Berawal beredarnya video di medsos khususnya WA yang menyatakan akan keharaman penyembelihan hewan qurban menggunakan halaman masjid saat pemotongan dan pembagiannya, menggunakan alat-alat wakaf masjid dan menggunakan air masjid termasuk hal yang diharamkan menurut video tersebut. Lantas bagaimana hukum pelaksanaan penyembelihan hewan qurban di halaman atau lingkungan masjid yang selama ini biasa dilakukan?
Dalam masalah ini ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang kedatangan orang badui pelosok, yang nyelonong masuk masjid Nabawi kemudian kencing di dalam masjid. Para sahabat yang geram karena ingin memukuli orang ini, dicegah oleh sang Nabi yang sangat penyantun. Setelah selesai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada si badui,
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَىْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِىَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid tidak selayaknya digunakan untuk kencing atau kotoran. Masjid hanya untuk dzikrullah, shalat, dan membaca Al-Quran.” (HR. Muslim no. 285).
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kebersihan dan kesucian tempat melakukan shalat, mengaji, dan berdakwah ini. Setiap kegiatan yang mengotori masjid tentunya tidak diperbolehkan demi kelancaran kegiatan ibadah di dalam masjid.
Sedangkan dalam kegiatan penyembelihan hewan qurban, tentunya akan terdapat banyak kotoran, darah, bau daging dan sebagainya. Apalagi mayoritas ulama menyatakan bahwa darah yang memancar ketika proses cara menyembelih hewan qurban sesuai syarí, hukumnya adalah najis.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
قُل لاَّ أَجِدُ فِيمَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu najis atau binatang haram yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-Anam: 145).
Bahkan sebagian ulama, semacam Imam Ahmad, menyatakan bahwa ulama sepakat, bahwa darah memancar dari binatang hukumnya najis. (Simak Syarh Umdatul Fiqh, 1/105).
Maka dari itu, sebagian besar ulama melarang untuk melakukan pencacahan daging kurban di dalam masjid. Menurut Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi – rahimahullah (Mufti Kerajaan Arab Saudi (KSA) Bagian Selatan tentang hukum menyembelih di masjid atau halaman masjid yang bisa mengotori masjid.
ذبح الأضحية إما في المجزرة أو في الفضاء وإلا فكل واحد يذبح أضحيته في بيته. اتقوا الله يا أهل أندونسيا لا تنجسوا المساجد بالدم المسفوح الذي هو نجس بصريح القرآن وبإجماع العلماء من زمن الصحابة إلى الآن.
“Menyembelih hewan qurban seharus dilakukan di tempat penyembelihan, atau tanah lapang. Atau kalau tidak, masing-masing orang menyembelih hewan qurbannya di rumahnya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah wahai penduduk indonesia, jangan menajisi masjid dengan darah yang memancar, yang hukumnya najis berdasarkan dalil tegas Al-Quran dan sepakat ulama dari zaman sahabat hingga saat ini."
Diantara tempat yang tidak boleh dijadikan untuk tempat shalat adalah tempat penyembelihan hewan (jagal). Karena tempat ini sangat kotor, ada banyak darah dan kotoran hewan. Sementara kita tidak layak mengagungkan Allah di tempat yang kotor.
Ada sebuah hadits yang secara teks menyebutkan larangan melakukan shalat di tempat penyembelihan.
Dalam hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعَةِ مَوَاطِنَ : فِي الْمَزْبَلَةِ ، وَالْمَجْزَرَةِ ، وَالْمَقْبَرَةِ ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ ، وَفِي الْحَمَّامِ ، وَفِي مَعَاطِنِ الْإِبِلِ ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di 7 tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat jagal, (3) kuburan, (4) tengah jalan, (5) di pemandian, (6) tempat menderumnya onta, dan (7) di atas bangunan ka’bah. (HR. Turmudzi 346, Ibnu Majah 746 dan kata Turmudzi, sanadnya tidak kuat).
Meskipun hadits ini statusnya dhaif, namun para ulama membenarkan makna dari hadits ini. Sehingga shalat di tempat jagal, tidak diperbolehkan, karena ada najis di proses penyembelihan, yaitu darah yang memancar dan ada kotoran yang tidak najis.
Dalam Fiqh Al-Ibadah (Syafi'iyah) dinyatakan,
تكره الصلاة محاذياً للنجاسة ولو لم يتصل بها كالصلاة في المزبلة والمجزرة
Dibenci melakukan shalat di tempat yang dekat dengan najis, meskipun tidak bersambung dengan najis. Seperti shalat di tempat sampah atau tempat pemotongan hewan. (Fiqhul Ibadah, 1/331).
Imam An-Nawawi menjelaskan hukum shalat di tempat sampah dan tempat pemotongan hewan,
وذكر المجزرة والمزبلة، وإنما منع من الصلاة فيهما للنجاسة، فدل على أن طهارة الموضع الذي يصلي فيه شرط
Hadits ini menyebutkan tempat sampah dan tempat jagal. Dilarang shalat di dua tempat itu, karena alasan najis. Yang ini menunjukkan bahwa kesucian tempat shalat, merupakan syarat sah shalat. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 3/151).
Pada dasarnya, menyembelih hewan qurban boleh dilakukan di tempat mana saja, di halaman rumah, di lapangan terbuka, di halaman masjid atau halaman mushalla. Selama tempat tersebut memungkinkan untuk menyembelih hewan qurban dan tetap menjaga kesuciannya, maka boleh dijadikan tempat menyembelih.
Namun demikian, menurut para ulama, menyembelih hewan qurban lebih utama dan lebih baik dilakukan di tempat dilakukannya shalat Idul Adha, baik berupa masjid, mushalla atau lapangan terbuka. Karena itu, jika shalat Idul Adha dilakukan di masjid, maka lebih utama menyembelih hewan kurban di halaman masjid tersebut.
Hal ini karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih hewan qurban di tempat dilakukannya shalat Idul Adha. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang bersumber dari Abdullah Ibnu Umar, dia berkata,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يذبح وينحر بالمصلى
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih hewan qurban di mushalla (tempat dilaksanakannya shalat Idul Adha)." (HR. Bukhari) [Fathul Bari juz 22 hal. 155 bab Memotong Qurban Di Mushalla]
Berdasarkan hadits ini, ulama Malikiyah menganjurkan agar penyembelihan hewan qurban dilakukan di tempat dilaksanakannya shalat Idul Adha. Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut,
ويكره للامام عدم ابراز الضحية للمصلى ولغيره يندب لان النبي كان صلى الله عليه وسلم يذبح وينحر بالمصلى وهو مكان صلاة العيد
"Dimakruhkan bagi imam tidak menampakkan hewan kurban di ‘mushalla’, dan bagi selain imam dianjurkan menampakkan hewan kurban di ‘mushalla’. Hal ini karena Nabi Saw menyembelih hewan kurban di mushalla, yaitu tempat dilaksanakannya shalat Id."
Dalam kitab Mir’atul Mafatih juga disebutkan sebagai berikut,
فيه استحباب ان يكون الذبح والنحر بالمصلى والحكمة في ذلك ان يكون بمرأى من الفقراء فيصيبون من لحم الاضحية
"Dalam hadits tersebut terdapat anjuran melakukan penyembelihan hewan qurban di ‘mushalla’. Hikmahnya adalah agar bisa dilihat oleh orang-orang fakir sehingga mereka mendapatkan bagian daging kurban."
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa menyembelih hewan qurban di tempat dilaksanakannya shalat Idul Adha, baik halaman masjid atau mushalla, atau lapangan terbuka, lebih utama dibanding tempat lainnya. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar