Rabu, 23 Oktober 2019
KAJIAN TENTANG PERBEDAAN ORANG CERDAS DAN ORANG DUNGU
Allah Subhanahu wa Ta'ala,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai akal/hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu layaknya binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al A’rof [7] : 179)
Imam Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan berkaitan dengan tafsir Surat Al A’rof ayat 179 di atas, “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا) maksudnya adalah mereka tidak dapat memanfaatkan sedikitpun alat indera ini yang dengannya Allah ‘Azza wa Jalla jadikan sebab mendapatkan hidayah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا أَفْئِدَتُهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok - olokkannya”. ),”.(QS. Al Ahqof [46] : 26)
Imam Ibnu Katsir Rohimahullah melanjutkan, “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ) ‘mereka layaknya binatang ternak’ yaitu mereka yang tidak akan mendengarkan kebenaran, mereka tidak memperhatikannya dan tidak akan mau melihat petunjuk. Sebagaimana binatang ternak yang tidak dapat mengambil manfaat degan alat indera melainkan hanya untuk kehidupan dunia yang tampak-tampak saja.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim hal. 513-514/III Terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عن ابي يعلى شداد ابن اوس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم، الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ الاَمَانِيَّ (رواه الترميذي)
“Orang yang sempurna akalnya (cerdas) ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah (bodoh) adalah yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Disamping itu, ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan).
*Penjelasan Hadits Diatas*
Imam At Tirmidzi berkata,
*وَمَعْنَى قَوْلِهِ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ يَقُولُ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسَبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُرْوَى*
Maksud sabda Nabi "Orang yang mempersiapkan diri" Yaitu orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab pada hari kiamat”. (Sunan At Tirmidzi no.2383).
Dan telah diriwayatkan dari Umar bin Khottob dia berkata,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا وَيُرْوَى
“Hisablah (hitunglah) diri kalian sebelum kalian dihitung dan persiapkanlah untuk hari semua dihadapkan (kepada Rabb Yang Maha Agung), hisab (perhitungan) akan ringan pada hari kiamat bagi orang yang selalu menghisab dirinya ketika didunia”. (Sunan At Tirmidzi no.2383).
Maimun bin Mihran berkata,
لَا يَكُونُ الْعَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ مِنْ أَيْنَ مَطْعَمُهُ وَمَلْبَسُهُ
"Seorang hamba tidak akan bertakwa hingga dia menghisab dirinya sebagaimana dia menghisab temannya dari mana dia mendapatkan makan dan pakaiannya". (Sunan At Tirmidzi no.2383).
Ibnu 'Arobi mengatakan :"Guru-guru kami selalu mengkoreksi diri dalam setiap ucapan dan perbuatannya. Mereka mengumpulkan setiap omongan dan perbuatannya di dalam catatan buku kecil. Sebelum tidur mereka membukanya dan mentaubatinya serta beristighfar jika itu perbuatan dosa, akan tapi jika itu perbuatan baik mereka mensyukurinya. Kemudian barulah mereka tidur”. (Faidhul Qodir hal.86 jil.5).
Islam melihat bahwa kecerdasan sejati itu bukan berarti pintar dan cerdas otaknya dalam menyelesaikan ujian akademik atau orang yang mampu menciptakan serta menemukan hal-hal yang baru. Akan tetapi orang yang cerdas sejati ialah orang yang memikirkan nasibnya ketika setalah mati nanti dan mempersiapkan kesejahteraan hidupnya disana kelak dari sejak dini.
Sebaliknya orang bodoh adalah “orang yang lupa memikirkan nasibnya setelah mati nanti”
Kesibukan-kesibukan dunia telah membuatnya terlelap, sehingga lupa akan persiapan mencari bekal untuk perjalanan panjang setelah kematian.
Dalam kondisi jauhnya mereka dari ketaatan kepada Allah, anehnya mereka berangan-angan untuk mendapatkan ampunan Allah dan surga-Nya. Hal ini menambah nyata akan kebodohan mereka, dimana seolah mereka tidak mau membayar barang tapi meminta barang.
Beda antar التمني (berangan-angan) dan الرجاء (mengharap). Kalau *التمني* ialah berangan-angan tetapi tidak ada ikhtiar untuk mencapainya. Sedang *الرجاء* sudah mempunyai ikhtiar/usaha kemudian mengharap dengan usahanya ini bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Sifat التمني merupakan sifat tercela dan الرجاء adalah sifat terpuji. (Faidhul Qodir hal.86 jil.5).
Kehidupan setelah mati ternyata lebih penting daripada kehidupan dunia. Disana lebih banyak membutuhkan bekal dan energi untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dungu bermakna sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh.
Namun lebih dari itu, menurut Sayidina Ali bin Abi Thalib ra ternyata atribut dungu juga bisa disematkan kepada seseorang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
اَحْمَقُ النَّاسِ مَنْ يَمْنَعُ الْبِرَّ وَيَطْلُبُ الشًّكْرَ، وَيَفْعَلُ الشَّرَّ وَيَتَوَقَّعُ ثَوَابَ الْخَيْرِ
"Orang yang paling dungu adalah yang menahan kebaikan namun berharap sanjungan dan berbuat keburukan namun berharap pahala kebaikan."
اَحْمَقُ النَّاسِ مَنْ ظَنَّ اَنَّهُ اَعْقَلُ النَّاسِ
Orang yang paling dungu adalah yang merasa paling pandai.
تُعْرَفُ حَمَاقَة ُالرَّجُلِ فِي ثَلَاثٍ : فِي كَلَامِهِ فِيْمَا لَا يَعْنِيْهِ وَ جَوَابِهِ عَمَّا لَا يُسْأَلُ عَنْهُ وَ تَهَوُّرِهِ فِي الْاُمُوْرِ
"Kedunguan seseorang dapat dikenali pada tiga hal :
1. Pada perkataannya ketika berbicara tentang sesuatu yang tidak berhubungan dengannya.
2. Pada jawabannya ketika menjawab sesuatu yang tidak ditanya tentang itu.
3. Pada kecerobohannya dalam segala urusan."
اَلْاَحْمَقُ غَرِيْبٌ فِي بَلْدَتِهِ، مُهَانٌ بَيْنَ اَعِزَّتِهِ
"Orang dungu itu terasing di lingkungannya dan terhina di antara orang-orang dekatnya."
Lalu bagaimana sikap terbaik yang harus kita ambil saat berhadapan dengan orang dungu?
اَلسُّكُوْتُ عَلَى الْاَحْمَقِ اَفْضَلُ جَوَابِهِ
"Diam di hadapan orang dungu adalah sebaik-baik jawaban."
اَلْاَحْمَقُ غَرِيْبٌ فِي بَلْدَتِهِ، مُهَانٌ بَيْنَ اَعِزَّتِهِ
"Orang dungu itu terasing dilingkungannya dan terhina diantara orang-orang dekatnya."
Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ada empat macam jenis kebodohan, satu di antaranya bisa diobati sedangkan tiga yang terakhir tidak akan bisa terobati. Tiga kebodohan yang tidak bisa diobati tersebut di antaranya adalah
*Pertama,* orang yang bertanya karena dengki dan benci. Ketika pertanyaan orang tersebut engkau jawab dengan jawaban yang baik, fasih dan jelas justru semakin menambah kebencian, permusuhan dan kedengkiannya kepadamu. Maka cara terbaik untuk menghadapinya adalah sebaiknya engkau berpaling darinya dan tidak usah merepotkan dirimu dengan menjawab pertanyaannya.
Sebagaimana ucapan sang penyair yang berkata
كل العداوۃ قد ترجي ازالتها الا ازالۃ من عادك اعن حسد
“Sesungguhnya setiap permusuhan bisa diharapkan hilangnya, kecuali permusuhannya orang yang memusuhimu karena dengki”
Sebaiknya hindarilah sikap hasud atau dengki sebab dengki dalam setiap ucapan dan perbuatan bisa membakar semua ladang amal seseorang, sebagaimana sabda Rasul
الحسد ياكل الحسنات كما تاكل النار الخطب
“Hasud itu dapat memakan amal kebaikan seperti api melahap atau membakar kayu kering”
*Kedua,* jika penyakit bodohnya berupa hamaqah atau kedunguan, maka juga tidak bisa diobati. Sebagaimana ucapan Nabi Isa as.:
انما عجزت عن احياء الموتي وقد عجزت عن معالجۃ الحمق
“Sesungguhnya bukannya aku tidak mampu menghidupkan orang yang mati, tetapi aku tidak mampu mengobati orang yang dungu”
Menurut Imam al-Ghazali, penyakit dungu yaitu seorang laki-laki yang baru belajar ilmu akal atau ilmu syariat lalu bertanya kepada orang yang alim yang telah menghabiskan umurnya dalam waktu lama mempelajari ilmu-ilmu akal dan syariat. Orang dungu tersebut tidak tahu dan menyangka bahwa permasalahan yang musykil baginya juga musykil bagi orang alim yang agung.
Ketika dia tidak mengetahui tingkatannya dan bertanya untuk menguji karena kedunguannya, maka sebaiknya tidak usah merepotkan dirimu untuk menjawab pertanyaan orang itu.
*Ketiga,* seseorang yang bertanya untuk meminta petunjuk. Namun setiap ada ucapan orang alim yang tidak bisa dipahaminya, ia merasa itu karena sempitnya pemahaman sang alim. Orang seperti ini biasanya adalah orang bodoh yang sombong maka tidak perlu menjawabnya.
Sementara itu menurut Imam al-Ghazali, penyakit bodoh yang bisa diobati adalah seseorang yang bertanya untuk mencari petunjuk serta memiliki akal yang mampu untuk memahami serta hatinya tidak terkalahkan oleh sifat dengki, marah, dan hawa nafsu.
Serta pertanyaanya bukan pula karena dengki, mempersulit dan mencoba kepintaran seseorang seperti pada poin kedua. Maka orang seperti ini bisa diobati kebodohannya, boleh bagimu menjawab pertanyaan orang tersebut bahkan hukumnya wajib. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar