MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 24 Februari 2016

KAJIAN TENTANG CARA MELURUSKAN SHOF; MENEMPELKAH?


Bukan hal yg aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”.
Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yg suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain?
Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yg mengalami dipepet-pepet seperti itu.
Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat, ”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.”
Beberapa hari yg lalu sy ditanya seseorang tentang hadits keharusan mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yg disinyalir menjadi pijakan teman2 yg beranggapan bahwa kaki harus benar2 nempel dengan kaki jamaah lain.
Masalah ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab2 para ulama yg mu'tamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama dalam hal ini.
A. Nash Hadits
Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan hadits2 yg shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan.
Namun kalau kita teliti di hulunya, rata2 semuanya kembali kepada dua di level shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma.
Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yg shahih.
Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan?
Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini.
Sebab kajian yg ilmiyah adalah kajian yg berciri hati2 dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa para ulama.
1. Hadits Riwayat Anas bin Malik
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallallah alaih wa sallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yg menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)
Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab As-Shahih, pada , hal. 1/146.
Catatan
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki.
2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir
وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 diantara kami ada yg menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya. (HR. Bukhari)
Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yg sama dengan hadits di atas.
Catatan
Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.
Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits2 ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya
Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378, Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28, Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]
Catatan
Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu melihat seorang laki2 yg menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya.
B. Kajian dan Pembahasan Hadits
Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini.
Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yg cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yg melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.
1. Syeikh Bakr Abu Zaid : Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia
Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yg pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul (tidak ada yg baru dalam hukum shalat), hal. 13. Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani :
وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذر والتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yg nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yg mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yg susah dilakukan.
Bakr Abu Zaid melanjutkan:
فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela2. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela2, istiqamah dalam shaf, bukan benar2 menempelkan.
Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar2 menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
2. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Mari kita telusuri lagi pendapat yg lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki.
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.
Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar2 lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.
Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311
Ternyata Shaleh Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar2 lurus.
Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.
4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yg menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:
حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yg dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. (Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.)
Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki.
Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H). Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.
C. Point-Point Penting
Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi atau bentuk perintah yang secara nash beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?
1. Menempelkan mata kaki dalam shaf bukan tindakan atau anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yg benar terhadap hadits shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam anjurkan adalah menegakkan shaf.
Perhatikan redaksinya:
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkah barisan kalian
Itu yang beliau Shallahu 'alaihi wa sallam katakan. Sama sekali beliau tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yg tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat2 Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid2 pendukungnya saja.
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.
2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:
[وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki
Meskipun dengan redaksi yg berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yg melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. (Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99)
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki2 pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
3. Anas tidak melakukan hal itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yg mereka lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. Dan para shahabat yg lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yg lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh2 anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yg shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yg dilakukan di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang beliau diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.
Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yg dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yg tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat2 Allah. Ini adalah sebuah fatwa yg agak emosional dan memaksakan diri. Dan yg pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yg pernah mendukungnya.
Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara2 ada shahabat makan daging dhob (biawak), dan kebetulan memang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering2 makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat2 Allah.
5. Susah Dalam Prakteknya
Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yg bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf.
D. Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada dua pendapat; pertama yg mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan dia mengatakan bahwa yg mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah.
Pendapat kedua, yg mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus.
Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jika pun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini belum ditemukan pendapat ulama madzhab empat yg mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.
Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik. Wallahu a’lam
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskam dan semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

KAJIAN TENTANG "CELANA CINGKRANG", SUNNAHKAH?


Perlu diketahui bahwasanya IZAR (kain/sarung) di atas mata kaki adalah sunnah dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki2, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Al-Asy’ats bin Sulaim, ia berkata :

سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ

Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yg berkata, “Ketika saya sedang berjalan kaki di kota Madinah, tiba2 seorang laki2 di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yg berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, Sesungguhnya yg kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yg bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan)

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَذَا مَوْضِعُ الإِزَارِ فَإِنْ أَبِيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبِيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِْزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ

“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki." (Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70)

Dari dua hadits ini terlihat bahwa IZAR (kain/sarung dan bukan CELANA) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis. Boleh bagi seseorang menurunkan kainnya, namun dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki.

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yg dipakai oleh sebagian komunitas muslim saat ini adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ (صحيح البخاري، 3392)

Dari Abdullah bin Umar ra berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yg memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong.” (HR. Bukhari)

Juga hadits berikut yg mungkin dijadikan rujukan penyuka celana cingkrang

عن ابن عباس رضي الله عنهما قالسمعت النبي صلى الله عليه وسلم يخطب بعرفات من لم يجد النعلين فليلبس الخفين ومن لم يجد إزارا فليلبس سراويل للمحرم

Dari Ibnu ‘Abbas ra berkata: ”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami saat dipadang ‘Arafah. Beliau bersabda: ”Barang siapa yg tidak mempunyai sepasang sandal maka pakailah sepasang sepatu
Barang siapa yg tidak mempunyai sarung maka pakailah celana bagi yg berihrom.” (Shahih Al-Bukhari bab memakai sepatu bagi yg sedang ihrom jika tdk memiliki sandal)

قال القرطبي : أخذ بظاهر هذا الحديث أحمد فأجاز لبس الخف والسراويل للمحرم الذي لا يجد النعلين والإزار على حاله

Menurut Imam Al-Qurthubi jika melihat zhahir ini hadits dari Imam Ahmad tentang kebolehan memakai sepatu jika tdk punya sandal dan boleh memakai celana jika tdk memiliki kain bagi yg sedang ihrom.

Ikhwan fillah, ketahuilah bahwa pakaian kesukaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah gamis. Jadi memakai gamis adalah suatu yg disunnahkan. Namun kadang memakainya melihat keadaan masyarakat, jangan sampai terjerumus dalam pakaian yg tampil beda (pakaian syuhroh).

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم - الْقَمِيصُ

“Pakaian yg paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu gamis.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Hadits di atas disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin di mana hadits tersebut menunjukkan bahwa pakaian yg paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian gamis.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata, Karena gamis di sini lebih menutupi diri dibanding dengan pakaian yg dua pasang yaitu izar (pakaian bawah) dan rida’ (pakaian atas). Namun para sahabat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang memakai pakaian atas dan bawah seperti itu. Terkadang mereka mengenakan gamis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyukai gamis karena lebih menutupi. Karena pakaian gamis hanyalah satu dan mengenakannya pun hanya sekali. Memakai gamis di sini lebih mudah dibanding menggunakan pakaian atas bawah, di mana yg dipakai adalah bagian celana terlebih dahulu lalu memakai pakaian bagian atas.

Namun ada catatan yg diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin,

Akan tetapi jika engkau berada di daerah (negeri) yg terbiasa memakai pakaian atasan dan bawahan, memakai semisal mereka tidaklah masalah. Yang terpenting adalah jangan sampai menyelisihi pakaian masyarakat di negeri kalian agar tidak terjerumus dalam larangan memakai pakaian yg tampil beda. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pakaian syuhroh (pakaian yg tampil beda). (Lihat Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 284-285, terbitan Madarul Wathon).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ

“Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin menerangkan,

أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه.

وبناءً على ذلك نقول: هل من السنة أن يتعمم الإنسان؟ ويلبس إزاراً ورداءً؟

الجواب: إن كنا في بلد يفعلون ذلك فهو من السنة، وإذا كنا في بلد لا يعرفون ذلك، ولا يألفونه فليس من السنة.

“Mencocoki kebiasaan masyarakat dalam hal yg bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yg ada berarti menjadi hal yg syuhroh (suatu yg tampil beda). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpakaian syuhroh. Jadi sesuatu yg menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.

Berdasarkan hal itu, apakah yg disunnahkan mengikuti kebiasaan masyarakat lantas memakai pakaian atasan dan bawahan?

Jawabannya, jika di negeri tersebut yg ada adalah memakai pakaian seperti itu, maka itu bagian dari sunnah. Jika mereka di negeri tersebut tidak mengenalnya bahkan tidak menyukainya, maka itu bukanlah sunnah.” (Syarhul Mumthi’, 6: 109, terbitan Dar Ibnul Jauzi).

Kesimpulannya yg merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:

1. Sunnah memakai izar (kain/sarung) setengah betis atau diatas mata kaki.

2. Boleh memakai izar menutup mata kaki asal tidak sombong sebagaimana Abu Bakar biasa memakainya dan dibolehkan oleh Nabi.

3. Boleh memakai sirwal (celana panjang) saat beribadah. Namun pakaian kesukaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah qamish (baju kurung panjang)

4. Larangan memakai pakaian suhroh (pakaian yg beda daripada umumnya) termasuk larangan memakai celana cingkrang di masjid yg mayoritas memakai sarung atau memakai celana yg tidak cingkrang.

5. Belum ditemukan riwayat yg menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memakai celana panjang, apalagi celana cingkrang.

Jadi buat ikhwan salafi wahabi dan semisalnya, janganlah bangga dengan celana cingkrang yg katanya nyunnah demi menghindari isbal. Ketahuilah sesungguhnya qomish/gamis pakaian sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan berpakaianlah yg umum dimana kita berada biar tidak syuhroh karena itu dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallahu a'lam

Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dan semoga bermanfa'at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق

Senin, 08 Februari 2016

KAJIAN KENDURI ORANG MENINGGAL 3, 7, 40, 100, 1000 DAN HAUL


Salah seorang ulama Imam Jalaluddin Abdurrohman As-Suyuthi dalam kitabnya, ”Al-Hawi Li Al-Fatawi“ mengatakan :
قال الامام أحمد بن حمبل رص. فى كتاب الزهد له : حد ثنا هاشم ابن القاسم قال حدثنا الا شجعى عن سفيان قال : قال طاوس أن الموتى يفتنون فى قبو رهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الا يام . (الحاوي للفتاوى)
Telah berkata Imam Ahmad bin Hambal ra. Didalam kitabnya yg menerangkan tentang kitab zuhud, telah menceritakan kepadaku Hasyim Bin Qosim sambil bekata telah berkata Imam Thowus: sesungguhnya orang2 yg meninggal akan mendapat ujian dari Alloh swa. Dari kuburan mereka,selama 7 hari, maka DISUNNAHKAN bagi mereka yg masuh hidup mengadakan JAMUAN MAKAN, (sedekah ) untuk orang2 yg sudah meningal selama hari2 tersebut “. (Al-Hawi Lil-Fatawi jilid 2 hal 178 )
الى ان ان قال – عن عبد ابن عمير قال : يفتن رجلا مؤ من ومنافق , فأما المؤمن فيفتن سبعا واما النافق فيفتن اربعين صبا حا.
Sampai kata2: Dari sahabat Ubaid ibn Umair, dia berkata : Seorang mukmin dan seorang munafiq sama2 akan mendapat ujian dalam kubur .Bagi seorang mukmin akan memperoleh ujian selama 7 hari, sedangkan orang munafiq akan mendapat ujian selama 40 hari di waktu pagi.
ان اثر طاوس حكمة حكم الحديث امرفوع المرسل واسناده الى التا بعى صحيح كان حجه عندالا ئمة الثلاثة ابي حنيفة وما لك واحمد مطلقا من غير شرط واما عند الشا فعى رض. فانه يحتاج با لمرسلاا اعتضد با حد أمورفى محلها منها مجئ أخراو صحابي يوافقه والا عتصاد ههنا موجود فانه روي مثله عن مجاهدوعن عبيدبن عمير وهماتا بعيان ان لم يكن صحا بيا .
Jika sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thowus) diatas hukumnya sama dengan hadits marfu’ Mursal dan sanadnya sampai kepada Tabi’in, itu shoheh, dan telah dijadikan hujjah muthlak (tanpa syarat) bagi 3 Imam , (Malik, Hanafi, Hambali). Untuk Imam Syafi’i, beliau berhujjah dengan hadits mursal jika di bantu/ dilengkapi dengan salah satu ketetapan yg terkait degannya, seperti adanya hadits yg lain atau kesepakatan sahabat. Dan kelengkapan yg dikehendaki oleh Imam Syafi’i itu ada, yaitu hadits serupa riwayat dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair yg keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.
DALIL SELANJUTNYA.
قوله – كا نو يستحبون - من باب قو ل التا بعى كانو يفعلون – وفيه قولان لأ هل الحديث والا وصول احدهما انه ايضا من باب المرفوع وأن معناه . كان الناس يفعلون فى عهدالنبي صلعم . ويعلم به ويقر عليه.
(Kata2 dari Imam Thowus), mengutip tentang kata2 tabi’in, mereka menyukai melaksanakannya. Dalam hal ini ada2 pendapat, pendapat Ahli Hadits dan Ahli Ushul yg salah satunya termasuk hadits marfu’ maksudnya orang2 di zaman Nabi melaksanakan hal itu, sedang Nabi sendiri tahu dan mengakuinya.
Senada dengan penjelasan diatas, bisa dilihat (Fatawi Kubro juz 1 hal 7, Ahkamul Fuqoha juz 1 hal 16. Atsna al-Matholib juz 1 hal 335 dan Qurrotul Ain, Ismail Zain, hal 91-92).
Disana dipaparkan dengan jelas asal mayit tidak punya tanggungan hutang, dan seizin ahli waris.
ADAPUN MENYANGKUT HAUL, ADA HADITS NABI SBB :
وكان صلعم , يزورقبورشهداء احد وقبور اهل البقيع وسلم ويدعو لهم بما تقدم. (رواه مسلم واحمد وابن ماجه)
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berziarah ke makam syuhada’ (orang2 yg mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’ Dia mengucapkan salam dan mendoakan mereka atas amal2 yg telah mereka kerjakan (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).
Dan juga dijelaskan:
قال لواقدي وكان رس ل الله صلعم . يزور قتلى احد فى كل حول واذا لقاهم با لشعب رفع صو ته يقول السلا م عليكم بما صبرتم فنعم عقبدار وكان ابو بكر يفعله مثل ذلك وكذالك عمربن الخطاب ثم عثمان. وفى نهجل بلا غه - الى ان قال - وفى منا قب سيد الشهداء حمزة رض. للسيد جعفر البر زنجى قال : وكان عليه الصلاة والسلا م يأتي قبور شهداء باحد على رأس كل حول – الخ.
Al-Waqidi berkata : Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengunjungi makam para pahlawan Uhud pada setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rosululloh agak keras berucap : Assalaamu'alaikum bima shobartum fani’ma uqbad daar (semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan atas kesabaran yg telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yg paling nikmat). Abu Bakar, Umar, dan Ustman, juga melakukan hal yg serupa. Sampai skhir redaksi ...."
(Manaqib Sayyid As-Syuhada' Hamzah bin Abi Tholib yg ditulis Sayyid Ja’far al-Barzanji, beliau berkata : Rosululloh mengunjungi makam Syuhada' Uhud pada awal setiap tahun).
ADAPUN YANG DI MAKSUD NIHAYAH ADALAH :
عن جريربن عبد الله رض. قال كنا نعد الاجتماع الى اهل الميت وصنعهم اطعام من النها يه
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdulloh ra. Ia berkata : “Kami menganggap perkumpulan orang yg hadir di rumah keluarga mayit dan menyuguhi makanan kepada mereka itu masuk nihayah.” Juga pendapat Imam Syafi’i :
واكره المأتم وهي الجماعة وان لم يكن لهم بكاء فان ذالك يجددالحزن ويكلف المؤنة .
Dan aku tidak senang pada ”ma’tam” ya’ni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban, “ (Al-Uum juz 1 hal 318 ).
Dalam kamus al-Munjid yg disebut “al-Ma’tam" adalah kumpulan orang jahiliyah yg mendatangkan kesusahan. “ Inilah yg di buat senjata mereka melarang perkumpulan ala jahiliyah oleh orang2 yg anti tahlilan.
Sedangkan perlu diketahui bahwa yg dimaksud tradisi jahiliyah adalah perkumpulan yg menjerit-jerit memukul dada, memukul pipi dan merobek pakaian karena tidak ridho akan keputusan taqdir dan hal ini terjadi dizaman jahiliyah, inilah yg disebut “Nihayah“ (meratap). Sementara perkumpulan tahlil dzikir dan membaca yasin justru aianjurkan dalam islam, bersumber dari hadist Nabi:
قال صلى الله عليه وسلم من اعان على ميت بقراءة وذكر استوجب الله له الجنة . (رواه لدارمى والنساء, عن ابن عباس)
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : Siapa menolong mayit dengan membacakan Ayat2 Al-Qur’an dan dzikir, Alloh memastikan syurga baginya, (HR. Darimi dan Nasa’i dari Ibn Abbas ra).
عن معقل بن يسار ان رسول الله صلعم . قال , ويس قلب القرأن لا يقراها رجل يريد الله الله تبارك وتعالى والدارالا خرة الا غفر له واقرءوها على موتاكم ( مسند امد بن حنبل )
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar ra. Bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : “Surat yaasin adalah intisari Al-Qur’an. Tidak seorang pun membacanya dengan mengharap rahmat Alloh, kecuali Alloh akan menganpuni dosa2nya, maka bacaknlah surat yaasin kepada orang yg meninggal dunia." (Musnad Imam Ahmad bin Hambal)
اقرءو على مو تاكم يس, ( رواه ابن حبان وصححه )
Bacakanlah untuk mayit2 kalian surat yaasiin” (HR. Ibnu Hibban dan menshohihkannya)
Juga hadits yg diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-khudri ra.
عن ابي سعيد الخدري قال : قال رسول الله صلعم . لا يقعدقوم يذكر الله عز وجل الا خفتهمالملا ئكة وغشيتهم الحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده (رواه مسلم)
Dari Abu Said Al-Khudri ia berkata, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dan tidaklah berkumpul suatu kaum sambil menyebut Asma Alloh Subhanahu wa Ta'ala kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Alloh akan melimpahkan rahmat kepada mereka, dan akan memberikan ketenangan hati dan memujinya dihadapan mahluk (malaikat) yg ada disisi-Nya.” (HR. Muslim 4868).
Jadi jelas kumpul2 yg diketagorikan “nihayah“ (meratap) yg dilarang dengan berkumpul mengucapkan dzikir, membaca Al-Qur’an yg dianjurkan oleh Nabi kita Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam haruslah dibedakan. Karena Alloh akan memastikan balasan surga bagi yg membacanya dan yg dibacakannya, paling tidak meringankan dosa si mayit, tinggal kita mau mengikuti fitnah2 salafi wahabi ataukah mengikuti sabda Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam tersebut.
MAKANAN YANG DIANGGAP MERATAP (NIHAYAH).
Maksud menyuguhkan makanan yg dianggap meratap ialah jika makanan yg disuguhkan kepada para pentakziyah berasal dari harta peninggalan mayit, seperti yg dijelaskan oleh Syekh Muhammad Ali Bin Husen Al-Makki Al-Maliki ketika menjelaskan hadits tersebut :
يحمل على ما اذا كان الا تخاذ المذكور من التركة وكان على الميت دين اوكان فى الورثة محجور عليه أوغائب أومن لم يعلم رضاه (بلوغ الا منية)
Termasuk nihayah dalam hadits itu adalah jika pertama; makanan yg disuguhkan berasal dari harta peninggalan mayit, sedang mayit masih mempunyai hutang, kedua; dikalangan ahli waris ada yg mahjur ’alaih (orang yg karena suatu sebab, tidak di perkenankan mengatur hartanya. Seperti anak kecil atau orang gila), ketiga; orangnya tidak ada di tempat, atau keempat ada ahli waris yg tidak di ketahui ridhonya “ (Bulugh al-Umniyah, hal 216 ).
Sedang menyuguhkan makanan sangat dianjukan oleh Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam seperti :
وعن النبى صلعم . انه قال : تصد قو على انفسكم وعلى امواتكم ولو بشر بة ماء فان لم تقدرواعلى ذالك فبا ية من كتا ب الله تعالى فان لم تعلموا شيئا من القران فادعوا لهم با لمغفرة والر حمة فان الله وعدكم الاجابة .
Sabda Nabi, "Bersedekahlah kalian untuk dirimu dan orang2 yg telah mati dari keluargamu, walau hanya air seteguk. Jika kalian tak mampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat2 suci Al-Qur’an. Jka kalian tidak mengerti Al-Qur’an, berdo’alah untuk mereka dengan memintakan ampun dan rahmat. Sungguh Alloh telah berjanji akan mengabulkan do’a kalian. (Kitab Al-Tahqiqot, juz 3 hal 400, Sunan An-Nasa’i juz 2 hal 200, Tanqih Al-Qoul hal 28).
Penjelasan hadits diatas sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin Hambal yg tercantum dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi, juz 2 hal 178 ).
Lebih jauh lagi, Imam As-Suyuthi menganggap hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yg di kerjakan terus-menerus oleh para sahabat :
ان سنة الا طعام سبعة ايام بلغنى أنها مستمر ةالى الا ن بمكة والمدينة فالظا هر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الان وانهم اخدوها خلقا عن سلف الى الصدر الاول (الحاوى للفتاوى)
Kesunnahan memberikan makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yg tetap berlaku hingga sekarang zaman Imam Suyuthi sekitar abad kesembilan H ) di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam sampai sekarang ini, dan tradisi diambil dari Ulama salaf sejak generasi pertama, (masa sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam) (Kitab Al-Hawi li Al-Fatawi, juz 2 hal 194).
Juga:
عن عبد بن عمر ورصى الله عنهما أن رجلا سأ ل النبي صلعم . اي الاسلا م خير؟ قال تطعم الطعام وتقرأ السلا م على من عرفت ومن لا تعرف (صحيح البخارى)
Dari Abdulloh bin Amr ra. “ Ada seorang laki2 bertanya kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam 'Perbuatan apakah yg paling baik?' Rosululloh menjawab, "memberi makanan dan mengucapkan salam, baik kepada orang yg kau kenal atau tidak “ (HR. Bukhori).
Diriwayatkan oleh sahabat Ashim bin Kulaib dari Ayahnya dari salah seorang sahabat Anshor, ia berkata, 'Sy pernah melayat bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan disaat itu sy melihat beliau menasehati penggali kubur seraya bersabda, “Luaskan bagian kaki dan kepalaya,“ Setelah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan. Rosululloh memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu makan pun dihidangkan. Rosululloh pun makan dan diikuti oleh para undangan, pada saat beliau mau mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku rasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya, kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rosululloh, sambil berkata, “Wahai Rosululloh kami sudah mengutus orang pergi ke Baqi’ (suatu tempat penjualan kambing) Untk membeli kambing namun tidak mendapatkannya, kemudian sy menemui tetangga sy yg telah membeli kambing, agar kambing itu di jual kepada saya dengan harga yg umum, akan tetapi ia tidak ada, maka sy menemui istrinya dan ia pun mengirim kambingnya pada saya, kemudian Rosul bersabda berikan makanan ini kepada tawanan saja." (HR. Abi Daud 2894 ).
(Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah, disebutkan oleh Syekh al-Kirmani dalam Syarh al-Hadits al-Arbain, halaman 315. Syekh Ibrahim al-Hallabi dalam Mun-yah al-Musholli halaman 131. Syekh Abu Said dalam al-Barikah al-Muhammadiyah juz 3 hal 252. Syaikh Waliyuddin Muhammad al-Tibrizi dalam Misykat al-Mashobih halaman 544).
Sehingga secara tegas dapat disimpulkan yg memanggil Rosululloh adalah istri orang yg meninggal dunia tadi dan memakai harta suaminya untuk jamuan.
Berdasarkan hadits inilah, Syekh Ibrahim Al-Hallabi, Menyatakan bahwa keluarga mayyit menyediakan makanan untuk para pelayat, yg pahalanya dihadiahkan pada keluarga yg meninggal dunia adalah hal yg baik.
فهذا يذل على اباحة وضع اهل الميت الطعام والدعوة اليه وان اتخذ ولى الميت طعا ما للفقراء كان حسنا الا ان يكون فى الورثةصغير فلا يتخذ ذالك من التركة (البريقة المحمدية)
Hadist ini menunjukkan kebolehan keluarga mayyit membuat makanan dan mengundang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan untuk fakir miskin hal itu baik. Kecuali ada salah satu ahli warisnya ada yg masih kecil, maka tidak boleh diambil harta ahli waris si mayyit. “ (Kitab al-Bariqoh al-Muhammadiyah, juz 3 hal, 235, lihat juga al-Masail al-Muntakhobah, 49).
Syekh Nawawi al-Bantani lebih memperjelas maslahah ini, mengatakan hal ini sangat baik, bagi mayyit, (Kitab Nihayatuz Zain karya Syeh Imam nawawi al-Banteni halaman 281 ).
DALIL-DALIL HARI TAHLILAN
Dalil tahlilan jumlah hari 3, 7, 25, 40, 100, 360 (setahun) & 1.000 hari dari kitab ahlusunnah (bukan kitab dari agama Hindu)
قال النبي صلى الله عليه وسلم الدعاء والصدقة هدية إلى الموتى وقال عمر : الصدقة بعد الدفنى ثوابها إلى ثلاثة أيام والصدقة فى ثلاثة أيام يبقى ثوابها إلى سبعة أيام والصدقة يوم السابع يبقى ثوابها إلى خمس وعشرين يوما ومن الخمس وعشرين إلى أربعين يوما ومن الأربعين إلى مائة ومن المائة إلى سنة ومن السنة إلى ألف عام
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Doa dan shodaqoh yg dihadiahkan kepada mayyit."
Berkata Umar: "shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari."
Perhatikan jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan sahabat dipengaruhin agama Hindu???
Berkumpul ngirim doa adalah bentuk shodaqoh buat mayyit.
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام، فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد! فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan2 ditaruhkan, orang2 tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdul Mutholib :
Wahai hadirin.. sungguh telah wafat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yg pasti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang2 pun mengulurkan tangannya masing2 dan makan.
[Kitab Al-Fawaid As-Syahir Li Abi Bakar As-Syafii juz 1 hal 288, Kanzul Ummal Fi Sunan Al-Aqwal Wal Af’al Juz 13 hal 309, Thobaqot Al-Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al-Makrifah Wa At-Tarikh Juz 1 hal 110]
Wallohu a'lam bis-Showab dan semoga bermanfaat. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

Jumat, 27 November 2015

HAKIKAT REBO WEKASAN



Setiap Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian besar kaum Muslimin Nusantara melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dijauhkan dari berbagai malapetaka. Hal ini didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir yang berbunyi begini:

فائدة أخرى: ذكر بعض العارفين – من أهل الكشف والتمكين – أنه ينزل في كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفا من البليات، وكل ذلك في يوم الأربعاء الأخير من شهر صفر، فيكون ذلك اليوم أصعب أيام السنة كلها، فمن صلّى في ذلك اليوم أربع ركعات إلخ

Artinya: Sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan: setiap tahun, turun 320.000 cobaan. Semuanya itu pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka pada hari itu menjadi sulit-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa shalat di hari itu 4 rakaat dst.”.

Hari Rabu yang disebutkan dalam keterangan di atas disebut dengan Rebo Wekasan (Rabu akhir di bulan Shafar). Persoalannya, sejauh manakah legitimasi agama, atau pengakuan agama Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam keterangan Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahasa.

Pertama, pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum Wahabi berkata dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:

ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات

“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”

Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali. Dengan demikian, dalam perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, menemukan legitimasinya dalam akidah Islam.

Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif Islam. Ilham di atas hanya informasi perkara ghaib tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ilham tersebut tidak berkaitan dengan hukum, tetapi berkaitan dengan informasi perkara ghaib yang biasa terjadi kepada para wali Allah, seperti dikemukakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.

Ketiga, dalam ilmu tashawuf, ilham maupun mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya dan diamalkan, sebelum dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ilham dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka dipastikan benar. Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham atau mukasyafah Rebo Wekasan yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, ada dasar yang menguatkannya. Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).

“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh Syaikh al-Albani.

Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus.

Keempat, berkaitan dengan bulan Shafar, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:

أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).

“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Kelima, dalam hadits sebelumnya dinyatakan bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah hari datangnya sial. Sementara dalam hadits berikutnya, membatalkan tradisi Jahiliyah yang merasa memperoleh ketidakberuntungan pada bulan Shafar. Dari sini, Rabu terakhir di bulan Shafar disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini agaknya melegitimasi ilham atau mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang turunnya berbagai malapetaka di bulan Shafar.

Keenam, terkait dengan amaliah shalat 4 rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya? Secara fiqih, shalat tersebut tidak mungkin dikatakan sebagai Shalat Sunnat Rebo Wekasan, karena dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat hajat di hari tersebut, tentunya boleh-boleh saja, dengan harapan terhindari dari berbagai malapetaka. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:

وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).

“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syari’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).

Keterangannya pada hari rabu ini Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaga kita dari 320.000 balai sampai setahun kemudian, mungkin menurut sebagian mufasir ada yang mengatakan Bid’ah atau apalah, tapi menurut sebagian mufasir lain mengatakan bahwa sholat hajat Rabu Wekasan bisa dilakukan selagi masih dalam koridor keislaman dan jauh dari perbuatan musyrik, Sholat tolak balla atau sering disebut salat hajat ini di kerjakan 4 rakaat, tata cara solat

Rakaat pertama setelah membaca Al Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs al-kautsar sebanyak 13 kali

Rakaat ke dua setelah membaca Al fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs al-Ikhlas 13 x

Rakaat ke tiga setelah membaca Al fatihah dilanjutkan dengan membaca Qs al-Falaq 1x

Rakaat ke empatnya setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs an-nas 1 x

Setelah salam maka di lanjutkan dengan Doa ini

سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبِّ رَّحِيْمِ . سَلاَمٌ عَلىَ نُوْحٍ فِيْ الْعاَلَمِيْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمَحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ مُوْسى وَهرُوْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ إِلْياَسِيْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ. سَلاَمٌ طِبْتُمْ فاَدْخُلُوْهاَ خَالِدِيْنَ . سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبىَ الدَّارِ . سَلاَمٌ هِيَ حَتىَّ مَطْلَعِ اْلفَجْرِ.
اللّهُمَّ يَاشَدِيْدَ اْلقُوَّةِ وَيَا شَدِيْدَ اْلمِحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ إِكْفِنِي مِنْ جَمِيْعِ شَرِّ خَلْقِكَ يِا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْتَقِمُ يَا مُتَكَرِّمُ يَا مَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ أَنْتَ إِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اَللّهُمَّ بِسِرِّ اْلحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيْهِ إِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا اْليَوْمِ وَماَ يُنَزَّلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ اْلمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ اِلبَلاَياَتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ الله ُوَهُوَالسَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ . حَسْبُناَ الله ُوَنِعْمَ اْلوَكِيْلِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله ِاْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ .

Maka Allah Subhanahu wa Ta’al akan menjaga orang tersebut dari seluruh balak tadi sampai akhir tahun. Ditambahkan oleh Syeikh Zainuddin murid dari Syeikh Ibnu Hajar Al Maliki dalam kitab Irsyadul Ibad yang mengatakan bahwa hal itu juga termasuk Bid’ah madzmumah (tercela). Maka bagi orang yang ingin melaksanakan sholat tersebut sesuai dengan tuntunan syeikh Al-Kamil Farid Ad-Din dalam kitab Jawahir Al-Khamis hendaknya berniat melaksanakan sholat sunnah mutlak dimana sholat mutlak adalah sholat yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab dan bilangannya.

Mudah-mudahan Umat muslim diseluruh dunia selalu di jaga Oleh-Nya dengan selalu mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua larangannya selain itu juga semoga dengan melakukan salat 4 rakaat ini kita selalu Taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amien ya Rabb. Wallahul a’lam bish-Shawab wal Musta’an

TAHLILAN VERSI MUHAMMADIYAH (MD)



Dalam komunitas Muhammadiyah, tahlil menjadi persoalan kontroversial, sebagian setuju dan sebagian yang lainnya menolak terhadap tahlil. Kalaupun ada yang setuju namun tetap memberi persyaratan tertentu. Di sisi lain, Muhammadiyah juga bermaksud mengembangkan pangsa pasar dakwahnya dengan pendekatan kulutural. Singkatnya Muhammadiyah juga perlu konsep tahlil alternatif yakni tahlil ala Muhammadiyah..

Makalah ini akan menguraikan tahlil modern meliputi pendahuluan, konseptualisasi dan prosesi. Pengertian; Untuk memberikan pemahaman yang tetap tentang Tahlil Modern, perlu dijelaskan pengertiannya baik secara etimologi maupun terminogis. Secara etimologis, tahlil modern terdiri dari dua kata yakni “tahlil” dan “modern”. Tahlil merupakan kata benda jadian yang diturunkan dari akar kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti membaca kalimat “laa ilaaha illallah”. Kata hallala sendiri merupakan kata kerja jadian dengan pola menyingkatkalimat “yaqrau laa ilaaha illallah” menjadi hallala. Hal ini seperti kata kerja jadian lain sejenisnya misal: hamdala, basmala, hay'ala dan lain-lain. Inilah maksudnya tahlil berarti membaca kalimat laa ilaaha illallah. Sedangkan kata modern berarti maju.

Ciri utama disebut maju adalah penekanan pada aspek rasionalitas. Adapun secara terminologis, tahlil modern berarti upacara spiritual didahului dengan niat, diikuti dengan pembacaan kalimat-kalimat dan ayat-ayat Al-Qur'an terntetu dan serta diakhiri dengan do’a tertentu yang dilandasi oleh prinsip rasionalitas.

Kalimat-kalimat tersebut meliputi tahlil, takbir, istighfar, tasbih, shalawat, sedangkan ayat Al-Qur'an meliputi Surat Al-Fatihah, An-Nas, Al-Alaq, Al-Ikhlas dan Al-Baqarah. Tahlil modern dapat juga disebut tahlil rasional. Rasionalitas Tahlil Modern terletak pada obyektivitas dan spekulatif dalam bertahlil. Secara obyektif amalan-amalan berupa bacaan kalimat yang baik dan ayat-ayat Al-Qur'an pilihan tertentu akan berpahala bagi pelaku tahlil dan pahala tentu akan diberikan kepada pelakunya secara proporsional. Tahlil Modern juga menghindakan diri dari perilaku teologi spekulatif yakni tidak mengirimkan pahala tahlil bagi orang meninggal yang ditahlilkan. Sebab tahlil modern melepaskan dirinya dari konsep pengiriman pahala. Waktu ; Moment Tahlil Modern adalah netral.

Artinya tahlil Modern dapat mengambil moment pada hari-hari tertentu yang definitif pasca kematian seperti hari ketiga, tujuh, empat puluh, seratus dan seribu, dan dapat pula mengambil hari tanpa terikat dengan hari-hari definitif tersebut. Penentuan momentum Tahlil Modern disunnahkan kepada penyelenggaranya.

Kalaupun moment yang diambil adalah hari-hari definitif tersebut tetap harus lepas dari keyakinan bahwa roh orang yang meninggal datang bersamaan dengan datangnya hari-hari definitif tersebut. Tujuan ; Tujuan dari Tahlil Modern adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membaca kalimat- kalimat terpilih. Setelah upaya pendekatan diri tercapai diikuti do’a mohon ampun baik bagi peserta tahlil sendiri maupun bagi orang- orang yang sudah meninggal secara umum dan orang-orang terkasih penyelenggara Tahlil Modern. Dengan demikian , Tahlil Modern bukan bertujuan mengirimkan pahala bacaan tahlil untuk arwah tertentu. Hukum ; Status hukum penyelenggaraan Tahlil Modern adalah mubah, netral. Artinya Tahlil Modern dilakukan ataupun tidak dilakukan tidak mengandung akibat hukum dosa atau berpahala.

Hanya saja, karena Tahlil Modern berisikan amalan-amalan baik maka jika dilakukan tentu akan berdampak hukum secara poitif. Bacaan-bacaan Tahlil Modern termasuk bacaan-bacaan yang baik tentu saja termasuk dalam kategori ibadah qauliyah yang berpahala.

Prosesi Tahlil Muhammadiyah

1. Niat 

Niat tahlil modern adalah mendekatkan diri pada Allah dengan cara membaca kalimat dan ayat-ayat pilihan. Oleh karena itu, sekedar sebagai contoh niat tersebut dapat diungkapkan dengan kalimat : “Kita berkumpul dalam majlis ini bermaksud membaca tahlil modern dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Tahlil ini diselenggarakan atas permintaan Bapak .......... yang telah mendahului kita ........... hari atau tahun yang lalu. Menurut informasi yang dapat dipegangi : almarhum / almarhumah dikenal sebagai orang yang suka beramal baik. (sebut contohnya). Berkaitan dengan ini semoga menjadi I’tibar bagi kita semua.

Oleh karena itu, marilah kita membaca tahlil dengan seksama : ‘Ala Hadzihi al-Niyah al-Maksudah al-Fatihah....”

2. Bacaan 

Bacaan kalimat-kalimat dan ayat-ayat pilihan Tahlil Modern antara lain dapat diurutkan sebagai berikut :

1). Surat Al – Fatihah,
2). Surat Al – Ikhlas,
3). Surat Al –Falaq,
4). Surat An – Nas,
5). Surat Al – Baqarah ayat 1 - 5,
6). Ayat Kursi,
7). Isti’fa’ (wa’fu ‘anna waghfirlana, dst),
8). Tarhim 7 x (Irhamna yaa Arhamarrahimiyn),
9). Istighfar 7 x,
10) Tahlil 33 kali,
11) Tasbih 7 x,
12) Shalawat 3 x,
13) Pengakhir (Tahlil Modern ditutup dengan Surat Al – Fatihah).

3. Do'a

Do'a-Do'a Tahlil Modern bukan do’a pengiriman pahala bacaan tahlil bagi yang ditahlilkan melainkan do’a pendekatan diri kepada Allah dan mohon ampun baik bagi pelaku tahlil maupun orang yang dikenang.

Sumber Makalah Dr. Mujiono Abdillah, MA, (Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Tengah

Sumber: http://www.muslimoderat.com/2015/11/mengenal-tahlilan-modern-ala.html#ixzz3siTiYiB4