Rabu, 25 September 2019
KAJIAN TENTANG HUKUM BPJS (BADAN PENYELENGGARA JAMINAN KESEHATAN)
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.
BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.
Forum bahtsul masail pra muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan PBNU di pesantren Krapyak Yogyakarta pada 28 Maret 2015 lalu, sepakat mendukung program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang ditangani BPJS Kesehatan. Mereka menyimpulkan bahwa konsep JKN yang ditangani BPJS Kesehatan tidak bermasalah menurut syariah Islam.
Konsep ta’awun yang diberlakukan BPJS, masuk dalam bab jihad seperti disebutkan Fathul Mu’in yakni daf’u dhararin ma’shumin. Sehingga di sini pemerintah diposisikan sebagai administrator bagi orang kaya untuk membantu mereka yang lemah.
Banyak dalil-dalil syar’i yang menjelaskan bahwa negara dalam Islam wajib memberikan jaminan kesehatan secara gratis bagi rakyatnya. Di antaranya dalil umum sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
فَالْأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ، وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ini adalah dalil umum bahwa negaraharus menjamin seluruh urusan rakyatnya, termasuk jaminan kesehatan. Ada pula dalil-dalil khusus yang menunjukkan kewajiban negara menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis. Jabir ra. menuturkan,
بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ طَبِيْبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عُرْقًا ثُمَّ كَوَاهَ عَلَيْهِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka'ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan kay (sentuhan dengan besi panas) pada urat itu (HR Muslim).
Dalam hadits tersebut, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma. Beliau mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).
Zaid bin Aslam ra. menuturkan riwayat dari bapaknya yang bertutur,
مَرِضْتُ فِيْ زَمَانِ عُمَرٍ بْنِ الْخَطَّابِ مَرْضًا شَدِيْدًا فَدَعَا لِيْ عُمَرٌ طَبِيْبًا فَحَمَانِيْ حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النُّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ
"Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar ra. memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruh aku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu." (HR al-Hakim, dalam Al Mustadrak, IV/7464)
Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar ra. selaku khalifah (kepala negara Khilafah) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis. Beliau mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa rakyatnya harus membayar sedikitpun (Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).
Semua itu merupakan dalil syariah yang shahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari Negara (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).
Adapun jika menggunakan sistem Asuransi Takaful, peserta BPJS harus memberikan hartanya secara suka rela -bukan terpaksa- demi kemaslahatan bersama, tanpa mengharapkan harta yang diberikan tersebut. Maka dalam hal ini hukumnya boleh. (Lihat MUI, No: 21/DSN-MUI/X/2001).
Hal ini berdasarkan hadist Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الأشْعَرِيِّينَ إِذَا أرْمَلُوا في الغَزْوِ ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بالمَديِنَةِ ، جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ في ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ في إنَاءٍ وَاحدٍ بالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأنَا مِنْهُمْ
“ Sesungguhnya keluarga al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau menepisnya makanan keluarga mereka di Madinah, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu kain, kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu bejana, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka.“ (HR Bukhari, 2486 dan Muslim, 2500)
Namun jika peserta Asuransi Takaful mengharapkan harta yang sudah diberikan, maka bertentangan dengan pengertian hibah, yang secara hukum Islam harta yang sudah dihibahkan hendaknya jangan ditarik kembali. Hal itu sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلرَّ جُلِ أَنْ يُعْطِيَ الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يرْخِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَ الِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَه
“Tidaklah halal jika seseorang memberikan pemberian kemudian dia menarik lagi pemberiannya, kecuali orang tua (yang menarik lagi) sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa-i, dan Ibnu Majah)
Ini dikuatkan dengan hadist hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lainnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَائِدُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِى قَيْئِهِ
“Orang yang mengambil kembali pemberian (yang telah diberikan kepada orang lain) seperti anjing yang menjilat muntahannya (HR Bukhari dan Muslim)
*Rincian Hukum BPJS*
BPJS dikategorikan menjadi 3:
1- PBI (Peserta Bantuan Iuran)
Murni gratis dengan subsidi dari pemerintah bagi WNI yang telah direkomendasikan sebagai warga yg tidak mampu.
2- Non PBI diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI, organisasi, lembaga dan perusahaan. Dana ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga sebagiannya ditanggung peserta.
3- Mandiri
Bersifat premi iuran dengan tiga kategori kelas sebagaimana telah disebutkan. Jika terjadi keterlambatan menyetor iuran maka terkena denda dan ini masuk kategori unsur riba dan gharar.
Jadi, BPJS yg diperbolehkan adalah kategori 1 karena murni gratis tanpa premi dan tanpa denda. Kategori 2 dibolehkan bila tanpa premi (tidak ada premi yang dipotong dari gaji) dan tidak ada denda.
Sedangkan kategori 3, haram untuk diikuti dengan karena ada unsur gharar dan riba. Ghararnya dari sisi spekulasi yang tinggi untuk rugi karena resiko tidak bisa dipastikan. Accident belum pasti pula terjadi. Pengertian gharar sebagaimana dikatakan oleh Al Jarjani,
مَا يَكُوْنُ مَجْهُوْلُ العَاقِبَةِ لاَ يَدْرِى أَيَكُوْنُ أَمْ لَا
“Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya akan ada ataukah tidak.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 31: 149).
Gharar seperti inilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror.” (HR. Muslim no. 1513)
Contoh gharar di masa silam yang terlarang sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir.” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883).
Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu. Itulah ghoror karena ujung akhirnya tidaklah jelas diperoleh. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar