Jumat, 05 April 2019
MEMAHAMI DEFINISI ANAK YATIM DAN HUKUM MENYANTUNINYA
Secara bahasa, yatim artinya الفرد (al-Fardu = sendirian) dan segala
sesuatu yg di tinggal oleh sesuatu yang serupa dengannya. (As-Shihah fi Al-Lughah, kata: يتم)
Ibnu Sikkith mengatakan:
الْيَتِيمُ فِي النَّاسِ مِنْ قِبَل الأَبِ، وَفِي الْبَهَائِمِ مِنْ قِبَل الأُمِّ، وَلاَ يُقَال لِمَنْ فَقَدَ الأُمَّ مِنَ النَّاسِ يَتِيمٌ
“Kata ‘yatim’ untuk manusia, karena ayahnya meninggal, sedangkan untuk binatang, kata ‘yatim’ digunakan untuk menyebut binatang yg kehilangan ibunya. Manusia yg kehilangan ibunya tidak bisa disebut yatim.” (Lisanul ‘Arab, 12 : 645).
Secara istilah, para ulama mendefinisikan yatim sebagai berikut,
الْيَتِيمَ بِأَنَّهُ مَنْ مَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ دُونُ الْبُلُوغِ. لِحَدِيثِ: ” لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ”
"Anak yatim adalah anak yg ditinggal mati bapaknya, ketika dia belum baligh. Berdasarkan hadits: “Tidak ada status yatim setelah mimpi basah)." (HR. At-Thabrani, dalam Mu’jam Al-Kabir, dari sahabat Handzalah bin Hudzaim). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 45 : 254)
Yatim untuk manusia, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 816 H) dalam kitabnya at-Ta’rifat,
اليتيم: هو المنفرد عن الأب؛ لأن نفقته عليه لا على الأم، وفي البهائم: اليتيم: هو المنفرد عن الأم؛ لأن اللبن والأطعمة منها
"Yatim artinya seseorang yang bapaknya wafat. Sedangkan untuk hewan adalah yang ibunya mati." (Imam Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 816 H), at-Ta’rifat, h. 258)
Pengertian yatim dalam syari'ah tak jauh beda dengan makna secara bahasa, yaitu seseorang yang ditinggal wafat bapaknya dan belum baligh. Imam as-Syairazi as-Syafi’i (w. 476 H) menyebutkan,
اليتيم هو الذي لا أب له وليس لبالغ فيه حق لأنه لا يسمى بعد البلوغ يتيماً
"Yatim adalah seorang yg tak punya bapak sedang dia belum baligh. Setelah baligh maka orang itu tak disebut yatim." (Abu Ishaq as-Syairazi w. 476 H, al-Muhaddzab, h. 3/ 301)
Imam as-Sarakhsi al-Hanafi (w. 483 H) menyebutkan,
فإذا احتلم يخرج من اليتم
Ketika seseorang itu sudah ihtilam, maka telah keluar dari sifat yatim (as-Sarakhsi al-Hanafi w. 483 H, al-Mabsuth, h. 10/ 30)
Hal itu didasari dari sebuah hadits Nabi,
قوله صلى الله عليه وسلم: "لا يتم بعد الحلم" رواه أبو داود
Tidak disebut yatim orang yang telah hulm/ baligh. (H.R. Abu Daud)
Hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut batasan yatim pada baligh. Berikut ini keterangan Imam An-Nawawi,
وأما نفس اليتم فينقضي بالبلوغ وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يتم بعد الحلم، وفي هذا دليل للشافعي ومالك وجماهير العلماء أن حكم اليتم لا ينقطع بمجرد البلوغ ولا بعلو السن، بل لا بد أن يظهر منه الرشد في دينه وماله. وقال أبو حنيفة: إذا بلغ خمسا وعشرين سنة زال عنه حكم الصبيان، وصار رشيدا يتصرف في ماله، ويجب تسليمه إليه وإن كان غير ضابط له
"Status yatim sendiri selesai lantaran balig. Sebuah riwayat menyebut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada keyatiman setelah baligh”. Hadits ini menjadi dalil bagi Imam Syafi’i, Imam Malik, dan jumhur ulama yg berpendapat bahwa status yatim tidak selesai karena balig semata atau bertambahnya usia yatim. Tetapi sebuah kedewasaan dalam beragama maupun kematangan dalam mengelola harta harus tampak pada si yatim."
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, jika seseorang yatim sudah mencapai usia 25 tahun, statusnya sebagai anak lenyap darinya. Ia menyandang status dewasa yang dapat mengatur sendiri perekonomiannya. Kita pun wajib menyerahkan harta (peninggalan orang tuanya) kepadanya sekalipun ia bukan orang yang cermat." (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Minhajul Muslim fi Syarhi Shahihi Muslim, Darul Hadits, Kairo, cetakan keempat, 2001, juz 6, halaman 433).
Menyambut keterangan Imam An-Nawawi di atas, Wahbah Az-Zuhaily menyebut sejumlah batasan perihal yatim. Berikut ini keterangannya,
لكن أجمع العلماء أن الصبي إذا بلغ سفيها يمنع منه ماله لقوله تعالى وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا . فإن أصبح راشدا ببلوغ خمس وعشرين سنة، فيسقط حينئذ منع المال عنه لقوله تعالى وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
"Ulama sepakat bahwa ketika seorang anak yatim sudah balig tetapi masih belum sempurna akalnya (belum bisa mengatur harta dengan benar), ia tidak diperbolehkan mengatur hartanya. Ini didasarkan pada firman Allah di surat An-Nisa ayat 5 yang berbunyi “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”
Namun, ketika ia baligh dan sudah matang pikirannya dengan mencapai usia 25 tahun, gugurlah penangguhan atas pengelolaan sendiri harta mereka. Ini didasarkan pada firman Allah di surat An-Nisa ayat 5 yang berbunyi, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Jika kamu merasa mereka telah matang (bisa mengatur harta dengan benar), serahkanlah harta-hartanya kepada mereka.” (Lihat Wahbah Az-Zuhaily, Ushulul Fiqhil Islami, Darul Fikr Mu’ashir, Beirut, juz 1, halaman 181).
Dari keterangan di atas kita bisa simpulkan bahwa anak yatim meskipun sudah baligh di usia 15 tahun secara fisik masih berhak menerima santunan. Di samping itu masyarakat juga bertanggung jawab atas pengajaran agama dan pendidikan yang memadai agar anak yatim dapat menjalankan praktik beragama secara wajar dan mandiri secara ekonomi ke depan.
Terlebih dalam konteks Indonesia, anak-anak wajib sekolah juga kuliah sebagai bekal hidupnya ke depan. Menurut hemat kami, anak-anak yatim yang masih sekolah atau sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tetap berhak menerima santunan. Pasalnya anak yatim dalam rentang balig hingga matang di usia 25 tahun sangat membutuhkan dukungan. Sebab, usia anak dalam rentang itu merupakan usia perkembangan yang sangat baik dimanfaatkan untuk sekolah, mondok, dan kuliah.
*Batasan Baligh*
الْبُلُوغُ بِالاِحْتِلاَمِ :
يَتَّفِقُ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْبُلُوغَ يَحْصُل بِالاِحْتِلاَمِ مَعَ الإِْنْزَال ، وَيَنْقَطِعُ بِهِ الْيُتْمُ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَال : لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ وَلاَ صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْل . (2)…..
سَهْمٌ لِلْيَتَامَى : وَهُمُ الَّذِينَ مَاتَ آبَاؤُهُمْ وَلَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ ، فَإِنْ بَلَغُوا الْحُلُمَ لَمْ يَكُونُوا يَتَامَى لِحَدِيثِ : لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ . (2)
__________
(2) حديث " لا يتم بعد احتلام . . . " أخرجه أبو داود ( 3 / 293 - 294 - تحقيق عزت عبيد دعاس ) من حديث علي بن أبي طالب وفي إسناده مقال ، ولكنه صحيح لطرقه ، التلخيص لابن حجر ( 3 / 101 - . ط شركة الطباعة الفنية ) .
"[MASA DEWASA sebab Mimpi Keluar mani ] Ulama Ahli Fiqh sepakat bahwa masa dewasa seorang anak dapat terjadi ditandap mimpi keluar mani dan berakibat hilangnya sifat YATIM."
"[PEMBAGIAN HARTA RAMPASAN] Satu bagian untuk anak-anak yatim ialah mereka-mereka yang ayahnya meninggal dan belum baligh kalau sudah baligh bukan lagi anak yatim berdasarkan hadits “Tidak ada yatim bagi anak yang baligh” (HR. Abu Daud III/293-294)." [Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah II/99, XX/15]
Kapan disebut seorang itu baligh? Para ulama membahasnya dengan memberikan beberapa tanda, diantaranya:
1. Keluar mani, baik melalui mimpi atau lainnya
2. Haidh atau hamil bagi perempuan
3. Tumbuh bulu kemaluannya
4. Usia 15 bagi laki-laki dan 9 bagi perempuan dengan tahun qamariyah, sebagai batas minimal.
Lantas bolehkan memberi santunan kepada anak yang sudah baligh, dan masih tergolong anak-anak? Jawabnya tentu boleh saja. Hanya bukan atas nama anak yatim. Misalnya atas nama sumbangan anak-anak dari keluarga tak mampu.
Karena antara yatim dan tak mampu ini tidak saling berkaitan. Karena bisa jadi seorang itu yatim tetapi hartanya banyak. Bisa jadi seorang itu tak mampu padahal bapak dan ibunya masih hidup.
*Bagaimana jika yatim memiliki ayah tiri?*
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُأَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”. (HR Muslim)
“Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yg termasuk) kerabat di sini,ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya atau pun pihak-pihak selain mereka yg memiliki kekerabatan dengannya, bisa juga ayah tiri.
Jika akan menyantuni anak yatim yang sudah mempunyai bapak tiri, maka perlu dilihat kondisi ekonomi bapak tirinya tersebut. Apabila bapak tirinya memiliki ekonomi yang kurang dan belum dapat memenuhi kebutuhan anak yatim tersebut, maka umat Islam lainnya berkewajiban untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhannya sebagaimana mereka wajib menyantuni dan memenuhi kebutuhan anak yatim lain yang tidak mempunyai bapak tiri. Namun apabila bapak tirinya sudah mapan dan mampu memenuhi kebutuhannya, maka umat Islam lainnya tidak berkewajiban untuk menyantuninya. Wallahu a’lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Kamis, 04 April 2019
EDISI KHUTBAH JUM'AT (Introspeksi, Menghiasi dan Menampakkan Diri Dalam Keimanan)
*Khutbah Pertama*
اَلْحَمْدُ لله على نعمه فى شهر شعبان، الذى جَعَلَنَا مِنَ المسلمين الكاملين، وَأَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ، اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
*Jama'ah jum'at yang dirohmati Alloh*
Waktu terus mengalir dan tak terasa kita hampir menghabiskan bulan harom rojab. Bulan suci Ramadhan pun kian dekat dan memberikan suasana batin tersendiri bagi masing-masing orang. Ada yang bergembira dengan kehadiran bulan suci ini. Ada pula yang biasa-biasa saja. Bulan Sya’ban dan Ramadhan dinilai tak jauh berbeda dari bulan-bulan lainnya.
Sikap kedua ini bermasalah karena menjadi indikasi tentang tidak sensitifnya hati kita kepada kemuliaan-kemuliaan waktu khusus yang tertuang dalam ajaran Islam. Umumnya, suasana “biasa saja” itu bukan karena sikap ingkar melainkan karena terlalu padatnya kehidupan seseorang dengan aktivitas duniawi sehingga menganggap perjalanan bulan Rajab, Sya’ban, dan kemudian Ramadhan tak ubahnya rutinitas belaka.
Untuk menghadapi ini semua, kita butuh persiapan. Tapi ini persiapan fisik dan material. Karena Ramadhan memang membawa dampak material, juga bulan sesudahnya, yakni lebaran atau Syawal.
Akan tetapi, persiapan yang kita maksud sekarang adalah persiapan secara spiritual. Sebagai “jalan menuju puncak”, seyogianya Sya’ban menjadi momen bagi umat Islam untuk memperkuat mental, menata batin, dan membenahi perilaku untuk menyambut bulan puasa: puasa dari makan dan minum maupun puasa dari sikap untuk selalu menuruti ego pribadi.
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ذاَكَ شَهْرٌ يَغْفَلُ النّاسُ عَنْهُ يَعْنِي بَيْنَ رَجَب ورَمَضَان وَهُوَ شَهْرٌ تَرْفَعُ اْلأَعْمَالُ فِيْه إِلَى رَبّ العالمين فَأُحِبُّ أَنْ يَرْفَعَ عَمَلِيْ وأنا صَائِمٌ
“Bulan itu (Sya‘ban) adalah bulan yang dilupakan manusia, berada di antara Rajab dan Ramadhan. Dan ia adalah bulan diangkatnya amal ibadah kepada Tuhan Pemilik Semesta Alam, maka aku (Nabi Muhammad) suka amal ibadahku diangkat ketika aku berpuasa”. (HR. an-Nasa’i)
Setahun lamanya kita berlumur dosa dan kemaksiatan, maka Alloh siapkan bulan rojab sebagai bulan introspeksi, sya'ban bulan penghias diri dengan amal ibadah dan amal sholih dan ramadhon bulan untuk menampakkan ketaatan diri kepada Alloh Ta'ala.
*Jama'ah jum'at yang dirohmati Alloh*
Dosa itu bukan merubah jasmani tetapi merubah ruhani, mengerjakan dosa 1 kali ada titik 1 kali di hati. Kalau dalam sehari ada 1000 dosa maka hati berubah menjadi hitam. Dari hari ke hari, dari jam ke jam, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun semakin lama dosa itu semakin tebal, dalam Al Qur-an di sebutkan,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Al-Muthoffifin : 14)
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.” ( HR At-Tirmidzi)
Terkait dengan titik ini, ada huruf yang bentuknya sama namun di beri titik akan berbeda yatu kho dengan titik diatas, lalu jim dengan titik di bawah dan ha sama sekali tidak ada titik. Dari huruf ini kita dapat menerangkan tasawuf untuk istilah dibawah ini yaitu :
1. Takholli ( تَخَلِّ )
2. Tajallii (تَجَلِّ )
3. Tahalli ( تَحَلِّ )
*Takholli* artinya mengosongkan. Yang dimaksudkan adalah bahwa setiap orang ingin sampai pada keridlaan Allah itu pertama kali yang harus dilakukan adalah mengosongkan hatinya dari akhlak-akhlak yang tercela.
*Tahalli* artinya menghiasi. Yang dimaksudkan adalah bahwa orang yang ingin sampai pada keridlaan Allah itu, setelah hatinya dikosongkan dari akhlak-akhlak jelek, maka hatinya harus dihiasi dengan akhlak yang baik dan terpuji.
*Tajalli* artinya menampakkan diri. Yang dimaksudkan adalah bahwa orang yang ingin sampai pada keridlaan Allah itu, setelah hatinya dikosongkan dari akhlak-akhlak yang tercela, kemudian sudah dihiasi dengan akhlak-akhlak yang mulia, maka dia harus selalu menampakkan dirinya pada setiap hal telah diperintahkan oleh Allah dan tidak boleh absen.
Di dalam kalimat ( تَخَلِّ ) takholli itu ada huruf Kho’ ( خ ), huruf Kho’ itu titiknya di atas. Titik di atas itu ibarat dosa. Titik itu harus di tekan ke bawah menjadi huruf Jim ( ج ) ( تَجَلِّ tajalli), kalau sudah seperti huruf Jim berarti dosanya kalah. Tidak cukup itu harus sampai bersih sehingga menjadi huruf Ha’ ( تَحَلِّ tahalli). Dalam huruf Ha’ itu sudah tidak ada titiknya artinya sudah bersih dari dosa.
Jadi Takholli itu pembersihan, mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela dan Tahalli menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Itu di ringkas menjadi:
1. Sabiquu ila maghfiroh (berlomba-lomba menuju ampunan Alloh)
2. Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba menuju kebaikan)
Siapa yang menjadi pahlawan dari 2 perlombaan itu akan mendapat piala dari Alloh Ta’ala.
*Jama'ah jum'at yang dirohmati Alloh*
Apa artinya kalau di dunia ini di sanjung-sanjung oleh jutaan manusia tetapi di barzah jadi pesakitan. Apakah bisa jutaan manusia itu memberikan pertolongan? Oleh sebab itu jangan terlalu terpesona oleh kehidupan dunia ini.
Kalau diri kita sendiri tidak sungguh-sungguh akan berharap pada siapa? Apakah hanya berharap di Tahlil atau Yasinan saja?
Seandainya amal sholeh itu bisa di kerjakan di sana orang-orang kafir tidak minta di kembalikan di dunia, cukup di kerjakan di sana. Adanya minta di kembalikan ke dunia karena tidak bisa di kerjakan di sana. Tempatnya ada di sini (dunia) tetapi di dunia terpesona oleh kehidupan yang fana. Di sini kita bangun dengan sangat baik tetap tidak bisa memiliki.
Hakikat manusia di dunia ini orang asing (ghorib) yang asli penduduk dunia itu jasmani sedangkan ruhani itu pendatang. Makanya kalau mati itu istilahnya sudah pulang karena memang ruhani itu bukan asli penduduk dunia, pulang ke Rohmatulloh. Dari Rohmatulloh, di dalam Rohmatulloh, kembali kepada Rohmatulloh.
*Jama'ah jum'at yang dirohmati Alloh*
Lewat Shirotol Mustaqim itu nanti atau sekarang? Harus mulai sekarang tidak perlu menunggu waktu kalau sudah wafat. Kita semua menginginkan kalau amal ibadah diterima oleh Alloh Ta’ala dan tidak ingin amal kita ditolak Alloh. Bagaimana bisa lewat Shirotol Mustaqim kalau tidak mengetahui Shirotol Mustaqim? Kalau di jawab sudah tahu nyatanya waktu sholat minta di tunjukan Shirotol Mustaqim.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
"Ya Alloh tunjukan akan Shirotol Mustaqim." (QS. Al-Fatehah : 6)
Katanya Shiroothol Mustaqiim itu Islam. Katanya Shiroothol Mustaqiim itu Al-Qur'an. Al-Qur'an itu hidayah (petunjuk). Shiroth artinya Jalan. Jalan dengan petunjuk itu beda.
Kita tidak akan mampu kalau tidak lewat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi Nabi Muhammad itu rohmat besar, suatu keberuntungan yang besar untuk kita. Bagaimana kalau Nabi Muhammad tidak lahir? Walaupun begitu, banyak manusia yang jarang membaca sholawat. Membaca sholawat kalau ada maunya saja.
اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
*Khutbah Kedua*
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ
Selasa, 26 Maret 2019
KAJIAN TENTANG HUKUM FIDYAH SHOLAT DAN PUASA
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah: 184).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”. (HR. Bukhari no. 4505)
*Definisi Fidyah*
Menurut Ibnu Al-Manzhur dalam Lisan Al-Arab fidyah secara bahasa berarti:
مَالٌ أَوْ نَحْوُهُ يُسْتَنْقَذُ بِهِ الأَسِيرُ أَوْ نَحْوُهُ فَيُخَلِّصُهُ مِمَّا هُوَ فِيهِ
“Harta atau sejenisnya yang dipakai untuk meyelamatkan tawanan atau sejenisnya sehigga dia terbebas darinya”
Sedangkan menurut istilah, Imam Al-Jurjani dalam Ta’rifatnya memberikan penjelasan bahwa fidyah itu adalah:
هِيَ الْبَدَلُ الَّذِي يَتَخَلَّصُ بِهِ الْمُكَلَّفُ مِنْ مَكْرُوهٍ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ
“Pengganti untuk membebaskan seorang manusia mukallaf dari suatu larangan yang berlaku padanya”
Dalam bahasa Arab kata “fidyah” adalah bentuk masdar dari kata dasar “fadaa”, yang artinya mengganti atau menebus. Adapun secara terminologis (istilah) fidyah adalah sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang telah ditinggalkan.
Misalnya, fidyah yang diberikan akibat ditinggalkannya puasa Ramadhan oleh orang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakannya, atau oleh keluarga orang yang belum sempat meng-qadha atau mengganti puasa yang ditinggalkannya (menurut sebagian ulama). Dengan memberikan fidyah tersebut, gugurlah suatu kewajiban yang telah ditinggalkannya.
عَن أَنَس بنِ مَالِك رضي الله عنه أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين مِسكِينًا فَأشبَعَهُم
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin, kemudian beliau kenyangkan mereka semua. (HR. Ad-Daruquthni)
Bagi wanita yang tidak bepuasa karena hamil atau menyusui maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap dirinya sendiri atau pada diri dan bayinya maka ia hanya wajib mengganti puasanya setelah bulan Ramadhan dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap anak atau bayinya saja maka ia wajib meng-qadha dan membayar fidyah sekaligus.
عن مالك عن نافع أن ابن عمر سئل عن المرءة الحامل إذا خافت على ولدها، فقال: تفطر و تطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من حنطة
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.” (HR. Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafi’i dan sanadnya sahih)
*Meninggal dan Mempunyai Hutang Puasa*
Untuk mereka yang berbuka puasa karena sakit, lalu setelah sembuh dari sakitnya belum sempat untuk megqadha puasa dan meninggal dunia, maka dalam kondisi seperti ini menurut ulama madzhab selain madzhab Syafi’i menilai bahwa wajib atas atas orang meninggal ini membayar fidyah.
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُل يَوْمٍ مِسْكِينًا
“Orang yang wafat dan punya hutang puasa, maka dia harus memberi makan orang miskin (membayar fidyah) satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan.” (HR. At-Tirmidzi)
Ibnu Abbas ra menyatakan:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سُئِل عَنْ رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ يَصُومُ شَهْرًا وَعَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ . قَال : أَمَّا رَمَضَانُ فَيُطْعَمُ عَنْهُ وَأَمَّا النَّذْرُ فَيُصَامُ عَنْهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa beliau ditanya dengan kasus orang yang meninggal dunia dan punya hutang nadzar puasa sebulan dan hutang puasa Ramadhan. Maka Ibnu Abbas menjawab: ”Hutang puasa Ramadhan dibayar dengan membayar fidyah, hutang puasa nadzar dibayar dengan orang lain berpuasa untuknya”
Namun dalam madzhab Syafi’i bagi mereka yang meninggal dunia dan mempunyai hutang puasa maka wajib atas ahli warisnya membayarkan hutang puasa tersebut. Sebagaimana pesan dari Nabi Muhammad SAW,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa yang meninggal dunia dan punya hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
*Hutang Puasa Nadzar*
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
أنّ امرأة ركبَت البحر فنذَرت، إِنِ الله -تبارك وتعالى- أَنْجاها أنْ تصوم شهراً، فأنجاها الله عز وجل، فلم تصم حتى ماتت. فجاءت قرابة لها إِلى النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فذكرت ذلك له، فقال: أرأيتك لو كان عليها دَيْن كُنتِ تقضينه؟ قالت: نعم، قال: فَدَيْن الله أحق أن يُقضى، فاقضِ عن أمّك
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, "Ada wanita yang naik perahu di tengah laut, kemudian dia bernazar, jika Allah menyelamatkan dirinya maka dia akan puasa sebulan. Dan Allah menyelamatkan dirinya, namun dia belum sempat puasa sampai mati. Hingga datang putri wanita itu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia menyebutkan kejadian yang dialami ibunya. Lantas beliau bertanya: ‘Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?’ ‘Ya.’ Jawab wanita itu. Kemudian beliau bersabda, ‘Hutang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi. Lakukan qadha untuk membayar hutang puasa ibumu.’ (HR. Ahmad 1861, Abu Daud 3308, Ibnu Khuzaimah 2054, dan sanadnya dishahihkan Al-A’dzami).
Juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أنّ سعد بن عبادة -رضي الله عنه- استفتى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فقال: إِنّ أمّي ماتت وعليها نذر فقال: اقضه عنها
Bahwa Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ibuku mati dan beliau memiliki utang puasa nadzar.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lunasi hutang puasa ibumu.’ (HR. Bukhari 2761, An-Nasai 3657 dan lainnya).
*Berapakah Besarnya Fidyah?*
Fidyah yang biasa diberikan kepada fakir miskin sekarang ini adalah 1 mud = 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa (Madzab Syafi'i).
Beberapa pendapat lain tentang besamya fidyah tersebut yakni;
1) pendapat yang menyatakan bahwa besarnya fidyah itu sebesar 2,8 Kg bahan makanan pokok, beras misalnya. Dimana pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud dari Salmah bin Shakhr, yang menyatakan bahwa dalam peristiwa seorang lelaki berbuat jima' pada siang hari di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW menyuruh lelaki itu untuk memberikan 1 wasaq kurma, dimana 1 wasaq terdiri dari 60 sha, sehingga setiap orang miskin akan mendapatkan kurma sebanyak 1 sha.
2) pendapat yang menyatakan bahwa besamya fidyah tersebut sebanyak 1/2 sha bahan makanan pokok, dengan dasar hadits riwayat Ahmad dari Abu Zaid Al Madany, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada seorang lelaki yang berbuat dzihar (menyamakan isteri dengan ibunya) untuk memberikan 1/2 wasaq kurma kepada 60 orang miskin, dan
3) pendapat yang menyatakan bahwa besarnya fidyah itu sama dengan fidyah atas orang yang bercukur ketika sedang ihram, yakni sebesar 1/2 sha atau 2 mud.
Tiga pendapat itu dinilai lemah. Dalil-dalil yang kuat menunjukkan besarnya fidyah yang biasa diberikan kepada fakir miskin sekarang ini adalah 1 mud atau 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa.
Para ulama sepakat bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia masih dapat bermanfaat untuknya amalan orang yang masih hidup seperti doa, sadaqah, haji. Namun ada beberapa amalan yang diperselisihkan seperti fidyah shalat. Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim :
وَأَمَّا مَا حَكَاهُ أَقْضَى الْقُضَاةِ أَبُو الْحَسَنِ الْمَاوَرْدِيُّ البصرى الفقيه الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الْحَاوِي عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ الْكَلَامِ مِنْ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ ثَوَابٌ فَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَطْعًا وَخَطَأٌ بَيِّنٌ مُخَالِفٌ لِنُصُوصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ فَلَا الْتِفَاتَ إِلَيْهِ وَلَا تَعْرِيجَ عَلَيْهِ
Adapun yang dihikayah oleh Aqzha al-Quzha Abu al-Hasan al-Mawardi al-Bashri al-Faqih al-Syafi’i dalam kitabnya al-Hawi dari sebagian ashhab kalam, bahwa simati tidak dihubungkan pahala apapun setelah kematiannya merupakan mazhab bathil secara pasti dan tersalah serta menyalahi nash-nash al-Kitab, al-Sunnah dan ijmak ummat. Karena itu, tidak boleh memperhatikannya dan memperdulikannya. (Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 133)
*Pendapat Mu’tamad Mazhab Syafi'i*
Menurut pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafi’i, orang yang sudah meninggal tidak diberikan fidyah. Namun demikian ada ulama dari kalangan Syafi’iyah seperti al-Baghwi dan lainnya yang berpendapat berbeda dengan mazhabnya. Ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini :
1. Imam al-Nawawi tokoh mazhab Syafi’i dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan,
لَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ يَفْعَلْهُمَا عَنْهُ وَلِيُّهُ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْفِدْيَةِ صَلَاةٌ وَلَا اعْتِكَافٌ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ وَالْمَعْرُوفُ مِنْ نُصُوصِ الشَّافِعِيِّ فِي الام وغيره ونقل الْبُوَيْطِيُّ عَنْ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ فِي الِاعْتِكَافِ يعتكف عنه وليه وفى وراية يُطْعِمُ عَنْهُ قَالَ الْبَغَوِيّ وَلَا يَبْعُدُ تَخْرِيجُ هَذَا فِي الصَّلَاةِ فَيُطْعَمُ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ
Jika seseorang mati dan atasnya ada kewajiban shalat atau i’tikaf, maka tidak dilakukan untuknya oleh walinya dan tidak gugur shalat dan i’tikaf dengan sebab fidyah. Ini yan masyhur dalam mazhab dan ma’ruf dari nash-nash Syafi’i dalam al-Um dan lainnya . Namun al-Buwaithi pernah menaqal dari Syafi’i bahwa beliau mengatakan dalam masalah i’tikaf, mengi’tikaf oleh walinya untuk simati. Dalam satu riwayat,diberikan makanan. Al-Baghwi mengatakan, Tidak jauh untuk ditakhrij (dihubungkan hukumnya) ini kepada shalat, maka diberikan satu mud untuk setiap shalat. (Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 420)
2. Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim,
وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي كِتَابِهِ التَّهْذِيبُ لَا يَبْعُدُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ ضَعِيفَةٌ وَدَلِيلُهُمُ الْقِيَاسُ عَلَى الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ فَإِنَّهَا تَصِلُ بِالْإِجْمَاعِ وَدَلِيلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مات بن آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Imam Abu Muhammad al-Baghwi dari kalangan Syafi’yah mengatakan dalam kitabnya al-Tahzib, tidak jauh bahwa diberikan makanan untuk setiap shalat satu mud makanan. Semua pendapat ini dhaif. Dalil mereka adalah qiyas kepada doa, shadaqah dan haji, karena semuanya itu sampai pahalanya dengan ijmak. Dalilnya Imam Syafi’i dan yang setuju dengannya firman Allah : “Tidak ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya dan hadits Nabi SAW : “Apabila mati anak Adam, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara, yakni sadaqah jariah, ilmu yan bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya. (Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah,Juz. I, Hal. 133-134)
3. Al-Nawawi mengatakan,
(وَلَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ يَفْعَلْ) ذَلِكَ. (عَنْهُ) وَلِيُّهُ (وَلَا فِدْيَةَ) لَهُ.
Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat atau i’tiqaf yang ditinggalkannya,maka walinya tidak boleh melakukan shalat sebagai penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti shalat. (An-Nawawi dan Qalyubi, Minhaj at-Thalibin dan Hasyiahnya, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 67)
Diantara dalil yang kemukakan ulama-ulama yang berpendapat boleh memberikan fidyah shalat, antara lain :
1. Hadits Ibnu Abbas,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
"Dari Ibnu Abbas, mengatakan tidak shalat seseorang untuk orang lain dan tidak berpuasa seseorang untuk orang lain, akan tetapi memberikan makanan untuknya untuk setiap hari satu mud hinthah." (HR. An-Nasa'i) [An-Nasa-i, Sunan al-Nisa-i, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 257, No. 2930]
2. Hadits Ibnu Umar berbunyi,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُومَنَّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا تَصَدَّقْتَ عَنْهُ أَوْ أَهْدَيْتَ
"Dari Ibnu Umar mengatakan, tidak shalat seseorang untuk orang lain dan tidak berpuasa seseorang untuk orang lain, akan tetapi seandainya kamu melakukannya, maka bersedekahlah atau memberikan hadiah." (HR. Abdurrazaq) [Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazaq, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61, No. 16346]
Kebolehan memberikan fidyah shalat orang yang sudah meningggal dunia lebih masyhur dikenal dalam mazhab Hanafi. Bahkan Ibnu ‘Abidin salah seorang ulama mutakhirin Hanafiyah mengatakan memberi fidyah shalat ini hanya ada dalam mazhab Hanafi. Dalam Majmu’ah Rasailnya, beliau mengatakan,
اعلم ان فدية الصلاة مما انفرد بها مذهب ابي حينفة رحمه الله تعالى الذي قاسه مشائخ مذهبه على الصوم واستحسنوه وامروا به
Ketahuilah sesungguhnya fidyah shalat termasuk yang menyendiri mazhab Abu Hanifah rhm, dimana para masyaikh mazhab Abu Hanifah mengqiyasnya kepada puasa dan mereka mengistihsan dan memerintahkannya. (Ibnu Abidin, Majmu’ ah Rasail Ibnu Abidin, Juz. I, Hal. 223)
Dengan demikian, sejauh pernyataan Ibnu Abidin ini, maka mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’i (pendapat mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i sebagaimana penjelasan setelah ini) tidak mengenal pemberian fidyah shalat.
Dalam literatur mazhab Hanafi lainnya, kebolehan memberikan fidyah shalat ini dapat dilihat antara lain :
1. Al-Sarkhasi tokoh mazhab Hanafi mengatakan,
وَعَلَى هَذَا إذَا مَاتَ، وَعَلَيْهِ صَلَوَاتٌ يُطْعِمُ عَنْهُ لِكُلِّ صَلَاةٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ حِنْطَةٍ وَكَانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ يَقُولُ أَوَّلًا: يُطْعِمُ عَنْهُ لِصَلَوَاتِ كُلِّ يَوْمٍ نِصْفَ صَاعٍ عَلَى قِيَاسِ الصَّوْمِ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: كُلُّ صَلَاةٍ فَرْضٌ عَلَى حِدَةٍ بِمَنْزِلَةِ صَوْمِ يَوْمٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ
Berdasarkan ini, apabila seeorang mati dan diatasnya ada kewajiban shalat, maka diberikan untuk setiap shalat yang ditinggalkannya setengah sha’ hinthah. Muhammad bin Muqatil mengatakan, pertama : diberikan makanan untuk simati karena semua shalat setiap satu hari setengah sha’ dengan jalan qiyas kepada puasa, kemudian beliau ruju’ dari pendapat tersebut dan mengatakan, setiap shalat fardhu atas hitungan sama dengan puasa satu hari. Ini pedapat shahih. (Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 90)
2. Ibnu Abidin tokoh mazhab Hanafi mengatakan,
قَالَ فِي الْفَتْحِ وَالصَّلَاةُ كَالصَّوْمِ بِاسْتِحْسَانِ الْمَشَايِخِ. وَجْهُهُ أَنَّ الْمُمَاثَلَةَ قَدْ ثَبَتَتْ شَرْعًا بَيْنَ الصَّوْمِ وَالْإِطْعَامِ وَالْمُمَاثَلَةُ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ ثَابِتَةٌ وَمِثْلُ مِثْلِ الشَّيْءِ جَازَ أَنْ يَكُونَ مِثْلًا لِذَلِكَ الشَّيْءِ وَعَلَى تَقْدِيرِ ذَلِكَ يَجِبُ الْإِطْعَامُ وَعَلَى تَقْدِيرِ عَدَمِهَا لَا يَجِبُ فَالِاحْتِيَاطُ فِي الْإِيجَابِ
Pengarang al-Fath mengatakan, shalat seperti puasa dengan jalan istihsan para masyaikh. Jalan istihsannya sesungguhnya kesamaaan antara puasa dan memberikan makanan telah shahih ada pada syara’, sedangkan kesamaan antara shalat dan puasa juga shahih ada pada syara’. Adapun yang sama dengan yang sama dengan sesuatu boleh sama dengan sesuatu tersebut. Berdasarkan ini, maka wajib memberikan makanan dan berdasarkan tidak sama, maka tidak wajib. Namun ihtiyathnya wajib. (Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar ala Dar al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 245) Wallahu a'lam bis-Shawab
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Jumat, 15 Maret 2019
DARI MULUTMU SURGA DAN NERAKAMU
Diantara nikmat Allah Ta’ala yang paling besar manfaatnya kepada manusia adalah lisan (lidah) dan dua bibir. Allah Ta’ala mengingatkan kedua nikmat tersebut dalam firmanNya:
أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ – وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ – وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”. (QS. Al-Balad: 8-10).
Syekh Abdurrahman As-Sa’dy dalam tafsirnya Jilid 5 halaman 418 menjelaskan, bahwa: tiga ayat ini menyebutkan tentang dua kelompok nikmat Allah Ta’ala pada manusia. Yaitu nikmat duniawi dan nikmat diniyah. Perkataaan ‘ainain (dua mata), lisan (lidah) dan syafatain (dua bibir) merupakan nikmat-nikmat duniawi yang sangat penting, yang berfungsi untuk keindahan, penglihatan dan komunikasi, sedangkan nikmat diniyah disebutkan dalam redaksi ayat: “wahadaynahun najdayn (dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan; Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan).
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” (QS. Al-Ahzab : 70-71)
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk penghuni surga”. (HR. al-Bukhori di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/ 440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam”. [HR al-Bukhâri, no. 6478].
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan makna “dia tidak menganggapnya penting”, yaitu dia tidak memperhatikan dengan fikirannya dan tidak memikirkan akibat perkataannya, serta tidak menduga bahwa kalimat itu akan mempengaruhi sesuatu. [Lihat Fat-hul-Bâri, penjelasan hadits no. 6478]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam surga?. Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Beliau juga ditanya tentang sesuatu apakan yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam neraka?. Beliau menjawab, “Mulut dan farji (kemaluan)”. (HR at-Turmudzi: 2004, Ibnu Majah: 4246 dan Ahmad: II/ 291, 392, 442)
Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga”. (HR. Ahmad)
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Muslim dari Jabir ra)
Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda,
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan - kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”. (HR. Bukhari Muslim)
أدركنا السلف وهم لا يرون العبادة في الصوم ، ولا في الصلاة ، ولكن في الكف عن أعراض الناس ، فقائم الليل وصائم النهار ، إن لم يحفظ لسانه أفْلَس يوم القيامة .
“Kami mendapati para pendahulu kita yang shalih tidak melihat nilai suatu ibadah pada puasa atau pun shalat. Akan tetapi melihat nilai ibadah ada pada menahan diri dari membicarakan kehormatan manusia. Maka orang yang banyak shalat pada malam hari dan puasa pada siang harinya jika dia tidak bisa menjaga lisannya, maka dia akan bangkrut pada hari kiamat nanti.” (Umar bin Abdul Aziz)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik untuk mengamalkan perkara yang Dia cinta dan Dia ridhai. Aamiin
Jumat, 08 Maret 2019
NASEHAT INDAH KEHIDUPAN
بالفكر الثاقب يدرك الراى العازب،
Dengan berfikir kritis akan ditemukan pandangan yg jujur,
وبالتانى تسهل المطالب،
Dengan pelan-pelan yg diharapkan
mudah dicapai,
وبلين الكلمة تدرك المحبة وتدورم المودة،
Dengan kata-kata yg lembut, ditemukan cinta dan kasih yg abadi,
وبسعة الخلاق يطيب العيش ويكمل السرور،
Dengan kelapangan budi hidup jadi indah dan penuh kegembiraan,
وبحسن الصمت جلالة الهيبة،
Dengan diam yg tenang akan muncul keagungan,
وباصابة المتطق يعظمم القدر ويرتقى الشرف،
Dengan logika yg benar terlihat kebesaran dan kemulyaan diri,
وبالانصاف يجب التواضع،
Dengan kesederhanaan menunjukkan rendah hati,
وبالتواضع تكثر المحبة،
Dengan sikap rendah hati kecintaan seseorang akan makin meningkat,
وبالعفاف تزكو الاعمال،
Dengan menjaga diri, kerja-kerja menjadi bersih,
وبالحلم يكثر الانصر،
Dengan kesabaran makin banyak teman yg menolong,
وبالرفق تستخدم القلوب،
Dengan tindakan yg lembut, banyak hati orang yg mengabdi,
وبالايثار يستوجب اسم الح ود،
Dengan mendahulukan orang lain, ia dikenal pemurah,
وبالوفاء يدوم الاخاء،
Dengan kesetiaan persaudaraan jadi langgeng,
وبالصدق يدوم الفضل (أرسطو طاليس).
Dengan kejujuran kehormatan diri jadi kekal.
Salam silaturrahmi dari Asimun Mas'ud At-Tamanmini dan salam ukhuwah
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Dengan berfikir kritis akan ditemukan pandangan yg jujur,
وبالتانى تسهل المطالب،
Dengan pelan-pelan yg diharapkan
mudah dicapai,
وبلين الكلمة تدرك المحبة وتدورم المودة،
Dengan kata-kata yg lembut, ditemukan cinta dan kasih yg abadi,
وبسعة الخلاق يطيب العيش ويكمل السرور،
Dengan kelapangan budi hidup jadi indah dan penuh kegembiraan,
وبحسن الصمت جلالة الهيبة،
Dengan diam yg tenang akan muncul keagungan,
وباصابة المتطق يعظمم القدر ويرتقى الشرف،
Dengan logika yg benar terlihat kebesaran dan kemulyaan diri,
وبالانصاف يجب التواضع،
Dengan kesederhanaan menunjukkan rendah hati,
وبالتواضع تكثر المحبة،
Dengan sikap rendah hati kecintaan seseorang akan makin meningkat,
وبالعفاف تزكو الاعمال،
Dengan menjaga diri, kerja-kerja menjadi bersih,
وبالحلم يكثر الانصر،
Dengan kesabaran makin banyak teman yg menolong,
وبالرفق تستخدم القلوب،
Dengan tindakan yg lembut, banyak hati orang yg mengabdi,
وبالايثار يستوجب اسم الح ود،
Dengan mendahulukan orang lain, ia dikenal pemurah,
وبالوفاء يدوم الاخاء،
Dengan kesetiaan persaudaraan jadi langgeng,
وبالصدق يدوم الفضل (أرسطو طاليس).
Dengan kejujuran kehormatan diri jadi kekal.
Salam silaturrahmi dari Asimun Mas'ud At-Tamanmini dan salam ukhuwah
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Kamis, 07 Maret 2019
KAJIAN TENTANG "2019 GANTI USTADZ DAN PENGAJIAN" YANG PROVOKATIF
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengharapkan para pendakwah dalam menyampaikan dakwahnya tidak hanya menerangkan tapi mencerahkan dan tidak melakukan provokasi menghasut lewat dakwah.
"Dakwah yang mencerahkan lebih luas lagi konteksnya, tidak hanya menjelaskan, tapi mampu menjelaskan mengapa ada pandangan yang membolehkan dan mengapa ada pandangan yang tidak membolehkan. Masing-masing dijelaskan sehingga kemudian umat tercerahkan, arif dan tahu ada beragam pandangan di Islam terkait sebuah persoalan," kata Menag di Jakarta, hari Sabtu (16/1/2019).
Dakwah yang memprovokasi, kata Menag, adalah dakwah yang menyatakan pandangan - pandangannya saja yang paling benar, menjelek-jelekkan kelompok lain dan sejenisnya.
Menteri agama meminta umat Islam tidak terlalu mudah diprovokasi dengan tindakan-tindakan oknum tidak bertanggung jawab seperti sandal dengan Allah, kejadian terompet yang menggunakan cover Alquran dan lainnya.
"Inilah bentuk-bentuk dakwah yang harus kita hindari karena dakwah-dakwah seperti itulah yang menyebabkan Islam di Indonesia ini selalu disibukkan dengan hal-hal yang tidak produktif," kata Menag
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:
فَإِنَّ الرِّفْقَ لَمْ يَكُنْ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ نُزِعَ مِنْ شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan memperkeruhnya”(HR. Abu Dawud, sanad: shahih).
Hadits ini menjelaskan bahwa kelembutan akan menjadi penghias bagi sesuatu, sedangkan hilangnya kelembutan membuat suatu perkara menjadi tidak lagi indah. Di antara perkara yang membutuhkan kelembuatan adalah dakwah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah contoh terbaik dalam berdakwah, beliaulah manusia yang memiliki kelembutan kepada setiap orang yang didakwahinya. Hari ini banyak di antara manusia yang menolak dakwah Islam, salah satu sebabnya adalah hilangnya kelembutan dalam dakwah tersebut. Islam ibarat mutiara sedangkan kelembutan adalah bak bungkusnya. Ketika bungkusnya tak lagi indah dan kotor, maka jangan pernah berharap manusia mau membukanya. Membuka saja tidak, apalagi menerima mutiara yang ada di dalamnya. Seseorang ketika berdakwah hendaknya memperhatikan akhlak yang mulia ini, janganlah ia sampai gegabah dan bertindak kasar dalam dakwahnya. Allah Ta’ala telah menjelaskan tiga metode dasar dakwah yang salah satu diantaranya adalah dengan hikmah. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An Nahl : 125).
Dakwah merupakan amalan yang begitu mulia dan ia adalah jalan yang ditempuh oleh para Nabi dan Rasul. Inilah jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (QS.Yusuf : 108)
Jangan sampai dakwah yang mulia ini dikotori dengan kekerasan, ketergesa-gesaan yang akan berakibat penolakan atas sebuah kebenaran yang disampaikan.
Banyak hal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat menjadi contoh bagaimana lembutnya beliau dalam berdakwah. Di antaranya adalah kisah seorang Arab Badui, yang datang dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“bahwa Abu Hurairah berkata, “Seorang ‘Arab badui berdiri dan kencing di masjid, lalu orang-orang ingin mengusirnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lihatlah kelembutan beliau, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap membiarkan Arab Badui tersebut menyelesaikan hajatnya, kemudian barulah beliau menyuruh para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk membersihkan bekas air kencingnya. Kelembutan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bukan tanpa alasan, jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan orang-orang mengusirnya maka bisa jadi air kencing akan lebih banyak menyebar di lanatai masjid dan Nabi memberikan uzur kepada Arab Badui tadi dikarenakan ketidak tahuannya. Selain itu, agama ini datang dengan berbagai kemudahan bukan kesulitan.
Bagaimana dengan model dakwah talafi dewasa ini? Talafi adalah sekelompok orang-orang bergamis, berjenggot, bercelana cingkrang, tapi hobinya tukang ghibah; tukang merusak kehormatan orang atas nama “menjaga agama”, tukang merusak nama baik para da’i dan ulama atas nama “tahdzir”, tukang membid'ah-bid'ahkan kaum muslimin yang berbeda pendapat & ijtihad dengannya tanpa kaedah yang benar; tukang memvonis-vonis orang, tukang mencaci maki orang; gampang nyesat-nyesatin orang; tukang memecah belah dan merusak ukhuwah serta persatuan umat. Itulah Talafi. gaya berpenampilannya islami, tapi tabiatnya tabiat Yahudi. Umat islam diluar kelompoknya, yang tidak satu pengajian dengannya, dia anggap Ahli Bid'ah, Hizbiyyah, khawarij, Ahli Neraka, dll. Itulah Talafi. ciri mereka (baik ustadznya maupun para pengikutnya) gampang memvonis orang tanpa rasa bijak dan rahmat (kasih sayang).
Singkat kata, dakwah talafi itu adalah orang-orang yang terlihat nyunnah dalam berpenampilan, tapi tidak sesuai sunnah dalam ber-akhlaq dan berprilaku keseharian.
Sedangkan dakwah yang mengikuti ulama salafus shaleh adalah kaum asing di akhir zaman yang istiqomah menteladani Rasulullah dan Sahabat-Nya (menteladani Aqidahnya dan juga akhlaqnya). Jadi, Dakwah Salafiyah itu Aqidahnya Ahlus Sunnah; Ahkhlaqnya Akhlaqul Karimah. Cara dakwah dan prilakunya sesuai Sunnah. Saling menasehati dalam kebenaran, berlapang dada dalam perbedaan (furu’iyyah), murah senyum dan cinta kepada sesama ikhwan. Sedangkan dakwah ala talafi, rata-rata aqidahnya mirip khawarij. Ditambah akhlaqnya buruk dan suka memecah belah.
Singkatnya, 2019 tahun ini disamping sebagai tahun politik yang menjadi salah satu penyebab dakwah kaum talafi (dakwah provokatif) juga saatnya umat islam mengganti pengajian yang ustadznya suka menebar kebencian, cacian dan memecahbelah umat islam khususnya menuju dakwah yang lemah lembut, arif dan bijaksana sebagaimana yang diajarkan Rasulullah dan para sahabatnya.
Salah satu contoh pengajian yang harus diganti adalah ustadz (penceramah) pengajian yang pernah viral dalam pemberitaan yang menyebut adanya pembubaran pengajian Khalid Basalamah di Sidoarjo diklarfikasi oleh Gerakan Pemuda Ansor Sidoarjo. Menurut Ketua GP Ansor Sidorja Riza Ali Faizin, pihaknya tak pernah membubarkan pengajian yang berlokasi di Masjid Shalahuddin Perum Puri Surya Jaya itu. Yang dilakukan ialah meminta pencermahanya, Khalid Basalamah, diganti dengan yang lain.
Permintaan untuk mengganti penceramah menurut Riza karena pada saat melakukan ceramah, Khalid Basalamah sering menjelek-jelekan umat Islam yang lain. Tak hanya itu, ia juga memprovokasi sesama umat dan rentan menimbulkan konflik.
Seperti diberitakan islamindonesia.id September silam, kedatangan Khalid Basalamah juga pernah ditolak oleh masyarakat Gresik. Tokoh yang kerap tampil ceramah di media-media seperti YufidTV, Radio Rodja, dan WesalTV itu juga dipersoalkan oleh GP Ansor Kabupaten Gresik karena isi ceramahnya diketahui sarat nada kebencian dan memecah-belah kerukunan umat.
Tak hanya di Gresik, penolakan serupa terhadap Khalid Basalamah, juga dilakukan GP Ansor dan Banser Kabupaten Lamongan. Mereka bersikeras menolak kedatangan Khalid Basalamah yang rencananya akan memberikan ceramah di Lamongan.
Alasannya, isi ceramah Khalid dinilai sangat berbahaya, provokatif, mengadu domba umat, bahkan merongrong NKRI. Jadi bukan saja merusak ukhuwah umat beragama, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kelangsungan NKRI. Sudah saatnya 2019 ganti dan jauhi pengajian yang provokatif. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Sabtu, 02 Maret 2019
NON MUSLIM DI KOMUNITAS ISLAM
غير المسلمين بدل "الكفار"
ومن الجدال بالتي هي أحسن، المطالب به المسلمون، وخصوصا في عصر العولمة: ألا نخاطب المخالفين لنا باسم الكفار، وإن كنا نعتقد كفرهم. ولاسيما مخالفونا من أهل الكتاب.
وذلك لأمرين:
أولهما: إن كلمة (كفار) لها عدة معان، بعضها غير مراد لنا يقينا، من هذه المعاني: الجحود بالله تعالى وبرسله وبالدار الآخرة، كما هو شأن الماديين الذين لا يؤمنون بأي شيء وراء الحس، فلا يؤمنون بإله ولا بنبوة ولا بآخرة.
ونحن إذا تحدثنا عن أهل الكتاب لا نريد وصفهم بالكفر بهذا المعنى، إنما نقصد أنهم كفار برسالة محمد وبدينه. وهذا حق، كما أنهم يعتقدون أننا كفار بدينهم الذي هم عليه الآن وهذا حق أيضا.
________________________________
*والثاني: أن القرآن علمنا ألا نخاطب الناس - وإن كانوا كفارًا - باسم الكفر؛ فخطاب الناس - غير المؤمنين - في القرآن، إما أن يكون بهذا النداء (يا أيها الناس) أو (يا بني آدم) أو (يا عبادي) أو (يا أهل الكتاب).*
________________________________
ولم يجئ في القرآن خطاب بعنوان الكفر إلا في آيتين: إحداهما خطاب لهم يوم القيامة: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} (التحريم: 7).
والأخرى قوله تعالى: { قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ.لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ.وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ.وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ.لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ} (الكافرون: 1-6). فكان هذا خطابا للمشركين الوثنيين الذين كانوا يساومون الرسول الكريم على أن يعبد آلهتهم سنة ويعبدوا إلهه سنة، فأرادت قطع هذه المحاولات بأسلوب صارم، وبخطاب حاسم، لا يبقي مجالا لهذه المماحكات، فأمر الرسول أن يخاطبهم بهذه الصورة القوية، بما فيها من تكرار وتوكيد، ومع هذا ختمت السورة بهذه الآية التي تفتح بابا للسماحة مع الآخر، حين قالت: { لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ }.
ولهذا آثرت من قديم أن أعبر عن مخالفينا من أهل الأديان الأخرى بعبارة (غير المسلمين). وأصدرت من قديم كتابي "غير المسلمين في المجتمع الإسلامي". وقد طبع مرات ومرات، وترجم إلى عدة لغات
*Non-Muslim pengganti (sebutan) "orang kafir"*
Dan diantara bantahan yang terbaik, dimaksudkan untuk umat Islam, terutama di era globalisasi: untuk tidak menyebut panggilan nama "kafir", meskipun kami meyakini kekafiran mereka. Terutama para penentang dengan buku ini.
Karena dua alasan:
Yang pertama adalah bahwa kata "orang kafir" memiliki beberapa makna, beberapa di antaranya tidak dimaksudkan untuk kita. Makna kafir ini adalah: Kesombongan dengan membantah Allah, para utusan-Nya dan negeri akhirat, seperti halnya para materialis yang tidak percaya pada apa pun di luar nalar. Maka mereka tidak percaya ketuhanan, kenabian dan alam akhirat.
Jika kita berbicara tentang ahli kitab, kita tidak ingin menggambarkan mereka sebagai orang kafir dalam pengertian ini, tetapi kita maksudkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengingkari risalah dakwah Nabi Muhammad dan agamanya. Ini kenyataan, karena mereka pun meyakini bahwa kita adalah orang-orang kafir (mengingkari) agama mereka sebagaimana adanya sekarang dan ini juga benar.
________________________________
*Yang kedua adalah bahwa Al-Qur'an mengajarkan kita untuk tidak berbicara kepada orang-orang, meskipun mereka adalah orang kafir, dengan sebutan kafir. Sebutan buat orang-orang yang tidak beriman (non muslim) dalam Al-Qur'an jika ini bentuk seruan memakai kata (يأيها الناس = hai manusia) atau (يا بني أدم = hai anak Adam) atau (يا عبادي = hai hamba-hamba-Ku) atau (يا أهل الكتاب = hai ahli kitab).*
________________________________
Al-Quran tidak diturunkan dalam membahas tentang masalah kekafiran kecuali hanya dalam dua ayat: Salah satunya adalah (firman Allah) yang dikatakan buat mereka (orang-orang kafir) pada Hari Kebangkitan:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} (التحريم: 7).
"Hai orang-orang kafir janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan." (QS. At-Tahrim : 7).
Dan firman Allah lainnya:
(قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 1-6)
Dialog (Firman Allah) ini ditujukan buat kaum musyrikin penyembah berhala yang melakukan tawar-menawar dengan Nabi yang mulia untuk menyembah berhala (tuhan) mereka selama setahun dan mereka pun akan menyembah Tuhannya Nabi (Allah Ta'ala) setahun, dan tujuan untuk memotong perdebatan ini dengan cara yang tepat dan jawaban yang tegas yang tidak memberikan ruang untuk perdebatan ini, maka Nabi diperintahkan untuk menyampaikan kepada mereka suatu gambaran (QS. Al-Kaafiruun) yang kuat ini, dengan pengulangan ayat didalamnya tentang ke-Esa-an (ketauhidan), dan bersamaan dengan surat (Al-Kaafirun) ini ditutup dengan ayat yang membuka pintu kemuliaan dengan orang lain, ketika dia berkata:
{ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ }.
"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 6)
Inilah mengapa saya mengikuti jejak para pendahulu yang mengekspresikan ketidaksepakatan kita terhadap agama-agama lain dengan kata-kata "non-Muslim". Dan saya telah menerbitkan buku terdahulu berjudul :
"غير المسلمين في المجتمع الإسلامي".
"Non-Muslim di komunitas Islam". Sudah dicetak beberapa kali dan diterjemahkan ke beberapa bahasa. Wallahu a'lam
*(Dikutip dari Kitab Manhaj Al-Khithab Ad-Dini Kama Rasmuhu Al-Qur'an oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi)*
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaiakan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Langganan:
Postingan (Atom)