Selasa, 26 Januari 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM PERNIKAHAN SECARA ONLINE

Era globalisasi dan revolusi industri merupakan sebuah fenomena yang sangat luar biasa. Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan canggih menjadikan semua hal menjadi instan, mulai dari transportasi, telekomunikasi, dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serba teknologi.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan berkembang ada fenomena yang unik yaitu pernikahan lewat video call, bentuknya pun bisa beragam, ada yang antara wali dengan kedua mempelai terpisah, ada pula yang antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuannya saling berjauhan. Secara keseluruhan, dalam masalah tersebut, salah satu atau beberapa unsur pelaku akad tidak saling bertemu dalam satu tempat.

Sebagaimana yang kita ketahui, salah satu rukun dan syarat pernikahan dalam Islam adalah suatu hal yang wajib dipenuhi, sebab memengaruhi sah atau tidaknya pernikahan menurut Islam. Adapun rukun dan syarat nikah terdiri dari lima hal, yaitu:

1. Ada mempelai pria

2. Ada mempelai wanita

3. Ada wali nikah

4. Dua orang saksi

5. Dilakukannya ijab Kabul

Dalam Pasal 2: 1 Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, “Perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum agama dan keyakinannya masing-masing”. Dengan demikian, determinan valid / absennya suatu pernikahan muslim dapat ditelusuri dari ketentuan hukum Islam (fiqh Islam) tentang hal tersebut. Dalam ketentuan fiqih terkenal yang kemudian diadopsi dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), secara singkat dapat dikatakan bahwa perkawinan itu sah jika telah memenuhi 5 rukun nikah (calon suami, calon istri, wali, dua saksi, dan ijab qobul).

Salah satu diantara syarat sah nikah adalah adanya wali dan saksi dalam pernikahan. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama. (Fiqh Sunnah, 2/56)

Dan ini pendapat yang benar, berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ

"Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi orang yang adil." (HR. Ibnu Hibban 4075 & ad-Daruquthni 3579)

Kemudian ulama berbeda pendapat, apakah posisi kedua saksi harus berada di satu majlis yang sama secara hakiki bersama wali dan pengantin lelaki? Ataukah mereka boleh terpisah, selama masih memungkinkan untuk dianggap satu majlis secara hukum.

Mengingat ini masalah baru yang belum ada di masa silam, kita tidak bisa mencarinya di buku fiqh klasik. Jika mengacu pada buku fiqh klasik, para ulama mempersyaratkan, semua yang terlibat dalam akad (Pengantin, wali dan dua saksi), harus ada secara bersamaan di majlis akad. Karena di masa silam, jika tidak satu majlis akad, mereka tidak bisa melakukan komunikasi langsung. Komunikasi hanya melalui surat dan tentu saja itu tertunda.

Al-Buhuti dalam Kasyaf al-Qana’ menyatakan,

وإن تراخى القبول عن الإيجاب صح ما داما في المجلس ولم يتشاغلا بما يقطعه عرفا ولو طال الفصل

"Jika qabul tertunda sesaat, sehingga tidak langsung nyambung dengan ijab, hukumnya sah, selama dalam satu majlis. Dan pengantin tidak melakukan aktivitas yang memutus kesinambungan ijab qabul, meskipun ada jedah agak lama." (Kasyaf al-Qana’, 3/148)

Setelah ada fasilitas komunikasi modern, ulama berbeda pendapat, apakah persyaratan satu majlis ini tetap berlaku, ataukah boleh terpisah selama mereka bisa melakukan komunikasi secara langsung. Ada dua pendapat dalam hal ini,

[1] Harus satu tempat secara hakiki

Ini keputusan yang dikeluarkan Majma’ al-Fiqh al-Islami. Keputusan no. 52 (3/6) tentang hukum melakukan akad dengan media komunikasi zaman sekarang. Ada beberapa akad yang berlaku dan sah dilakukan secara jarak jauh, seperti jual beli. Selama memenuhi konsekuensi transaksi.

Kemudian Majma’ menyebutkan pengecualian,

إن القواعد السابقة لا تشمل النكاح لاشتراط الإشهاد فيه

"Bahwa kaidah-kaidah tentang akad jarak jauh di atas, tidak berlaku untuk akad nikah. Karena disyaratkan harus ada saksi." (Qararat Majma’ al-Fiqh al-Islami)

[2] Boleh tidak satu tempat, selama mereka bisa komunikasi langsung

Selama saksi bisa memastikan bahwa orang yang bersangkutan adalah wali atau pengantin lelaki, dan dia yakin tidak ada penipuan dalam komunikasi jarak jauh ini, dan semua dilakukan dengan lancar tanpa terputus maka sudah bisa dihukumi satu majlis. 

Ini merupakan pendapat Dr. Abdullah al-Jibrin. Dalam syarh beliau untuk Umdatul Fiqh, beliau mengatakan,

ويجوز على الصحيح إجراء عقد النكاح مع تباعد اماكن تواجد الزوج والولي والشهود ، وذلك عن طريق الشبكة العالمية ( الإنترنت) ، فيمكن لأطراف العقد والشهود الاشتراك جميعاً في مجلس واحد حكماً وإن كانوا متباعدين في الحقيقة ، فيسمعون الكلام في نفس الوقت ، فيكون الإيجاب ، ويليه فوراً القبول ، والشهود يرون الولي والزوج ، ويسمعون كلامهما في نفس الوقت

"Boleh melakukanakad nikah, sekalipun di posisi berjauhan, yang melibatkan pengantin pria, wali, dan saksi. Dan itu dilakukan melalui internet. Sehingga memungkinkan untuk dilakukan akad dan persaksian dalam waktu bersamaan, dan dihukumi (dianggap) satu majlis.. Meskipun hakekatnya mereka berjauhan. Mereka bisa saling mendengar percakapan dalam satu waktu. Ijab pertama, lalu langsung disusul dengan qabul. Sementara saksi bisa melihat wali dan pengantin lelaki. Mereka bisa menyaksikan ucapan keduanya dalam waktu yang sama. Akad ini shahiih."

Lalu beliau menegaskan,

فهذا العقد صحيح، لعدم إمكان التزوير أو تقليد الأصوات

"Akad ini sah, karena tidak mungkin ada penipuan atau tiru-tiru suara…"

Di Indonesia, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa bahwa akad nikah melalui telepon itu sah, dengan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Alasan yang digunakan adalah hadits riwayat Ummu Habibah. Selain itu, alasan lainnya adalah tidak adanya dalil qath’i yang mengatur tentang teknis akad nikah sehingga masalah teknis tersebut adalah masalah ijtihadiyah. Pengertian satu majelis, bukan mutlak harus majelis makni (satu tempat), akan tetapi juga bisa diartikan sebagai majelis zamani (satu waktu).

Namun apakah akad nikah yang dilakukan tanpa berjabat tangan yang dilakukan antara wali dan mempelai pria hukumnya sah, maka jawabannya adalah tetap sah. Sebab jabat tangan antara keduanya tidak termasuk dari rukun dan syarat nikah yang menjadi standar keabsahan akad nikah.  

فَصْلٌ فِي أَرْكَاِن النِّكَاِح وَغَيْرِهَا  (أَرْكَانُهُ) خَمْسَةٌ (زَوْجٌ وَزَوْجةٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ وَصِيغَةٌ. وشُرِّطَ فِيهَا) أَيْ فِي صِيغَتِهِ (مَا) شُرِّطَ (فِي) صِيغَةِ (الْبَيْعِ) وَقَدْ مَرَّ بَيَانُهُ وَمِنْهُ عَدَمُ التَّعْلِيقِ وَالتَّأْقِيتِ. 

“Pasal tentang Rukun nikah dan selainnnya. Rukun nikah ada lima (5), yaitu calon suami, calon istri, wali, dua saksi dan shighat. Dalam shigat nikah disyaratkan hal-hal yang disyaratkan dalam shighat akad jual beli, dan penjelasannya sudah lewat.” Di antaranya tanpa menggantungkan akad pada sesuatu yang lain (ta’liq) dan tanpa pembatasan waktu (ta’qit).” (Abu Yahya Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab bi Syarhi Manhajit Thullab pada Hasyiyatus Syekh Sulaiman Al-Jamal, [Beirut, Darul Fikr: tth.], juz IV, halaman 133).

Dalam tradisi yang berlaku selama ini, umumnya akad nikah dilakukan dengan jabat tangan keduanya. Dalam Islam, jabat tangan atau salaman merupakan perbuatan yang sangat disunnahkan (sunnah muakkadah) bahkan disepakati kesunnahannya untuk dilakukan di setiap pertemuan, sejalan dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ، إلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا.  

“Tidaklah dua orang Muslim berjumpa kemudian saling berjabat tangan melainkan keduanya mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum mereka berpisah.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Al-Hafizh Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi meriwayatkannya dari Al-Barra’. Hadits hasan). (Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Beirut: Darul Ma’rifah: 1379 H], juz XI, halaman 55).

Selain itu bersalaman juga dapat menumbuhkan mahabbah atau rasa cinta dan menjadi kesempurnaan penghormatan ucapan salam.

اَلْمُصَافَحَةُ الْأَخْذُ بِالْيَد وَهُوَ مِمَّا يُولِدُ الْمَحَبَّةَ 

“Mushafahah adalah berjabat tangan dan hal itu termasuk perbutan yang dapat melahirkan rasa cinta.” (Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, [Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2001 M], juz XXII, halaman 392). 

مِنْ تَمَامِ التَّحِيَّةِ الْأَخْذُ بِالْيد) أَيْ إِذَا لَقِيَ الْمُسْلِمُ الْمُسْلِمَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَمِنْ تَمَامِ السَّلَامِ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ فِي يَدِهِ فَيُصَافِحُهُ فَإِنَّ الْمُصَافَحَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ 

“Maksud sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Di antara kesempurnaan penghormatan kepada orang lain adalah berjabat tangan’, adalah ketika seorang muslim bertemu muslim lain lalu mengucapkan salam kepadanya, maka di antara kesempurnaan salamnya adalah dengan meletakkan tangannya kepada muslim yang dijumpainya lalu berjabat tangan. Sebab berjabat tangan hukumnya sunnah muakkadah.” (Muhammad Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadi Syarh al-Jami’is Shagir min Ahaditsil Basyirin Nadzir, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M], ed. Ahmad Abdissalam, juz IV, halaman 15)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Status hukum pernikahan melalui media telepon merupakan suatu hal yang sah. Pernikahan dapat dilaksanakan dengan menggunakan media telepon atau video call, karena selain dapat mendengarkan suaranya dengan jelas, antara ijab dan qabul serta kedua saksi juga dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa yang melakukan ijab dan qabul itu adalah orang-orang yang berakad. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 25 Januari 2021

KAJIAN TENTANG MAKNA "SYAIUN LILLAH" DALAM TAWASUL SEBELUM MEMBACA FATIHAH

Pada dasarnya penting sekali mengetahui dan memahami arti sebuat lafazh atau kalimah yang biasa diamalkan ataupun dibacakan oleh kita, agar maksud dan tujuan yang diamalkan atau dibacakan tersebut lebih mengarah pata tujuan yang haqiqi (benar). Termasuk diantaranya mengetahui dan memahami makna dalam lafazh "شيء لله" saat tawasul sebelum membaca fatihah.

Dalam setiap acara tahlilan, dhiba'an dan barzanji seringkali kita jumpai seorang yang berlaku sebagai pemimpin berkata شيء لله الفاتحة. Entah kalimat itu disebutkan sebelum membaca al-Fatihah sebagai agenda pembukaan atau dibacakan setelah menyebutkan rentetan nama arwah yang akan do'akan. 

Secara bahasa klimat شيء لله الفاتحة adalah dua kalimat yang berbeda. kalimat pertama terdiri dari شيء لله yang bermakna bawa"Semua dilakukan karena Allah" dan kalimat kedua adalah الفاتحة yaitu al-Fatihah sebagai nama surat pembuka al-Qu'an. 

Oleh karena itu, jika digabungan maka kalimat شيء لله الفاتحة dapat diartikan bahwa 'semua yang kita lakukan hanyalah karena Allah, (begitu juga dengan bacaan) al-fatihah'. Sebenarnya tidak ada anjuran untuk mengucapkan kalimat tersebut, juga tidak ada larangan untuk meninggalkannya. 

Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa kalimat "شيء لله الفاتحة" hanyalah sebuah tradisi, 

يا فلان شيء لله غير عربية لكنها من مولدات أهل العرف

"Hai Fulan, kalimat "شيء لله" bukanlah bahasa arab, melainkan lahir dari sebuah tradisi." (Bughyah Al-Mustarsyidin hal.297). 

Sedangkan sebuah tradisi bisa dijadikan hukum dengan catatan tidak bertentangan dengan Syari'at Islam yang berlandaskan Al Quran dan Hadits. Demikian dalam qaidah fiqhiyyah disebutkan, العادة محكمة Kebiasaan atau tradisi itu bisa dijadikan landasan hukum .

معني قول بعض الناس عفب الدعاء شئ لله لهم الفاتحة...و معني شئ لله مطلوبنا ومقصودنا شئ لله اي يستمد لوجه الله ابتغاء واستمدادا لا لغيره ولا من غيره ففيها اعتراف بان الذي يسوق المطالب ويحقق المأرب هو الله تعالي الخ

*Makna Syaiun Lillahi Sebelum Bacaan Al-Fatihah*

"Dan makna syaiun lillaahi adalah tujuan dan kehendak kami sesuatu dari Allah artinya ia memohon pada Dzat Allah dengan mengharap ridho dan bantuan hanya dari Allah, tidak pada dan dari selain Allah, didalamnya mengandung pengakuan bahwa yang merealisasikan keinginan-keinginan dan mewujudkan kebutuhan-kebutuhannya adalah Allah Ta’ala semata." (Qurrah al-‘Ain Bi Fataawa as-Syaikh Isma’iil az-Zain Hal. 211). 

Terkait dengan tawasul kenapa harus dengan membaca surat al-Fatihah? Hal itu dijelaskan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan dengan rinci hal-hal terkait tawasul yang perlu diketahui agar tidak salah dalam memahami praktik tawasul yang kerap diamalkan di kalangan masyarakat berpaham Ahlussunah wal Jamaah sebagai berikut,   

أولا: أن التوسل هو أحد طرق الدعاء وباب من أبواب التوجه إلى الله سبحانه وتعالى، فالمقصود الأصلي الحقيقي هو الله سبحانه وتعالى، والمتوسَّل به إنما هي واسطة ووسيلة للتقرب إلى الله سبحانه وتعالى، ومن اعتقد غير ذلك فقد أشرك   

“Pertama, tawasul adalah salah satu cara doa dan salah satu pintu tawajuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tujuan hakikinya itu adalah Allah. Sedangkan sesuatu yang dijadikan tawasul hanya bermakna jembatan dan wasilah untuk taqarrub kepada-Nya. Siapa saja yang meyakini di luar pengertian ini tentu jatuh dalam kemusyrikan,” (Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 123-124).   

Adapun perihal hukum pembacaan atau pengiriman Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, ulama berbeda pendapat, yakni ulama Mazhab Maliki dan ulama Mazhab Syafi‘i. Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Syekh Ihsan M Dahlan Jampes asala Kediri sebagai berikut,  

فائدة: هل تجوز قراءة الفاتحة للنبي صلى الله عليه وسلم أولا؟ قال الأجهوري: لا نص في هذه المسئلة عندنا: أي معاشر المالكية، والمعتمد عند الشافعية جواز ذلك فنرجع لمذهبهم فلا يحرم عندنا والكامل يقبل زيادة الكمال قاله الشيخ أحمد تركي في حاشية الخرشي

“Informasi: Apakah boleh atau tidak membaca (mengirim) Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam? Al-Ajhuri mengatakan, masalah ini menurut kami (kalangan Malikiyah) tidak ada nashnya. Sementara pendapat yang muktamad di kalangan Syafi‘iyah membolehkannya (kirim Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam atau lainnya). Kami merujuk ke mazhab mereka sehingga hal itu tidak haram bagi kami. Orang sempurna tetap menerima peningkatan kesempurnaan sebagaimana dikatakan Syekh Ahmad Tarki dalam Hasyiyah Al-Kharasyi.” (Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 14).   

Dari keterangan ini, kita dapat memahami bahwa ulama Ahlussunnah wal Jama'ah pada prinsipnya meyakini praktik tawasul sebagai do'a yang diikhtiarkan. Dengan pemahaman seperti itu, masyarakat dapat mengamalkan ‘kirim’ Surat Al-Fatihah, shalawat, atau surat-surat lainnya dalam Al-Qur'an untuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam atau untuk muslimin dan muslimat secara umum. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 24 Januari 2021

MENOLONG YANG TELAH WAFAT DENGAN DOA DAN ISTIGHFAR


Dalam kitab Syu'bul Iman dijelaskan,

أنَّ أهْلَ القُبُورِ يستَبْشِرُوْن ويَفرَحُوْن بزِيارَةِ أقَاربِهم وأصْدِقائِهم وبدُعائِهم وبإهْدائِهم الأَجْرَ والثَّوَابَ، ويَنْتَظِرُوْن مَن لم يَزُرْهم مِن أَقاربِهم، قال النَّبيّ الكريمُ صلّى الله تعالى عليه وآله وسلّم: «ما الْمَيّتُ في القَبْرِ إلاّ كالْغَرِيْق الْمُتَغَوِّثِ يَنتَظِرُ دَعْوَةً تَلحَقُه مِن أبٍ أوْ أُمٍّ أوْ أخٍ أوْ صَدِيقٍ فإذا لَحِقَتْه كانَتْ أحَبَّ إليه مِن الدُّنيا ومَا فيها وإنَّ اللهَ عزّ وجلّ لَيُدخِلُ على أهْلِ القُبُورِ مِن دُعاءِ أهْلِ الأَرْضِ أمْثَالَ الجِبالِ وإنَّ هَديَّةَ الأَحْيَاءِ إلى الأَمْوَاتِ الاِسْتِغفارُ لهم» 
أخرجه البيهقي في "شعب الإيمان"، ٦/٢٠٣، (٧٩٠٥).

"Bahwa ahli kubur bergembira dan bersuka cita dengan ziarahnya para kerabat, teman sebab doa mereka dihadiahkan pahala dan ganjarannya untuknya, dan mereka (ahli kubur) menunggu mereka yang belum berziarah dari kerabat-kerabatnya.  Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada perumpamaan mayit di kuburnya kecuali seperti orang tenggelam yang ingin ditolong. Ia menunggu doa yang diperuntukkannya dari ayah atau dari Ibu, dari saudara atau dari teman. Jika telah didapatkan (doa yang diperuntukkannya) dia (mayit) lebih menyukainya daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya. Maka sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan memasukkan kepada ahli kubur atas doa ahli bumi (yang hidup) seperti gunung, meski hadiah doa yang hidup kepada yang telah meninggal hanya berupa istighfar (permohonan ampun) untuk mereka." (Ditakhrij Imam Al-Baihaqi dalm Syu'bul Iman juz 6 hal. 203)

Dijelaskan pula dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawi,

قال النووي في الأذكار أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويصلهم ثوابه اه روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال ما الميت في قبره إلا كالغريق المغوث بفتح الواو المشددة أي الطالب لأن يغاث ينتظر دعوة تلحقه من ابنه أو أخيه أو صديق له فإذا لحقته كانت أحب إليه من الدنيا وما فيها

“Imam Nawawi berkata dalam kitabnya, Al-Adzkar, ‘Para Ulama sepakat bahwa doa pada orang yang meninggal, bermanfaat dan sampai pada mereka‘ diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa sesungguhnya beliau bersabda, ‘Tidak ada perumpamaan mayit di kuburnya kecuali seperti orang tenggelam yang ingin ditolong, mayit menunggu doa yang ditujukan padanya baik dari anaknya, saudaranya atapun temannya. Ketika doa itu telah tertuju padanya, maka doa itu lebih ia cintai daripada dunia dan seisinya” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayat al-Zain, hal. 281). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 23 Januari 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMINUM KOPI DAN MEROKOK

Hukum asal dari meminum kopi adalah mubah, sebab hukum asal dari segala sesuatu adalah halal, karena pada hakekatnya semua yg diciptakan Alloh adalah untuk kemanfaatan manusia, sebagaimana firman Alloh dalam surat al an’am;

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ

Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya “. (Q.S. Al An’am :145)

Namun, hukum ini dapat berubah karena hal2 diluar kopi tersebut, seperti karena kondisi orang yg meminumnya. Semisal, orang yg menderita suatu penyakit, dan salah satu pantangannya adalah tidak boleh minum kopi, maka hukum minum kopi baginya bisa menjadi makruh atau bahkan haram tergantung dari seberapa besar efek negatif setelah meminumnya, dan bisa juga hukumnya berubah menjadi sunat apabila dengan minum kopi akan menjadikan pikirannya lebih berkonsentrasi saat belajar atau bekerja, bahkan bisa menjadi wajib, semisal bagi orang yg belum mengerjakan sholat tapi dia ngantuk berat, maka hukum meminum kopi menjadi wajib apabila cara itu dengan meminum kopi ia tidak mengantuk lagi dan bisa mengerjakan sholat.

Intinya, hukum meminum kopi dapat berubah darihukum asalnya, yaitu mubah tergantung dari kondisi orangnya, waktunya dan tujuannya.

Disebutkan dalam Kitab Al-Fatawi Al-Kubro Al-Fiqhiyah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami juz 4 hal. 38-39

( باب الشرب والتعزير ) ( سئل ) رحمه الله عن جماعة يشربون القهوة مجتمعين لا على وجه منكر بل يذكرون الله تعالى ويصلون على النبي صلى الله عليه وسلم بسبب أنها تعين على السهر في الخير فهل يحرم شربها لقول بعض إنها مسكرة أم لا وهل يعمل بقول الجم الغفير أنها غير مسكرة ولا مخدرة أم بقول عدد قليل بخلافه وهل يعمل بقول مستعملها بأنها غير مسكرة ولا مخدرة أم بقول غيرهم وهل تقاس على غيرها مما يحرم أو لا ؟ ( فأجاب ) بأنه يحل شربها ؛ لأن الأصل في الأعيان الحل ؛ لأنها مخلوقة لمنافع العباد ولآية ( قل لا أجد في ما أوحي إلي محرما ) ؛ ولأنها غير مسكرة ولا مخدرة فقد أخبرني جمع ممن أثق بهم” – ص 39 -” من طلبة العلم ممن استعملها أنها لا تسكر ولا تخدر ويقدم إخبار الجم الغفير على إخبار العدد القليل ، وإخبار مستعملها على إخبار غيرهم ولا يصح قياسها على غيرها في التحريم إلا إن وجد فيها علة حكم المقيس عليه من إسكار أو تخدير أو إضرار ، وقد تقدم أن ذلك غير موجود فيها ثم رأيت فتوى لبعض علماء اليمن وهو القاضي أحمد بن عمر المزجد اليمني أنها لا تغير العقل ، وإنما يحصل بها نشاط ، وروحنة وطيب خاطر لا ينشأ عنه ضرر بل ربما كان معونة على زيادة العمل فيتجه أن لها حكمه فإن كان ذلك العمل طاعة فتناولها طاعة أو مباحا فمباح فإن للوسائل حكم المقاصد ا هـ . 

(Bab minuman dan hukuman) (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ra ditanya) tentang sekelompok peminum kopi secara bersama-sama tidak untuk kemungkaran, tetapi mereka mengingat Alloh dan bersholawat kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam karena dengan meminum kopi menghilangkan kemalasan dalam melakukan kebaikan, maka apakah haram meminumnya seperti sebagian orang mengatakan kopi memabukkan atau tidak? Apakah boleh mengikuti perkataan Al-Jim Al-Ghofir bahwa kopi tidak memabukkan dan tidak berbahaya? Ataukah mengikuti perkataan kopi tidak memabukkan jika sedikit? Dan apakah boleh mengikuti perkataan boleh meminumnya karena tidak memabukkan dan tidak mmbahayakan? Apakah kopi haram atau tidak?

(Maka Dijawab) Meminum kopi adalah halal, sebab hukum asal dari segala sesuatu adalah halal, karena pada hakekatnya semua yg diciptakan Alloh adalah untuk kemanfaatan manusia, sebagaimana firman Alloh dalam surat al an’am;

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ

Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya “. (Q.S. Al An’am :145)

Karena sesungguhnya kopi tidak memabukkan dan tidak membahayakan dan sungguh aku telah memilih dari kebanyakan pendapat mereka yg kuat.”. – Hal. 39 -” Dari para penuntut ilmu termasuk orang yg meminumnya sesungguhnya kopi tidak memabukkan atau membahayakan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya oleh Al-Jim Al-Ghofir jika dalam jumlah yg sedikit dan menggunakan penjelasan yg lain tidaklah sah mengqiyaskan (menyamakan) penjelasan yg lainnya untuk mengharamkan kecuali didapat alasan hukum qiyas karena memabukkan, membahayakan dan merusakkan. Sungguh di awal tidak ditemukan penjelasan mengenai hal itu. Kemudian aku melihat fatwa dari beberapa ilmuwan Yaman menilai Ahmed bin Umar Al-Mazjadi Al-Yamani sesungguhnya kopi itu tidak merubah pikiran, tetapi menghasilkan semangat dan spiritualitas dan tidak menimbulkan bahaya tetapi dimungkinkan membantu untuk meningkatkan kinerja maka hikmah yg dihadapinya, jika itu adalah amal ketaatan maka ketaatan yg diperolehnya atau perbuatan yg diperbolehkan maka dibolehkan karena suatu pertanyaan berarti tergantung hukum tujuannya.

Dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamiyah Wa Adillatuh Imam Wahbah Az-Zuhaili juz 6 hal. 166-167

القهوة والدخان : سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة فاجاب للوسائل حكم المقاصد فان قصد للاعانة علي قربة كانت قربة او مباح فمباحة او مكروه فمكروهة او حرام فمحرمة. وأيده بعض الحنابلة علي هذا التفصيل وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهي ويجته حل شرب الدخان والقهوة. والأولي تركها لكل ذي مروءة (الفقه الاسلامي وأدلته وهبة الزحيلي ج 6 ص 166-167)

“Kopi dan rokok : Al-Abab As-Shafi’i ditanya tentang masalah kopi. Maka dia menjawab pertanyaan tentang kopi berarti tergantung hukum tujuan yg dimaksud. Jika dengan kopi bertujuan untuk membantu taqorrub (mendekatkan diri kepada Alloh) maka hukumnya taqorrub, atau untuk menolong hal yg mubah maka hukumnya mubah, untuk menolong hal yg makruh maka hukumnya makruh, untuk menolong hal yg haram maka hukumnya haram. Dia didukung oleh beberapa pendapat ulama Hambali pada penjelasan ini, Syeikh Mar’i bin Yusuf Al-Hanbali pemilik kitab Ghoyah Al-Muntaha mengatakan HALAL MENGHISAP ROKOK DAN MEMINUM KOPI. Yang paling utama untuk meninggalkannya (meminum kopi dan merokok) tergantung masing-masing individu.” (Al-Fiqh Al-Islamiyah Wa Adillatuhu Wahbah Az-Zuhaili juz 6 hal. 166-167)

Dalam Kitab Tadzkiirun Naas hal 177 dan kitab At-Tadzkir Al-Musthafa li Aulaadi Al-Musthofa Wa Ghairohum Min Man Ijtabaahullooh Wasthofa karangan Alhabib Abu Bakar al-Atthas bin Abdullah bin alwy bin Zain Alhabsyi hal. 117 atau di hal. 119 beda percetakan beda nomor

هذه هي الصوفية في حضرموت – للشيخ علي بابكر (ص: 56) وذكر رضي الله عنه عن شيخه الحبيب أبي بكر بن عبد الله العطاس أنه قال : كان السيد أحمد علي بحر القديمي يجتمع مع رسول الله يقظة ، فقال ك يا رسول الله أريد أن أسمع منك حديثاً بلا واسطة . فقال ك صلى الله عليه وسلم أحدثك بثلاثة أحاديث : الأول ، ما زال ريح قهوة البن في فم الإنسان تستغفر له الملائكة ، الثاني ، من اتخذ سبحة ليذكر الله بها كتب من الذاكرين الله كثيراً ، إن ذكر بها أو لم يذكر ، الثالث، من وقف بين يدي ولي لله حي أو ميت فكأنما عبد الله في زوايا الأرض حتى يتقطع إرباً أربا

قال سيدي رضي الله عنه : وكان الحبيب أبو بكر بن عبد الله العطاس يقول : إن المكان الذي يُترك خالياً يسكنون فيه الجن ، والمكان الذي تفعل به القهوة لا يسكنونه الجن ولا يقربون

Dalam As-Shufiyah Fii Hadramaut oleh Syeikh Ali Baabkar hal. 56 telah menyebutkan Alhabib Ahmad bin Hasan Al-Aththos dari Alhabib Abu Bakar bin Abdulloh Al-Aththos sesungguhnya beliau berkata, ‘Adalah Syid Ahmad bin Ali Al-Qodimi bertemu dengan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa salam dalam keadaan terjaga. Maka beliau berkata, ‘Wahai Rosululloh aku ingin mendengarkan sebuah hadits darimu langsung dengan tanpa perantara.’ Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa salam bersabda, “Aku akan mengajarkanmu tiga hadits :

1. Selama bau biji kopi ini masih tercium aromanya dimulut seseorang maka selama itu pula para malaikat beristighfar (memintakan ampunan) untukmu

2. Barang siapa yg menyimpan tasbih untuk dibuat berdzikir maka Allah akan mencatatnya sbg orang yg banyak berdzikir, baik ia menggunakan tasbihnya atau tidak

3. Barang siapa yg duduk bersama waliyullah yg hidup atau sudah wafat maka pahalanya sama saja dgn ia menyembah Allah di seluruh penjuru bumi.

Habib Abu Bakar bin Abdulloh Al-Athos berkata :

“Sesungguhnya tempat/rumah jika tinggalkan dalam keadaan sepi/kosong/suwung maka para jin akan enempatinya,,,,sedangkan rumah/suatu tempat yg dibiasakan membuat hidangan wedang kopi maka para jin tidak akan menempatinya dan tidak akan bisa mendekat alias mengganggu .

Kita perhatikan lagi ucapan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ;

ثم اعلم ايها القلب المكروب أن هذه القهوه قد جعلها اهل الصفاء مجلبة للأسرار مذهبة للأكدار وقد اختلف في حلها اولا وحاصل ما رجحه ابن حجر في شرح العباب بعد ان ذكر أنها حدثت في اول قرن العاشر . ان للوسائل حكم المقاصد ،فمهما طبخت للخير كانت منه وبالعكس فافهم الأصل

“Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh Ahli shofwah (orang orang yg bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia tuhan, penghapus kesusahan. sementara para ulama berbeda pendapat akan kehalalannya alhasil yg di unggulkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarhul Ubab setelah penjelasan bahwa asal usul kopi di awal abad 10 hijriyah memandang dari Qoidah ‘bagi perantara menjadi hukum tujuannya’ selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikannya begitu juga sebaliknya maka pahami asalnya.”

Dalam Diwan Syeikh Bamakhromah beliau berkata ; “Dalam gelas kerinduan itu membuat orang yg meminumnya berada dalam tingkatan para perindu dan memakaikannya pakaian ahli pecinta dalam kedekatan kepada Alloh bahkan jika seandainya diminum oleh seorang Yahudi maka niscaya hatinya akan mendapatkan tarikan hidayah dan inayah Tuhan.”

Dan Al-Habib Abdurrohman Shofi Assegaf mengatakan ; “Ini semua menunjukkan bahwa kopi yg di siapkan oleh para sufi ini esensinya untuk menarik Hati kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala maka pahamilah isyarah dan bedakan antara setiap argumentasi”

Imam Ahmad Assubki juga berkata ;

قال احمد بن علي السبكى ; واما منافعها يعني القهوه تقريبا … فالنشاط للعبادة والأشغال المهمة وهضم الطعام وتحليل الرياح والقولنج والبلغم كثيرا

“Kopi manfa’atnya yaitu kira kira untuk membuat semangat ibadah dan pekerjaan penting juga menghancurkan makanan, agar tidak masuk angin dan menghilangkan dahak yg banyak.”

Adapun yg mengkritik haram mengenai penamaan qohwah dalam bahasa arab (kopi) dianggap mirip dengan nama khomer maka Ulama memberikan jawaban dalam Kitab Inasus Shofwah sebagai berikut ; “Penamaan qohwah bagi sebagian orang dianggap menyerupai nama khomer, tentu tuduhan ini tidak mendasar karena tidak harus kesamaan nama juga menunjukkan sama maknanya, bahkan para sholihin membuktikan bahwa kopi digunakan untuk beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.”

Dalam Tarikh Ibnu Toyyib dikatakan

يا قهوة تذهب هم الفتى # انت لحاوى العلم نعم المراد شراب اهل الله فيه الشفا # لطالب الحكمة بين العباد حرمها الله على جاهل # يقول بحرمتها بالعناد

“Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda, kau bagi para pencari ilmu merupakan paling enaknya keinginan. kopi adalah minuman orang yg dekat pada Alloh didalamnya ada kesembuhan bagi pencari hikmah diantara manusia. Kopi diharamkan bagi orang bodoh dan mengatakan keharamannya dengan keras kepala.” (Umdatus Shofwah Hal, 174)

Kopi menurut beberapa penelitian memberikan beberapa efek positif bagi kesehatan, antara lain;

1. Kandungan antioksidan dalam kopi bisa membuat harapan hidup lebih panjang, ini merupakan hasil penelitian Institut di AS, selain itu kopi juga bisa mengurangi kadar merokok.

2. Mengurangi beberapa resiko timbulnya penyakit. Meminum kopi 1-3 cangkir setiap hari, menurut penelitian di Universitas Harvard akan mengurangi resiko diabetes, penyakit parkinson, kanker usus dan kanker payudara.

3. Menambah kebugaran. Kandungan endorfin pada kopi membantu menjaga kebugaran, sedangkan kafein bisa meningkatkan tenaga.

4. Kemampuan kognitif lebih baik. Kopi membantu menjaga fungsi otak untuk bekerja lebih baik. Kafein dalam kopi menghalangi plak beta-amyloid di otak, sehingga otak bisa berfungsi lebih baik.

5. Mengurangi resiko stroke. Penelitian di Korea dan Finlandia menemukan hasil bahwa minum kopi satu cangkir setiap hari bisa mengurangi terjadinya stroke. Wallohu a’lam bis-Showab

Demikian Asimun Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin

*والله الموفق الى اقوم الطريق*

🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼

Kamis, 14 Januari 2021

KAJIAN TENTANG TANDA AKHIR ZAMAN DENGAN WAFATNYA PARA ULAMA

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 

“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat: ‘Kapankah terjadinya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya penge-tahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi ke-banyakan manusia tidak mengetahui.’” (QS. Al-A’raaf: 187)

Meskipun waktu terjadinya hari Kiamat tidak ada yang mengetahuinya, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tanda-tanda Kiamat tersebut. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada ummatnya tentang tanda-tanda Kiamat.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,

ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ

“Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tetapnya kebodohan. (HR. Bukhari)

Di awal hingga pertengahan tahun 2020 tercatat banyak ulama yang diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala termasuk di awal tahun 2021 ini. Memang dialah sang pemilik segala rahasia kehidupan namun dibalik itu semua ada pesan yang dapat kita pahami bahwa zaman ini telah semakin dekat dengan akhir.

Sungguh membuat hati cukup sedih jika mendengar berita wafatnya ulama. Terlebih ulama tersebut adalah ulama ahlus sunnah wal jamaah yang sangat giat, belajar, berdakwah dan memberikan pencerahan yang banyak kepada manusia. Imam Ayyub rahimahullah pernah berkata,

إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي

“Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku”. (Hilyah Al-Auliya wa Thabaqat Al-Ashfiya' juz 3 hal. 9)

Dengan wafatnya ulama, berarti Allah telah mulai mengangkat ilmu dari manusia. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“ (HR. Bukhari)

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ .

“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”. (Syarh Nawawi lishahih Muslim 16/223-224)

Para ulama pasti akan Allah wafatkan karena setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Hendaknya kita terus semangat mempelajari ilmu dan mengamalkannya. Shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu berkata,

ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻣﻮﺕ ﺭﻭﺍﺗﻪ، ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻟﻴﻮﺩّﻥّ ﺭﺟﺎﻝ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ

“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat/dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya/ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar .” (Al-’Ilmu Ibnu Qayyim, hal. 94)

Mari kita semakin semangat menuntut ilmu, menyebarkan dan mengamalkannya, karena hilangnya ilmu agama merupakan tanda-tanda akhir zaman dan dekatnya zaman fitnah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻳَﺘَﻘَﺎﺭَﺏُ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥُ ﻭَﻳُﻘْﺒَﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﻭَﺗَﻈْﻬَﺮُ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦُ ﻭَﻳُﻠْﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺢُّ ﻭَﻳَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻬَﺮْﺝُ

“Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.“ (HR. Muslim)

Termasuk tanda kiamat yang sudah cukup dekat adalah diangkatnya ilmu dan kebodohan yang merajalela.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ

“Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tetapnya kebodohan.“ (HR. Bukhari)

Allah Ta’ala berfirman,

ﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺨْﺸَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ ۗ

“Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama.” (QS. Fathir : 28)

Ulama memang banyak tapi kesemuanya sudah punya pos dan bidangnya masing-masing. Kalau ulama satu meninggal memang ada uda ulama lain yang masih ada, tapi belum tentu ulama yang tersisa itu menekuni sesuai apa yang ditekuni oleh ulama yang wafat itu. Kalau beliau sudah wafat maka satu pos keilmuan hilang. Dan bagaimana juga nasib para murid serta warganya yang selama ini berguru dan mendapat tuntunan beliau.

Bahkan sayyidina Umar pernah berkata dalam sebuah atsar yang dikutip oleh Imam Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya’,

مَوْتُ أَلْفِ عَابِدٍ قَائِمِ اللَّيْلِ صَائِمِ النَّهَارِ أَهْوَنُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ بَصِيْرٍ بِحَلاَلِ الّلهِ وَحَراَمِهِ

"Kematian seribu orang ahli ibadah yang rajin shalat malam dan puasa di siangnya itu tidak sebanding dengan kematian seorang ulama yang mengerti halal haramnya aturan Allah Ta'ala (syariah)". (Ihya’ Ulum Al-Din juz 1 hal. 9)

Karena memang manfa'atnya sangat jauh berbeda, dan ulama punya kredit poin yang jauh lebih baik dari pada seorang ahli ibadah. Orang ahli ibadah manfa'atnya buat dia sendiri, karena ibadahnya hanya bisa menyelamatkan dirinya dan pahalanya pun hanya khusus sendiri.

Berbeda dengan seorang ulama, yang manfa'atnya dirasa oleh banyak orang. Bayangkan saja berapa banyak orang yang akhirnya bisa beribadah dengan baik karena tuntunan si ulama tersebut. Ini juga yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya,  

وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ

"Keutamaan orang berilmu dibanding orang yang beribadah itu seperti keutamaan bulan malam purnama diatas bintang-bintang. Dan ulama ialah ahli para waris Nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewarisi dinar dan dirham akan tetapi mewarisi ilmu" (HR Ibnu Majah, Tirmidzi dan Abu Daud)

Orang alim seperi bulan, orang yang ahli ibadah hanya seperti bintang yang sinarnya tidak cukup menerangi semesta bumi. Berbeda dengan seorang alim yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam gambarkan layaknya bulan purnama yang menyinari seluruh isi bumi. Jadi ya memang sangat layak kita bersedih atas wafatnya seorang ulama.

Tapi dari itu semua, sangat tidak layak kalau tiba-tiba kita mengatakan seseorang itu munafiq hanya karena tidak terlihat sedih. Karena sejatinya, kesedihan bukan terpancar dari linangan air mata saja. Kesedihan banyak bentuknya dan tidak selalu dengan tangisan. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 12 Januari 2021

KAJIAN TENTANG TRADISI ATAU SUNNAH TABUR BUNGA DI MAKAM DAN MENYIRAM AIR MAWAR

Sudah menjadi pemandangan umum di tengah-tengah masyarakat kita, ketika mengubur jenazah, atau nyekar/ziarah ke makam disertai dengan penaburan bunga di atas kuburan tersebut, bahkan tidak jarang di atasnya ditanami tanaman bunga atau yang lain. Dan pemakaman di tanah Jawa kebanyakan tumbuh pohon pohon besar seperti pohon beringin dan lainnya yang menambah kesejukan area pemakaman. Ternyata banyak sekali ragam tradisi yang berhubungan dengan ziarah kubur. Mulai dari mengaji Al-Qur’an, Tahlil, Yasinan hingga menyirami pusara dengan air. Tentang dasar hukum berbagai tradisi tersebut telah sering disebutkan dalam rubrik ubudiyah. 

Kajian kali ini akan menerangkan dasar hukum menyiram kuburan dengan air dingin ataupun air wewangian.Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain menerangkan bahwa hukum menyiram kuburan dengan air dingin adalah sunnah. Tindakan ini merupakan sebuah pengharapan–tafa'ul–agar kondisi mereka yang dalam kuburan tetap dingin. 

وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)

"Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum." (Nihayatuz Zain hal. 154).

Dan ditegaskan juga dalam Nihayah al-Zain, hal. 163

وَيُنْدَبُ وَضْعُ الشَّيْءِ الرَّطْبِ كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً وَلَا يَجُوْزُ لِلْغَيْرِ أَخْذُهُ قَبْلَ يَبِسِهِ. (نهاية الزين 163)

"Berdasarkan penjelasan di atas, maka memberi harum-haruman di pusara kuburan itu dibenarkan termasuk pula menyiram air bunga di atas pusara, karena hal tersebut termasuk ajaran Nabi (sunnah) yang memberikan manfaat bagi si mayit." (Nihayah al-Zain, hal. 163).

Begitu pula yang termaktub dalam Hasyiyah al-Bajuri:​​​​​​​...

ويندب أن يرش القبر بماء والأولى أن يكون طاهرا باردا لأنه صلى الله عليه وسلم فعله بقبرولده إبراهم وخرج بالماء ماء الورد فيكره الرش به لأنه إضاعة مال لغرض حصول رائحته فلاينافى أن إضاعة المال حرام وقال السبكى لا بأس باليسير منه إن قصد به حضور الملائكة فإنها تحب الرائحة الطيبة...

"Disunnahkan menyiram kubur dengan air, terutama air dingin sebagaimana pernah dilakukan rasulullah saw terhadap pusara anyaknya, Ibrahim. Hanya saja hukumnya menjadi makruh apabila menyiraminya menggunakan air mawar dengan alasan menyia-nyiakan (barang berharga). Meski demikian menurut Imam Subuki tidak mengapa kalau memang penyiraman air mawar itu mengharapkan kehadiran malaikat yang menyukai bau wangi."   

Hal ini sebenarnya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam​​​​​​​:​​​​​,

عَنْ جَعْفَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم رَشَّ عَلَى قَبْرِ ابْنِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَوَضَعَ عَلَيْهِ حَصْبَاءَ. رواه الشافعي (نيل الأوطار، ج ٤ ص ٨٤)

“Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyiram kuburan putera beliau Ibrahim dan beliau meletakkan kerikil di atas kuburan tersebut”. (HR. Imam Syafi’i Radhiyallahu 'anhu).” (lihat : Nail al-Authar, juz IV, hal 84)   

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari jalan Sulaiman bin Ahmad [Tsiqah] dari Muhammad bin Zuhair [Shoduq] dari Ahmad bin Abdah [Tsiqah] dari Abdul Aziz bin Muhammad [Shoduq] dari Hisyam bin Urwah [Tsiqah] dari Urwah bin Zubair [Tsiqah] dari Aisyah binti Abdullah [Tsiqah].

Begitu juga dengan meletakkan karangan bunga ataupun bunga telaseh yang biasanya diletakkan di atas pusara ketika menjelang lebaran. Hal ini dilakukan dalam rangka ittba’ (mengikuti) sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. sebagaimana diterangkan dalam hadits,  

حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا)

Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])   

Seorang sahabat juga berwasiat dengan hal sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَأَوْصَى بُرَيْدَةُ الأَسْلَمِىُّ أَنْ يُجْعَلَ فِى قَبْرِهِ جَرِيدَانِ (البخارى)

“Buraidah al-Aslami berwasiat agar di kuburnya diberi dua pelepah kurma” (HR. Al-Bukhari)

Al-Hafidz Ibnu Hajar As-Syafi'i (bermadzhab Syafii, mengatakan,

وَقَدْ وَصَلَهُ اِبْن سَعْد مِنْ طَرِيق مُوَرِّق الْعِجْلِيّ قَالَ ” أَوْصَى بُرَيْدَة أَنْ يُوضَع فِي قَبْره جَرِيدَتَانِ ، وَمَاتَ بِأَدْنَى خُرَاسَانَ “… وَكَأَنَّ بُرَيْدَةَ حَمَلَ الْحَدِيْثَ عَلَى عُمُوْمِه وَلَمْ يَرَهُ خَاصًّا بِذَيْنِكَ الرَّجُلَيْنِ (فتح الباري لابن حجر – ج 4 / ص 432)

Riwayat ini disambungkan oleh Ibnu Sa’d dari jalur Muwarriq al-Ijli, ia berkata: “Buraidah berwasiat agar di kuburnya diletakkan dua pelepah kurma. Ia wafat di dekat Khurasan”… Sepertinya Buraidah mengarahkan hadis diatas secara umum, tidak terkhusus bagi 2 orang laki-laki tersebut” (Fath al-Bari 4/432).

Pelepah Kurma yang basah itu di-qiyas-kan atau diganti dengan air dan bunga, dimana menurut ulama hal itu dibolehkan, karena di negeri Arab banyak pelepah kurma sedangkan di negeri yang tidak ada pelepah kurma maka hal ini boleh diqiyaskan bunga atau tumbuh-tumbuhan yang basah, seperti yang disampaikan oleh Imam al-Ramli berikut,

وَيُسْتَحَبُّ وَضْعُ الْجَرِيْدِ الْأَخْضَرِ عَلَى الْقَبْرِ لِلِاتِّبَاعِ ، وَكَذَا الرَّيْحَانُ وَنَحْوُهُ مِنْ الْأَشْيَاءِ الرَّطْبَةِ (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج – ج 8 / ص 374)

“Dianjurkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kubur, karena mengikuti Rasulullah. Begitu pula bunga yang harum dan lainnya, yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan yang basah” (Nihayah al-Muhtaj 8/374)

Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj I/ 364

ويسن أيضا وضع الجريد الأخضر على القبر وكذا الريحان ونحوه من الشيء الرطب ولا يجوز للغير أخذه من على القبر قبل يبسه لأن صاحبه لم يعرض عنه إلا عند يبسه لزوال نفعه الذي كان فيه وقت رطوبته وهو الاستغفار ( و ) أن يوضع ( عند رأسه حجر أو خشبة ) أو نحو ذلك لأنه صلى الله عليه وسلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون صخرة وقال أتعلم بها قبر أخي لأدفن إليه من مات من أهلي رواه أبو داود وعن الماوردي استحباب ذلك عند رجليه أيضا

“Disunnahkan menaruh pelepah kurma hijau (basah) di atas kuburan, begitu juga tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan semacamnya yang masih basah dan tidak boleh bagi orang lain mengambilnya dari atas kuburan sebelum masa keringnyakarena pemiliknya tidak akan berpaling darinya kecuali setelah kering sebab telah hilangnya fungsi penaruhan benda-benda tersebut dimana selagi benda tersebut masih basah maka akan terus memohonkan ampunan padanya. Dan hendaknya ditaruh batu, atau sepotong kayu atau yang semacamnya dekat kepala kuburan mayat karena Nabi Muhammad SAW meletakkan sebuah batu besar didekat kepala ‘Utsman Bin madz’un seraya berkata : “Aku tandai dengan batu kuburan saudaraku agar aku kuburkan siapa saja yang meninggal dari keluargaku” (HR. Abu Daud).

Menurut Imam mawardy kesunahan meletakkan tanda tersebut juga berlaku di dekat kedua kaki mayat.” (Mughni Al-Muhtaj juz I hal.364)

Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin,   

يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ​​​​​​​

"Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar." (I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 119)

ويندب أن يرش القبر بماء لانه (ص) فعله بقبر ولده إبراهيم والاولى أن يكون طهورا باردا، وخرج بالماء ماء الورد فالرش به مكروه لانه إضاعة مال

“Dianjurkan menyiram kubur dengan air karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya pada kuburan putranya, Ibrahim. Yang utama, air itu suci dan sejuk. Di luar kategori air adalah air mawar. Menyiram makam dengan air mawar terbilang makruh karena menghambur-hamburkan harta,” (Lihat As-Syarbini, Al-Iqna pada Hamisy Tuhfatul Habib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567-570). Wallahu a'lam

Demikiam Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 10 Januari 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMAKAN BEKICOT DAN KEONG SAWAH (TUTUT)


Dalam Islam  mengenai makanan ada aturan dalam mengkonsumsinya memiliki aturan yang jelas seperti apakah makanan itu halal atau yang diharamkan ataupun juga yang halal, namun tidak baik gizinya (Ghaira Thaiyibat) seperti makanan yang halal namun terbuat dengan bahan campuran yang membahayakan, yang halal namun sudah kadaluarsa atau busuk, dan yang halal namun mengkonsumsinya dengan berlebihan atau dapat membuat mudharat bagi orang yang terkena penyakit tertentu, jika mengkonsumsinya. Diantaranya sebagamana Allah SWT berfirman dibawah ini,

يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ {البقرة : 168}

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 168)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا للهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ {البقرة : 172}

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik (bergizi dan halal) yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah." (QS. Al-Baqarah:  172)

Mengenai Keong Tutut atau keong yang hidup di sungai atau di sawah tidak dapat disamakan dengan Bekicot. Masih dijumpai di berbagai daerah di Indonesia yang gemar mengkonsumsi Bekicot. Bekicot sudah jelas keharamannya, karena menjijikkan, berlendir dan memiliki zat yang mengandung racun dan hewan ini sepakat para ulama melarang mengkonsumsinya.

Bekicot dalam istilah Arab biasa dikenal dengan nama halzun. Hewan ini oleh para ulama dikategorikan sebagai hewan yang menjijikkan (mustakhbas), sehingga termasuk hewan yang tidak halal alias haram.

Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra,

الحلزون: عود في جوف أنبوبة حجرية يوجد في سواحل البحار وشطوط الأنهار. وهذه الدودة تخرج بنصف بدنها من جوف تلك الأنبوبة الصدفية، وتمشي يمنة ويسرة تطلب مادة تغتذي بها فإذا أحست بلين ورطوبة انبسطت إليها، وإذا أحست بخشونة أو صلابة انقبضت وغاصت في جوف الأنبوبة الصدفية، حذراً من المؤذي لجسمها، وإذا انسابت جرت بيتها معها.وحكمه: التحريم لاستخباثه. وقد قال الرافعي في السرطان أنه يحرم لما فيه من الضرر لأنه داخل في عموم تحريم الصدف. وسيأتي الكلام عليه في باب السين المهملة

“Halzun membiasakan hidup di dalam tempurung yang keras. Hewan ini dapat ditemukan di pinggir lautan dan di tepi sungai. Hewan ini mengeluarkan sebagian badannya dari dalam tempurung kerangnya, lalu berjalan ke kanan dan kiri untuk mencari benda yang dapat ia makan. Ketika dia merasa berada di tempat yang lembut dan basah maka ia akan membeberkan diri pada tempat itu. Dan ketika dia merasa berada di tempat kasar dan kering maka dia akan mengurung dan masuk kedalam tempurung kerang tersebut karena khawatir dari sesuatu yang menyakiti tubuhnya. Ketika dia berjalan maka rumahnya juga bersamanya. Hukum mengonsumsi hewan ini adalah haram, karena hewan ini dianggap hewan yang menjijikkan (menurut orang Arab).” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 234)

Pendapat di atas merupakan pandangan dalam mazhab Syafi’i, seperti halnya yang dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Sedangkan ketika menelisik status daging bekicot dengan berpijak pada mazhab lain, rupanya masih terdapat ulama yang berpandangan bahwa bekicot bukanlah hal yang diharamkan, misalnya seperti dalam pendapat Imam Malik seperti yang dikutip dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubra,

ولقد سئل مالك عن شئ يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل قال أراه مثل الجراد ما أخذ منه حيا فسلق أو شوي فلا أرى باكله بأسا وما وجد منه ميتا فلا يؤكل

“Imam Malik pernah ditanya tentang hewan yang ditemukan di tanah Maghrib (Maroko) biasa disebut dengan halzun. Hewan ini biasa berada di hutan belantara dan bergantungan pada pepohonan. Apakah hewan ini dapat dimakan? Beliau menjawab, ‘Aku berpandangan hewan tersebut seperti jarad (belalang) jika diambil dalam keadaan hidup lalu diseduh atau dimasak, sehingga menurutku mengonsumsi hewan tersebut tidak masalah. Sedangkan ketika ditemukan dalam keadaan mati, maka tidak boleh di makan’.” (Imam Sahnun bin Said at-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra, juz 3, hal. 111)

Banyak masyarakat Indonesia yang mengonsumsi keong sawah atau yang lazim disebut dengan tutut. Bahkan saat ini olahan makanan tutut ini mudah dijumpai karena banyak dijajakan oleh pedagang kaki lima dan dijual di warung-warung makan. Meski demikian, terdapat sebagian orang yang masih mempertanyakan kehalalan makan tutut. Sebenarnya, bagaimana hukum makan tutut?

Dalam kaidah Ushul Fikih menyebutkan,

وأن الأصل في الأشياء الإباحة مالم يقم دليل معتبر على الحرمة

"Asal segala sesuatu hukumnya adalah Mubah selama tidak ada dalil atau bukti kuat yang dapat mengharamkannya)." Jadi tidak ada dalil yang kuat yang mengharamkan keong Tutut untuk dikonsumsi.

Pada prinsipnya, hewan air hukumnya halal dikonsumsi, berdasarkan nash dari Al-Quran maupun Al-Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantaranya, ayat yang menyebutkan,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

 “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan." (QS. Al-Maidah, 5: 96).

Yang dimaksud dengan air di sini bukan hanya air laut, namun termasuk juga hewan air tawar. Karena pengertian “al-bahru al-maa’ “ adalah kumpulan air yang banyak. Imam Asy-Syaukani mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu (ditangkap), baik itu sungai atau kolam.” (lihatlah Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani, 2/361, Mawqi’ At-Tafasir).

Sebagian ulama seperti Imam Ar-Ramli, Ad-Damiri dan Khatib Asy-Syirbini berpandangan bahwa keong adalah hewan yang halal untuk dikonsumsi. Sedangkan ulama lain seperti Imam Ibnu Hajar, Ibnu Abdissalam, dan Imam Az-Zarkasyi berpandangan bahwa keong adalah hewan yang haram untuk dikonsumsi. Perbedaan pendapat ini secara tegas dijelaskan dalam salah satu kitab karya ulama Nusantara, Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Jawi al-Bughuri yang berjudul Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah,

فعلى كلام المجموع وابن عدلان وأئمّة عصره والدميري والشهاب الرملي ومحمد الرملي والخطيب فى المغني فالرميسى والتوتوت والكييوع حلال لأنّها مثل الدنيلس الذي اتّفقوا على حله وداخل في أنواع الصدف الذي ظاهر كلام المجموع على حلّه . وعلى كلام ابن عبد السلام والزركشى  وابن حجر فى الفتاوى الكبرى والتحفة فالمذكورات حرام فيجوز للناس أكلها تقليدا للذين قالوا بحلّه والأولى تركه إحتياطا.

“Berdasarkan penjelasan dalam kitab Al-Majmu’, pendapat Ibnu ‘Adlan dan ulama semasanya, Imam Ad-Damiri, Syihab Ar-Ramli, Muhammad Ar-Ramli, dan Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj bahwa ramis, tutut (keong sawah) dan keong (laut) adalah hewan yang halal, karena masih sama dengan danilas (sejenis hewan laut) yang disepakati kehalalannya dan tergolong dalam jenis kerang yang secara eksplisit dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ kehalalannya. Namun jika berdasarkan pendapat Imam Ibnu Abdissalam, Az-Zarkasyi, Ibnu Hajar dalam kitab al-Fatawa al-Kubra dan Tuhfah al-Muhtaj bahwa semua hewan yang disebutkan di atas adalah haram, maka boleh bagi seseorang untuk mengonsumsinya dengan bertaqlid pada ulama yang berpendapat tentang kehalalannya, namun yang lebih utama adalah tidak mengonsumsi hewan ini dalam rangka mengambil jalan hati-hati dalam mengamalkan syariat.” (Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Jawi, Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah, hal. 14-15). 

Dalam Kitab Fiqih Madzahibul Arba'ah disebutkan,

فلا يجوز اكل الحشرات الضارة… اما إذا اعتاد قوم اكلها ولم تضرهم وقبلتها انفسهم, فالمشهور عندهم انها لاتحرم ( المذاهب الاربعة, الجزء ٢ ص ٣ )

"Tidak diperbolehkan memakan serangga berbahaya ... Tetapi jika orang biasa memakannya dan tidak membahayakan mereka dan mereka sendiri menerimanya, maka yang masyhur menurut mereka bahwa hal itu tidak diharamkan (dilarang)." (Al-Madzahib Al-Arba'ah juz 2 hal. 3). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*