَكَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا أَوْ نَحْوِهَا ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ

Dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau melihat seorang laki-laki menggerakan kerikil ketika shalat, ketika dia selesai shalat maka Abdullah berkata: Jangan engkau menggerakkan kerikil sedangakan engkau shalat, karena itu dari syetan. Akan tetapi lakukan sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan. Maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya dan mengisyaratkan dengan jari disamping jempol (yaitu jari telunjuk) ke arah qiblat, kemudian memandangnya, seraya berkata: Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan. (HR. An-Nasa'i)

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tahiyyat dalam shalat. Hal itu disebabkan ada beberapa hadits yang berkaitan tesebut:

عن وائل بن حجر: أن النبي صلى الله عليه وسلم وضع كفه اليسرى على فخذه وركبته اليسرى, وجعل حد مرفقه الأيمن على فخذه اليمنى, ثم قبض بين أصابعه فحلق حلقة, وفى رواية : حلق بالوسطى والابهام وأشار بالسبابة, ثم رفع اصبعه فرأيته يحركها يدعو (رواه أحمد)

Dari Wail bin Hijr, bahwa Nabi saw meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya dan lutut kirinya, dan menjadikan batas siku kanannya di atas paha kanannya, lalu menggenggam di antara jari-jarinya sehingga membentuk suatu bundaran. Dalam riwayat lain: beliau membentuk bundaran dengan jari tengah dan ibu jari, dan memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya. Kemudian beliau mengangkat jarinya sehingga aku melihatnya beliau menggerak-gerakkanya sambil membaca doa (HR: Ahmad)

عن ابن عمر رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم اذا قعد للتشهد وضع يده اليسرى على ركبته واليمنى على اليمنى, وعقد ثلاثا وخمسين وأشار باصبعه السبابة (رواه مسلم)

Dari Ibnu Umar ra: bahwa Nabi saw jika duduk untuk tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan membentuk angka “lima puluh tiga”, dan memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya” (HR: Muslim). Yang dimaksud membentuk angka “lima puluh tiga” (dalam tulisan Arab) adalah menggenggam jari-jarinya, dan menjadikan ibu jari berada di atas jari tengah dan di bawah jari telunjuk.

عن ابن الزبير: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير باصبعه اذا دعا لا يحركها (رواه أبو داود باسناد صحيح- ذكره النووي)

Dari Ibnu Zubair: bahwa Nabi saw memberi isyarat (menunjuk) dengan jarinya jika dia berdoa dan tidak menggerakkannya. (HR Abu Daud dengan isnad yang shahih – disebutkan oleh imam Nawawi)

Dari hadits-hadits tersebut serta hadits lainnya yang berkaitan dengan posisi tasyahhud dan tangannya, Imam al-Baihaqi menyatakan bahwa hadits pertama yang menyatakan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan saat tasyahhud kemungkinan maksudnya adalah isyarat (menunjuk), bukan diulang-ulanginya gerakkan, karena cocok dengan hadits ketiga yang menyatakan tidak digerakkannya jari telunjuk tersebut.

Atas dasar itu pula, para ulama berbeda pendapat tentang apakah saat tasyahhud jari telunjuk digerak-gerakkan atau tidak?

1. Ulama mazhab Syafi’i berpendapat cukup memberi isyarat (menunjuk) jari sekali saja, yakni saat kalimat illalla (الا الله) diucapkan dari lafadz syahadat (Asyhadu alla ilaaha illallah)
2. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa memberi isyarat (menunjuk) atau mengangkat jari dilakukan pada saat lafadz nafi, yakni lafadz Laa (dari lafadz Laa Ilaaha illallah), kemudian meletakkannya kembali pada saat lafadz illallah.
3. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa memberi isyarat (menunjuk) dilakukan pada lafadz nafi juga, yakni lafadz Laa, dan meletakkannya kembali pada saat itsbat, yakni lafadz illallah, kemudian menggerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri hingga selesai salat.
4. Sedangkan mazhab Hambali berpendapat bahwa memberi isyarat (menunjuk dengan jari) dilakukan saat disebut isim jalalah/nama agung atau lafadz Allah selama membaca tasyahhud (bukan hanya pada saat membaca syahadatain saja). Hal itu sebagai isyarat tauhid (keesaan Allah). Dan tidak digerak-gerakkannya jari telunjuk itu. (lihat Sayid Sabiq, fiqih Sunnah, Dar el-Fikr Beirut, Th 1995M/1415H, jilid 1, hal. 124-125)

Imam an Nawawi berkata : “Disunatkan mengangkat jari telunjuk dari tangan kanan ketika melafazkan huruf ‘hamzah’ pada kalimah (Illallah) sekali saja tanpa menggerak-gerakkanya. [Fatawa Imam an Nawawi hal.54].

Imam Al-Baihaqi mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyarat-kannya pada kata illallah….”. (Syarh As-Sunnah III:177)

Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya yang fenomenal Fiqh al Islami, ketika menjelaskan bab sunnah meletakkan kedua tangan pada kedua paha, meskipun beliau menyebutkan tatacara berisyarat jari dalam tasyahud menurut mazhab lain, namun beliau awali dengan perkataan “Posisi kedua tangan dipaha lurus kedepan hingga ujung jari-jarinya diatas kedua lutut kecuali jari telunjuk kanan yang diangkat ketika membaca syahadat dalam tasyahud.” [Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/89)]

Bagaimana terkait dengan gerakan menepuk pundak disaat seseorang ingin bermakmum sebagai isyarat ia akan mengikutinya?

Tentang menepuk bahu (memberi isyarat kepada) seseorang jika kita ingin menjadi ma'mum.

Memang tidak ada dalil yang spesifik tentang memberi isyarat dengan menepuk seseorang jika ingin menjadi ma’mun. Hanya ada hadits yang mirip dengan hadits di atas meskipun konteknya berbeda. Hadits itu adalah:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ فَحَانَتْ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ أَتُصَلِّي لِلنَّاسِ فَأُقِيمَ قَالَ نَعَمْ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي صَلَاتِهِ فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ امْكُثْ مَكَانَكَ فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللَّهَ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ وَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمْ التَّصْفِيقَ مَنْ رَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ (رواه البخاري ومسلم)

Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata Malik memberitakan kepada kami dari Abi Hazim bin Dinar, dari Sahl bin Sa’d al-Saidi, bahwa Rasulullah saw pernah pergi ke Bani ‘Amr bin Auf untuk melakukan ishlah (mendamaikan) sengketa di antara mereka. Lalu datanglah waktu shalat, sehingga muadzin mendatangi Abu Bakar dan bertanya, “Apakah engkau mau mengimami sholat bersama orang-orang, lalu aku akan iqomah?” Abu Bakar menjawab, “ya”. Lalu Abu Bakar melaksanakan sholat. Kemudian datanglah Rasulullah saw sedang orang-orang dalam keadaan sholat. Lalu Nabi datang dan berdiri di shaf (barisan). Kemudian orang-orang menepuk tangan (memberi isyarat) namun Abu Bakar tidak tertegur (menegok) dalam sholatnya. Kemudian ketika mulai banyak orang-orang yang memberi isyarat tepukan tangan, barulah Abu Bakar tertegur, menengok dan melihat Rasulullah saw. Lalu Nabi saw memberi isyarat kepada Abu Bakar agar tetap pada tempatnya. Kemudian Abu Bakar mengangkat tangannya seraya memuji Allah atas apa yang diperintahkan Rasulullah saw padanya tentang hal itu. Kemudian Abu Bakar mundur hingga lurus dengan shaf (barisan), dan Rasulullah saw maju dan melaksanakan shalat. Ketika usai shalat, Rasulullah bertanya: “Hai Abu Bakar, apa yang mencegahmu untuk tidak tetap di tempat padahal telah aku perintahkan itu?”. Abu Bakar menjawab, “Tidak pantas bagi Abu Quhafah untuk melakukan sholat berada di depan Rasulullah saw.”Lalu Rasulullah saw bersabda, “Tidak pantas buatku melihat kalian banyak bertepuk. Barangsiapa ada sesuatu yang meragukan dalam shalatnya hendaklah ia membaca tasbih karena sesungguhnya jika ia bertasbih maka ia akan tertegur, karena isyarat tepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.” (HR: Bukhori Muslim).

Dari hadits ini, Sayid Sabiq mengutip pendapat Imam al-Syaukani tentang hukum yang terkandung dalam hadits ini, antara lain:

Berjalan dari satu shaf ke shaf lain tidak membatalkan shalat
Membaca hamdalah (memuji Allah) karena ada peristiwa tertentu serta mengingatkan dengan tasbih adalah tidak membatalkan shalat (boleh)

Menggantikan imam dalam shalat karena ada uzur tertentu diperbolehkan
1. Diperbolehkannya kondisi seseorang dalam sebagian shalatnya menjadi imam dan pada bagian lainnya menjadi makmum
2. Diperbolehkan mengangkat tangan ketika sedang shalat saat berdoa dan memuji Allah
3. Diperbolehkan menengok karena ada keperluan
4. Diperbolehkan mengajak bicara (mukhotobah) kepada orang yang sedang shalat dengan isyarat
5. Diperbolehkan orang yang kurang afdhal menjadi imam (mengimami) orang yang lebih afdhal
6. Diperbolehkan melakukan perbuatan kecil (diluar shalat) ketika shalat.

Jika kita melihat kesimpulan al-Syaukani pada point nomor 7, maka kita boleh memberi isyarat berupa menepuk seseorang saat kita ingin menjadi makmum. Sebagaimana juga diperbolehkan kita bermakmum kepada orang yang sebelumnya sholat sendiri (munfarid) atau berjamaah, sebagaimana yang tercantum dalam kesimpulan al-Syaukani di point nomor 4. (lihat Sayid Sabiq, fiqih Sunnah, Dar el-Fikr Beirut, Th 1995M/1415H, jilid 1, hal. 173)

Singkatnya, para ulama 4 Imam Madzhab menyatakan kata “yuharrikuha” berarti menggerakkan saat menunjuk dengan tanpa mengulang-ulanginya dan hanya Imam Malik bin Annas (Imam Maliki) yg dalam memahami hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas dengan menggerak-gerakkan telunjuk jari, itu pun bukan dengan menggerakkan ke atas dan ke bawah tetapi ke kanan dan kekiri. Dan ulama menjelaskan waktu mengerakkannya pada lafaz “Illallah”.

Sementara memberi isyarat dengan menepuh bahu orang yang akan diikuti sebagai imam dalam salat adalah diperbolehkan dan tidak membatalkan salat. Wallahu a’lam bis-Shawab

Demikian Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق