Senin, 30 September 2019

KAJIAN TENTANG HAL YANG TERLARANG (MENONTON FILM G 30 S PKI) DI DALAM MASJID




Masjid adalah tempat yang amat berharga bagi kaum Muslim. Betapa tidak, masjid menjadi satu-satunya tempat yang paling pas untuk mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita bisa dengan khusyu' untuk mengadukan semua permasalahan kepada Allah. Selain itu, kita juga bisa beristirahat di dalamnya, mengingat suasananya yang begitu menenteramkan hati.

Tapi sayang, banyak orang yang tidak tahu seperti apa adab yang baik ketika berada di masjid. Sehingga, kenyamanan dan ketenteraman itu tak dapat kita rasakan seutuhnya. Kita seharusnya tahu bahwa ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika di masjid.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apapun) kecuali Allah, maka mudah-mudahan mereka termaksud orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. At-Taubah : 18)

Diantara ciri muslim yang beriman mereka adalah orang-orang yang senantiasa memakmurkan mesjid dengan memperhatikan adab-adabnya sebagaimana diajarkan didalam alQur’an dan sunnah.

Bagaimana cara kita memuliakan masjid? Bahasan berikut bagus sekali untuk dikaji dan dipelajari dengan kita memandang hal-hal yang mesti dihilangkan dari masjid, hingga menjadi bentuk memuliakan masjid.

Allah Ta’ala berfirman,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (QS. An-Nuur: 36)

*Apa saja hal-hal yang harus dijauhkan dari masjid?*

*Pertama:* Menyekutukan Allah (berbuat syirik kepada Allah).

Dalam ayat disebutkan,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid adalah milik Allah, maka janganlah kamu berdoa kepada seorang pun bersama Allah.” (QS. Jin: 18)

*Kedua:* Tidak menyibukkan diri dengan ngobrol perkara duniawi.

Dalam Kitab Tanqihul Qaul halaman 58 dinukilkan sebuah riwatat,

وقال صلى الله عليه وسلم: مَنْ تَكَلَّمَ بِكَلاَمِ الدُّنْيَا في المَسْجِدِ أَحْبَطَ الله عَمَلَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً

Nabi Shallallaahu 'alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa berbincang masalah duniawi di masjid, maka Allah akan melebur amal-perbuatannya selama empat puluh tahun.”

Hadits redaksi Imam Malik tertulis,

أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا تُرِيدُ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ قَالَ عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا وَإِنَّمَا هَذَا سُوقُ الْآخِرَةِ

“Bahwa telah sampai kepadanya tentang Atha’ bin Yasar, bahwa jika lewat di hadapannya sebagian orang yang berjualan di masjid, dia memanggilnya dan bertanya: “Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika dikabarkan kepadanya bahwa orang tersebut mau berdagang, beliau berkata: “Hendaknya  kamu ke pasar dunia, ini adalah pasar akhirat.” (Al Muwaththa, No. 421)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

سيكونُ في آخرِ الزمانِ قومٌ يَجْلِسونَ في المساجدِ حِلَقًا حِلَقًا أمامَهم الدنيا فلا تُجَالِسُوهُم فإنَّهُ ليسَ للهِ فيهم حاجَةٌ

“Akan ada di akhir zaman, kaum yang duduk di masjid membuat halaqah-halaqah, namun pembicaraan utama mereka adalah masalah dunia. Maka jangan duduk bersama mereka, karena Allah tidak butuh kepada mereka” (HR. Ibnu Hibban no.6761).

Salah satu hal yang membicarakan dunia adalah menonton film G 30 S PKI di dalam masjid. Sementara menonton film bioskop saja ada yang mengatakan haram (apalagi di dalam masjid) dengan merujuk hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,

عَنْ أبي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ((إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ)). رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Abdillah an Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar, belum jelas) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barangsiapa yang menjaga (dirinya) dari syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun terjerumus ke dalam (hal-hal yang) haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka hampir-hampir (dikhawatirkan) akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa (raja) memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya kawasan terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkanNya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, (maka) baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal daging tersebut buruk, (maka) buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati”. [HR al Bukhari dan Muslim].

KH. Ali Mustafa Ya’kub, dosen Institut Ilmu Qur’an Jakarta, menganggap bahwa berdakwah dengan menggunakan media audio-visual yang ditayangkan di layar (bioskop) adalah sesuatu yang keliru. Beliau mengatakan, ber­dakwah itu tempatnya di pesantren, masjid, melalui kajian majlis ta’lim, dan bukan dengan film bioskop." Apalagi nonton film bioskop di masjid.

*Ketiga:* Teriak-teriak dalam masjid, begitu pula berdebat atau bertengkar dalam masjid.

As-Saib bin Yazid Al-Kindi berkata, “Aku pernah berdiri dalam masjid dan ketika itu ada seseorang melemparku dengan kerikil dan aku melihat ternyata itu Umar bin Al-Khaththab.” Umar berkata, “Pergilah dan datangkan padaku dengan dua orang ini.” As-Saib berkata, “Aku pun membawa dua orang tersebut.” Kemudian Umar berkata, “Siapa kalian berdua? Dari mana kalian berdua?” Mereka berdua menjawab, “Kami dari penduduk Thaif.” Umar lantas berkata,

لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ َلأَوْجَعْتُكُمَا، تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُماَ فِي مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Andai saja kalian berdua berasal dari kota ini (yaitu Madinah), niscaya akan kupukul kalian berdua karena telah berani meninggikan suara (bersuara keras) di dalam masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari, no. 470)

Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ’anhu,

أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي المَسْجِدِ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ، فَنَادَى: «يَا كَعْبُ» قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا» وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ: أَيِ الشَّطْرَ، قَالَ: لَقَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «قُمْ فَاقْضِهِ»

Bahwa ia pernah menagih hutang kepada Ibnu Abu Hadrad di dalam Masjid hingga suara keduanya meninggi yang akhirnya didengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di rumah. Beliau kemudian keluar menemui keduanya sambil menyingkap kain gorden kamarnya, beliau bersabda: “Wahai Ka’ab!” Ka’ab bin Malik menjawab: “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Beliau bersabda: “Bebaskanlah hutangmu ini.” Beliau lalu memberi isyarat untuk membebaskan setengahnya. Ka’b bin Malik menjawab, “Sudah aku lakukan wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda (kepada Ibnu Abu Hadrad): “Sekarang bayarlah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

*Keempat:* Jual beli dalam masjid.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ

“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.” (HR. Tirmidzi, no. 1321. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

*Kelima:* Kotoran dan kencing dalam masjid.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menasihati Arab Badui,

إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَىْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِىَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya masjid ini tidak pantas di dalamnya ada kencing dan kotoran. Masjid ini hanyalah untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285)

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ وَشُعْبَةُ وَأَبَانُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ التَّفْلُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهُ أَنْ تُوَارِيَهُ

"Telah menceritakan kepadaku Musallam Ibn Ibrahim, telah menceritakan Hisyam dan Syu’bah dan A’bandari Qatadah dari Anas Ibn Malik bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Meludah di mesjid adalah kesalahan, dan dendanya dengan membersihkannya." (HR. Abu Daud)

Di dalam masjid tidak diperbolehkan meludah pada lantai atau dinding masjid. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu berikut;

وإذا عرض للمصلي بصاق فإن كان في مسجد حرم البصاق فيه ، بل يبصق في طرف ثوبه من جانبه الأيسر ككمه وغيره

“Jika orang yang salat terpaksa meludah, maka ia haram meludah di dalam masjid. Hendaknya dia meludah pada pinggir bajunya yang sebelah kiri, seperti lengan baju atau lainnya.”

*Keenam:* Orang junub diam di masjid.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisaa’: 43)

*Ketujuh:* Bau bawang dan bau yang tidak enak yang mengganggu jamaah lainnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ – يَعْنِى الثُّومَ – فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا

“Barangsiapa yang makan tanaman ini–yaitu bawang–, maka janganlah dia mendekati masjid kami.” (HR. Bukhari, no. 853 dan Muslim, no. 561).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ، وَالثُّومَ، وَالْكُرَّاثَ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau daun bawang, maka jangan dekati masjid kami. Karena para Malaikat terganggu dengan hal-hal yang bisa mengganggu manusia.” (HR. Bukhari no.855, Muslim no.564).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam kebaikan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.

Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna, agar Dia Ta’ala menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu memakmurkan masjid-masjid Allah Ta’ala dan meraih kesempurnaan iman dengan taufik-Nya. Sesungguhnya Dia Ta’ala maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 26 September 2019

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Shafar Bukan Bulan Sial)


*Khutbah Pertama*

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلِ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ

فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ : قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

 *Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullâh,*

Pada zaman jahiliah, berkembang anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan sial atau dikenal dengan istilah tasyâ-um. Bulan yang tidak memiliki kehendak apa-apa ini diyakini mengandung keburukan-keburukan sehingga ada ketakutan bagi mereka untuk melakukan hal-hal tertentu. Pikiran semacam ini juga masih menjalar di zaman sekarang. Sebagian orang menganggap bahwa hari-hari tertentu membawa hoki alias keberuntungan, sementara hari-hari lainnya mengandung sebaliknya.

Padahal, seperti bulan-bulan lainnya, bulan Safar netral dari kesialan atau ketentuan nasib buruk. Jika pun ada kejadian buruk di dalamnya, maka itu semata-mata karena faktor lain, bukan karena bulan Safar itu sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

"Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal". (QS. At-Taubah : 51)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ

"Tidak ada 'adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa." (HR Bukhari dan Muslim)

'Adwa adalah keyakinan tentang adanya wabah penyakit yang menular dengan sendirinya, tanpa sebuah proses sebelumnya dan tanpa seizin Allah. Thiyarah adalah keyakinan tentang nasib baik dan buruk setelah melihat burung. Dalam masyarakat jahiliah ada mitos yang mengatakan, bila seorang keluar rumah dan menyaksikan burung terbang di sebelah kanannya, maka tanda nasib mujur bakal datang. Sementara bila melihat burung terbang di sebelah kirinya maka tanda kesialan akan tiba sehingga sebaiknya pulang.

Sedangkan hamah adalah semacam anggapan bahwa ketika terdapat burung hantu hinggap di atas rumah maka pertanda nasib sial akan tiba kepada pemilik rumah tersebut. Tak beda jauh dengan shafar yang diyakini sebagai waktu khusus yang bisa mendatangkan malapetaka.

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullâh,*

Islam tidak mengenal hari, bulan, atau tahun sial. Sebagaimana seluruh keberadaan di alam raya ini, waktu adalah makhluk Allah. Waktu tidak bisa berdiri sendiri. Ia berada dalam kekuasaan dan kendali penuh Rabb-nya. Setiap umat Islam wajib berkeyakinan bahwa pengaruh baik maupun buruk tidak ada tanpa seizin Allah ﷻ.

Begitu juga dengan bulan Safar. Ia adalah bagian dari dua belas bulan dalam satu tahun hijriah. Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Qamariyah, terletak sesudah Muharram dan sebelum bulan Rabiul Awwal.

Ibnu Katsir ketika menafsirkan Surat at-Taubah ayat 36 yang membicarakan tentang bilangan bulan dalam satu tahun, menjelaskan bawah nama shafar terkait dengan aktivitas masyarakat Arab terdahulu. Shafar berarti kosong. Dinamakan demikian karena di bulan tersebut masyarakat kala itu berbondong-bondong keluar mengosongkan daerahnya, baik untuk berperang ataupun menjadi musafir.

Rasulullah sendiri menampik anggapan negatif masyarakat jahiliah tentang bulan Safar dengan sejumlah praktik positif. Habib Abu Bakar al-‘Adni dalam Mandhûmah Syarh al-Atsar fî Mâ Warada 'an Syahri Shafar memaparkan bahwa beberapa peristiwa penting yang dialami Nabi terjadi pada bulan Safar, di antaranya pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah, menikahkah putrinya Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, hingga mulai berhijrah dari Makkah ke Madinah. Artinya, Rasulullah membantah keyakinan masyarakat jahiliah bukan hanya dengan argumentasi tapi juga pembuktian bagi diri beliau sendiri. Dengan melaksanakan hal-hal sakral dan penting di bulan Safar, Nabi seolah berpesan bahwa bulan Safar tidak berbeda dari bulan-bulan lainnya.

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullâh,*

Manusia diperintahkan untuk senantiasa melakukan proses-proses dan tahapan-tahapan yang wajar. Islam adalah agama yang sangat menghargai fungsi akal sehat. Karena itu, tiap pekerjaan amat dianjurkan melalui satu perencanaan yang matang dan ikhtiar yang maksimal. Selebihnya adalah doa dan kepasrahan total kepada Allah.

Sial atau beruntung merupakan kelanjutan dari proses dan tahap tersebut, bukan pada mitos-mitos khayal yang tak masuk akal. Untuk terbebas dari penyakit, manusia diperintahkan untuk hidup bersih dan menghindari pengidap penyakit menular. Agar selamat dari bangkrut, pedagang disarankan untuk membuat perhitungan yang teliti dan hati-hati. Agar lulus ujian, pelajar mesti melewati belajar secara serius. Dan seterusnya.

Menolak adanya "bulan sial" dan "bulan beruntung" akan mengantarkan kita menjadi pribadi yang wajar. Tidak malas ikhtiar karena merasa hari-harinya pasti diliputi keberuntungan. Juga tidak dicekam kecemasan karena dihantui hari-hari penuh sial. Sebagai hamba, manusia didorong untuk berencana, berjuang, dan berdoa; sementara ketentuan hasil dipasrahkan kepada Allah. Dengan demikian, saat menuai hasil, kita tetap bersyukur; dan tatkala mengalami kegagalan, kita tidak lantas putus asa.

Kemudaratan dan kesialan dapat menimpa kita kapan saja, tidak mesti pada bulan-bulan tertentu. Dari sinilah kita diharapkan untuk selalu menjaga diri, melakukan usaha-usaha pencegahan, termasuk dengan doa memohon perlindungan kepada Allah setiap hari. Doa yang bisa dibaca adalah:

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dengan menyebut nama Allah yang bersama nama-Nya tidak akan ada sesuatu di bumi dan di langit yang sanggup mendatangkan mudarat. Dialah Maha-mendengar lagi Maha-mengetahui.”

Barangsiapa yang membaca doa tersebut pagi dan sore, maka ia tidak akan menerima akibat buruk dari malapetaka. Keterangan tentang doa ini bisa ditemukan dalam hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah.

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullâh,*

Keberuntungan sejati adalah ketika seorang hamba mengisi waktunya, kapan saja itu, untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Sebaliknya, kerugian terjadi adalah saat seseorang menyia-nyiakan waktunya, termasuk ketika di bulan-bulan mulia sekalipun. Tidak ada bulan sial atau tidak, yang ada adalah apakah perbuatan kita membawa maslahat atau tidak, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Inilah momentum baik untuk lebih menghargai waktu, dengan membangun optimisme dan gairah menghamba kepada Allah setulus-tulusnya.

Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathâif al-Ma’ârif fîmâ li Mawâsim al-‘Am min al-Wadhâif, berpesan melalui syair:

كَمْ ذَا التَّمَادِي فَهَا قَدْ جَاءَنَا صَفَرُ ... شَهْرٌ بِهِ الْفَوْزُ وَالتَّوْفِيْقُ وَالظَّفَرُ

“Betapa banyak orang yang memiliki tuntutan, maka ini telah datang bulan Safar kepada kita. Bulan yang disertai dengan kemenangan, taufik, dan keberhasilan.”

فَابْدَأْ بِمَا شِئْتَ مِنْ فِعْلٍ تَسُرُّ بِهِ ... يَوْمَ الْمَعَادِ فَفِيْهِ الْخَيْرُ يَنْتَظِرُ

“Maka mulailah berbuat sesuatu yang akan membuatmu senang di hari kembali (hari kiamat), maka disana engkau akan melihat kebaikan.”

تُوْبُوا إِلَى اللهِ فِيْهِ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ ... مِنْ قَبْلُ يَبْلُغُ فِيْكُمْ حَدُّهُ الْعُمْرُ

“Bertaubatlah kepada Allah di bulan Safar dari dosa-dosa, sebelum batas akhir usia menghampiri pada kalian.”

Semoga kita semua menjadi peribadi-pribadi yang senantiasa dianugerahi kekuatan untuk menghormati waktu-waktu yang Allah anugerahkan kepada kita untuk perbuatan dan pikiran yang berfaedah, membawa maslahat, baik di dunia maupun di akhirat. Âmîn.

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

KAJIAN TENTANG RUU KUHP YANG MENIMBULKAN PRO KONTRA MENURUT SYARI'AT AGAMA ISLAM


Demo mahasiswa berlanjut di Jakarta dengan melibatkan ribuan massa pada Selasa (24/9/2019). Demo serupa meluas di Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan dan sejumlah kota lainnya. Di ibu kota, ribuan mahasiswa mengepung Gedung DPR. Sementara di banyak kota lain, gedung DPRD digeruduk demonstran.

Selain menolak beberapa rancangan beleid, dua isu yang menjadi sorotan utama demo mahasiswa di semua kota ialah RUU KUHP dan UU KPK yang baru (hasil revisi).

Revisi UU KPK telah disahkan DPR. Sedangkan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan semula akan disahkan pada Selasa. Namun, DPR RI memutuskan menunda pengesahan dua RUU itu setelah ada usulan dari Presiden Joko Widodo.

Pada Senin kemarin, Presiden Jokowi meminta DPR RI menunda pengesahan RUU KUHP, RUU PAS, RUU Minerba dan RUU Pertanahan. Namun, Jokowi mengaku belum berencana menerbitkan Perppu KPK (pengganti UU KPK yang baru), walaupun hal itu menjadi tuntutan mahasiswa di banyak kota.

Lalu apa isi pasal-pasal kontroversial di RUU KUHP yang dinilai bermasalah dan memantik demo ribuan mahasiswa di berbagai kota? Berikut ini daftar sejumlah pasal kontroversial itu. Rincian pasal-pasal ini sesuai isi RUU KUHP versi siap disahkan yang diunggah situs reformasikuhp.org. Diantaranya sbb :

*1. Pasal RUU KUHP soal Korupsi*

Sejumlah pasal di RUU KUHP memuat hukuman bagi pelaku korupsi yang lebih rendah daripada UU Tipikor. Pasal 603 RUU KUHP mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup atau paling sedikit 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Sedangkan pasal 2 UU Tipikor, mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah pidana seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.

Dalam buku Nadhratun Na’im disebutkan bahwa di antara hal yang termasuk ghulul (korupsi) adalah menggelapkan harta rakyat umat Islam (harta negara), berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Al-Mustaurid bin Musyaddad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang kami angkat sebagai aparatur negara hendaklah dia menikah (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak mempunyai pembantu rumah tangga hendaklah dia mengambil pembantu (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak memiliki rumah hendaklah dia membeli rumah (dengan biaya tanggungan negara)." (Nadhratun Na`im, XI. Hlm. 5131)

Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa (aparat) yang mengambil harta negara selain untuk hal yang telah dijelaskan sungguh ia telah berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu Daud).

Ibnu Hajar Al Haitami (wafat: 974 H) berkata, “Sebagian para ulama berpendapat bahwa menggelapkan harta milik umat Islam yang berasal dari baitul maal (kas negara) dan zakat termasuk ghulul“. (Az Zawajir an Iqtirafil Kabair, jilid II, Hal. 293).

Seorang koruptor tetap layak untuk dihukum. Di antara hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor sebagai berikut:

*Pertama,* koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.

Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).

*Kedua,* hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,  jilid XII, hal 276.)

*2. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden*

Pasal kontroversial RUU KUHP yang lain terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal 218 mengancam pelaku dengan penjara maksimal 3,5 tahun. Di pasal 219, pelaku penyiaran hinaan itu diancam 4,5 tahun bui. Di pasal 220 RUU KUHP, dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik apabila diadukan oleh presiden atau wakil presiden.

Dalam riwayat imam Tirmidzi dan selainnya dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi, katanya,

كُنْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ أَبِيْ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ, فَقَالَ أَبُوْ بِلاَلٍ: انْظُرُوْا إِلَى أَمِيْرِنَا يَلْبَسُ لِبَاسَ الْفُسَّاقِ, فَقَالَ أَبُوْ بَكْرَةَ : اسْكُتْ! سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِيْ الأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ

“Saya pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata: Lihatlah pemimipin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah menegurnya seraya berkata: Diamlah, saya mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya“” (HR. Tirmdzi: 1812).

3. Pasal RUU KUHP tentang Makar

RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191, 192 dan 193. Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati, seumur hidup atau bui 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12 dan 15 tahun.

*Bughot (Pembetontak/Makar) Menurut Ulama Syafi’iyah.*

… البغاة … المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة لهم و تأويل و مطاع فيهم

( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )

“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).

… هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع ( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )

“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah/komunitas), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)

*Tindakan Terhadap Bughat*

وان طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فاصلحوا بينهما فان بغت احداهما على الاخراى فقاتلواالتي تبغى حتى تفىء الى امرالله فان فاْصلحوا بينهما بالعدل (الحجرات: 9)

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikan lah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali pada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikan lah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah." (QS. Al-Hujarat:9)

عن ابن عمر رضي الله عنه. قال: قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم, هل تدرى كيف حكم الله فيمن بغى من هذه الامة قال الله ورسوله اعلم قال : لا يجهر على جريحها ولا يقتل اسير ولا يطلب هاربها ولا يقسم فيئها (رواه البخارى والحكم)

Dari Ibnu Umar ra ia berkata “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tahukah engkau bagai mana hukum Allah dalam perkara orang-orang yang telah jadi kaum bughat dari umat ini? Seorang dari sahabat berkata, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, Rasulullah bersabda “tidak boleh ditambah lukanya, tidak boleh dibunuh tawanan nya, tidak perlu dicari mereka yang lari, dan tidak boleh dibagi-bagi rampasan nya. (HR. Al-Bazzar dan Hakim).

*4. Pasal RUU KUHP tentang Zina* dan Kohabitasi

Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi (hidup bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal 417 mengatur hukuman bagi mereka yang berzina maksimal bui 1 tahun atau denda Rp10 juta.

Ajaran islam menjelaskan tentang hukuman bagi pezina sebagaimana firman Allah Ta'ala,

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

“Pezina lelaki dan pezina perempuan cambuklah masing-masing 100 kali cambukan..”

Allah Ta'ala juga berfirman,

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً

”Orang yang menuduh wanita baik-baik berzina dan dia tidak bisa mendatangkan 4 saksi, pukullah dia 80 kali…”

Di negara kita, pemerintah tidak menyelenggarakan hukuman had. Sementara rakyat tidak boleh proaktif dengan melaksanakan hukuman had sendiri. Sehingga mereka yang melakukan pelanggaran dengan ancaman hukuman had, tidak bisa ditegakkan hukuman had untuknya.

Bukanlah syarat diterimanya taubat zina, dia harus dihukum had, baik cambuk maupun rajam. Dan bagian paling penting bagi mereka yang melakukan maksiat semacam ini adalah bertaubat. Memohon ampunan kepada Allah Ta’ala.

Jika seseorang serius bertaubat, dan Allah mengampuninya, statusnya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak memiliki itu dosa.” (HR. Ibnu Majah 4250, baihaqi dalam al-Kubro 20561).

*5. Pasal RUU KUHP soal Pencabulan* 

Pasal 420 mengatur pemidanaan pencabulan dengan memberikan tekanan kata: "terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya."

*Hukum Islam untuk kasus pemerkosaan ada dua :*

*Pertama :* Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata.

Orang yang melakukan tindak pemerkosaan semacam ini dihukum sebagaimana hukuman orang yang berzina. Jika dia sudah menikah maka hukumannya berupa dirajam, dan jika belum menikah maka dia dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan kepada pemerkosa untuk memberikan mahar bagi wanita korban pemerkosaan.

Imam Malik mengatakan, “Menurut pendapat kami, tentang orang yang memperkosa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak wanita tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama sekali.” (Al-Muwaththa’, 2:734)

Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, “Wanita yang diperkosa, jika dia wanita merdeka (bukan budak), berhak mendapatkan mahar yang sewajarnya dari laki-laki yang memperkosanya. Sementara, pemerkosa dijatuhi hukuman had (rajam atau cambuk). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, ‘Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.'”

Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk ….” (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’, 5:268).

*Kedua :* Pemerkosaan dengan menggunakan senjata.

Orang yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana perampok. Sementara, hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33)

Ibnu Qayyim mengisahkan ayat ini dijadikan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib ra di hadapan Khalifah Umar bin Khaththab ra untuk membebaskan seorang perempuan yang dipaksa berzina oleh seorang penggembala, demi mendapat air minum karena perempuan itu sangat kehausan. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 365; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294).

*6. Pasal Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak*

Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang membiarkan unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman milik orang lain terancam denda sampai Rp10 juta.

Ajaran islam menjelaskan dalam salah satu bahasan dalam fikih. Kalau orang punya hewan piaraan yang sifatnya usil, mesti dijaga supaya tak merusak harta orang. Bila hewan itu merusak milik orang, ya pemiliknya harus bertanggung jawab.

(مَسْأَلَة أُخْرَى) كَذَلِك إِذا كَانَ لشخص قطة تخطف الطُّيُور وتقلب الْقُدُور فأتلفت شَيْئا ضمنه صَاحبهَا على الصَّحِيح سَوَاء أتلفت لَيْلًا أَو نَهَارا لِأَن مثل هَذِه الْهِرَّة يَنْبَغِي أَن ترْبط ويكف شَرها وَكَذَا الحكم فِي كل حَيَوَان يولع بِالتَّعَدِّي

كفاية الأخيار في حل غاية ... ج: ١ - ص: ٤٩١ -

"Masalah lain: Seperti itu juga apabila ada orang yang mempunyai kucing yang suka menerkam burung atau menumpahkan kendil lalu ia merusak sesuatu, maka pemiliknya harus mengganti rugi, menurut pendapat yang sahih. Baik perusakan itu siang atau malam sebab kucing yang seperti ini seharusnya diikat dan dijaga tingkah buruknya. Demikian juga hukum dalam hal seluruh hewan yang kecenderungannya merusak". (Kifayatul Akhyar)

Lalu sekarang orang pada kaget dan menolak ketika dengar pasal-pasal tersebut padahal sudah sesuai syari'at islam? Ada apa dan kenapa? Bahkan yang lebih aneh ada pihak yang memelintir pasal pencabulan 420 dipahami dengan pemerkosaan (memaksa berhubungan intim) terhadap istri sendiri akan dihukum pidana 12 tahun penjara. Inilah yang dinamakan hoaxs kuadrat mugholazhoh. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 25 September 2019

KAJIAN TENTANG HUKUM BPJS (BADAN PENYELENGGARA JAMINAN KESEHATAN)


BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.

BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.

Forum bahtsul masail pra muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan PBNU di pesantren Krapyak Yogyakarta pada 28 Maret 2015 lalu, sepakat mendukung program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang ditangani BPJS Kesehatan. Mereka menyimpulkan bahwa konsep JKN yang ditangani BPJS Kesehatan tidak bermasalah menurut syariah Islam.

Konsep ta’awun yang diberlakukan BPJS, masuk dalam bab jihad seperti disebutkan Fathul Mu’in yakni daf’u dhararin ma’shumin. Sehingga di sini pemerintah diposisikan sebagai administrator bagi orang kaya untuk membantu mereka yang lemah.

Banyak dalil-dalil syar’i yang menjelaskan bahwa negara dalam Islam wajib memberikan jaminan kesehatan secara gratis bagi rakyatnya. Di antaranya dalil umum sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

فَالْأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ، وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ini adalah dalil umum bahwa negaraharus menjamin seluruh urusan rakyatnya, termasuk jaminan kesehatan. Ada pula dalil-dalil khusus yang menunjukkan kewajiban negara menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis. Jabir ra. menuturkan,

بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ طَبِيْبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عُرْقًا ثُمَّ كَوَاهَ عَلَيْهِ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka'ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan kay (sentuhan dengan besi panas) pada urat itu (HR Muslim).

Dalam hadits tersebut, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma. Beliau mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).

Zaid bin Aslam ra. menuturkan riwayat dari bapaknya yang bertutur,

مَرِضْتُ فِيْ زَمَانِ عُمَرٍ بْنِ الْخَطَّابِ مَرْضًا شَدِيْدًا فَدَعَا لِيْ عُمَرٌ طَبِيْبًا فَحَمَانِيْ حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النُّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ

"Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar ra. memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruh aku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu." (HR al-Hakim, dalam Al Mustadrak, IV/7464)

Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar ra. selaku khalifah (kepala negara Khilafah) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis. Beliau mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa rakyatnya harus membayar sedikitpun (Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).

Semua itu merupakan dalil syariah yang shahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari Negara (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).

Adapun jika menggunakan sistem Asuransi Takaful, peserta BPJS harus memberikan hartanya secara suka rela -bukan terpaksa- demi kemaslahatan bersama, tanpa mengharapkan harta yang diberikan tersebut. Maka dalam hal ini hukumnya boleh. (Lihat MUI, No: 21/DSN-MUI/X/2001). 

Hal ini berdasarkan hadist Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الأشْعَرِيِّينَ إِذَا أرْمَلُوا في الغَزْوِ ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بالمَديِنَةِ ، جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ في ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ في إنَاءٍ وَاحدٍ بالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأنَا مِنْهُمْ

“ Sesungguhnya keluarga al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau menepisnya makanan keluarga mereka di Madinah, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu kain, kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu bejana, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka.“ (HR Bukhari, 2486 dan Muslim, 2500)

Namun jika peserta Asuransi Takaful mengharapkan harta yang sudah diberikan, maka bertentangan dengan pengertian hibah, yang secara hukum Islam harta yang sudah dihibahkan hendaknya jangan ditarik kembali. Hal itu sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلرَّ جُلِ أَنْ يُعْطِيَ الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يرْخِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَ الِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَه         

 “Tidaklah halal jika seseorang memberikan pemberian kemudian dia menarik lagi pemberiannya, kecuali orang tua (yang menarik lagi) sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Ini dikuatkan dengan hadist hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lainnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 الْعَائِدُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِى قَيْئِهِ

“Orang yang mengambil kembali pemberian (yang telah diberikan kepada orang lain) seperti anjing yang menjilat muntahannya (HR Bukhari dan Muslim)

*Rincian Hukum BPJS*

BPJS dikategorikan menjadi 3:

1- PBI (Peserta Bantuan Iuran)

Murni gratis dengan subsidi dari pemerintah bagi WNI yang telah direkomendasikan sebagai warga yg tidak mampu.

2- Non PBI diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI, organisasi, lembaga dan perusahaan. Dana ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga sebagiannya  ditanggung peserta.

3- Mandiri

Bersifat premi iuran dengan tiga kategori kelas sebagaimana telah disebutkan. Jika terjadi keterlambatan menyetor iuran maka terkena denda dan ini masuk kategori unsur riba dan gharar.

Jadi, BPJS yg diperbolehkan adalah kategori 1 karena murni gratis tanpa premi dan tanpa denda. Kategori 2 dibolehkan bila tanpa premi (tidak ada premi yang dipotong dari gaji) dan tidak ada denda.

Sedangkan kategori 3, haram untuk diikuti dengan karena ada unsur gharar dan riba. Ghararnya dari sisi spekulasi yang tinggi untuk rugi karena resiko tidak bisa dipastikan. Accident belum pasti pula terjadi. Pengertian gharar sebagaimana dikatakan oleh Al Jarjani,

مَا يَكُوْنُ مَجْهُوْلُ العَاقِبَةِ لاَ يَدْرِى أَيَكُوْنُ أَمْ لَا

“Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya akan ada ataukah tidak.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 31: 149).

Gharar seperti inilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror.” (HR. Muslim no. 1513)

Contoh gharar di masa silam yang terlarang sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir.” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883).

Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu. Itulah ghoror karena ujung akhirnya tidaklah jelas diperoleh. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGHADIRI UNDANGAN WALIMAH (TASYAKURAN)


Para ulama Salaf sangat memperhatikan undangan segala bentuk jamuan makan. Apa pun bentuk jamuannya (selagi dibolehkan dalam syariat) baik berupa jamuan walimah, naqi’ah, khurs, i’dzar dan lain-lain, mereka sangat berantusias menghadirinya kecuali ada udzur.

Di antara mereka adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma. Dari Mujahid rahimahullah,

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ دُعِيَ يَوْمًا إِلَى طَعَامٍ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: أَمَّا أَنَا فَاعْفِنِي مِنْ هَذَا فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : لاَ عَافِيَةَ لَكَ مِنْ هَذَا فَقُمْ.

“Bahwa suatu hari Ibnu Umar diundang ke suatu acara jamuan makan. Maka seseorang dari kaum berkata: “Adapun saya, maka maafkanlah saya dari ini (berhalangan hadir).” Ibnu Umar berkata kepadanya: “Tidak ada maaf bagimu (udzurmu ditolak). Ayo berangkat!” (Atsar riwayat Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 19663 (10/448) dan al-Baihaqi dalam al-Kubra: 14934 (7/264). Isnadnya di-shahih-kan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: 9/247).

Begitu pula sikap Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma. Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah berkata,

دُعِىَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ يُعَالِجُ أَمْرَ السِّقَايَةِ فَقَالَ لِلْقَوْمِ : قُومُوا إِلَى أَخِيكُمْ أَوْ أَجِيبُوا أَخَاكُمْ فَاقْرَءُوا عَلَيْهِ السَّلاَمَ وَأَخْبِرُوهُ أَنِّى مَشْغُولٌ

“Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma pernah diundang ke suatu acara jamuan makan. Ketika itu beliau sedang mengurusi air minum (untuk jamaah haji). Maka beliau berkata kepada kaum (para sahabatnya), “Berangkatlah atau datangilah undangan saudara kalian dan sampaikan salam kepadanya serta sampaikan kabar kepadanya bahwa aku sedang sibuk!” (Atsar riwayat al-Baihaqi dalam al-Kubra: 14934 (7/264) dan Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 19664 (10/448). Isnadnya di-shahih-kan oleh al-Hafizh dalam Fathul Bari: 9/247).

Sikap tersebut mereka pegang karena mereka sangat memperhatikan pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ

“Jika seseorang dari kalian mengundang saudaranya, maka hendaknya ia mendatangi undangan itu. Baik itu acara pernikahan atau selainnya.” (HR. Muslim: 2578, Abu Dawud: 3248 dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma).

Al-Allamah Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1031 H) rahimahullah berkata,

قوله (أو نحوه) كختان وعقيقة

“Maksud sabda beliau “atau selainnya” adalah seperti acara jamuan khitan atau aqiqah.” (Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ish Shaghir: 6/163).

*Acara walimah 'urs (pengantin)

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak membedakan antara undangan jamuan walimah atau jamuan lainnya seperti aqiqah, khitanan, wakirah, khurs dan sebagainya. Beliau tetap memerintahkan kita untuk menghadirinya.

Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi (wafat tahun 1329 H) rahimahullah berkata,

وقد احتج بهذا من ذهب إلى أنه يجب الإجابة إلى الدعوة مطلقا وزعم بن حزم أنه قول جمهور الصحابة والتابعين

“Hadits ini dijadikan hujjah oleh orang yang mewajibkan mendatangi undangan jamuan secara mutlak. Ibnu Hazm menyangka bahwa itu merupakan pendapat jumhur (mayoritas) sahabat dan tabi’in.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud: 10/146).

Di antara sahabat beliau yang mengamalkan hadits di atas adalah Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. Al-Imam Nafi’ (ulama tabi’in, wafat tahun 117 H) rahimahullah berkata,

وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَأْتِي الدَّعْوَةَ فِي الْعُرْسِ وَغَيْرِ الْعُرْسِ وَهُوَ صَائِمٌ

“Dan adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu mendatangi undangan jamuan, baik undangan pernikahan ataupun selain pernikahan dalam keadaan berpuasa.” (Atsar riwayat al-Bukhari dalam Shahihnya: 4781 secara ta’liq dengan shighat jazem). Dan undangan selain pernikahan itu meliputi aqiqah, khitan, wakirah, naqi’ah dan sebagainya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga tidak membedakan apakah yang mengundang itu orang kaya atau miskin, makanannya banyak atau sedikit, masakannya enak atau kurang enak. Beliau bersabda,

لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ  لَقَبِلْتُ

“Seandainya aku diundang acara jamuan makanan (dengan hidangan) sebesar kikil (kambing atau sapi, pen), maka pasti aku akan datang. Dan seandainya aku diberi hadiah sebesar kikil, maka pasti aku akan menerimanya.” (HR. Al-Bukhari: 2380, Ahmad: 9121 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).

Al-Allamah Ubaidullah al-Mubarakfuri rahimahullah menyatakan,

وفي الحديث دليل على حسن خلقه – صلى الله عليه وسلم – وتواضعه وجبره لقلوب الناس وعلى قبول الهدية وإجابة من يدعو الرجل إلى منزله، ولو علم أن الذي يدعوه إليه شيء قليل

“Di dalam hadits ini terdapat dalil atas bagusnya akhlak beliau shallallahu alaihi wasallam, tawadlu’ beliau dan usaha beliau melunakkan hati manusia. Serta terdapat dalil atas anjuran menerima hadiah dan mendatangi undangan seseorang ke rumahnya, meskipun diketahui bahwa hidangan jamuannya itu hanya sedikit.” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 6/224).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَجِيبُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ إِذَا دُعِيتُمْ لَهَا

“Hadirilah undangan ini jika kalian diundang untuk menghadirinya!” (HR. Al-Bukhari: 4781, Muslim: 2581 dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat tahun 852 H) rahimahullah berkata:

(أجيبوا هذه الدعوة) وهذه اللام يحتمل أن تكون للعهد والمراد وليمة العرس

“Huruf “Al” dalam sabda beliau (di atas) adalah untuk “al-Ahdu” (mengulang penyebutan). Sehingga  yang dimaksud adalah walimah untuk pernikahan.” (Fathul Bari: 2/246).

Al-Imam Abul Hasan Ibnu Baththal al-Maliki (wafat tahun 449 H) rahimahullah menyatakan,

هذا الحديث حجة لمن أوجب إجابة الوليمة وغيرها فرضًا، وقد تقدم أن إجابة الدعوة فى غير العرس عند مالك والكوفيين مندوب إليها

“Hadits ini menjadi hujjah bagi orang-orang yang mewajibkan menghadiri undangan walimah (pesta pernikahan) dan lainnya secara fardlu. Dan telah terdahulu keterangan bahwa menghadiri undangan selain pernikahan menurut Imam Malik dan ulama Kufah hanyalah anjuran saja (tidak sampai wajib).” (Syarh Shahihil Bukhari li Ibni Bathal: 7/290).

Al-Allamah Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1031 H) rahimahullah juga menyatakan,

فالوليمة له سنة والإجابة إليها عند توفر الشروط واجبة أمّا غير العرس من الولائم العشرة المشهورة فإتيانها مندوب

“Mengadakah acara walimah untuk pernikahan adalah sunnah, sedangkan mendatanginya jika (persyaratan untuk mendatanginya terpenuhi) adalah wajib. Adapun jamuan makan selain pernikahan dari sepuluh macam acara jamuan makan yang terkenal, maka mendatanginya hanya dianjurkan (tidak diwajibkan).” (At-Taisir Syarh al-Jami’ish Shaghir: 1/25).

Al-Imam al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata,

وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ . وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : هِيَ وَاجِبَةٌ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ ، وَلِأَنَّ الْإِجَابَةَ إلَيْهَا وَاجِبَةٌ ؛ فَكَانَتْ وَاجِبَةً . وَلَنَا ، أَنَّهَا طَعَامٌ لَسُرُورٍ حَادِثٍ ؛ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْأَطْعِمَةِ ، وَالْخَبَرُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ ؛ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَاهُ ، وَكَوْنِهِ أَمَرَ بِشَاةِ وَلَا خِلَافَ فِي أَنَّهَا لَا تَجِبُ ، وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْمَعْنَى لَا أَصْلَ لَهُ ، ثُمَّ هُوَ بَاطِلٌ بِالسَّلَامِ ، لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَإِجَابَةُ الْمُسَلِّمِ وَاجِبَةٌ

“Dan mengadakan acara walimah itu tidaklah wajib menurut kebanyakan ulama’. Sebagian ulama madzhab Syafi’i menyatakan wajib, karena Nabi shallallahu alahi wa sallam memerintahkan Abdurrahman bin Auf mengadakan walimah. Dan juga karena mendatangi undangan walimah itu hukumnya wajib, maka mengadakan acara walimah menjadi wajib. Sedangkan menurut kami, walimah merupakan jamuan makan karena rasa gembira, sehingga menyerupai acara jamuan lainnya (seperti naqi’ah, wakirah, dst, pen). Dan hadits di atas dipahami sunnah dengan dalil yang saya terangkan tadi, dan juga karena beliau memerintahkannya berwalimah dengan seekor kambing. Dan tidak diperselisihkan lagi bahwa acara ini tidak wajib. Dan apa yang mereka sebutkan dari makna hadits ini adalah tidak ada asalnya. Kemudian alasan ini juga batal dengan alasan salam. Menyebarkan salam tidaklah wajib sedangkan menjawab salam hukumnya wajib.” (Al-Mughni: 15/487).

*Acara Naqi’ah ketika Pulang dari Safar*

Ketika pulang dari bepergian jauh, dianjurkan untuk mengadakan acara jamuan makan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla.

Al-Allamah Abus Sa’adat Ibnul Atsir al-Jazari (wafat tahuin 606 H) rahimahullah berkata,

وفيه ذكر [ النَّقيعة ] وهي طَعام يَتَّخذه القادم من السَّفَر

“Di dalam hadits terdapat penyebutan kata ‘an-Naqi’ah’, yaitu hidangan jamuan yang diadakan oleh seorang yang datang dari safar (bepergian).” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar: 5/227).

Kata ‘naqi’ah’ berasal dari kata ‘an-naq’u yang berarti debu. (At-Tibyan fi Tafsir Gharibil Quran: 472). Di antaranya adalah firman Allah Azza wa Jalla,

فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا

“Maka ia (kuda perang) menerbangkan debu.” (QS. Al-Adiyat: 4).

Di antara hadits yang menunjukkan dianjurkannya acara naqi’ah adalah hadits Jabir bin Abdullah radliyallahu anhuma. Ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً

“Bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyembelih seekor unta atau sapi.” (HR. Al-Bukhari: 2859, Abu Dawud: 3255).

Jabir juga menceritakan,

اشْتَرَى مِنِّي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعِيرًا بِوَقِيَّتَيْنِ وَدِرْهَمٍ أَوْ دِرْهَمَيْنِ فَلَمَّا قَدِمَ صِرَارًا أَمَرَ بِبَقَرَةٍ فَذُبِحَتْ فَأَكَلُوا مِنْهَا

“Nabi shallallahu alaihi wasallam membeli seekor unta dariku seharga 2 Uqiyah ditambah 1 Dirham atau 2 Dirham. Ketika beliau tiba di Shirar (nama suatu tempat, pen), beliau memerintahkan untuk menyembelih seekor sapi. Kemudian mereka (kaum muslimin) ikut memakan dari sapi tersebut.” (HR. Al-Bukhari: 2859, Muslim: 3000).

Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi (wafat tahun 1329 H) rahimahullah berkata,

والحديث يدل على مشروعية الدعوة عند القدوم من السفر ويقال لهذه الدعوة النقيعة

“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya mengundang manusia untuk menghadiri jamuan makan ketika pulang dari bepergian. Acara ini disebut “Naqi’ah”.” (Aunul Ma’bud: 10/152).

*Acara Khurs (selesai nifas) dan Aqiqah pada Kelahiran Anak*

Sebenarnya hakekat ‘khurs’ dan ‘aqiqah’ adalah sama, yaitu jamuan yang dibuat dalam rangka kelahiran bayi. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat sedikit perbedaan. Mufadl-dlal bin Salamah berkata,

وطعام الوِلادة الخُرس، وطعام حلق الرأس العقيقة

“Jamuan untuk kelahiran bayi disebut ‘khurs’ sedangkan jamuan untuk diplontosnya kepala bayi disebut ‘aqiqah.” (Al-Fakhir: 212, Fiqhul Lughah: 975).

Adapun dasar adanya undangan jamuan ‘khurs’ atau ‘aqiqah’ pada masa Salaf, maka Mu’awiyah bin Qurrah (seorang ulama tabiin) rahimahullah berkata,

لما ولد لي إياس دعوت نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فأطعمتهم فدعوا فقلت إنكم قد دعوتم فبارك الله لكم فيما دعوتم وإني إن أدعو بدعاء فأمنوا قال فدعوت له بدعاء كثير في دينه وعقله

“Ketika anakku, Iyas lahir, aku mengundang beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Aku menjamu mereka. Aku berkata: “Sesungguhnya kalian telah berdoa, maka semoga Allah memberkati kalian dalam doa kalian. Dan jika aku berdo’a dengan suatu do’a, maka silakan kalian aminkan! Maka aku berdoa untuk anakku dengan doa yang banyak untuk kebaikan urusan agama dan akalnya.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 1255 (429).

Dan mengadakan jamuan aqiqah itu sebuah pilihan. Daging aqiqah boleh kita bagikan kepada tetangga dalam keadaan masak. Atau kita mengundang tetangga untuk menghadiri jamuan aqiqah di rumah kita. Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata,

وَإِنْ طَبَخَهَا ، وَدَعَا إخْوَانَهُ فَأَكَلُوهَا ، فَحَسَنٌ .

“Dan jika ia memasaknya (daging aqiqah tersebut) dan mengundang saudara-saudaranya, kemudian mereka memakan hidangan tersebut, maka itu juga baik.” (Al-Mughni: 22/11).

*Acara I’dzar atau Adzirah untuk Khitanan Anak*

Kata ‘i’dzar’ berarti ‘khitan’. Di dalam sebuah atsar Salaf terdapat contoh pemakaian kata ‘i’dzar’ yang berarti khitan. Musa bin Thalhah bin Ubaidillah rahimahullah berkata,

كان علي بن أبي طالب والزبير بن العوام وطلحة بن عبيد الله وسعد بن أبي وقاص عذار عام واحد يقول أسنانهم متقاربة عذروا في عام واحد

“Adalah Ali bin Abi Thalib, Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash adalah  ‘idzar’ (khitan) dalam 1 tahun.” Maksudnya adalah umur mereka berdekatan, dikhitan dalam tahun yang sama.” (Atsar riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Damsyiq: 20/296. Lihat pula Tahdzibut Tahdzib: 3/420).

Al-Allamah Abul Hasan Ibnu Sayyidih (wafat tahun 458 H) rahimahullah berkata,

أصل الاِعذار الختان ثم سمي الطعامُ للخِتان إعْذَاراً، ابن السكيت، هي العَذِيرة

“Asal kata ‘al-I’dzar’ adalah khitan. Kemudian jamuan makan untuk khitanan dinamakan dengan ‘al-I’dzar’. Sedangkan menurut Ibnus Sikkit disebut ‘al-Adzirah’.”
(Al-Mukhashshash fil Lughah: 1/360).

Sikap al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata,

وَكُلُّ دَعْوَةٍ كانت على إمْلَاكٍ أو نِفَاسٍ او خِتَانٍ أو حَادِثِ سُرُورٍ دُعِيَ إلَيْهَا رَجُلٌ فَاسْمُ الْوَلِيمَةِ يَقَعُ عليها وَلَا أُرَخِّصُ لِأَحَدٍ في تَرْكِهَا

“Dan setiap undangan jamuan baik itu acara ‘imlak’ (jamuan akad nikah), atau ‘nifas’ (yaitu kelahiran bayi) atau khitan atau kejadian yang menyenangkan, yang mana seseorang diundang untuk menghadirinya, maka nama ‘walimah’ tersemat pada acara tersebut. Dan aku tidak memberikan keringanan kepada seorang pun untuk tidak menghadirinya.” (Al-Umm: 6/181).

*Acara Hidzaq ketika Selesai Mempelajari Ilmu*

Sebagai rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla, seseorang diperbolehkan mengadakan acara jamuan makan ketika berhasil menyelesaikan suatu pelajaran, atau lulus ujian atau khatam al-Quran.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

وقد فاتهم ذكر الحذاق بكسر المهملة وتخفيف الدال المعجمة وآخره قاف الطعام الذي يتخذ عند حذق الصبي ذكره ابن الصباغ في الشامل وقال ابن الرفعة هو الذي يصنع عند الختم أي ختم القرآن كذا قيده  ويحتمل ختم قدر مقصود منه ويحتمل أن يطرد ذلك في حذقه لكل صناعة

“Dan mereka (para ulama) lupa menyebutkan ‘hidzaq’, yaitu acara jamuan makan yang dibuat ketika seorang anak telah mahir (terhadap suatu ilmu atau hafal terhadap al-Quran). Ini disebutkan oleh ash-Shabbagh dalam asy-Syamil. Ibnur Rif’ah menyatakan bahwa ‘hidzaq’ adalah jamuan makan yang dibuat ketika selesai menghafal al-Quran. Demikian Ibnu Rif’ah membatasi. Bisa jadi ‘hidzaq’ diadakan ketika selesai menghafal sebagian al-Quran, bisa jadi diadakan ketika ia telah mahir atau lulus dalam setiap cabang ilmu.” (Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari: 9/241).

Al-Allamah Abu Nashr al-Jauhari (wafat tahun 393 H) rahimahullah menyatakan,

ويقال لليوم الذي يَختم فيه الصبيُّ القرآن هذا يوم حِذاقِه

“Dan dikatakan untuk hari yang mana seorang bocah telah selesai menghafal al-Quran: “Ini adalah ‘hari hidzaq’-nya.” (Ash-Shihhah fil Lughah: 1/120 dan Lisanul Arab: 10/40).

Al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi (wafat tahun 1252 H) rahimahullah berkata:

وَلِحِفْظِ قُرْآنٍ وَآدَابٍ لَقَدْ قَالُوا الْحُذَّاقُ لِحِذْقِهِ وَبَيَانِهِ

“Acara untuk seseorang yang telah berhasil menghafal al-Quran atau suatu adab disebut oleh para ulama dengan al-Hidzq, karena ia telah mahir dan mumpuni.” (Hasyiyah ar-Raddil Mukhtar alad Durril Mukhtar: 24/154).

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali rahimahullah menyatakan,

رُوِيَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ رَحِمَهُ اللَّهُ ، أَنَّ بَعْضَ أَوْلَادِهِ حَذَقَ ، فَقَسَمَ عَلَى الصِّبْيَانِ الْجَوْزَ

“Dan diriwayatkan dari Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal) rahimahullah, bahwa sebagian anaknya telah selesai (menghafal al-Quran atau menguasai cabang ilmu). Kemudian beliau membagi-bagikan buah kenari (kacang Arab) kepada anak-anak.” (al-Mughni: 16/16, Syarh az-Zarkasyi alal Khurqi: 2/443, al-Mubdi’ Syarhul Muqni’: 7/173).

Bahkan dalam keterangan lainnya, Muhammad bin Ali bin Bahr berkata,

سَمِعْت حُسْنَ أُمَّ وَلَدِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلِ تَقُولُ : لَمَّا حَذَقَ ابْنِي حَسَنٌ ، قَالَ لِي مَوْلَايَ : حُسْنُ ، لَا تَنْثُرِي عَلَيْهِ . فَاشْتَرَى تَمْرًا وَجَوْزًا ، فَأَرْسَلَهُ إلَى الْمُعَلِّمِ ، قَالَتْ : وَعَمِلْت أَنَا عَصِيدَةً ، وَأَطْعَمْت الْفُقَرَاءَ ، فَقَالَ : أَحْسَنْت أَحْسَنْت . وَفَرَّقَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ عَلَى الصِّبْيَان الْجَوْزَ ، لِكُلِّ وَاحِدٍ خَمْسَةٌ خَمْسَةٌ

“Aku pernah mendengar Husnu, seorang ummu walad dari Ahmad bin Hanbal bercerita: “Ketika anakku, Hasan, telah mahir (hafal) al-Quran, majikanku (Ahmad bi Hanbal) berkata kepadaku: “Wahai Husnu! Janganlah kamu menyebarkan buah kenari (sehingga anak-anak berebutan).” Kemudian Ahmad bin Hanbal membeli kurma dan buah kenari dan menyerahkannya kepada sang pengajar.” Husnu berkata: “Dan aku membuat ashidah (makanan Arab untuk jamuan) dan menjamu orang-orang fakir miskin.” Kemudian Ahmad berkomentar: “Kamu telah berbuat baik.” Dan ia membagikan buah kenari kepada anak-anak. Masing-masing anak mendapatkan 5 buah.” (Al-Mughni: 16/16, asy-Syarhul Kabir: 8/120).

Al-Hafizh Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim al-Bahili ash-Shawwaf dari Abu Khabib Abdul Jabbar al-Karabisi bahwa ia menceritakan masa kanak-kanaknya,

كان معنا ابن لأيوب السختياني في الكتاب فحذق الصبي فأتينا منزلهم فوضع له منبر فخطب عليه ونهبوا علينا الجوز، وأيوب قائم على الباب يقول لنا: ادخلوا وهو خاص لنا

“Adalah putra Ayyub as-Sakhtiyani bersama kami belajar di kuttab (semacam TPQ anak). Kemudian jika seorang bocah berhasil menghafal al-Quran, maka kami (teman-temannya) mendatangi rumah mereka dan si bocah dibuatkan mimbar agar ia berkhutbah di atasnya. Dan mereka menyebarkan buah kenari (kacang Arab) sehingga kami berebutan. Ayyub (as-Sakhtiyani) berdiri di pintu berkata kepada kami: “Silakan masuk!” acara jamuan ini khusus untuk kami.” (Atsar riwayat Ibnu Abid Dunya dalam an-Nafaqah alal Iyal: 310 (1/323)).

Atsar-atsar di atas menunjukkan bahwa acara ‘hidzaq’ itu sudah dikenal dan disetujui di masa as-Salaf.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,

المسألة الثانية يستحب صيام يوم الختم إلا أن يصادف يوما نهى الشرع عن صيامه

“Masalah kedua: Dianjurkan berpuasa di hari mengkhatamkan al-Quran kecuali bertepatan dengan hari yang dilarang oleh syariat untuk berpuasa padanya.” (At-Tibyan fi Adab Hamalatil Quran: 158).

Dari al-Awwam bin Hausyab dari Musayyib bin Rafi’ (seorang ulama tabi’in) rahimahullah,

كَانَ يَخْتِمُ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ ثَلاَثٍ ، ثُمَّ يُصْبِحُ الْيَوْمَ الَّذِي يَخْتِمُ فِيهِ صَائِمًا

“Adalah Musayyib bin Rafi’ mengkhatamkan al-Quran dalam tiap 3 hari. Kemudian beliau berpuasa di hari ia mengkhatamkannya.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 8675 (2/502). Isnadnya di-shahih-kan oleh an-Nawawi dalam At-Tibyan fi Adab Hamalatil Quran: 158).

Al-Imam Muhammad bin Nasher al-Marwazi rahimahullah menambahkan dari ulama tabiin lainnya,

وكذلك كان طلحة بن مصرف رحمه الله وحبيب بن أبي ثابت رحمه الله يفعلان

“Demikian pula Thalhah bin Musharrif rahimahullah dan Habib bin Abi Tsabit rahimahullah berpuasa di hari khataman mereka.” (Mukhtashar Qiyamil Lail: 172 (224)).

*Acara Wakirah jika Selesai Membangun Rumah*

Ketika selesai membangun rumah baru atau pindah rumah atau menempati rumah baru, seseorang diperbolehkan mengadakan acara jamuan makan sebagai rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla. Jamuan itu disebut dengan ‘wakirah’.

Al-Allamah Murtadha az-Zabidi al-Hanafi (wafat tahun 1205 H) rahimahullah menyatakan,

والوَكْرَةُ ويُحَرَّك والوَكِيرُ والوَكِيرَةُ : طَعامٌ يُعمَلُ لفَراغِ البُنْيانِ أَي بُنْيان وَكْرِه فيَدعو إليه أَو عندَ شِراءِ وَكْرِه وهذا نقله الزَّمخشريّ .

“Kata ‘wakrah’, ‘wakir’ dan ‘wakirah’ artinya jamuan makan yang dibuat ketika selesai proses pembangunan. Maksudnya selesai membangun tempat tinggalnya atau sehabis membeli tempat tinggalnya, kemudian ia mengundang orang untuk menghadiri jamuannya. Ini yang dinukilkan oleh az-Zamakhsyari.” (Tajul Arus min Jawahiril Qamus: 3617).

Adanya acara ‘wakirah’ dijadikan perumpamaan dalam sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ كَأَنَّ جِبْرِيلَ عِنْدَ رَأْسِي وَمِيكَائِيلَ عِنْدَ رِجْلَيَّ يَقُولُ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ اضْرِبْ لَهُ مَثَلًا فَقَالَ اسْمَعْ سَمِعَتْ أُذُنُكَ وَاعْقِلْ عَقَلَ قَلْبُكَ إِنَّمَا مَثَلُكَ وَمَثَلُ أُمَّتِكَ كَمَثَلِ مَلِكٍ اتَّخَذَ دَارًا ثُمَّ بَنَى فِيهَا بَيْتًا ثُمَّ جَعَلَ فِيهَا مَائِدَةً ثُمَّ بَعَثَ رَسُولًا يَدْعُو النَّاسَ إِلَى طَعَامِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَجَابَ الرَّسُولَ وَمِنْهُمْ مَنْ تَرَكَهُ فَاللَّهُ هُوَ الْمَلِكُ وَالدَّارُ الْإِسْلَامُ وَالْبَيْتُ الْجَنَّةُ وَأَنْتَ يَا مُحَمَّدُ رَسُولٌ فَمَنْ أَجَابَكَ دَخَلَ الْإِسْلَامَ وَمَنْ دَخَلَ الْإِسْلَامَ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ دَخَلَ الْجَنَّةَ أَكَلَ مَا فِيهَا

“Aku melihat dalam mimpiku, seolah-olah Jibril di sisi kepalaku dan Mikail di sisi kakiku. Salah satunya berkata kepada temannya: “Buatlah perumpamaan untuk orang ini (yaitu Nabi shallallahu alaihi wasallam)!” Maka salah satunya berkata: “Dengarkanlah dengan pendengaran telingamu dan pikirkan dengan pikiran hatimu! Perumpamaanmu dan umatmu hanyalah diumpamakan seperti raja yang mengambil suatu daerah, kemudian ia membangun suatu rumah di daerah itu, kemudian ia membuat sebuah hidangan makanan di rumah itu, kemudian ia mengundang manusia untuk menghadiri jamuan makannya. Di antara mereka ada yang datang dan di antara mereka ada yang tidak hadir. Maka Allah adalah raja itu. Daerah itu adalah Islam. Rumah itu adalah surga. Dan Engkau, wahai Muhammad, adalah utusan (yang mengundang manusia, pen). Barangsiapa yang mendatangi undanganmu, maka ia masuk Islam. Barangsiapa yang masuk Islam, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang masuk surga, maka ia akan memakan hidangan di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi: 2787).

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang masuk Islam itu yang akan memenuhi undangan ‘wakirah’ dari Allah Azza wa Jalla.

*Acara Ma’dubah, Jamuan Umum*

Seseorang boleh mengadakan jamuan makan di rumahnya tanpa sebab atau dengan sebab. Ia hanya berniat mensyukuri nikmat dan memberi makan orang-orang yang membutuhkan. Jamuan ini dinamakan ‘ma’dubah’.

Al-Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata,

المأْدُبة : الطَّعام الذي يجتمع اِليه الناس أَيَّ طَعام كان يقال

“Ma’dubah’ adalah jamuan makan yang mana manusia berkumpul atasnya apa pun nama jamuannya.” (Gharibul Hadits li Ibni Qutaibah: 2/503).

Sehingga ‘ma’dubah’ merupakan nama umum untuk semua jamuan. Ma’dubah’ bisa berupa acara ‘walimah’, ‘naqi’ah’, ‘wakirah’ dan sebagainya.

Dalam perumpamaan hadits, kata ‘ma’dubah’ diartikan juga dengan ‘wakirah’ yang artinya jamuan setelah membangun rumah.

Dalam redaksi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اضْرِبُوا لَهُ مَثَلًا مَثَلُ سَيِّدٍ بَنَى قَصْرًا ثُمَّ جَعَلَ مَأْدُبَةً فَدَعَا النَّاسَ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ..الخ

(Malaikat berkata): “Buatlah permisalan untuknya (Nabi shallallahu alaihi wa sallam) seperti seorang bangsawan yang membangun istana kemudian membuat jamuan ‘ma’dubah’. Kemudian ia mengundang manusia untuk memakan dan meminumnya..dst.” (HR. At-Tirmidzi: 2788, ia berkata ‘hasan shahih’, ad-Darimi: 12 (1/19)

Dari Maimun bin Mihran rahimahullah. Ia berkata,

سألت نافعا: هل كان ابن عمر يدعو للمأدبة؟ قال: لكنه انكسر له بعير مرة فنحرناه ثم قال: احشر علي المدينة قال نافع: فقلت: يا أبا عبد الرحمن! على أي شيء؟ ليس عندنا خبز فقال: اللهم لك الحمد هذا عراق وهذا مرق أو قال مرق وبضع فمن شاء أكل ومن شاء ودع

“Aku bertanya kepada Nafi’: “Apakah Ibnu Umar pernah mengundang orang untuk acara ‘ma’dubah’?” Ia menjawab: “Pernah untanya mengalami patah tulang. Kemudian kami menyembelihnya.” Kemudian Ibnu Umar berkata: “Undanglah orang-orang Madinah!” Nafi’ berkata: “Aku bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman! Undangan dalam rangka apa? Aku tidak mempunyai roti.” Ibnu Umar berkata: “Ya Allah! Segala puji bagimu. Ini tulang dibalut daging. Ini kuahnya. Atau (ia berkata): Ini kuah dan dagingnya. Barangsiapa mau, maka silakan dimakan. Yang tidak, silakan ditinggalkan.” (Atsar riwayat al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 1243)

*Acara Wadhimah atau Selamatan Kematian*

Wadhimah atau Hadhimah adalah hidangan atau jamuan makan untuk acara Ma’tam. Acara Ma’tam adalah acara berkumpul di rumah duka dalam rangka berbela sungkawa atas mayit.

Al-Allamah Syamsuddin al-Haththab ar-Ru’aini al-Maliki (wafat tahun 954 H) rahimahullah berkata,

اجتماع الناس في الموت يسمى المأتم بهمزة ساكنة ثم مثناة فوقانية

“Berkumpulnya manusia pada acara kematian disebut acara ‘Ma’tam.” (Mawahibul Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil: 3/57).

Al-Allamah Badruddin al-Aini al-Hanafi rahimahullah berkata,

والوضيمة قال ابن سيده طعام المأتم

“Wadhimah menurut Ibnu Sayyidih adalah hidangan untuk acara Ma’tam.” (Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari: 29/354).

Sedangkan Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah menyatakan,

وَطَعَامُ الْمَأْتَمِ يُقَالُ له طَعَامُ الْهَضِيمَةِ

“Dan pesta makanan untuk acara ma’tam disebut makanan ‘hadlimah’.” (Syarh Musykilil Atsar: 8/20).

*Hukum Wadhimah atau Hadhimah*

Hadits di bawah ini menjelaskan secara gamblang bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah disediakan makanan oleh isteri orang yang baru saja meninggal. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat menerima dan memakannya. Namun kemudian tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengeluarkan dari mulut beliau, karena beliau tahu bahwa makanan tersebut berasal dari akad jual beli yang haram.

وعن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه. فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظرنا الى رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فيه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها. فأرسلت المرأة تقول يا رسول الله إني أرسلت إلى النقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشتري لي شاة فلم توجد فأرسلت إلى جارٍ لي قد اشترى شاة أن يرسل إليّ بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعمي هذا الطعام الأسرى.

Dari 'Ashim bin Kulaib bin dari ayahnya dari salah seorang Ansar, beliau berkata : Kami pergi dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  pada suatu pemakaman dan aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  di makam itu sedang memberi instruksi kepada penggali kuburan, “Buatlah lebar di sisi kakinya dan juga di sisi kepalanya”. Ketika beliau kembali, beliau ditemui oleh orang yang menyampaikan sebuah undangan dari seorang wanita (istri almarhum). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya. Kami disuguhi makanan, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya (yaitu mengambil sepotong di tangannya) dan orang-orangpun mengikuti beliau memakannya. Kami melihat bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  mengeluarkan suapan yang ada dalam mulutnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata, “Saya menemukan daging domba yang telah diambil tanpa izin pemiliknya." Wanita itu mengirim pesan dengan mengatakan, Ya Rasulullah, aku mengirim (seseorang) ke-Naqi' yaitu tempat jual beli ternak, untuk beli kambing untukku, tapi tak ada, jadi saya mengirim (pesan) untuk tetangga saya yang telah membeli domba , memintanya untuk mengirimkannya untuk saya dengan harganya (yang telah dia bayar), tetapi juga tidak dapat ditemukannya. Oleh karena itu, aku kirim (pesan) kepada istrinya dan ia mengirimkannya untukku. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Berikan makanan ini untuk para tahanan”. (H.R. Baihaqi dan Abu Daud, dan Abu Daud berkata : “Hadits tersebut adalah shahih”)

Al-Allamah Taqiyuddin Ibnun Najjar at-Tanukhi al-Hanbali (wafat tahun 972 H) rahimahullah berkata,

وَسَائِرُ الدَّعَوَاتِ مُبَاحَةٌ غَيْرَ عَقِيقَةٍ فَتُسَنُّ ومَأْتَمٍ فَتُكْرَهُ وَالْإِجَابَةُ إلَيْهَا مُسْتَحَبَّةٌ غَيْرُ مَأْتَمٍ فَتُكْرَهُ

“Membuat undangan jamuan (selain pernikahan) adalah mubah, selain acara aqiqah yang dianjurkan, dan selain acara Ma’tam (selamatan kematian) yang dimakruhkan. Dan memenuhi undangan jamuan yang mubah adalah dianjurkan, kecuali acara ‘Ma’tam (selamatan kematian), maka dimakruhkan.” (Muntahal Iradat: 4/169).

Al-Allamah Kamaluddin Abul Baqa’ ad-Damiri asy-Syafi’i (wafat tahun 808 H) rahimahullah berkata,

ويكره الأكل من طعام المأتم.

“Dan dimakruhkan memakan dari jamuan acara Ma’tam (selamatan kematian).” (An-Najmul Wahhaj fi Syarhil Minhaj: 3/88). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG MACAM-MACAM WALIMAH (RESEPSI/TASYAKURAN)


Dalam masyarakat, kita mengenal berbagai macam walimah atau pesta makan atau tasyakuran. Di antaranya, kita mengenal nama ‘walimah nikah’, ‘walimah aqiqah’, ‘khitan’ dan sebagainya.

Berikut ini sedikit penjelasan tentang macam-macam walimah atau acara jamuan makan dan beberapa keterangan dari para ulama tentang sikap mereka terhadap acara-acara semacam ini.

Dengan tulisan kita akan menyimpulkan bahwa agama Islam tidaklah anti selamatan atau anti walimah atau anti pesta makan, tetapi kebanyakannya dianjurkan sedikit pesta yang dilarang di dalamnya. Allah ta’ala berfirman:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرً () إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلا شُكُورًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 8-9).

*Pengertian Walimah (Syukuran)*

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah menyatakan:

الْوَلِيمَةُ : اسْمٌ لِلطَّعَامِ فِي الْعُرْسِ خَاصَّةً ، لَا يَقَعُ هَذَا الِاسْمُ عَلَى غَيْرِهِ .كَذَلِكَ حَكَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ عَنْ ثَعْلَبٍ وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ اللُّغَةِ .وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ : إنَّ الْوَلِيمَةَ تَقَعُ عَلَى كُلِّ طَعَامٍ لَسُرُورٍ حَادِثٍ ، إلَّا أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا فِي طَعَامِ الْعُرْسِ أَكْثَرُ .وَقَوْلُ أَهْلِ اللُّغَةِ أَقْوَى ؛ لِأَنَّهُمْ أَهْلُ اللِّسَانِ ، وَهُمْ أَعْرَفُ بِمَوْضُوعَاتِ اللُّغَةِ ، وَأَعْلَمُ بِلِسَانِ الْعَرَبِ .

“Walimah’: nama acara makan-makan untuk pernikahan secara khusus, tidak untuk menamai acara selain pernikahan. Demikian pula dihikayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Tsa’lab dan lainnya dari kalangan ahli bahasa Arab. Sebagian ulama’ fikih dari teman-teman kami (madzhab Hanbali, pen) dan lainnya (seperti Asy-Syafi’i, pen) berpendapat bahwa ‘walimah’ itu untuk acara makan-makan untuk segala kejadian yang menggembirakan, hanya saja pemakaian kata ‘walimah’ itu lebih banyak pada acara makan-makan untuk pernikahan. Dan pendapat ahli bahasa Arab itu lebih kuat, karena mereka lebih mengerti lisan kita. Mereka lebih mengerti tentang pemakaian bahasa dan lebih mengetahui tentang lesan orang Arab.” (Al-Mughni: 15/486).

Selain ‘walimah’, bangsa Arab juga mengenal berbagai macam acara jamuan atau pesta makanan.

Al-Allamah Abul Hasan al-Mirdawi al-Hanbali (wafat tahun 885 H) rahimahullah berkata:

الأطعمة التي يدعى إليها الناس عشرة. الأول: الوليمة وهي طعام العرس. الثاني: الحذاق وهو الطعام عند حذاق الصبي أي معرفته وتمييزه وإتقانه. الثالث: العذيرة والإعذار لطعام الختان. الرابع: الخرسة والخرس لطعام الولادة. الخامس: الوكيرة لدعوة البناء. السادس: النقيعة لقدوم الغائب. السابع: العقيقة وهي الذبح لأجل الولد على ما تقدم في أواخر باب الأضحية. الثامن المأدبة وهو كل دعوة لسبب كانت أو غيره. التاسع الوضيمة وهو طعام المأتم. العاشر التحفة وهو طعام القادم.

“Jamuan makan yang mana manusia diundang untuk menghadirinya ada 10. Yaitu: Pertama: walimah, yaitu jamuan acara pernikahan. Kedua: hidzaq, yaitu jamuan ketika seorang anak telah mahir atau tamyiz. Ketiga: adzirah atau i’dzar yaitu jamuan makan untuk khitanan. Keempat: khursah atau khurs untuk jamuan kelahiran. Kelima: wakirah yaitu undangan jamuan setelah membangun (rumah). Keenam: naqi’ah yaitu jamuan untuk kedatangan dari safar. Ketujuh: aqiqah yaitu penyembelihan untuk anak menurut keterangan yang terdahulu dalam akhir Bab kurban. Kedelapan: ma’dubah yaitu setiap undangan jamuan dengan sebab atau tanpa sebab. Kesembilan: wadlimah yaitu jamuan untuk musibah. Kesepuluh: tuhfah yaitu jamuan untuk tamu yang datang.” (Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf: 8/233).

Sedangkan ulama lain dari kalangan Syafi’iyah menambahkan kata ‘walimah’ pada acara-acara tersebut. Sehingga mereka menyatakan walimah 'urs, walimah khurs, walimah adzirah, walimah naqi’ah, walimah wakirah dan sebagainya. Lihat al-Hawi fi Fiqhisy Syafi’i lil Mawardi: 9/555.

قَالَ الشَّافِعِيُّ ، رَحِمَهُ اللَّهُ : " الْوَلِيمَةُ الَّتِي تُعْرَفُ : وَلِيمَةُ الْعُرْسِ ، وَكُلُّ دَعْوَةٍ عَلَى إِمْلَاكٍ أَوْ نِفَاسٍ أَوْ خِتَانٍ أَوْ حَادِثِ سُرُورٍ ، فَدُعِيَ إِلَيْهَا رَجُلٌ ، فَاسْمُ الْوَلِيمَةِ يَقَعُ عَلَيْهَا

Imam as-Syafi’i berkata “Walimah yang dikenal (dalam islam) adalah walimah ‘Urs dan setiap jamuan yang diadakan atas dasar mendapatkan sesuatu, persalinan, khitanan atau kebahagiaan yang baru diperoleh kemudian jamuan tersebut dijadikan undangan maka nama walimah layak disematkan padanya”. [Al-Haawy fii Fiqh as-Syaafi’i IX/555]

ويقال لدعوة الختان إعذار ولدعوة الولادة عقيقة ولسلامة المرأة من الطلق خرس وقيل الخرس لطعام الولادة ولقدوم المسافر نقيعة ولإحداث البناء وكيرة ولما يتخذ للمصيبة وضيمة ولما يتخذ بلا سبب مأدبة

Jamuan khitanan disebut “ I’DZAR ”, Jamuan kelahiran disebut “ AQIQAH “, jamuan terselamatkannya wanita dari jatuhnya talak disebut “ KHARS “ namun pendapat lain menyatakan khars adalah jamuan untuk kelahiran anak, Jamuan sampainya seseorang dari bepergian disebut “ NAQI’AH “, Jamuan seusai membangun rumah disebut “ WAKIIRAH “, jamuan selamat dari bencana disebut “ WADHIMAH “, dan jamuan yang diadakan tanpa alasan disebut “ MA’DABAH “. [Raudhah at-Thoolibiin III/64]

وَالْوَلَائِمُ سِتٌّ : وَلِيمَةُ الْعُرْسِ : وَهِيَ الْوَلِيمَةُ عَلَى اجْتِمَاعِ الزَّوْجَيْنِ . وَوَلِيمَةُ الْخُرْسِ : وَهِيَ الْوَلِيمَةُ عَلَى وِلَادَةِ الْوَلَدِ . وَوَلِيمَةُ الْإِعْذَارِ : وَهِيَ الْوَلِيمَةُ عَلَى الْخِتَانِ . وَوَلِيمَةُ الْوَكِيرَةِ : وَهِيَ الْوَلِيمَةُ عَلَى بِنَاءِ الدَّارِ . قَالَ الشَّاعِرُ : كُلُّ الطَّعَامِ تَشْتَهِي رَبِيعَةُ الْخُرْسُ وَالْإِعْذَارُ وَالْوَكِيرَهْ وَوَلِيمَةُ النَّقِيعَةِ : وَهِيَ وَلِيمَةُ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرِهِ ، وَرُبَّمَا سَمُّوا النَّاقَةَ الَّتِي تُنْحَرُ لِلْقَادِمِ نَقِيعَةً ، قَالَ الشَّاعِرُ : إِنَّا لَنَضْرِبُ بِالسُّيُوفِ رُءُوسَهُمْ ضَرْبَ الْقُدَارِ نَقِيعَةَ الْقُدَّامِ وَوَلِيمَةُ الْمَأْدُبَةِ : هِيَ الْوَلِيمَةُ لِغَيْرِ سَبَبٍ . فَإِنَّ خُصَّ بِالْوَلِيمَةِ جَمِيعُ النَّاسِ سُمِّيَتْ جَفَلَى ، وَإِنْ خُصَّ بِهَا بَعْضُ النَّاسِ ، سُمِّيَتْ نَقَرَى

Macam Walimah yang dikenal dalam Islam ada enam:

1. Walimah ‘Urs : Walimah yang diadakan atas dasar pertemuan dua insan dalam membentuk rumah tangga
2. Walimah Khurs : Walimah yang diadakan atas dasar lahirnya seorang anak atau setelah selesai masa nifas
3. Walimah I’dzar : Walimah yang diadakan atas dasar khitanan
4. Walimah Wakirah : Walimah yang diadakan atas dasar membangun rumah
5. Walimah Naqi’ah : Walimah yang diadakan atas dasar kedatangan seseorang dari bepergian
6. Walimah Ma’dabah : Walimah yang diadakan atas dasar tanpa sebab. Bila undangan walimah tersebut mencakup semua lapisan masyarakat dinamakan ‘JAFLA’, bila hanya sebatas kalangan tertentu saja dinamakan ‘NAQRA’. [Al-Haawy fii Fiqh as-Syafi’i IX/555)]. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG HUKUM WALIMATUL I'DZAR (KHITAN)


Kebiasaan di Indonesia seperti ini, yaitu melakukan khitan anak-anak mereka saat berumur seusia anak SD bahkan ada juga yang SMP. Sedangkan jika kita lihat hadits-hadits dan petunjuk Islam bahwasanya usia khitan adalah ketika bayi berumur 7 hari atau ketika masih kecil sekali. Dan bagaimana juga hukum acara walimah khitan yang sering dilakukan di masyarakat kita?

*Waktu disyariatkannya khitan*

Waktu untuk untuk berkhitan memang masih diperselisihkan ulama, ada pendapat yang mengatakan hari kelahiran, hari ketujuh atau ketika berusia tujuh tahun. Adapun yang lebih tepat adalah boleh kapan saja asalkan tidak melebihi usia baligh.

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وَاخْتُلِفَ فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُشْرَعُ فِيهِ الْخِتَانُ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَهُ وَقْتَانِ وَقْتُ وُجُوبٍ وَوَقْتُ اسْتِحْبَابٍ فَوَقْتُ الْوُجُوبِ الْبُلُوغُ وَوَقْتُ الِاسْتِحْبَابِ قَبْلَهُ

“Diperselisihkan waktu disyariatkannya khitan. Al-mawardi berkata, “Khitan itu mempunyai dua waktu, Waktu wajib dan waktu mustahab (sunnah). Waktu wajib adalah ketika usia baligh, sedangkan waktu mustahab adalah sebelum baligh.” (Fathul Bari' 10/342, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Syamilah)

Khitan termasuk salah satu fitrah, yang menjadi ajaran para nabi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ : الْخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ

Lima hal termasuk fitrah: Khitan, mencukur bulu kemaluan, potong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memangkas kumis. (HR. Bukhari 5889 & Muslim 257).

*Boleh menunda khitan tetapi lebih baik menyegerakan*

Dalil boleh menunda adalah sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.

عن سعيد بن جبير قال: سئل ابن عباس: مثل من أنت حين قبض النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: أنا يومئذ مختون، قال: وكانوا لا يختنون الرجل حتى يدرك

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, Ibnu Abbas pernah ditanya, “Seperti apa dirimu ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat ?”. Ia menjawab, “Aku pada waktu itu telah dikhitan. Dan mereka (para shahabat) tidaklah mengkhitan seseorang hingga ia baligh.” (HR. Bukhari (11/90-Al-Fath), Ahmad (1/264-287-357)

Dan  wajib sesegera mungkin khitan jika telah mencapai usia baligh karena itu adalah waktu wajib. Bahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkhitan ketika berusia 80 tahun.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً

“Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.” (HR. Bukhari (6298-Al-Fath), Muslim (2370), dan Ahmad (2/322-418)

*Apakah disyariatkan untuk mengadakan walimah khitan?*

Ada khitan, ada walimah khitan. Dua hal yang perlu dibedakan. Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki. Walimah khitan hukumnya diperselisihkan ulama. Sebagian membolehkan, sebagian menilainya makruh.

Walimah khitan termasuk dalam keumuman agar kita menghadiri acara walimah jika diundang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا دعا أحدكم أخاه فليجب، عرسا كان أو نحوه.

“Apabila salah seorang di antara kalian mengundang (walimah) saudaranya, hendaklah ia memenuhinya, baik undangan pernikahan atau yang semisalnya.” (HR. Abu Dawud no. 3738)

Al-Hathab dalam Mawahib Al-Jalil menjelaskan,

وقال في جامع الذخيرة: مسألة فيما يؤتى من الولائم، ثم قال صاحب المقدمات: هي خمسة أقسام: واجبة الإجابة إليها وهي وليمة النكاح، ومستحبة الإجابة وهي المأدبة وهي الطعام يعمل للجيران للوداد، ومباحة الإجابة وهي التي تعمل من غير قصد مذموم؛ كالعقيقة للمولود والنقيعة للقادم من السفر والوكيرة لبناء الدار والخرس للنفاس والإعذار للختان ونحو ذلك،…

Dalam Jami’ Ad-Dzakhirah dinyatakan, hukum mendatangi walimah ada 5 macam. (1) wajib mendatanginya, itulah walimah nikah. (2) dianjurkan mendatanginya, itulah hidangan makanan dengan mengundang tetangga untuk jalinan persaudaraan. (3)  mubah mendatanginya, itulah walimah yang diadakan bukan untuk tujuan tercela, seperti walimah aqiqah untuk anak, walimah naqiah untuk menyambut orang yang datang dari safar, walimah wakirah untuk tasyakuran bangun rumah, walimah kharas bagi wanita yang (selesai) nifas, atau walimah i’dzar untuk syukuran khitan, atau semacamnya….

Karena khitan bagi anak laki-laki adalah kewajiban maka melaksanakan walimatul i'dzar (khitan) sebagian ulama mengatakan wajib sebagaimana qoidah dalam kitab ushul fiqih dijelaskan,

كُلُّ مَايُتَوَصَّلُ بِهِ اِلَى الْوَاجِبِ فَهُوَ وَاجِبٌ.

"Semua perkara yang dibuat lantaran untuk melaksanakan perkara wajib, maka hukumnya pun wajib."

Atau qoidah ushul fiqih,

ما لا يتم الواجب الا به فهو الواجب

"Sesuatu kewajiban tidaklah sempurna dengannya, maka sesuatu tersebut menjadi wajib."

Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm 6/159 berkata,

وكل دعوة كانت على إملاك أو نفاس أو ختان أو حادث سرور دعي إليها رجل، فاسْم الوليمة يقع عليها، ولا أرخص لأحد في تركها، ولو تركها لم يبن لي أنه عاصٍ في تركها كما يبين لي في وليمة العرس

'Undangan apapun baik untuk kepemilikan, nifas, khitan atau peristiwa gembira, maka disebut walimah. Disunnahkan untuk hadir, tapi tidak berdosa kalau tidak datang. Beda dengan undangan walimatul ars (pesta nikah)."

Imam Nawawi dalam Raudah Talibin 7/333 menyatakan,

وأما سائر الولائم فمستحبة، وليست بواجبة على المذهب، وبه قطع الجمهور، ولا يتأكَّد تأكُّد وليمة النكاح

"Adapun walimah (pesta, selamatan) yang selain pesta nikah hukumnya sunnah, bukan wajib. Ini pendapat jumhur ulama." Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 22 September 2019

KAJIAN TENTANG PERNIKAHAN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM TANPA WALI, SAKSI DAN MAHAR


Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau boleh menikah tanpa mahar, wali dan saksi. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah pembahasan ‘Maa Ukhtushsha Bihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Min al-Ahkaam at-Takliifiyyah’ disebutkan:

مما اختص به رسول الله صلى الله عليه وسلم فأبيح له دون أمته أن يتزوج أكثر من أربع نساء، وأن يتزوج بغير مهر، وأن يتزوج المرأة بغير إذن وليها

“Termasuk kekhususan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dibolehkan bagi beliau sedangkan bagi umatnya tidak dibolehkan, adalah beliau boleh menikahi lebih dari empat orang perempuan, boleh menikah tanpa mahar, dan boleh menikahi perempuan tanpa izin wali si perempuan tersebut.”

Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsir beliau Fath al-Qadir, ketika menafsirkan surah al-Ahzab ayat 50, mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan bahwa ulama bersepakat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh menikahi perempuan –yang menghibahkan dirinya kepada beliau– tanpa mahar. Berikut pernyataan Imam asy-Syaukani tersebut:

وأما بدون مهر فلا خلاف في أن ذلك خاص بالنبي صلى الله عليه وسلم

“Dan adapun jika pernikahan tersebut tanpa mahar, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa hal tersebut khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.”

Senada dengan imam asy-Syaukani, Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah di kitab tafsir beliau at-Tafsir al-Munir pada tafsir ayat yang sama, mengeluarkan pernyataan:

والزواج بلفظ الهبة من خصوصيات النبي صلّى الله عليه وسلّم دون سائر المؤمنين، فله الزواج بها من غير مهر ولا ولي ولا شهود

“Pernikahan, dengan lafazh hibah, merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak untuk kaum mukmin yang lain. Dan pernikahan tersebut dilakukan tanpa mahar, tanpa wali dan tanpa saksi.”

Pernyataan ini juga cukup tegas disampaikan oleh Imam al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsir beliau yang sangat masyhur, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Ketika menafsirkan ayat yang sama, beliau mengeluarkan pernyataan:

فأما هو، عليه السلام، فإنه لا يجب عليه للمفوضة شيء ولو دخل بها؛ لأن له أن يتزوج بغير صداق ولا ولي ولا شهود، كما في قصة زينب بنت جحش، رضي الله عنها. ولهذا قال قتادة في قوله: {خالصة لك من دون المؤمنين} ، يقول: ليس لامرأة تهب نفسها لرجل بغير ولي ولا مهر إلا للنبي صلى الله عليه وسلم

“Adapun terhadap Nabi ‘alaihis salam, beliau tidak wajib memberikan sesuatu apapun kepada perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, walaupun beliau sudah menyetubuhinya. Karena beliau boleh menikah tanpa mahar, wali dan saksi. Hal ini sebagaimana cerita Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Terkait hal ini, Qatadah berkomentar tentang ayat { خالصة لك من دون المؤمنين }: Tidak boleh seorang perempuan menghibahkan dirinya kepada seorang laki-laki tanpa wali dan mahar, kecuali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Tentang peristiwa pernikahan Zainab binti Jahsy dengan Rasulullah, Imam Muslim an-Naisaburi rahimahullah meriwayatkan hadits sebagai berikut:

لما انقضت عدة زينب، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لزيد: «فاذكرها علي» ، قال: فانطلق زيد حتى أتاها وهي تخمر عجينها، قال: فلما رأيتها عظمت في صدري، حتى ما أستطيع أن أنظر إليها، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكرها، فوليتها ظهري، ونكصت على عقبي، فقلت: يا زينب: أرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكرك، قالت: ما أنا بصانعة شيئا حتى أوامر ربي، فقامت إلى مسجدها، ونزل القرآن، وجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم، فدخل عليها بغير إذن

“Tatkala masa ‘iddah Zainab berakhir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘ingatkan Zainab terhadapku’. Kemudian Zaid pergi menemui Zainab yang saat itu sedang memberi ragi adonan rotinya. Zaid berkata, ‘Ketika aku menemuinya, terasa agungnya dia dalam dadaku, hingga aku tidak mampu memandangnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dirinya (ingin menikahinya), aku pun membelakanginya dengan punggungku dan mundur ke belakang, kemudian aku berkata, ‘Wahai Zainab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk menyebut dirimu (melamarmu)’. ‘Zainab berkata, ‘Aku tidak akan berbuat apa-apa sampai aku diperintahkan oleh Tuhanku.’ Zainab kemudian masuk menuju ke masjidnya (tempat shalatnya), lalu turunlah ayat al-Qur’an. Kemudian Rasulullah datang dan masuk ke ruangan Zainab tanpa meminta izin.” [Hadits no. 1428 (versi al-Maktabah asy-Syamilah yang sesuai dengan terbitan dari Daar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Beirut), potongan dari hadits yang cukup panjang].

Imam Muhyiddin al-Hafizh an-Nawawi rahimahullah ketika melakukan syarh terhadap hadits ini menyatakan bahwa ayat al-Qur’an yang turun (yang disebutkan dalam hadits di atas) adalah ayat:

فلما قضى زيد منها وطرا زوجناكها

“Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), kami nikahkan engkau (Muhammad) dengan mantan istri Zaid tersebut (Zainab).” [al-Ahzab ayat 37].

Imam an-Nawawi melanjutkan penjelasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke ruangan Zainab tanpa izin adalah karena Allah ta’ala telah menikahkan beliau dengan Zainab melalui ayat yang disebutkan di atas. Imam an-Nawawi kemudian menjelaskan bahwa Allah ta’ala telah menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab melalui wahyu, tanpa wali dan saksi. Menurut Imam an-Nawawi, pendapat yang shahih dan masyhur di madzhab beliau (madzhab Syafi’i) menyatakan sahnya pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa wali dan saksi.

Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab telah menikah dengan Zaid bin Haritsah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah yang diceritakan Allah dalam firman-Nya,

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَنعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَااللهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُولاً

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: ‘Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)

Maka Allah nikahkan Zainab dengan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nash Kitab-Nya tanpa wali dan tanpa saksi. Dan Zainab biasa membanggakan hal itu di hadapan Ummahatul Mukminin (istr-istri Nabi) yang lain, dengan mengatakan, “Kalian dinikahkan oleh wali-wali kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya.” (Diriwayatkan oleh Zubair bin Bakar dalam Al-Muntakhob min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1:48 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra, 8:104-105 dengan sanad yang shahih)

وقد روى البخاري « 7420 » رحمه الله عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال إن زينب بنت جحش رضي الله عنها كانت تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم فتقول زوجكن أهاليكن وزوجني الله تعالى من فوق سبع سموات

Imam Bukhari rahimahullah (no.7420) telah meriwayatkan melalui sahabat Anas ra. yang menceritakan bahwa sesungguhnya Zainab binti Jahsy rah. merasa berbangga diri atas istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lainnya dengan mengatakan kepada mereka: Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh. (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Ahzab :37)

Maka, beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari pernikahan dua orang yang mulia ini. Zaid dan Zainab memiliki posisi istimewa di sisi Rasulullah dan mereka adalah orang yang shalih dan shalihah. Pernikahan keduanya kandas karena tidak mampu menyamakan perbedaan yang mencolok.

Posisi Zaid (budak yang diangkat menjadi anak oleh Nabi) dan Zainab (wanita merdeka dari kaum dan suku yang mulia dan terhormat) hampir sama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Khadijah ketika menikah, di mana Khadijah merupakan majikan Rasulullah Muhammad. Ketika keduanya menikah, Khadijah menyerahkan seluruh urusan perdagangannya kepada Rasulullah, sehingga perbedaan yang mencolok pun perlahan memudar. Namun, hal tersebut tidak terjadi di rumah tangga Zaid dan Zainab.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi disebutkan bahwa salah satu dari tiga hal yang tidak boleh ditunda adalah menikahkan wanita yang telah bertemu dengan jodoh yang sekufu/sepadan. Sekufu dapat diartikan sepadan dalam banyak hal. Seperti nasab, lingkungan, suku, ilmu, kesalihan, harta, dan lain sebagainya. Tidak sekufu pun tak apa, namun butuh usaha ekstra dari keduanya agar rumah tangga yang dibangun tetap harmonis dengan segala perbedaan yang ada.

Di balik gagalnya pernikahan Zaid bin Haritsah dan Zainab binty Jahsy, Allah memberikan ganti kepada keduanya pasangan yang lebih baik. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Zainab menikah dengan Zaid atas dorongan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga ketika menungu masa idahnya berakhir, Allah menurunkan perintah kepada Rasulullah agar menikah dengan Zainab melalui malaikat Jibril dalam Al-Qur'an surat Al Ahzab ayat 37-39.

Sedangkan Zaid bin Haritsah menikah dengan mantan budak dan pengasuh Rasulullah, Ummu Aiman. Keduanya dianugerahi anak yang luar biasa dan juga salah satu shahabat kesayangan Rasulullah, yaitu Usamah bin Zaid ra. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*