Kajian kali ini sangat penting untuk dibahas, sebab sepertinya masih banyak wanita yang belum benar-benar tau tentang hal ini.
"Jika ada wanita haidh, kemudian di akhir durasi haidhnya dia suci di waktu Ashar, apakah dia wajib meng-qadha waktu zhuhur atau tidak?"
Atau begini :
"Jika ia sudah suci di waktu isya, apakah dia wajib mengqadha shalat maghribnya?”
Mengapa kita membahas ini? Bukankah masing-masing merupakan waktu shalat yg berbeda? Mengapa dibahas?
Para ulama memandang 2 waktu ini (Dzuhur dan Ashar / Maghrib dan Isya') memiliki keterkaitan dalam waktu, atau dalam istilah fiqih disebut dengan تدارك الوقت (tadaaaruk al-waqt). Dimana dua pasang waktu ini bisa digabung dalam shalat jama'. Yakni jama' taqdim dan ta’khir.
Dalam masalah wajibnya qadha zhuhur/maghrib saat wanita suci di waktu Ashar/ Isya' ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka masih mewajibkan dengan sebab adanya 'tadaruk al-waqt" antara Dzhuhur dengan Ashar. Tetapi sebagian ulama lainnya tidak memandang demikian.
Wanita haidh itu asal perintahnya tidak boleh shalat. Hal itu didasari dari hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam,
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي» صحيح البخاري (1/ 73)
Dari Aisyah r.a berkata, Nabi bersabda, "Jika datang haidh, maka tinggalkanlah shalat. Jika haidhnya selesai, maka mandilah, bersihkan darahnya lalu shalatlah." (HR. Bukhari).
Secara mendasar, wanita haidh selain dilarang shalat, mereka juga tidak diperintahkan mengganti shalatnya nanti saat suci. Hal itu didasari dari hadits Aisyah,
عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ» صحيح مسلم (1/ 265)
Dari Mu'adz Ra bahwa Aisyah berkata, "Kita ketika haid, diperintahkan mengganti puasa tapi tidak diperintahkan mengganti shalat." (HR. Muslim).
Ketika Mu’adzah, seorang wanita tabiin, bertanya kepada Aisyah radhiallahu anha,
ماَ بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِي الصَّلاَةَ؟ فَقَالَت: أَحَرُوْرِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلتُ: لَسْتُ بِحَرُوْرِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Mengapa wanita yang haidh mengqadha puasanya, tetapi tidak mengqadha shalat?”
“Apakah engkau wanita Haruriyah?”[wanita khawarij] tanya Aisyah.
Aku menjawab, “Aku bukan wanita Haruriyah. Aku hanya bertanya.”
Aisyah kembali berkata, “Dulu kami ditimpa haidh, maka kami hanya diperintah untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat.” (HR. al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 761)
Pada dasarnya sesungguhnya wanita yang haidh itu tak diwajibkan mengganti shalat yang telah ditinggalkan saat mereka haidh.
Namun jika masalah haidh tersebut terkait pertanyaan diatas maka terjadi dua pendapat para ulama sebagai berikut :
*Pendapat pertama*
Jika wanita haidh suci sebelum tenggelam matahari, ia tetap harus mengerjakan shalat Ashar, juga shalat zhuhur. Begitu pula jika wanita suci sebelum fajar shubuh atau di waktu isya, maka ia tetap mengerjakan shalat maghrib dan shalat isya.
Alasannya adalah riwayat dari sahabat dan tabi’in dalam masalah ini yang disebutkan dalam kitab Al Muntaqo fil Ahkamisy Syari’ah min Kalami Khoiril Bariyyah karya Majduddin Abul Barokat ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyah Al Khoroni (kakek Ibnu Taimiyah).
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ : إذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ بَعْدَ الْعَصْرِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ ، وَإِذَا طَهُرَتْ بَعْد الْعِشَاء صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ .
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika wanita haidh suci setelah ‘Ashar, maka ia tetap mengerjakan shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar. Jika ia suci di waktu ‘Isya, maka ia tetap mengerjakan shalat Maghrib dan shalat ‘Isya. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/122, Ad Darimi 894,
Ibnul Mundzir dalam Al Awsath 2/243 dan Al Baihaqi 1/387)
وَعَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ : إذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ ، وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْل الْفَجْر صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ رَوَاهُمَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ فِي سُنَنِهِ وَالْأَثْرَمُ ، وَقَالَ : قَالَ أَحْمَدُ : عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ.
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata, “Jika wanita haidh suci sebelum tenggelam matahari, maka ia tetap harus mengerjakan shalat zhuhur dan ‘ashar. Jika ia suci sebelum fajar (waktu shubuh), maka ia tetap mengerjakan shalat maghrib dan isya. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/122, Ibnul Mundzir dalam Al Awsath 2/243, Al Baihaqi 1/387)
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam kitab sunannya dan Al Atsrom. Imam Ahmad berkata bahwa mayoritas tabi’in berpendapat seperti ini kecuali Al-Hasan Al-Bashri yang menyelisihinya. (Lihat Al-Awsath karya Ibnul Mundzir 2/245, Al Mughni 2/46)
Imama As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut,
فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتْ أَيَّامَ الصَّوْمِ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ
"Dan jika dia (wanita haidh) sudah suci, maka wajib baginya mengganti puasa (puasa wajib yang terlewat) dan tidak ada kewajiban atasnya mengganti shalat (yang terlewat)." (As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 3 hal 81).
Imam Nawawi (w. 676 H) menyebutkan,
وإن كان ذلك (الطهر) في وقت العصر أو في وقت العشاء، قال في الجديد: يلزمه الظهر بما يلزم به العصر ويلزم المغرب بما يلزم به العشاء. (المجموع شرح المهذب 3/ 64)
"Jika sucinya di waktu ashar atau waktu isya, maka Imam Syafii dalam qaul jadidnya mewajibkan perempuan untuk qadha’ dzuhur lantas shalat ashar, atau qadha’ maghrib lalu shalat isya’." (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 3/ 64)
Imam Al-Haramain (w. 478 H) salah satu ulama dalam mazhab Syafi'iyah di dalam kitabnya Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab menuliskan sebagai berikut,
ثم يتفق انقطاعُ الحيض في آخر النهار، فيجب قضاءُ الظهر مع العصر
"Kemudian mereka (ulama madzhab Syafi'i) sepakat jika darah haidh sudah berhenti di akhir siang hari, maka wajib baginya qadha’ shalat zhuhur dan Ashar." (Imam Al-Haramain, Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab, jilid 1 hal 398).
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut,
ولنا ما روى الأثرم، وابن المنذر، وغيرهما، بإسنادهم عن عبد الرحمن بن عوف، وعبد الله بن عباس، أنهما قالا في الحائض تطهر قبل طلوع الفجر بركعة تصلي المغرب والعشاء، فإذا طهرت قبل أن تغرب الشمس، صلت الظهر والعصر جميعا
"Dalam mazhab kami (Hanabilah), seperti apa yang diriwayatkan Al-Atsram, dan ibnu mundzir, dari yang lainnya dengan sanad dari Abdurrahman bin 'Auf, dan Abdullah ibnu Abbas, dalam masalah haidh. Jika ia bersuci sebelum terbit fajar (akhir waktu isya') masih ada waktu satu rakaat, "maka baginya shalat maghrib dan isya, dan apabila suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar), maka baginya menjama' shalat zhuhur dan Ashar." (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal 287).
Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu ulamanya (salafi Wahabi) yang bermadzhab Hanabilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa menuliskan sebagai berikut,
وَلِهَذَا قَالَ الصَّحَابَةُ كَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَغَيْرِهِ: إنَّ الْمَرْأَةَ الْحَائِضَ إذَا طَهُرَتْ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ. وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ
"Seorang wanita yang haidh ketika sudah suci sebelum fajar (akhir waktu isya', sebelum masuk shubuh), maka ia wajib shalat maghrib dan isya. Dan apabila ia suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar sebelum masuk maghib), maka wajib baginya shalat Dzuhur dan Ashar." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, jilid 2 hal 347).
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut,
قَوْلُهُ (وَإِنْ بَلَغَ صَبِيٌّ، أَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ، أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ، أَوْ طَهُرَتْ حَائِضٌ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بِقَدْرِ تَكْبِيرَةٍ: لَزِمَهُمْ الصُّبْحُ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ: لَزِمَهُمْ الظُّهْرُ وَالْعَصْرُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ: لَزِمَهُمْ الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ)
"Apabila seorang anak kecil telah baligh, orang kafir masuk islam, orang gila menjadi sadar, atau wanita yang haidh itu suci sebelum terbitnya matahari maka mereka wajib shalat subuh, tapi jika kejadiannya sebelum matahari terbenam maka mereka wajib shalat zhuhur dan ashar, dan kalau kejadiannya sebelum terbit fajar maka mereka wajib menunaikan shalat maghrib dan isya." (Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 1 hal 442).
*Pendapat kedua*
Jika wanita suci pada waktu ashar, ia cukup mengerjakan shalat ashar tanpa mengerjakan lagi shalat zhuhur. Alasannya adalah dalil berikut,
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat shubuh. Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608)
وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ, وَقَالَ: “سَجْدَةً” بَدَلَ “رَكْعَةً”. ثُمَّ قَالَ: وَالسَّجْدَةُ إِنَّمَا هِيَ اَلرَّكْعَةُ
Menurut riwayat Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ada hadits serupa, di mana beliau bersabda “sekali sujud” sebagai pengganti dari “satu rakaat”. Kemudian beliau bersabda, “Yang dimaksud sekali sujud itu adalah satu rakaat.” (HR. Muslim, no. 609)
Dari hadits di atas, dijelaskan dalam kitab “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat ashar saja, tidak lagi shalat zhuhur.
Imam Ibnul Jallab (w. 378 H) salah satu ulama mazhab Malikiyah dalam kitab At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas menuliskan sebagai berikut,
وليس على الحائض قضاء ما فات وقته من الصلوات، وعليها أن تصلي ما أدركت وقته من الصلوات. فإن أدركت أول الوقت وجب عليها الأداء، وإن أدركت آخره فكذلك أيضًا، وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها. وإن كان الذي بقي عليها من النهار قدر أربع ركعات أو ما دونهن إلى ركعة واحدة، صلت العصر لإدراكها آخر وقتها، وسقط الظهر عنها لفوات وقتها.
"Tidak ada kewajiban bagi seorang wanita meng-qadha’ shalat yang terlewat, kewajibannya hanya melaksanakan shalat pada waktunya. Jika dia suci di awal waktu shalat maka wajib mengerjakan shalat itu, begitupun jika dia suci di akhir waktu shalat.
Dan hal itu terjadi jika ia suci di siang hari (akhir waktu dzuhur), dan masih ada waktu shalat kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya shalat dhuhur, begitu juga shalat ashar dan ashar, karena dia masih masuk dalam waktu shalat (dzuhur). Dan jika waktu yang tersisa di siang hari itu hanya cukup untuk mengerjakan shalat 4 rakaat atau kurang, maka dia hanya wajib shalat ashar karena hanya mendapati akhir waktu dzuhur (menjelang ashar) dan gugur kewajiban shalat dhuhur karna waktunya sudah lewat." (Ibnul Jallab, At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas, jilid 1 hal 111).
Ats- Tsa’labi (w. 422 H) salah satu ulama mazhab Malikiyah di dalam kitab Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah menuliskan sebagai berikut,
فلو طهرت الحائض وبلغ الصبي لقدر خمس ركعات، فإلى أن تطهر وتلبس وبقي عليه قدر ركعة كان عليه العصر دون الظهر
"Jika (di akhir waktu zhuhur) seorang wanita telah suci dari haidh, dan anak yang baru saja baligh mendapati waktunya masih cukup untuk shalat selama 5 rakaat, maka wajib baginya zhuhur dan kemudian ashar. Namun jika waktu yang tersisa hanya cukup untuk mengerjakan 1 rakaat, maka wajib baginya shalat ashar tanpa shalat zhuhur." (Ats- Tsa’labi, Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah, jilid - hal 266). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموقف الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar