Minggu, 22 September 2019
KAJIAN TENTANG PERNIKAHAN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM TANPA WALI, SAKSI DAN MAHAR
Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau boleh menikah tanpa mahar, wali dan saksi. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah pembahasan ‘Maa Ukhtushsha Bihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Min al-Ahkaam at-Takliifiyyah’ disebutkan:
مما اختص به رسول الله صلى الله عليه وسلم فأبيح له دون أمته أن يتزوج أكثر من أربع نساء، وأن يتزوج بغير مهر، وأن يتزوج المرأة بغير إذن وليها
“Termasuk kekhususan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dibolehkan bagi beliau sedangkan bagi umatnya tidak dibolehkan, adalah beliau boleh menikahi lebih dari empat orang perempuan, boleh menikah tanpa mahar, dan boleh menikahi perempuan tanpa izin wali si perempuan tersebut.”
Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsir beliau Fath al-Qadir, ketika menafsirkan surah al-Ahzab ayat 50, mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan bahwa ulama bersepakat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh menikahi perempuan –yang menghibahkan dirinya kepada beliau– tanpa mahar. Berikut pernyataan Imam asy-Syaukani tersebut:
وأما بدون مهر فلا خلاف في أن ذلك خاص بالنبي صلى الله عليه وسلم
“Dan adapun jika pernikahan tersebut tanpa mahar, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa hal tersebut khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.”
Senada dengan imam asy-Syaukani, Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah di kitab tafsir beliau at-Tafsir al-Munir pada tafsir ayat yang sama, mengeluarkan pernyataan:
والزواج بلفظ الهبة من خصوصيات النبي صلّى الله عليه وسلّم دون سائر المؤمنين، فله الزواج بها من غير مهر ولا ولي ولا شهود
“Pernikahan, dengan lafazh hibah, merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak untuk kaum mukmin yang lain. Dan pernikahan tersebut dilakukan tanpa mahar, tanpa wali dan tanpa saksi.”
Pernyataan ini juga cukup tegas disampaikan oleh Imam al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsir beliau yang sangat masyhur, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Ketika menafsirkan ayat yang sama, beliau mengeluarkan pernyataan:
فأما هو، عليه السلام، فإنه لا يجب عليه للمفوضة شيء ولو دخل بها؛ لأن له أن يتزوج بغير صداق ولا ولي ولا شهود، كما في قصة زينب بنت جحش، رضي الله عنها. ولهذا قال قتادة في قوله: {خالصة لك من دون المؤمنين} ، يقول: ليس لامرأة تهب نفسها لرجل بغير ولي ولا مهر إلا للنبي صلى الله عليه وسلم
“Adapun terhadap Nabi ‘alaihis salam, beliau tidak wajib memberikan sesuatu apapun kepada perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, walaupun beliau sudah menyetubuhinya. Karena beliau boleh menikah tanpa mahar, wali dan saksi. Hal ini sebagaimana cerita Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Terkait hal ini, Qatadah berkomentar tentang ayat { خالصة لك من دون المؤمنين }: Tidak boleh seorang perempuan menghibahkan dirinya kepada seorang laki-laki tanpa wali dan mahar, kecuali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Tentang peristiwa pernikahan Zainab binti Jahsy dengan Rasulullah, Imam Muslim an-Naisaburi rahimahullah meriwayatkan hadits sebagai berikut:
لما انقضت عدة زينب، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لزيد: «فاذكرها علي» ، قال: فانطلق زيد حتى أتاها وهي تخمر عجينها، قال: فلما رأيتها عظمت في صدري، حتى ما أستطيع أن أنظر إليها، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكرها، فوليتها ظهري، ونكصت على عقبي، فقلت: يا زينب: أرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكرك، قالت: ما أنا بصانعة شيئا حتى أوامر ربي، فقامت إلى مسجدها، ونزل القرآن، وجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم، فدخل عليها بغير إذن
“Tatkala masa ‘iddah Zainab berakhir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘ingatkan Zainab terhadapku’. Kemudian Zaid pergi menemui Zainab yang saat itu sedang memberi ragi adonan rotinya. Zaid berkata, ‘Ketika aku menemuinya, terasa agungnya dia dalam dadaku, hingga aku tidak mampu memandangnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dirinya (ingin menikahinya), aku pun membelakanginya dengan punggungku dan mundur ke belakang, kemudian aku berkata, ‘Wahai Zainab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk menyebut dirimu (melamarmu)’. ‘Zainab berkata, ‘Aku tidak akan berbuat apa-apa sampai aku diperintahkan oleh Tuhanku.’ Zainab kemudian masuk menuju ke masjidnya (tempat shalatnya), lalu turunlah ayat al-Qur’an. Kemudian Rasulullah datang dan masuk ke ruangan Zainab tanpa meminta izin.” [Hadits no. 1428 (versi al-Maktabah asy-Syamilah yang sesuai dengan terbitan dari Daar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Beirut), potongan dari hadits yang cukup panjang].
Imam Muhyiddin al-Hafizh an-Nawawi rahimahullah ketika melakukan syarh terhadap hadits ini menyatakan bahwa ayat al-Qur’an yang turun (yang disebutkan dalam hadits di atas) adalah ayat:
فلما قضى زيد منها وطرا زوجناكها
“Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), kami nikahkan engkau (Muhammad) dengan mantan istri Zaid tersebut (Zainab).” [al-Ahzab ayat 37].
Imam an-Nawawi melanjutkan penjelasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke ruangan Zainab tanpa izin adalah karena Allah ta’ala telah menikahkan beliau dengan Zainab melalui ayat yang disebutkan di atas. Imam an-Nawawi kemudian menjelaskan bahwa Allah ta’ala telah menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab melalui wahyu, tanpa wali dan saksi. Menurut Imam an-Nawawi, pendapat yang shahih dan masyhur di madzhab beliau (madzhab Syafi’i) menyatakan sahnya pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa wali dan saksi.
Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab telah menikah dengan Zaid bin Haritsah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah yang diceritakan Allah dalam firman-Nya,
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَنعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَااللهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُولاً
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: ‘Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)
Maka Allah nikahkan Zainab dengan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nash Kitab-Nya tanpa wali dan tanpa saksi. Dan Zainab biasa membanggakan hal itu di hadapan Ummahatul Mukminin (istr-istri Nabi) yang lain, dengan mengatakan, “Kalian dinikahkan oleh wali-wali kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya.” (Diriwayatkan oleh Zubair bin Bakar dalam Al-Muntakhob min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1:48 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra, 8:104-105 dengan sanad yang shahih)
وقد روى البخاري « 7420 » رحمه الله عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال إن زينب بنت جحش رضي الله عنها كانت تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم فتقول زوجكن أهاليكن وزوجني الله تعالى من فوق سبع سموات
Imam Bukhari rahimahullah (no.7420) telah meriwayatkan melalui sahabat Anas ra. yang menceritakan bahwa sesungguhnya Zainab binti Jahsy rah. merasa berbangga diri atas istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lainnya dengan mengatakan kepada mereka: Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh. (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Ahzab :37)
Maka, beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari pernikahan dua orang yang mulia ini. Zaid dan Zainab memiliki posisi istimewa di sisi Rasulullah dan mereka adalah orang yang shalih dan shalihah. Pernikahan keduanya kandas karena tidak mampu menyamakan perbedaan yang mencolok.
Posisi Zaid (budak yang diangkat menjadi anak oleh Nabi) dan Zainab (wanita merdeka dari kaum dan suku yang mulia dan terhormat) hampir sama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Khadijah ketika menikah, di mana Khadijah merupakan majikan Rasulullah Muhammad. Ketika keduanya menikah, Khadijah menyerahkan seluruh urusan perdagangannya kepada Rasulullah, sehingga perbedaan yang mencolok pun perlahan memudar. Namun, hal tersebut tidak terjadi di rumah tangga Zaid dan Zainab.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi disebutkan bahwa salah satu dari tiga hal yang tidak boleh ditunda adalah menikahkan wanita yang telah bertemu dengan jodoh yang sekufu/sepadan. Sekufu dapat diartikan sepadan dalam banyak hal. Seperti nasab, lingkungan, suku, ilmu, kesalihan, harta, dan lain sebagainya. Tidak sekufu pun tak apa, namun butuh usaha ekstra dari keduanya agar rumah tangga yang dibangun tetap harmonis dengan segala perbedaan yang ada.
Di balik gagalnya pernikahan Zaid bin Haritsah dan Zainab binty Jahsy, Allah memberikan ganti kepada keduanya pasangan yang lebih baik. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Zainab menikah dengan Zaid atas dorongan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga ketika menungu masa idahnya berakhir, Allah menurunkan perintah kepada Rasulullah agar menikah dengan Zainab melalui malaikat Jibril dalam Al-Qur'an surat Al Ahzab ayat 37-39.
Sedangkan Zaid bin Haritsah menikah dengan mantan budak dan pengasuh Rasulullah, Ummu Aiman. Keduanya dianugerahi anak yang luar biasa dan juga salah satu shahabat kesayangan Rasulullah, yaitu Usamah bin Zaid ra. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar