Dalam kaidah ushul fiqih disebutkan,
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
"Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan."
Islam menghendaki metode dakwah yang bijaksana, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 125).
Menjawab viralnya video berdurasi 30 detik yang memperlihatkan seorang pria membuang sesajen di Lumajang. Sambil menunjuk ke sesajen, pria itu berkata, “Ini (sesajen) yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya. Allahu Akbar,” ucap pria tersebut.
Sesungguhnya dakwah harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Saya menilai, cara pria dalam video viral tersebut dengan membuang sesajen merupakan metode dakwah yang “kasar”. Akibatnya, bukan simpati malah mendapat antipati dari masyarakat berupa kecaman dan cap intoleran. Lebih-lebih, membuang sesajen tanda tidak mencerminkan “empati” kepada pihak yang sedang tertimpa musibah bahkan terkesan “menghakimi” korban bencana.
Bagi seorang muslim yang memahami islam bahwa mempersembahkan sesaji itu merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan, its okay, semua sepakat. Namun bila reaksinya sampai seperti itu (membuang sesajen), itu tidak tepat karena ia melakukannya dengan cara yang kasar. Kalau terkesan kasar, dikhawatirkan dakwah islam yang ingin disampaikan tidak akan mendapatkan simpati bagi mereka yang masih belum memahami islam. Apalagi jika yang membuat sesaji justru mereka yang beragama lain, tentu sebuah bentuk intoleransi menurut Al-Qur'an.
Dalam rumusan teologi bencana yang terdapat dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa bencana yang terjadi pada dasarnya adalah akibat perbuatan manusia sendiri. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa kesemuanya itu sudah menjadi ketentuan Allah yang telah tertulis di Lauh Al-Mahfudz (takdir).
Dalam tataran makna, bencana yang banyak terjadi akhir-akhir ini dalam bahasa Al-Qur'an lebih tepat untuk disebut sebagai fitnah (cobaan atau ujian) dengan cakupannya tidak hanya menimpa mereka yang bersalah atau yang telah melakukan kerusakan di muka bumi, melainkan juga mereka yang tidak berdosa (tidak berbuat salah). Sebagaimama firman Allah Ta'ala,
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya." (QS. Al-Anfal : 25)
Sementara dalam surat Al-An'am ayat 108 berkaitan dengan larangan mencaci sesembahan agama lain. Surat Al-An'am secara tegas melarang umat Islam untuk mencela Tuhan yang disembah umat agama lain.
Asbabun Nuzul Surat al-An'am ayat 108 bermula dari salah seorang umat Islam yang mencela Tuhan orang musyrik. Kemudian, Allah SWT melalui Surat Al-An'am ayat 108 memperingatkan umat Islam agar tidak mencela Tuhan mereka lagi.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (108)
"Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. Al-An'am : 108)
Allah Ta'ala berfirman, melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sembahan-sembahan orang-orang musyrik, sekalipun dalam makian itu terkandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar daripada itu. Kerusakan yang dimaksud ialah balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum mukmin, yaitu:
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ
"Allah, tidak ada Tuhan (yang wajib disembah) melainkan Dia yang hidup kekal." (QS. Al-Baqarah : 255)
Seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata, "Hai Muhammad, berhentilah kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami; atau kalau tidak berhenti, kami akan balas mencaci maki Tuhanmu." Maka Allah melarang kaum mukmin mencaci berhala-berhala sembahan kaum musyrik.
Yang demikian itu adalah yang dimaksudkan di dalam firman-Nya,
فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
"karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (QS. Al-An'am : 108)
Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan) yang jauh, arah daripada maslahat adalah hal yang diperintahkan.
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
"مَلْعُونٌ مِنْ سَبِّ وَالِدَيْهِ". قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: "يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ".
"Terlaknatlah seseorang yang memaki kedua orang tuanya. Mereka (para sahabat) bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat mencaci kedua orang tuanya sendiri?" Rasulullah Saw. bersabda Dia mencaci bapak seseorang, lalu orang yang dicacinya itu balas mencaci bapaknya. Dan dia mencaci ibu seseorang, lalu orang yang dicacinya itu balas mencaci ibunya."
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ
"Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka." (QS. Al-An'am: 108)
Yakni sebagaimana Kami hiaskan kepada mereka cinta kepada berhala-berhalanya, membelanya, dan menolongnya, maka Kami hiaskan pula kepada setiap umat dari kalangan umat terdahulu yang sesat menyukai amal perbuatan mereka. Hanya milik Allah-lah hujah yang kuat dan hikmah yang sempurna dalam menentukan apa yang dikehendaki dan apa yang dipilih-Nya.
ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ
"Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka." (QS. Al-An'am : 108)
Maksudnya, kepulangan dan pengembalian mereka.
فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"lalu Dia memberikan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. Al-An'am : 108)
Yakni Dia akan membalas mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka. Jika amal perbuatan mereka baik, maka balasannya baik; dan jika amal perbuatan mereka buruk, maka balasannya buruk pula. (Tafsir Ibnu Katsir ayat 108).
Dalam QS. An Nahl: 125 diatas, Al-Qur’an mengajarkan dakwah harus memakai untaian kata dan sikap yang santun dan nasihat yang bijaksana. Seandainya dibutuhkan memakai diskusi pun tetap harus menerapkan rangkaian kata yang santun dan tidak menyinggung hati mereka. Karena pada dasarnya, para dai mengajak kepada sesuatu yang benar yang tentunya harus memakai cara yang santun dan benar sesuai akhlak Al-Qur’an. Rasulullah pun jauh hari telah berwasiat bahwa ia diutus sebagai penyempurna akhlak umatnya,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlak." (HR. Ahmad). Wallahu a'lam
Demikianlah Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar