Senin, 14 Maret 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM SIMBOLISASI MENURUT SYARIAT ISLAM

Viral, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (14/3/2022) pagi melaksanakan prosesi penyatuan tanah dan air Nusantara dari 34 provinsi di Indonesia di lokasi titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Jokowi menyebut penyatuan tanah dan air Nusantara itu menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan pembangunan IKN.

Penyerahan air dan tanah kepada Presiden Jokowi diawali dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diambil dari Jakarta Utara. Kemudian satu per satu diikuti oleh Gubernur Aceh, Papua, DIY, dan gubernur seluruh Indonesia lainnya, hingga diakhiri oleh Gubernur Kalimantan Timur.

Dalam sejarah umat Islam, penggunaan simbol-simbol dalam agama, ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran yang tinggi, pemahaman yang sungguh-sungguh, dan penghayatan yang mendalam Paham atau aliran tata pemikiran yang mendasarkan diri pada simbol disebut simbolisme. Data sejarah umat Islam menunjukkan, ternyata simbolisasi telah dimulai sejak Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dalam hadits shahih Bukhari,

قاَلَ الإمَامُ البُخاَرِي رَحِمَهُ اللهُ حدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَبِلَالٌ وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ الْحَجَبِيُّ فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ وَمَكَثَ فِيهَا فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِينَ خَرَجَ: مَا صَنَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟

قَالَ: جَعَلَ عَمُودًا عَنْ يَسَارِهِ وَعَمُودًا عَنْ يَمِينِهِ وَثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ وَكَانَ الْبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ ثُمَّ صَلَّى.

Imam al-Bukhari ra berkata,

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Yusuf yang berkata, Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar ra, bahwa: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam Ka’bah bersama Usamah ibn Zaid, Bilal dan ‘Usman ibn Thalhah Al-Hajabi kemudian pintu ditutup, dan beliau berada di dalamnya. Kemudian setelah beliau keluar aku bertanya kepada Bilal, Apa yang dilakukan oleh Beliau di dalamnya. Bilal menjawab Beliau menjadikan tiang berada di sebelah kiri, lalu satu di sebelah kanan dan tiga tiang berada di belakangnya (saat itu tiang Ka’bah berjumlah enam buah) kemudian beliau shalat.” (HR. Bukhari)

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 473-475 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadits ini dengan judul “Shalat Menghadap Tiang (Ustuwanah)” dan “Shalat di antara Tiang-tiang Selain Shalat Berjamaah.” Hadits-hadits ini menunjukkan betapa tinggi perhatian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya untuk menjaga sutrah atau pembatas shalat mereka. Keterangan hadits dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 277-281.

Muncul kritik terkait ritual simbolisasi presiden Jokowi tersebut diantaranya dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat (Sumbar), Gusrizal Gazahar mengkritik sikap gubernur Mahyeldi Ansharullah yang ikut membawa tanah dan air untuk Ritual Kendi Nusantara di Titik Nol Kilomenter Ibu Kota Nusantara (IKN). Lantas bagaimana peran islam mensikapi hal tersebut?

Salah satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari proses berkomunikasi adalah kebutuhan akan simbolisasi atau penggunaan lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Simbol tersebut dapat berupa kata-kata (verbal), gerakan tubuh (nonverbal) ataupun objek lainnya yang maknanya disepakati bersama seperti contohnya memasang bendera kuning adalah tanda berduka bagi sebagian masyarakat di Pulau Jawa, di jakarta utara bendera warna putih atau bendera merah putih setengah tiang. Simbol atau lambang tersebut sangat variatif dan bergantung pada kebudayaan yang berlaku di sebuah tempat.

Dalam dunia Islam, penggunaan simbol sebagai media berkomunikasi bukanlah hal yang asing. Namun minimnya pengetahuan dan kekakuan dalam menginterpretasikan nash/dalil, tak jarang banyak pihak yang menolak keberadaan simbol-simbol dalam proses kehidupan beragama. Yang kemudian mengategorikan simbol-simbol dalam kehidupan beragama itu ke dalam takhayul, bid’ah, khurafat atau bahkan tak tanggung-tanggung, yaitu musyrik.

