Selasa, 14 Mei 2024

HUKUM TENTANG KHILAFIAH SYAIR DAN MUSIK


Akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di media sosial mengenai hukum musik. Pasalnya, ceramah Ustadz Adi Hidayat (UAH) yang mengatakan bahwa surah Asy-Syu’ara sebagai surah para pemusik menghebohkan sebagian pihak. Ada yang setuju, dan ada yang berpendapat sebaliknya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut menanggapi soal polemik terkait ceramah Ustadz Adi Hidayat yang mengaitkan antara musik dengan Surat Asy-Syu'ara. Menurut Ketua MUI Bidang Seni, Budaya, dan Peradaban Islam Ustadz Jeje Zaenudin, syair memang erat hubungannya dengan musik.

Meskipun saya pernah menanggapi ceramah UAH saat membahas kitab karya Hadhratusy Syeikh KH. Hasyim Asy'ari Rahimahullah Risalah Ahlusssunah Wal Jama'ah di link bloger : http://mwcnucipayung.blogspot.com/2021/09/apakah-uah-membaca-kitab-kh-hasyim.html

Namun kali ini sependapat dengan penjelasannya sebagaimana UAH mengutip penjelasan ulama semisal Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya mengenai QS. Asy-Syuara ayat 224-227 sebagai berikut,

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا سلمة وعليّ بن مجاهد، وإبراهيم بن المختار، عن ابن إسحاق، عن يزيد بن عبد الله بن قُسَيط، عن أبي الحسن سالم البراد مولى تميم الداري، قال: لما نزلت: ﴿وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ﴾ قال: جاء حسان بن ثابت وعبد الله بن رواحة، وكعب بن مالك إلى رسول الله ﷺ، وهم يبكون، فقالوا: قد علم الله حين أنزل هذه الآية أنا شعراء، فتلا النبيّ ﷺ: ﴿إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ﴾ .

Ibnu Hamid menceritakan kepada kami, dia berkata: Salamah, Ali bin Mujahid, dan Ibrahim bin Al-Mukhtar menceritakan kepada kami, atas wewenang Ibnu Ishaq, atas wewenang Yazid bin Abdullah bin Qusayt, atas wewenang Abu Al-Hasan Salem Al-Barrad, majikan dari Tamim Al-Dari, dia berkata: Ketika ayat itu diturunkan: “Dan para penyair diikuti oleh orang-orang sesat” (QS. Asy-Syu'ara : 224) dia berkata: Datanglah Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, dan Ka'ab bin Malik pergi menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara mereka menangis. Mereka berkata: "Allah telah mengetahui ketika  menurunkan ayat ini bahwa kami adalah penyair (dimaksud)". Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat, "Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan berbuat kebajikan dan banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan setelah terzalimi (karena menjawab puisi-puisi orang-orang kafir). Dan orang-orang yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali." (QS. Asy-Syu'ara : 227). (Tafsir Ath-Thabari)

Juga pembahasan tentang musik dalam Kitab Al-Aghani (lagu/nada) kata jama' (plural) dari kata An-Nagham yang ditulis oleh Abu al-Faraj Al-Isfahani pada abad 10 Masehi, merupakan salah satu sumber tertua (yang tertulis dan masih ada) tentang musik dan lagu yang hidup dalam tradisi Islam. Al-Isfahani hidup pada kisaran 897 hingga 971 Masehi dan menghabiskan lebih dari lima puluh tahun masa hidupnya untuk menulis Kitab Al-Aghani. Sumber penulisannya adalah musisi dan penyair di empat kota besar Muslim saat itu: Madinah, Mekkah, Damaskus dan Baghdad. Selain itu, terdapat pula referensi musik yang mengacu pada tulisan musisi Persia kenamaan, Ishaq Al-Mawsili, yang berkiprah satu abad sebelumnya (namun, tulisan tersebut kini hilang).

Ada ungkapan kekaguman dari Ibnu Khaldun atas Kitab Al-Aghani dengan menyebutnya sebagai, “Buku yang merangkum secara menyeluruh tentang syair, sejarah dan musik dari abad lampau”, mengacu pada rentang ulasan Imam Al-Isfahani yang juga membahas musik dan syair masa pra-Islam dan pengaruhnya pada musisi yang hidup dalam tradisi Islam seperti Sa’ib Khatir (7 Masehi), Tuwais, Ibnu Mijjah dan tentu saja, Ishaq Al-Mawsili (8 Masehi). 

Dalam kata pembuka, Imam Al-Isfahani menyebut bahwa tujuan dari penulisan Al-Aghani tidak lain untuk memberikan gambaran tentang warisan musik dan syair dari masa lalu.

Sementara dijelaskan pula dalam Kitab Al-Musiqa Al-Kabir ( bahasa Arab : كِتٰبَ ٱلمُوْسِيقَىٰ ٱلكَبِيرُ , Kitab Besar Musik) sebuah risalah tentang musik dalam bahasa Arab yang ditulis oleh filsuf Era Keemasan Islam yaitu Imam Al-Farabi (872-950/951). 

Imam Al-Farabi membagi Kitab Al-Musiqa Al-Kabir menjadi dua risalah 

Risalah pertama terdiri dari dua bagian; mengikuti tradisi Aristotelian, Imam Al-Farabi membagi studinya tentang musik menjadi aspek teoritis dan praktis: 

Bagian pertama, yang terdiri dari dua wacana , merupakan pendahuluan yang menetapkan prinsip-prinsip teoritis musik dan penyelidikan tentang bagaimana suara dihasilkan.

Bagian kedua menerapkan prinsip-prinsip teoretis yang ditetapkan pada bagian pertama pada alat-alat musik yang digunakan pada masa Al-Farabi, sekaligus membahas interval musik dan berbagai jenis melodi .

Risalah kedua dimaksudkan sebagai komentar terhadap pemikiran para ahli teori musik sebelumnya, tetapi risalah tersebut tidak ada.

Dalam  bahasa Arab, istilah kata “lagu”  memiliki banyak varian lafadz, Al-Sima’ (السماع),  Al-Ghina (الغناء), Al-Lahw (اللهو), Al-Lahn (اللحن), dan lainnya.

Syekh Thahir At-Thabari (348-450 H) dalam kitabnya  Al-Radh ala Man Yuhibbu al-Sima’ mengatakan kata Al-Ghina oleh bangsa Arab diucapkan untuk setiap lagu yang dinamakan oleh bangsa Arab dengan nama an-Nusb (النصب), Al-Huda’ (الحداء), juga pada setiap syiir  yang diiringi irama musik.

Dalam kitabnya, Imam Al-Farabi mengartikan lafadz ‘Musik’ dengan  makna ‘Al-Alhan’ (Jamak Al-Lahn), Salah satu dari sekian istilah bahasa Arab untuk lagu. yang kalau diartikan secara leterlijk, harfiah memilki arti kumpulan beberapa suara yang menghasilkan lagu yang memiliiki melodi/irama yang khos. Dalam kata lain Al-Lahn sebagai melodi/irama.

Dalam Kitab Al-Musiqa Al-Kabir hal.10 dimana Imam Al-Farabi menuliskan, 

فى الجزء الاول: فى المدخل الصناعة الموسيقى جعله فى مقالتين:

اولاهما : فى تعريف للمعنى اللحن, وبحث فى اصل الموسيقى واختلاف هيئاتهاالعملية والنظرية الانسان, وتعدية الاصناف الالحان, وغايتها, ونشاءة الالالة الموسيقية

والثانية: فى مبادئ المعريفة لصناعة الموسيقى, فعرف الالحان الطبيعة الانسان وعدد الامم التى يمكن ان تعدد الحانهم طبيعة بوجه ما, ثم ذكو مناسبات النغم واتفاقاتها وعددالنغم المتجانسة فى اصول الالحان, وبين طبيقات الاصوات الطبيعية فذكر لذالك الة القديمة كانت تسمى (الشاه رود) وكانت بعيدة المذهب الى احد الطبقات واثقلها

"Bagian pertama: Dalam pengenalan industri musik, ia membaginya menjadi dua artikel:

Yang pertama: dalam mendefinisikan makna melodi, dan meneliti asal muasal musik serta perbedaan bentuk praktis dan teoritisnya bagi manusia, banyaknya jenis melodi, tujuannya, dan kemunculan alat musik tersebut.

Yang kedua: dalam prinsip-prinsip kognitif pembuatan musik, Ia mengenali sifat manusia sebagai melodi dan jumlah negara yang dapat menyebutkan melodi-melodi tersebut dengan cara tertentu. Kemudian ia menyebutkan peristiwa-peristiwa nada suara dan kesesuaiannya serta jumlah nada-nada harmonis dalam asal-usulnya melodi. Dia menjelaskan penerapan suara alam, jadi dia menyebutkan instrumen kuno yang disebut (Shah Rud) dan itu jauh sekali dari jalan yang harus ditempuh sehingga mengacu pada salah satu pertimbangan yang paling berat". (Al-Musiqa Al-Kabir hal.10)

Jadi, dalam video viral ceramah berdurasi 13 menit itu, UAH menjelaskan terlebih dahulu pengertian musik itu sendiri. Jika keliru mendefenisikan musik, hukum yang dirumuskan juga bisa keliru.

"Apa dulu musik itu, harus dikenali. Jangan ribut masalah musik, antum sendiri tidak kenal musik. Antum menghukumi musik, Handphone antum sendiri banyak musiknya. Ringtone itu kan musik," jelas UAH menanggapi pertanyaan salah satu jamaahnya dilansir dari portal islami.co.

Singkatnya jika mau mencermati penyampaian dari jawaban UAH terkait pertanyaan hukum musik dari salah satu jama'ah sudah dijelaskan secara gamblang dan jelas dengan referensi QS. Asy-Syu'ara : 224-227 berikut menjelaskan penafsiran dari para ulama dan bukan menghalalkan musik. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar