Jumat, 31 Mei 2024

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGUSAP WAJAH SETELAH SHALAT DAN BERDOA

Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai mengucapkan salam dalam shalat, umat Islam mengusap wajah dengan kanannya. Hal ini didasarkan satu riwayat bahwa setelah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. 

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يِزِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ -- سنن أبي داود

Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa, beliau beliau selallu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR Abu Dawud, 1275) 

Dalam hal ini, Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,

وَمِنْ آَدَابِ الدُّعَاءِ كَوْنُهُ فِي الْأَوْقَاتِ وَالْأَمَاكِنِ وَالْأَحْوَالِ الشَّرِيْفَةِ وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَرَفْعُ يَدَيْهِ وَمَسْحُ وَجْهِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ وَخَفْضُ الصَّوْتِ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْمُخَافَتَةِ).

“Di antara beberapa adab dalam berdoa adalah, adanya doa dalam waktu-waktu, tempat-tempat dan keadaan-keadaan yang mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, mengusap wajah setelah selesai berdoa, memelankan suara antara keras dan berbisik.” (Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 4 hal. 487).

Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebab shalat secara bahasa berarti berdoa. Di dalam shalat terkandung doa-doa kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah shalat ia juga disunnahkan untuk mengusap muka.

Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy Ad-Damsyiqi Asy-Syafi’i (w. 676 w) dalam kitab Al-Adzkar min Kalami Sayyidi Al-Abrar menyampaikan,

وَروينَا فِي كِتَابِ ابْنِ السُّنِّيِّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ اللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ)).

Telah diriwayatkan pada kami (hadits) dalam kitab Ibnu Sinny dari Anas bin Malik ra, ia berkata: “Rasulullah ﷺ Apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu Beliau berdo’a

أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.

“Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan.”

Dalam kitab Bughyah Al-Musytarsyidin karya As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar (w. 1320 h) juga menyebutkan,

فَائِدَةٌ: روى ابْنُ مَنْصُورٍ: أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَمَرَهَا عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا عَلَى لِحْيَتِهِ الشَّرِيفَةِ وَقَالَ : “بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ ، اَللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّيْ الْغَمَّ وَ الْحُزْنَ وَ الْهَمَّ ، اَللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ انْصَرَفْتُ ، وَ بِذَنْبِيْ اعْتَرَفْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ ، وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جُهْدِ بَلَاءِ الدُّنْيَا ، وَ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ”.

“(Sebuah Faidah) Ibnu Mansyur meriwayatkan bahwa Beliau (Rasulullah ﷺ) saat usai sholat mengusap dahi dengan telapak tangan kanan kemudian beliau gerakkan kearah wajah hingga sampai pada jenggotnya yang mulia seraya berdoa:

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ ، اَللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّيْ الْغَمَّ وَ الْحُزْنَ وَ الْهَمَّ ، اَللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ انْصَرَفْتُ ، وَ بِذَنْبِيْ اعْتَرَفْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ ، وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جُهْدِ بَلَاءِ الدُّنْيَا ، وَ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ “

“Dengan menyebut asma Allah ﷻ yang tiada Tuhan selain-Nya, Yang Mengetahui suatu yang ghaib dan nyata Yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan, kegelisahan dan kesusahan dariku, Ya Allah dengan memuji-Mu aku berpaling (selesai dari sholat), dengan dosaku aku mengakui, aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang telah aku perbuat dan aku berlindung kepada-Mu dari keadaan berat dunia dan siksa akhirat”.

Semua keterangan ini juga dikutip oleh Syaikh Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyatiy asy-Syafi’i (w. 1310 h) dalam kitab I’anah al-Thalibin ala Hilli Alfadzi Fathu Al-Mu’in.

Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah shalat dan berdoa memang dianjurkan dalam Islam. Karena Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengusap muka setelah shalat. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 16 Mei 2024

KAJIAN TENTANG HAJI MODEREN, THAWAF NAIK KENDARAAN

Pada saat menjalankan ibadah haji, terdapat beberapa rangkaian rukun haji yang wajib dilaksanakan, salah satunya adalah thawaf. 

وأما أركان الحج فهي أربعة: الإحرام؛ وطواف الزيارة، ويسمى طواف الإفاضة. والسعي بين الصفا والمروة، والوقوف بعرفة، وهذه الأركان لو نقص واحد منها بطل الحج، باتفاق ثلاثة من الأئمة

"Adapun rukun-rukun haji, maka dianya ada 4 perkara, Ihram, Thawaf Ifadah, sa'i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, dan ini rukun-rukun haji, jika kurang salah satu, maka batal haji." (Syekh Abdurrahman Al Jaziri, al-Fiqhu ala al-Mazabi al-Arba’ah, jilid I [Beirut; dar Kutub al-Alamiyah, 2003], halaman 578).

Thawaf ifadah termasuk salah satu bagian dari rukun haji. Adapun cara thawaf dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan putaran dalam arah searah jarum jam. Thawaf ini  hukumnya wajib dilakukan semua jamaah haji, dan tidak bisa digantikan dengan bayar dam. Untuk itu, bagi jemaah haji yang meninggalkan rukun haji ini, maka hajinya jadi tidak sah. Namun bagi sebagian jamaah haji atau umrah melakukan thawaf harus menaiki kendaraan. Lalu apa hukumnya bila thawaf menggunakan skuter/mobil listrik atau kursi roda?

Seiring dengan kemajuan teknologi, kursi roda, skuter/mobil listrik telah menjadi alat transportasi yang populer dan efisien dalam berbagai situasi. Pada artikel ini, kita akan membahas penggunaan kendaraan alternatif modern untuk melakukan thawaf. 

Penggunaan skuter/mobil listrik dan kursi roda saat thawaf adalah boleh dan sah, hal ini didasari oleh sebuah hadits sebagai berikut.

عن أم سلمة قالت : حججت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم فاشتكيت قبل أن أطوف بالبيت فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( اركبي فطوفي راكبة وراء الناس ) وهو يصلي حينئذ إلى حاشية البيت

"Dari Ummi Salamah, ia berkata, aku haji bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu aku mengeluh kepada beliau ketika akan thawaf. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Naiklah, thawaflah berkendara di belakang rombongan. Rasulullah pada saat itu akan melaksanakan shalat di sisi ka'bah." (Mu'jam Tabrani Kabir, 24473).

*Manfaat Skuter/Mobul Listrik dalam Tawaf*

Dalam kerumunan yang padat di Masjidil Haram, berjalan kaki untuk menyelesaikan thawaf bisa menjadi proses yang memakan waktu dan melelahkan. Penggunaan skuter/mobil listrik memungkinkan para jamaah untuk bergerak lebih cepat, mengurangi waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan thawaf. Dengan begitu, jamaah memiliki lebih banyak waktu untuk berdoa dan merasakan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Di samping itu, bagi  jemaah haji yang mempunyai keterbatasan mobilitas atau masalah kesehatan, thawaf dapat menjadi tantangan yang signifikan. Seperti bagi jemaah haji lansia, atau jemaah disabilitas, maka skuter/mobil listrik menjadi alat yang sangat membantu.  

Skuter/mobil listrik memungkinkan mereka yang memiliki masalah tersebut untuk tetap berpartisipasi dalam ritual rukun haji yaitu thawaf dengan lebih mudah. Alat ini memberikan kemerdekaan dan mandiri dalam menjalankan ibadah, menjaga kesetaraan dalam kesempatan berpartisipasi bagi semua jamaah.

Jika dilihat dari segi lingkungan  hidup, penggunaan skuter/mobil listrik sebagai alat transportasi dalam thawaf juga memiliki manfaat lingkungan yang signifikan. Dibandingkan dengan penggunaan kendaraan bermotor konvensional, skuter listrik tidak menghasilkan emisi gas buang dan berkontribusi pada pengurangan polusi udara. Hal ini membantu menjaga lingkungan di sekitar Masjidil Haram menjadi lebih bersih dan berkelanjutan.

Di atas asas manfaat tersebut, apakah boleh thawaf menggunakan skuter/mobil listrik? Atau sahkah ibadah haji jika jemaah melakukan thawaf memakai skuter/mobil listrik? Bagaimana tanggapan ulama fiqih dalam masalah ini? 

*Hukum Thawaf Pakai Kendaraan*

Menurut ulama fikih, thawaf menggunakan skuter/mobil listrik dalam thawaf diperbolehkan, baik kondisi orang tersebut ada uzur ataupun tidak ada uzur. Artinya, thawaf dalam dua kondisi diperbolehkan oleh syariat. Terlebih skuter listrik berfungsi sebagai sarana transportasi yang membantu memudahkan mobilitas jamaah, tanpa merusak atau mengganggu esensi ibadah thawaf itu sendiri. Simak penjelasan Imam Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab;

فرْعٌ: ونقل الماوردي إجماع العلماء على أن طواف الماشي أولى من طواف الراكب، فلو طاف راكبا لعذر أو غيره، صح طوافه، ولا دم عليه عندنا في الحالين

"Cabang: Al-Mawardi berpendapat bahwa para ulama sepakat bahwa thawaf berjalan kaki lebih utama dari pada berkendara, jikalau tawaf dengan berkendara tanpa ada uzur atau ada uzur, maka sah thawafnya, dan tidak dikenakan kewajiban membayar dam, menurut kami dalam dua keadaan ini [uzur atau tidak ada uzur." (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Beirut; Dar Kutub Ilmiyah, 1971], halaman 30).

Penjelasan serupa dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni, jilid III, halaman 359 bahwa thawaf dihukumi sah jika dikerjakan dengan kendaraan. Tak ada masalah, thawaf dengan kendaraan itu dikarenakan ada uzur syariat ataupun tidak.

مَسْأَلَة؛ قَالَ: (وَمَنْ طَافَ وَسَعَى مَحْمُولًا لِعِلَّةٍ، أَجْزَأَهُ) لَا نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافًا فِي صِحَّةِ طَوَافِ الرَّاكِبِ إذَا كَانَ لَهُ عُذْرٌ

"Masalah; Berkata ia); barang siapa yang thawaf dan sa'i dengan berkendaraan atau dipikul, karena ada sebab maka thawafnya sah, (tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait sahnya thawaf dengan tunggangan/kendaraan apabila ada uzur padanya)". 

Terakhir, Syekh Syihabuddin Ahmad Al Qalyubi dalam Kitab Hasyiyah Al Qalyubi wa ‘Umairah, menjelaskan hal serupa (thawaf boleh menggunakan kendaraan). Ia berkata,

ولو طاف راكبا بلا عذر جاز بلا كراهة .قال الإمام : وإدخال البهيمة التي لا يؤمن تلويثها المسجد مكروه

"Jikalau thawaf menggunakan kendaraan, padahal tidak ada uzur, maka hukumnya boleh, dan tidak makruh. Imam Syafi’i berkata: 'Menunggangi hewan yang bisa menimbulkan kotoran di masjid, hukumnya makruh.”

Kesimpulannya, berdasarkan penjelasan ulama di atas  bahwa melaksanakan thawaf dengan berkendaraan, baik dalam keadaan uzur ataupun tidak, maka hukumnya boleh. Untuk itu, orang yang sehat, apalagi yang sakit, lansia, disabilitas diperbolehkan menggunakan skuter atau mobil listrik ketika thawaf ifadah. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 14 Mei 2024

HUKUM TENTANG KHILAFIAH SYAIR DAN MUSIK


Akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di media sosial mengenai hukum musik. Pasalnya, ceramah Ustadz Adi Hidayat (UAH) yang mengatakan bahwa surah Asy-Syu’ara sebagai surah para pemusik menghebohkan sebagian pihak. Ada yang setuju, dan ada yang berpendapat sebaliknya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut menanggapi soal polemik terkait ceramah Ustadz Adi Hidayat yang mengaitkan antara musik dengan Surat Asy-Syu'ara. Menurut Ketua MUI Bidang Seni, Budaya, dan Peradaban Islam Ustadz Jeje Zaenudin, syair memang erat hubungannya dengan musik.

Meskipun saya pernah menanggapi ceramah UAH saat membahas kitab karya Hadhratusy Syeikh KH. Hasyim Asy'ari Rahimahullah Risalah Ahlusssunah Wal Jama'ah di link bloger : http://mwcnucipayung.blogspot.com/2021/09/apakah-uah-membaca-kitab-kh-hasyim.html

Namun kali ini sependapat dengan penjelasannya sebagaimana UAH mengutip penjelasan ulama semisal Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya mengenai QS. Asy-Syuara ayat 224-227 sebagai berikut,

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا سلمة وعليّ بن مجاهد، وإبراهيم بن المختار، عن ابن إسحاق، عن يزيد بن عبد الله بن قُسَيط، عن أبي الحسن سالم البراد مولى تميم الداري، قال: لما نزلت: ﴿وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ﴾ قال: جاء حسان بن ثابت وعبد الله بن رواحة، وكعب بن مالك إلى رسول الله ﷺ، وهم يبكون، فقالوا: قد علم الله حين أنزل هذه الآية أنا شعراء، فتلا النبيّ ﷺ: ﴿إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ﴾ .

Ibnu Hamid menceritakan kepada kami, dia berkata: Salamah, Ali bin Mujahid, dan Ibrahim bin Al-Mukhtar menceritakan kepada kami, atas wewenang Ibnu Ishaq, atas wewenang Yazid bin Abdullah bin Qusayt, atas wewenang Abu Al-Hasan Salem Al-Barrad, majikan dari Tamim Al-Dari, dia berkata: Ketika ayat itu diturunkan: “Dan para penyair diikuti oleh orang-orang sesat” (QS. Asy-Syu'ara : 224) dia berkata: Datanglah Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, dan Ka'ab bin Malik pergi menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara mereka menangis. Mereka berkata: "Allah telah mengetahui ketika  menurunkan ayat ini bahwa kami adalah penyair (dimaksud)". Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat, "Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan berbuat kebajikan dan banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan setelah terzalimi (karena menjawab puisi-puisi orang-orang kafir). Dan orang-orang yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali." (QS. Asy-Syu'ara : 227). (Tafsir Ath-Thabari)

Juga pembahasan tentang musik dalam Kitab Al-Aghani (lagu/nada) kata jama' (plural) dari kata An-Nagham yang ditulis oleh Abu al-Faraj Al-Isfahani pada abad 10 Masehi, merupakan salah satu sumber tertua (yang tertulis dan masih ada) tentang musik dan lagu yang hidup dalam tradisi Islam. Al-Isfahani hidup pada kisaran 897 hingga 971 Masehi dan menghabiskan lebih dari lima puluh tahun masa hidupnya untuk menulis Kitab Al-Aghani. Sumber penulisannya adalah musisi dan penyair di empat kota besar Muslim saat itu: Madinah, Mekkah, Damaskus dan Baghdad. Selain itu, terdapat pula referensi musik yang mengacu pada tulisan musisi Persia kenamaan, Ishaq Al-Mawsili, yang berkiprah satu abad sebelumnya (namun, tulisan tersebut kini hilang).

Ada ungkapan kekaguman dari Ibnu Khaldun atas Kitab Al-Aghani dengan menyebutnya sebagai, “Buku yang merangkum secara menyeluruh tentang syair, sejarah dan musik dari abad lampau”, mengacu pada rentang ulasan Imam Al-Isfahani yang juga membahas musik dan syair masa pra-Islam dan pengaruhnya pada musisi yang hidup dalam tradisi Islam seperti Sa’ib Khatir (7 Masehi), Tuwais, Ibnu Mijjah dan tentu saja, Ishaq Al-Mawsili (8 Masehi). 

Dalam kata pembuka, Imam Al-Isfahani menyebut bahwa tujuan dari penulisan Al-Aghani tidak lain untuk memberikan gambaran tentang warisan musik dan syair dari masa lalu.

Sementara dijelaskan pula dalam Kitab Al-Musiqa Al-Kabir ( bahasa Arab : كِتٰبَ ٱلمُوْسِيقَىٰ ٱلكَبِيرُ , Kitab Besar Musik) sebuah risalah tentang musik dalam bahasa Arab yang ditulis oleh filsuf Era Keemasan Islam yaitu Imam Al-Farabi (872-950/951). 

Imam Al-Farabi membagi Kitab Al-Musiqa Al-Kabir menjadi dua risalah 

Risalah pertama terdiri dari dua bagian; mengikuti tradisi Aristotelian, Imam Al-Farabi membagi studinya tentang musik menjadi aspek teoritis dan praktis: 

Bagian pertama, yang terdiri dari dua wacana , merupakan pendahuluan yang menetapkan prinsip-prinsip teoritis musik dan penyelidikan tentang bagaimana suara dihasilkan.

Bagian kedua menerapkan prinsip-prinsip teoretis yang ditetapkan pada bagian pertama pada alat-alat musik yang digunakan pada masa Al-Farabi, sekaligus membahas interval musik dan berbagai jenis melodi .

Risalah kedua dimaksudkan sebagai komentar terhadap pemikiran para ahli teori musik sebelumnya, tetapi risalah tersebut tidak ada.

Dalam  bahasa Arab, istilah kata “lagu”  memiliki banyak varian lafadz, Al-Sima’ (السماع),  Al-Ghina (الغناء), Al-Lahw (اللهو), Al-Lahn (اللحن), dan lainnya.

Syekh Thahir At-Thabari (348-450 H) dalam kitabnya  Al-Radh ala Man Yuhibbu al-Sima’ mengatakan kata Al-Ghina oleh bangsa Arab diucapkan untuk setiap lagu yang dinamakan oleh bangsa Arab dengan nama an-Nusb (النصب), Al-Huda’ (الحداء), juga pada setiap syiir  yang diiringi irama musik.

Dalam kitabnya, Imam Al-Farabi mengartikan lafadz ‘Musik’ dengan  makna ‘Al-Alhan’ (Jamak Al-Lahn), Salah satu dari sekian istilah bahasa Arab untuk lagu. yang kalau diartikan secara leterlijk, harfiah memilki arti kumpulan beberapa suara yang menghasilkan lagu yang memiliiki melodi/irama yang khos. Dalam kata lain Al-Lahn sebagai melodi/irama.

Dalam Kitab Al-Musiqa Al-Kabir hal.10 dimana Imam Al-Farabi menuliskan, 

فى الجزء الاول: فى المدخل الصناعة الموسيقى جعله فى مقالتين:

اولاهما : فى تعريف للمعنى اللحن, وبحث فى اصل الموسيقى واختلاف هيئاتهاالعملية والنظرية الانسان, وتعدية الاصناف الالحان, وغايتها, ونشاءة الالالة الموسيقية

والثانية: فى مبادئ المعريفة لصناعة الموسيقى, فعرف الالحان الطبيعة الانسان وعدد الامم التى يمكن ان تعدد الحانهم طبيعة بوجه ما, ثم ذكو مناسبات النغم واتفاقاتها وعددالنغم المتجانسة فى اصول الالحان, وبين طبيقات الاصوات الطبيعية فذكر لذالك الة القديمة كانت تسمى (الشاه رود) وكانت بعيدة المذهب الى احد الطبقات واثقلها

"Bagian pertama: Dalam pengenalan industri musik, ia membaginya menjadi dua artikel:

Yang pertama: dalam mendefinisikan makna melodi, dan meneliti asal muasal musik serta perbedaan bentuk praktis dan teoritisnya bagi manusia, banyaknya jenis melodi, tujuannya, dan kemunculan alat musik tersebut.

Yang kedua: dalam prinsip-prinsip kognitif pembuatan musik, Ia mengenali sifat manusia sebagai melodi dan jumlah negara yang dapat menyebutkan melodi-melodi tersebut dengan cara tertentu. Kemudian ia menyebutkan peristiwa-peristiwa nada suara dan kesesuaiannya serta jumlah nada-nada harmonis dalam asal-usulnya melodi. Dia menjelaskan penerapan suara alam, jadi dia menyebutkan instrumen kuno yang disebut (Shah Rud) dan itu jauh sekali dari jalan yang harus ditempuh sehingga mengacu pada salah satu pertimbangan yang paling berat". (Al-Musiqa Al-Kabir hal.10)

Jadi, dalam video viral ceramah berdurasi 13 menit itu, UAH menjelaskan terlebih dahulu pengertian musik itu sendiri. Jika keliru mendefenisikan musik, hukum yang dirumuskan juga bisa keliru.

"Apa dulu musik itu, harus dikenali. Jangan ribut masalah musik, antum sendiri tidak kenal musik. Antum menghukumi musik, Handphone antum sendiri banyak musiknya. Ringtone itu kan musik," jelas UAH menanggapi pertanyaan salah satu jamaahnya dilansir dari portal islami.co.

Singkatnya jika mau mencermati penyampaian dari jawaban UAH terkait pertanyaan hukum musik dari salah satu jama'ah sudah dijelaskan secara gamblang dan jelas dengan referensi QS. Asy-Syu'ara : 224-227 berikut menjelaskan penafsiran dari para ulama dan bukan menghalalkan musik. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 13 Mei 2024

MWC NU MENUJU PERUBAHAN DAN PEMBANGUNAN GEDUNG

NU Cipayung; Dalam usaha merealisasikan pembangunan dan kepemilikan gedung MWC NU Cipayung Jakarta Timur yang Insya Allah akan dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunannya pada tanggal 30 Juni 2024 yang akan dihadiri oleh KH. Said Aqil Siradj dan sekaligus guna

memperkuat agenda-agenda organisasi ke depan dalam kepengurusan, maka Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Cipayung, Kota Administrasi Jakarta Timur menggelar halal bihalal yang dikemas dalam bentuk diskusi dialogis antar Pengurus MWC, Pengurus Ranting, Badan Otonom NU dan Lembaga NU di Aula Gedung lantai dasar Masjid PP Al-Hamid Putra Cilangkap - Cipayung - Jakarta Timur, Ahad (12/5/2024).

Kegiatan yang berlangsung dimulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB ini dimotivasi oleh Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta yang sekaligus sebagai Mustasyar MWC NU Kec. Cipayung KH. Lukman Hakim Hamid yang juga dalam acara tersebut dihadiri oleh Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jakarta Timur Gus Azaz Rulyaqien dan ditutup dengan laporan kegiatan dan program dari delapan (8) Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) se-Kec. Cipayung, dilanjutkan acara diskusi dialogis dan makan siang bersama (ramah tamah).

KH. Lukman Hakim Hamid menyampaikan, kegiatan halal bihalal dalam bentuk diskusi dialogis antar pengurus ini bertujuan sebagai usaha mempersatukan program dan persepsi agar supaya di semua tingkatan kepengurusan termasuk badan otonom dan lembaga bisa mengetahui kegiatan-kegiatan yang sudah dan yang harus dilakukan serta rencana-rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh MWC NU Cipayung bisa selalu disinergikan, terkhusus dalam pembangunan gedung dalam waktu dekat ini.

Sementara Ketua PCNU Jakarta Timur Gus Azaz Rulyaqien menyampaikan harapannya agar jajaran pengurus NU mengadakan dan mengedarkan kenclengan kotak amal kepada seluruh pengurus juga kepada warga nahdliyin guna menunjang kegiatan yang akan dilaksanakan dan tidak hanya mengandalkan proposal dan donasi yang biasa dilakukan.

Halal Bihalal dan Sarasehan yang bertema, "Menyatukan Struktural dan Kultural Guna Menumbuhkan Islam Rahman Lil'alamin ini ada penyampaian laporan kegiatan dari Ketua Muslimat NU Cipayung Ustz. Ruminah yang telah melaksanakan kegiatan majelis ta'lim sekaligus telah mengadakan kenclengan guna menunjang kegiatannya termasuk juga santunan yang telah dilaksanakan. Demikian Asimun Mas'ud melaporkan.

والله الموفق الى أقوم الطريق