Sebagai contoh, suatu ketika saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat Istisqa', Rasul memutar posisi sorbannya sebagai bentuk doa bir rumuz, yakni berdoa dengan menggunakan isyarat atau simbol. Dari Abi Hurairoh ra berkata,

خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمَا يَسْتَسْقِي فَصَلَّي بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلاَ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَالْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَّبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الاَ يْمَنَ عَلَي الاَيْسَرِ وَالاَيْسَرَ عَلَي الاَيْمَنِ

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk memohon turun hujan, maka beliau shalat dengan kami dua rakaat tanpa adzan dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah dan berdoa kepada Allah, memalingkan wajahnya ke arah kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau memindahkan selendangnya yang di sebelah kanan ke sebelah kiri dan yang di sebelah kiri ke sebelah kanan.” (HR. Ibnu Majah)

Berdoa dengan simbol pun sering dilakukan oleh umat Islam di Nusantara. Contohnya sebagian kelompok masyarakat Sunda ketika akan pindah/menempati rumah baru, hal yang pertama dipindahkan adalah pabeasan (tempat menyimpan beras) terlebih dahulu sebelum barang yang lain. Ini adalah bentuk doa agar kelak saat mendiami rumah tersebut akan tercukupi kebutuhan pangannya.

Tidak hanya dalam doa, penggunaan simbol juga biasa dilakukan dalam proses pendidikan. Sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika beliau mendapat aduan dari Yahudi yang merasa dizalimi oleh salah satu gubernurnya di wilayah pemerintahnnya kala itu, Umar bin Abdul Aziz mengambil sebuah tulang unta, kemudian membuat goresan lurus pada tulang tersebut dengan pedang, lalu beliau memerintahkan Yahudi itu untuk membawa tulang tersebut pada gubernurnya. Ketika tulang dibawakan ke hadapan gubernur, tiba-tiba sang gubernur bergetar dan bercucuran keringat. Si Yahudi pun terheran-heran. Saat ditanyakan, sang gubernur menjawab “Ini adalah pesan dari khalifah Umar agar aku berbuat adil (lurus) sebagaimana lurusnya garis pada tulang ini. Kalau aku tak sanggup, maka pedanglah yang akan meluruskan perbuatanku”. Sang gubernur itu lalu meminta maaf atas kekhilafannya. Menyaksikan kejadian ini, Yahudi itu tertunduk kagum pada dua orang yang ditemuinya itu, lalu dengan mantap ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Proses komunikasi dengan simbol tersebut, telah berperan mengantarkan Yahudi tadi memeluk agama Islam.

Jadi, proses pengunaan simbol yang kerap dilakukan oleh leluhur kita sebagai media bekomunikasi apa pun itu konteksnya, entah sebagai doa, nasihat, atau proses pendidikan, bukanlah hal yang bertabrakan dengan aqidah. Sebagaimana telah dilakukan dari zaman Rasul, Sahabat, dan generasi-generasi berikutnya hingga sampai pada kita sekarang. Ada banyak pesan moral yang terkandung dalam simbolisasi tersebut. Orang tua kita telah sedemikian sempurna dalam menyampaikan sebuah pesan melalui media simbol yang terkadang lebih efektif dan efisien dibanding dengan beretorika belaka. Masalahnya kita tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencari makna dari pesan yang terkandung di balik simbol-simbol tersebut, lalu terjebak pemahaman yang cenderung normatif daripada substanstif dalam menginterpretasikan dalil, menyebabkan kekeliruan memahami konsep musyrik yang sebenaranya.

Lalu seiring perubahan zaman, masih efektifkah proses penyampaian pesan menggunakan simbol-simbol? Atau mampukah kita membuat model komunikasi dengan penggunaan simbol sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang terdahulu kita? Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

3 komentar: