Kamis, 07 Juli 2022

KAJIAN TENTANG BAGIAN UPAH RELAWAN PENCARI DANA

Sudah menjadi kewajaran di sekitar kita pembangunan fasilitas ibadah (mis. Masjid, mushalla, madrasah, pesantren, dll) yang mengandalkan dana sumbangan masyarakat. Dengan segala kreatifitasnya, panitia berusaha sekuat tenaga mencukupi kekurangan pendaan ini.

Diantara strategi penggalian dana dilakukan dengan cara mengirim relawan untuk naik ke atas angkutan umum dan mengedarkan kotak amal kepada para penumpang. Atau dengan cara mendirikan semacam ‘pos’ di pinggiran jalan raya dengan harapan menarik minat mereka yang lewat untuk beramal. Akan tetapi dalam prosesnya relawan memerlukan biaya guna memenuhi kebutuhannya. Meskipun sekedar makan, minum atau bensin untuk perjalanan. Oleh karena itu diaturlah pembagian hasil antar keduanya. antara relawan penggalang dana dan panitia sebagai penerima dana.

Fenomena semacam ini diperbolehkan dalam fiqih asalkan tidak melebihi dari upah sepantasnya atau sekedar mencukupi kebutuhannya, apabila relawan itu fakir. Lain halnya kalau relawan adalah orang yang kaya, maka tidak boleh, sebagaimana firman Allah, "Apabila si orang itu kaya hendaknya menjaga diri (jangan mengambil) dan apabila si orang itu fakir maka hendaknya mengambil sekedarnya secara baik." 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 2,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah Ta'ala, sesungguhnya Allah amat berat siksa-siksnya”. (QS. al-Maidah : 2)

Bahwa dijelaskan dalam ayat diatas memerintahkan kita sebagai hambanya agar saling tolong menolong dalam kebajikan. Ini termasuk ketika melakukan pengalangan dana sebagai sumbangan terhadap orang-orang sangat membutuhkan.

Sebagaimana diketahui, hingga saat ini antusias masyarakat untuk saling membantu terhadap sesama semakin meningkat. Ada yang melalui personal dan lembaga ataupun komunitas yang dengan sukarela senantiasa bersedia menggalang dana untuk dapat ikut membantu fakir miskin, korban bencana alam, pembangunan masjid, pesantren dan lain-lain.

Lembaga penampung sedekah terus bermunculan. Kehadiran lembaga ini cukup banyak membantu masyarakat yang terkena musibah alam, atau membutuhkan sumbangan pembangunan masjid, pesantren, dan sarana ibadah lainnya.

Seiring waktu, posisi para penghimpun dana masyarakat ini tak selalu berbentuk lembaga. Tak semua relawan juga berasal dari kalangan berada.

Segelintir masyarakat mulai menjadi aktivitas penghimpunan dana ini sebagai profesi. Tujuan mereka tetap utuh. Menyalurkan bantuan bagi pihak yang membutuhkan.

Tak hanya berbentuk lembaga, sejumlah komunitas secara mandiri juga aktif menggalang dana dari masyarakat untuk beragam tujuan.

Tentu saja para relawan ini harus di apresiasi atas segala upayanya. Para relawan ini pun terdiri dari semua kalangan dari yang kaya dan yang hidupnya masih belum berkecukupan.

Namun bagaimana jadinya, saat para penghimpun ini mengambil sedikit bagian dari dana sumbangan tersebut? Bagaimana hukum para relawan mengambil upah dari hasil sumbangan?

Menurut jumhur ulama sepakat bahwa, permasalahan upah dalam islam hukumnya adalah mubah (boleh) dan hukum mengambil upah hasil sumbangan ini dapat berubah tergantung dari keadaan dan situasi benda atau obyek yang di upah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,

كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَادِرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ

“Makanlah sebagian dari harta anak yatimmu, tetapi janganlah berlebihan, tidak menggunakannya secara mubadzir, dan tidak mengambi harta pokoknya..” (HR. Abu Daud no. 2872, Hasan)

“Berikanlah olehmu upah sewaan sebelum keringatnya kering”. (H.R Ibnu Majah)

Sebagian ulama fiqh sepakat bahwa mengambil upah dri perbuatan ibadah di perbolehkan. Ulama Madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah beralasan bahwa perbuatan tersebut berguna bagi pemberi upah, dan setiap perbuatan yang berguna bagi pemberi upah di bolehkan dalam agama.

Sama halnya dengan melaksanakan kewajiban agama yang berguna bagi pemberi upah, maka juga di perbolehkan. Di samping itu perbuatan-perbuatan taat tersebut dapat di lakukan secara ikhlas untuk ibadah dan dapat di lakukan tanpa niat ibadah karena perbuatan tersebut membawa manfaat.

Imam Ibnu Hajar Al-Hajtamiy Rahimahullah mengatakan,

و قيس بولي اليتيم فيما ذكر من جمع مالا لفك أسر أي: مثلا فله َالْوَجْهُ أَنْ يُقَالَ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ

“Dan diqiyaskan dengan wali yatim seperti yang telah disebutkan, bahwa orang yang mengumpulkan harta, misalnya untuk menebus membebaskan tawanan. Jika orang yang mengumpulkan itu miskin maka ia diperbolehkan untuk makan dari harta tersebut atau ia boleh mengambil satu di antara dua perkara yang paling sedikit.” (Tuhfatul Muhtaj, 5/187)

Hanya saja jangan terlalu besar hendaknya diupah sepantasnya, hal ini diqiyaskan dengan wali yatim. Maksud dua hal dalam keterangan Imam Ibnu Hajar di atas adalah biaya nafkah atau mengambil ujrah al mitsli (upah yang pantas).

Demikian keterangan lengkap Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj, 

وَقِيْسَ بِوَلِيِّ الْيَتِيْمِ فِيْمَا ذُكِرَ مَنْ جَمَعَ مَالاً لِفَكِّ أَسْرٍ أَيْ مَثَلاً فَلَهُ إِنْ كَانَ فَقِيْرًا اْلأَكْلُ مِنْهُ كَذَا قِيْلَ وَالْوَجْهُ أَنْ يُقَالَ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ قَالَ الشَّرْوَانِي (قَوْلُهُ أَي مَثَلاً) يَدْخُلُ مَنْ جَمَعَ لِخَلاَصِ مَدِيْنٍ مُعْسِرٍ أَوْ مَظْلُوْمٍ مُصَادَرٍ وَهُوَ حَسَنٌ مُتَعَيَّنٌ حَثًّا وَتَرْغِيْبًا فِيْ هَذِهِ الْمُكَرَّمَةِ. أهـ سَيِّد عُمَر. أَقُوْلُ وَكَذَا يَدْخُلُ مَنْ جَمَعَ لِنَحْوِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ. (قَوْلُهُ وَ كَذَا قِيْلَ) لَعَلَّ قَائِلُهُ بَنَاهُ عَلَى مَا مُصَحِّحِ الرَّفِعِي. اهـ سيد عمر. (قَوْلُهُ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ ) النَّفَقَةُ وَاُجْرَةُ الْمِثْلِ .

Disamakan dengan wali anak yatim, seperti yang telah dikemukakan, orang yang mengumpulkan harta, misalnya untuk membebaskan tawanan. Jika ia orang yang miskin maka ia diperbolehkan untuk makan dari harta tersebut atau ia boleh mengambil satu di antara dua hal yang paling sedikit, yaitu biaya nafkah atau mengambil ujrah al-mitsli (upah standar).  Menurut al-Syirwani yang demikian itu termasuk pula orang yang mengumpulkan harta untuk membantu menyelamatkan orang miskin yang terbelit hutang atau orang yang terzalimi yang dirampas hartanya. Pendapat tersebut adalah pendapat yang baik dan (memang) harus seperti itu, sebagai pendorong dan penyemangat dalam perbuatan mulia ini. Demikian pendapat Sayyid Umar. Saya (al-Syirwani) berpendapat, “Begitu pula orang yang mengumpulkan harta untuk membangun mesjid.” (Maksud salah satu di antara dua hal), yaitu nafkah dan ujrah al-mitsl (upah standar)." Wallahu a'lam

Demikian Ibnu Mas'ud At-Ta'addudi menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar