Selasa, 22 Maret 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM PROFESI SEBAGAI PAWANG HUJAN

Viralnya Rara Istiati Wulandari, pawang hujan dalam gelaran MotoGP Mandalika 2022 tengah menjadi sorotan atau viral. Diketahui, aksi Rara sebagai pawang hujan terekam kamera siaran live MotoGP.

Tidak hanya itu, akun resmi MotoGP pun turut memposting aksi Rara sebagai pawang hujan. Aksi Rara pun menjadi sorotan bahkan menjadi trending di media sosial. Lantas bagaimana hukum profesi sebagai seorang pawang hujan?

Tradisi nyarang hujan, yakni meminta bantuan pawang hujan dalam rangka ikhtiar agar tidak hujan. Hal ini biasanya dilakukan ketika ada hajatan atau kegiatan tertentu agar hujan tidak turun ketika acara berlangsung. Istilah "Pawang" identik "pengendali", namun praktiknya pawang hujan bukanlah pengendali (Jika meyakini pawang hujan sebagai pengendali hujan, maka tidak dibenarkan dalam Islam).

Doa apa yang dibaca oleh para pawang hujan? Jika doa atau mantra yang dibaca mengandung kesyirikan, maka tidak dapat dibenarkan. Namun jika doa yang dibaca bersumber dari Al-Qur'an dan hadits atau salafusshalih, maka hukumnya boleh. Bahkan bisa menjadi keharusan demi kemaslahatan hajatan atau acara yang dianggap penting menurut syara', seperti contoh yang dilakukan sebagian pawang hujan,  

يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ

"Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi." (QS. Nuh : 44)

Potongan ayat ini, jika dilihat dari asbab nuzulnya merupakan doa Nabi Nuh yang memohon keselamatan dari marabahaya banjir yang sedang terjadi. Hal tersebut juga pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam semasa hidupnya sebagaimana diterangkan dalam Sahih Bukhari yang diriwayatkan oleh Anas ra.

Diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari no 1014 dan Imam Muslim no 897. Berikut haditsnya,

عن أنس بنُ مالكٍ رَضيَ اللهُ عنه أنَّ رجُلًا دَخَلَ يومَ الجُمُعةِ مِن أحدِ أبوابِ المسجِدِ النَّبويِّ، وكان هذا البابُ مُواجِهًا ومُقابِلًا للمِنبرِ، وكان رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قائمًا على المنبرِ يَخطُبُ، فوقَفَ الرَّجلُ واستَقبَلَ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بوَجْهِه، وقال: يا رسولَ اللهِ، هلَكَتِ المَواشي؛ بسَببِ عدَمِ تَوفُّرِ ما تَعيشُ به مِن الأقواتِ المفقودةِ بحَبْسِ المطَرِ، وانقطَعَتِ السُّبُلُ، أي: الطُّرُقُ، فلمْ تَسلُكْها الإبلُ لهَلاكِها أو ضَعفِها؛ بسَببِ قِلَّةِ الكَلَأِ، أو بإمْساكِ الأقواتِ فلم تُجلَبْ، أو بعَدَمِ ما يُحمَلُ عليها، فادْعُ اللهَ أنْ يُغيثَنا، فيَسقِيَنا بإنزالِ المطَرِ، فاستجابَ رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ للرجُلِ، فرفَعَ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يدَيْه ودَعا قائلًا: «اللَّهمَّ اسْقِنا»، وكرَّر الدُّعاءَ ثَلاثَ مرَّاتٍ . 

قالَ أنَسُ: ولَا واللَّهِ ما نَرَى في السَّمَاءِ مِن سَحَابٍ، ولَا قَزَعَةً، ولَا شيئًا، وما بيْنَنَا وبيْنَ سَلْعٍ مِن بَيْتٍ، ولَا دَارٍ. قالَ: فَطَلَعَتْ مِن ورَائِهِ سَحَابَةٌ مِثْلُ التُّرْسِ، فَلَمَّا تَوَسَّطَتِ السَّمَاءَ، انْتَشَرَتْ ثُمَّ أمْطَرَتْ، قالَ: واللَّهِ ما رَأَيْنَا الشَّمْسَ سِتًّا، ثُمَّ دَخَلَ رَجُلٌ مِن ذلكَ البَابِ في الجُمُعَةِ المُقْبِلَةِ، ورَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ، فَاسْتَقْبَلَهُ قَائِمًا، فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، هَلَكَتِ الأمْوَالُ وانْقَطَعَتِ السُّبُلُ، فَادْعُ اللَّهَ يُمْسِكْهَا، قالَ: فَرَفَعَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قالَ: اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، ولَا عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ علَى الآكَامِ والجِبَالِ، والآجَامِ والظِّرَابِ، والأوْدِيَةِ ومَنَابِتِ الشَّجَرِ. قالَ: فَانْقَطَعَتْ، وخَرَجْنَا نَمْشِي في الشَّمْسِ. قالَ شَرِيكٌ: فَسَأَلْتُ أنَسَ بنَ مَالِكٍ: أهو الرَّجُلُ الأوَّلُ؟ قالَ: لا أدْرِي.

Pada hari Jum’at, ada seorang laki-laki memasuki masjid (nabawi). Ia masuk dari pintu yang dekat dengan “Dar Al-Qadha” (ketika itu berada di sebelah kanan masjid)

Ia masuk masjid ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia pun langsung berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, harta benda telah musnah (karena kekeringan), jalan-jalan terputus (karena hewan tunggangan tidak memiliki air minum). Berdoalah kepada Allah, agar menurunkan hujan kepada kami."

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun langsung mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa,

اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا

Allahummasqinaa, Allahummasqinaa, Allahummasqinaa

“Ya Allah turunkan hujan untuk kami, Ya Allah turunkan hujan untuk kami, Ya Allah turunkan hujan untuk kami” (Beliau berdoa 3x)

Anas radhiyallahu ‘anhu pun, berkata, “Demi Allah, ketika itu tidak ada sedikit pun awan di langit." karena dahulu belum ada rumah di antara masjid dan gunung sal'. Anas berkata, “Tiba-tiba saja, muncul awan kecil, bulat dari belakang gunung tersebut. Ketika sampai di tengah langit, awan tersebut menyebar dan melebar kemudian turunlah hujan."

Anas radhiyallahu ‘anhu meneruskan ceritanya, “Demi Allah, selama satu minggu kami tidak melihat matahari sama sekali."

Lalu pada hari Jum’at berikutnya, masuk seorang lelaki (salah seorang sahabat) dari pintu yang dahulu dimasuki oleh orang yang meminta hujan.

Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri berkhutbah, Ia langsung menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, harta benda musnah (karena hujan), jalan-jalan pun terpotong tidak bisa dilalui. Mohon, berdoalah kepada Allah, agar hujan ini reda."

Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa salam pun mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa,

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عليْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ، وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ، وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Ya Allah jadikan hujan ini di sekitar kami, bukan tepat di atas kami. Ya Allah jadikan hujan ini di atas perbukitan, anak-anak gunung, lembah-lembah, dan perhutanan”.

“Hingga hujan pun reda” jelas Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. “Dan kami bisa berjalan di bawah sinar matahari.”

Salah seorang rawi hadits, murid Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang bernama Syarik bertanya, “Apakah orang yang meminta agar hujan tersebut reda adalah orang pertama yang meminta hujan dahulu?.”

Anas menjawab, “Saya tidak tahu.” (HR. Bukhari Muslim)

Itulah hadits yang menceritakan doa agar hujan reda.

Ada beberapa faedah dalam hadits ini :

1. Disunnahkannya mengulang doa 3x, sebagaimana saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta hujan dalam hadits ini.

2. Bolehnya meminta seorang yang baik, shalih, agar berdoa kepada Allah untuk menurunkan atau meredakan hujan

3. Diantara adab meminta doa kepada orang lain adalah menyampaikan keadaan yang ada padanya, sebagaimana dilakukan oleh sahabat yang meminta hujan dan meminta agar hujan reda, mereka menyampaikan keadaan mereka.

4. Bolehnya berbicara kepada khatib saat khutbah. Adapun berbicara dengan orang lain, selain khatib, maka ini terlarang.

5. Pada hadits tersebut ada tanda-tanda kenabian, dengan terkabulnya doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat meminta hujan ataupun saat meminta reda.

6. Diantara adab berdoa agar hujan reda adalah tidak meminta agar hujan berhenti secara total, tapi meminta agar hujan tersebut dipindahkan ke tempat lain.

7. Berdoa agar Allah menghilangkan sesuatu yang bermudharat, menyebabkan kerusakan dan kerugian, tidak bertentangan dengan tawakal

Selain berdoa langsung terkadang juga ada tata cara yang diajarkan oleh para salafusshalih seperti melemparkan kerikil ke setiap penjuru, mengumandangkan adzan oleh anak yang belum baligh dan lain sebagainya. Semuanya itu ada sandaran hujjah yang bisa dipertanggung jawabnya secara ilmiah. 

Misal, dahulu di kampung kelahiran saya (Pati Jawa Tengah) biasanya yang menjadi pawang hujan (yang berdoa agar hujan tidak turun di lokasi acara) adalah anak kecil yang disebut perawan/perjaka kunti yaitu anak yang bapaknya meninggal saat dia masih dalam kandungan ibunya. Kenapa harus anak kecil yang belum baligh, berbagai  keterangan para ulama kalau masih kecil jauh dari dosa dan dengan demikian peluang dikabulkannya doa lebih besar. Bahkan sebagian ulama mengatakan: Jika ingin seperti wali ikuti tawakkalnya anak kecil yang tidak pernah memikirkan apa yang akan dimakan di hari esok. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 21 Maret 2022

KAJIAN TENTANG CARA MEMANDIKAN DAN MENGEPANG RAMBUT JENAZAH WANITA


Dalam islam terdapat kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang hidup terhadap orang yang meninggal yakni memberikan pengurusan yang terbaik. Yang harus diperhatikan dengan baik adalah tata cara memandikan jenazah dengan baik dan benar. Sebagai persembahan terakhir untuk orang yang meninggal. Memandikan mayit adalah proses yang pertama kali dilakukan dan membersihkan tubuh orang yang meninggal.

Tentunya ada aturan dan tata cara memandikan jenazah khusus yang harus dilakukan dengan benar. Selain itu, disyariatkannya memandikan jenazah adalah sebagai bagian dari memuliakan dan membersihkannya. Ini wajib dilakukan kepada setiap jenazah orang Muslim, kecuali orang yang mati syahid di dalam peperangan.

Mengenai hujjah tentang tata cara memandikan dan menguncir atau mengepang rambut jenazah wanita menjadi tiga kunciran, ada hadits dari Ummu Athiyah radhiallahu anha, dia berkata,

توفيت إحدى بنات النبي صلى الله عليه وسلم فأتانا النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (اغسلنها بالسدر وترا ثلاثا أو خمسا أو أكثر من ذلك إن رأيتن ذلك واجعلن في الآخرة كافورا أو شيئا من كافور فإذا فرغتن فآذنني فلما فرغنا آذناه فألقى إلينا حقوه فضفرنا شعرها ثلاثة قرون وألقيناها خلفها  (رواه البخاري، رقم 1263 ومسلم، رقم 939).

“Salah seorang putri Nabi sallahu alaihi wa sallam, kemudian Nabi sallallahu alaihi wa sallam mendatangi kami dan bersabda, “Mandikan dia dengan bidara dengan (bilangan) ganjil tiga atau lima atau lebih dari itu. Kalau hal itu diperlukan. Dan jadikan diakhirnya dengan kapur atau sedikit dari kapur. Kalau telah selesai tolong diberitahukan kepadaku. Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya.” (HR. Bukhori, 1263 dan Muslim, 939)

Dalam redaksi lain di riwayat Muslim, no. 939, “Kemudian kami menguncir rambutnya menjadi tiga bagian, di antara dua tanduk kepala dan di tengah." (HR. Muslim)

Imam Badruddin Al-Aini rahimahullah berkata, “Maksud kalimat ‘Kami kuncir rambut kepalanya menjadi tiga ikatan (kunciran). Satu kunciran di depan kepala dan dua kunciran di tanduk kepalanya. Tanduk kepala adalah di sisi dan di sampingnya. Yang menguatkan penafsiran kami adalah riwayat Muslim, “Kami kuncir rambutnya menjadi tiga kunciran. Dua kunciran di tanduk kepala dan di depan kepalanya. Kata ‘An-Nasiyah’ adalah di depan kepala.” (Syarh Sunan Abi Daud, 6/74)

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أُمِّ الْهُذَيْلِ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ ضَفَرْنَا شَعَرَ بِنْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْنِي ثَلَاثَةَ قُرُونٍ وَقَالَ وَكِيعٌ قَالَ سُفْيَانُ نَاصِيَتَهَا وَقَرْنَيْهَا

Telah menceritakan kepada kami Qabishah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Hisyam dari Ummu Al Hudzail dari Ummu 'Athiyyah radliallahu 'anha berkata: "Kami menjalin (rambut) keala putri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjadi tiga ikatan (kepang) ". Berkata, Waki' berkata, Sufyan: "Diikat kepang dan diketakkan di belakangnya". (HR. Bukhari)

Adapun menguncir atau mengepang rambut mayat lelaki itu tidak dianjurkan, karena tidak ada ketetapannya. Telah banyak yang meninggal dunia pada masa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, (akan tetapi) tidak ada informasi seorang pun yang dikuncir rambutnya. Dan nash-nash dari para ahli fikih juga menunjukkan akan hal itu. Mereka semua dengan tegas mengatakan dianjurkan (menguncir) untuk wanita berbeda dengan lelaki. Bukhori rahimahullah telah membuat bab khusus dalam kitab Shahihnya, yaitu bab, ‘Menjadikan rambut wanita menjadi tiga kuncir.’

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Memandikan (mayat) wanita seperti lelaki. Dan lebih banyak diperhatikan (kebersihannya) dibandingkan lelaki. Dikuncir rambut kepalanya menjadi tiga kunciran dan ditaruh di belakang.” (Al-Umm, 8/131)

Al-Bahuti rahimahullah mengatakan, “Dimakruhkan (menyisir rambutnya) yakni mayat. Baik kepala atau jenggotnya karena dapat membuatnya rontok tanpa ada keperluan. Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau melewati suatu kaum yang menyisir rambut mayat, maka beliau melarang hal itu. Lalu dia berkata, “Kenapa anda tidak memperlakukan mayat anda sebagaiman diajarkan. (disunnahkan menguncir rambut wanita tiga kunciran lalu menjulurkannya (di belakangnya).” (Daqoiq Ulin Nuha, 1/350)

*Teknis pemandian*

Dalam fiqih Syafi'i Safinatun Najah terbitan Beirut, Darul Minhaj, 2009 Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami menuturkan,

أَقَلُّ الغُسْلِ: تَعْمِيْمُ بَدَنِهِ بِالمَاءِ.

وأَكْمَلُهُ: أَنْ يَغْسِلَ سَوْأَتَيْهِ، وأَنْ يُزِيْلَ الْقَذَرَ مِنْ أَنْفِهِ، وأَنْ يُوَضِّئَهُ، وأَنْ يَدْلُكَ بِالسِّدْرِ، وأَنْ يَصُبَّ الْمَاءَ عَلَيْهِ ثَلاَثاً.

Fasal: cara memandikan jenazah minimalnya adalah meratakan air ke seluruh tubuhnya, dan yang sempurna adalah mencuci dua auratnya (qubul dan dubur), menghilangkan kotoran dari hidungnya, mewudhukannya, dimandikan dengan daun bidara (sidr), dan disiram tiga kali dengan air.

Catatan:

أَقَلُّ الغُسْلِ: تَعْمِيْمُ بَدَنِهِ بِالمَاءِ.

Cara memandikan jenazah minimalnya adalah meratakan air ke seluruh tubuhnya.

Maksudnya, saat memandikan jenazah minimalnya adalah meratakan seluruh badannya, baik rambut atau kulitnya, dengan air, artinya setelah dihilangkan najis ‘ainiyah yang ada pada mayat. Sedangkan najis hukmiyah yang ada pada mayat, maka cukup dengan sekali aliran air untuk menghilangkan najis dan untuk memandikannya.

وأَكْمَلُهُ: أَنْ يَغْسِلَ سَوْأَتَيْهِ، وأَنْ يُزِيْلَ الْقَذَرَ مِنْ أَنْفِهِ، وأَنْ يُوَضِّئَهُ، وأَنْ يَدْلُكَ بِالسِّدْرِ، وأَنْ يَصُبَّ الْمَاءَ عَلَيْهِ ثَلاَثاً.

Dan yang sempurna adalah mencuci dua auratnya (qubul dan dubur), menghilangkan kotoran dari hidungnya, mewudhukannya, dimandikan dengan daun bidara (sidr), dan disiram tiga kali dengan air. (Safinatun Najah hal. 51)

Disebutkan oleh Ibnu Balban, Muhammad bin Badruddin dalam Matan Akhsharil Mukhtasharat fiqih Hambali hal. 133,

نوى وسمى وهما كفي غسل حَيّ ثمَّ يرفع راس غير حَامِل الى قرب جُلُوس ويعصر بَطْنه بِرِفْق وَيكثر المَاء حِينَئِذٍ ثمَّ يلف على يَده خرقَة فينجيه بهَا وَحرم مس عَورَة من لَهُ سبع

ثمَّ يدْخل اصبعيه وَعَلَيْهَا خرقَة مبلولة فِي فَمه فيمسح اسنانه وَفِي مَنْخرَيْهِ فينظفهما بِلَا ادخال مَاء ثمَّ يوضئه وَيغسل راسه ولحيته برغوة السدر وبدنه بثفله ثمَّ يفِيض عَلَيْهِ المَاء وَسن تثليث وتيامن وامرار يَده كل مرّة على بَطْنه فان لم ينق زَاد حَتَّى ينقى وَكره اقْتِصَار على مرّة وَمَاء حَار وخلال واشنان بِلَا حَاجَة وتسريح شعره

وَسن كافور وَسدر فِي الاخيرة وخضاب شعر وقص شَارِب وتقليم اظفار ان طالا

“Berniat dan membaca basmalah, keduanya wajib ketika mandi untuk orang hidup. Kemudian angkat kepalanya jika ia bukan wanita hamil, sampai mendekati posisi duduk. Kemudian tekan-tekan perutnya dengan lembut. Perbanyak aliran air ketika itu, kemudian lapisi tangan dengan kain dan lakukan istinja (cebok) dengannya. Namun diharamkan menyentuh aurat orang yang berusia 7 tahun (atau lebih). Kemudian masukkan kain yang basah dengan jari-jari ke mulutnya lalu gosoklah giginya dan kedua lubang hidungnya. Bersihkan keduanya tanpa memasukkan air. Kemudian lakukanlah wudhu pada mayit. Kemudian cucilah kepalanya dan jenggotnya dengan busa dari daun bidara. Dan juga pada badannya beserta bagian belakangnya. Kemudian siram air padanya. Disunnahkan diulang hingga tiga kali dan disunnahkan juga memulai dari sebelah kanan. Juga disunnahkan melewatkan air pada perutnya dengan tangan. Jika belum bersih diulang terus hingga bersih. Dimakruhkan hanya mencukupkan sekali saja, dan dimakruhkan menggunakan air panas dan juga daun usynan tanpa kebutuhan. Kemudian sisirlah rambutnya dan disunnahkan air kapur barus dan bidara pada siraman terakhir. Disunnahkan menyemir rambutnya dan memotong kumisnya serta memotong kukunya jika panjang”. (Fiqih Hambali Akhsharil Mukhtasharat fiqih Hambali hal. 133).

Kesimpulannya, bahwa menguncir atau mengepang rambut berlaku dalam memandikan (mayat) wanita bukan lelaki. Sementara menyisir rambut jenazah lelaki itu mayoritas ulama memakruhkan menyisir rambut mayat, sebagaimana dinukilkan hal itu dari Hanabilah. Adapun dari kalangan ulama' Syafi’iyyah sebagian ada yang mengatakan hal itu dibolehkan kalau rambutnya kaku. Bukan karena hal itu  dianjurkan tetapi karena pertimbangan. Mereka mensyaratkan menggunakan sisir yang bergigi lebar. Agar rambut mayat tidak terjatuh. (lihat Ahkamus Sya’ri Fi Al-Fiqhi Al-Islamy (Hukum rambut dalam Fikih Islam) karangan Toha Muhammad Faris, 235-257). Wallahu A'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 16 Maret 2022

KAJIAN TENTANG ETIKA BERDAKWAH SESUAI AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal." (QS. Ali Imran: 159).

Nasehat atau berdakwah menurut Imam Al-Khatthabi rahimahullah,

النَّصِيْحَةُ كَلِمَةٌ يُعَبَّرُ بِهَا عَنْ جُمْلَةٍ هِيَ إِرَادَةُ الخَيرِْ لِلْمَنْصُوْحِ لَهُ

“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna mewujudkan kebaikan kepada yang ditujukan nasihat.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219)

Cukup memprihatinkan apa yang terjadi akhir-akhir ini, di mana polarisasi terjadi di kalangan umat Islam, kalimat-kalimat kasar serta caci maki menghiasi media sosial, menutup mata hati sehingga sehingga fanatisme golongan muncul kepermukaan. Siapa pun yang tidak sesuai dengan pendapatnya adalah lawan yang harus dicela saling curiga merebak dalam kehidupan umat seagama dan sebangsa. Praduga jelek menjadi sifat yang muncul saat melihat langkah atau mendengar pendapat yang tidak sepaham dengan dirinya.

Di sini terlihat hubungan sesama Muslim terpecah karena timbulnya saling curiga dan polarisasi, menjadikan kesatuan umat lemah. Pesan untuk saling mengingatkan dan saling mengasihi, hilang di tengah gelombang emosi dan kemarahan.

Nasihat yang seharusnya membimbing umat sirna tergantikan dengan tuduhan-tuduhan yang bersumber pada penilaian mereka sendiri. Masyarakat awam menjadi sasaran mereka yang memiliki agenda sendiri atau pemikiran di luar konsep dakwah yang benar.

Agama adalah nasihat. Begitulah hadits ketujuh dari Hadits Arbain An-Nawawiyyah.

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa agama adalah nasihat bagi kita untuk memenuhi lima hak. Dalam kitab Syarah Shahih Muslim, imam Nawawi telah mengutip penjelasan syekh Al-Khattabi dan ulama lainnya tentang hak-hak tersebut.

*Pertama: Hak Allah Ta'ala*

Maksud dari agama itu nasihat untuk memenuhi hak Allah Ta'ala adalah beriman kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya, meyakini sifat-sifat sempurna-Nya, menyucikan-Nya dari segala kekurangan, taat kepada-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta mencintai dan membenci karena-Nya.

*Kedua: Hak Rasul-Nya*

Adapun maksud dari agama itu nasihat untuk memenuhi hak Rasul-Nya adalah meyakini kebenaran risalahnya dan mengimani apa yang dibawanya, taat terhadap perintah dan larangnya, serta membelanya baik ketika beliau masih hidup maupun setelah ia wafat.

*Ketiga: Hak Kitab-Nya*

Maksud dari agama itu nasihat untuk memenuhi hak kitab-Nya adalah dengan meyakini bahwa tidak ada kitab dan karya manusia yang menyerupai Al-Qur’an, mengagungkan Al-Qur’an, membacanya dengan sungguh-sungguh dan khusyuk, meyakini kebenaran kandungannya, menjalankan hukum-hukumnya, serta memahami ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya.

*Keempat: Hak Pemimpin Muslim*

Adapun maksud dari agama itu nasihat untuk memenuhi hak pemimpin muslim adalah dengan mendukung dan menaatinya dalam kebenaran dan mengingatkannya dengan pantas dalam kelalaian.

*Kelima: Hak Orang-Orang Muslim*

Sementara maksud dari agama itu nasihat untuk memenuhi hak orang-orang muslim adalah dengan mengarahkannya kepada apa yang bermanfaat bagi dunia maupun akhirat, menghilangkan bahaya dari orang lain, serta menyerukan kebaikan dan melarang kemungkaran.

Sungguh betapa indahnya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, yang mengingatkan kita bahwa agama Islam yang kita anut merupakan nasihat terbesar bagi kita untuk senantiasa memenuhi hak-hak Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin, dan sesama muslim lainnya.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menasihati sesama muslim (selain ulil amri) berarti adalah menunjuki berbagai maslahat untuk mereka yaitu dalam urusan dunia dan akhirat mereka, tidak menyakiti mereka, mengajarkan perkara yang mereka tidak tahu, menolong mereka dengan perkataan dan perbuatan, menutupi aib mereka, menghilangkan mereka dari bahaya dan memberikan mereka manfaat serta melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2:35).

Pada dasarnya, setiap orang memang berhak untuk memberi dan atau mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika-etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini ada 4 konsep ideal dan etika dalam memberi nasehat (berdakwah) yang perlu diketahui oleh setiap orang. Pertama; Berdakwah melalui hati, kedua; Berdakwah harus hati-hati, ketiga; Berdakwah dengan banyak hati, dan keempat; Berdakwah jangan menyakiti hati.

*1. Berdakwah Melalui Hati*

Sesungguhnya yang menjadi patokan dalam syariat adalah apa yang ada di dalam hati. Dan bahwasanya keselamatan di hari akhirat kelak tergantung kepada apa yang ada di hati manusia. Jika seseorang memiliki hati yang bersih, maka dia akan selamat pada hari kiamat kelak. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hal ini dalam Al-Qur’an, bahwasanya yang selamat pada hari kiamat kelak adalah yang memiliki hati yang bersih. Allah berfirman,

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ﴿٨٨﴾ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّـهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(yaitu) dihari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)

Maka dakwah melalui hati harus melalui dua (2) proses yaitu,

a. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas

Sebelum memberi nasehat, kita harus meyakini dengan pasti bahwa niat dalam memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.

b. Menasehati Dengan Cara yang Benar

Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.

Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.

*2. Berdakwah harus hati-hati*

Berdakwah memang membutuhkan kesabaran dan hati yang penuh harapan serta jiwa yang bersih karena dengan demikian risalah dakwah yang disampaikan akan mendapat sambutan positif. Sebaliknya jika dakwah Islam dikemas dalam kekerasan, ketidak ikhlasan, dendam dan iri hati, maka dakwah Islam bukan saja akan merusak Islam itu sendiri, tetapi juga akan merugikan semua umat Islam. Dakwah dengan hati-hati juga melalui dua (2) cara yaitu :

a. Menggunakan Kata-Kata yang Baik

Nasehat juga harus disampaikan dengan kata-kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun menasehati Fira'un dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Fira'un yang keras kepala, zhalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata-kata yang baik.

b. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat

Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.

*3. Berdakwah dengan banyak hati*

Dakwah dengan banyak hati harus dipahami bahwa dalam menyampaikan kebenaran tidak selamanya diterima dengan baik, bahkan sebaliknya kadang mengalami rintangan jika salah dalam cara penyampaiannya. Maka dakwah dengan banyak hati harus melewati dua (2) cara pula yaitu :

a. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Akan Dinasehati

Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan-kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari-cari kesalahan orang lain.

b. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima

Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.

Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.

*4. Dakwah Jangan Menyakiti Hati*

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwasanya seorang muslim yang baik adalah orang yang mampu mencegah dirinya dari berbuat jahat kepada orang lain.

Sebagaimana yang pernah ditanyakan oleh sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Siapa yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.’” (HR. Al-Bukhari No. 10 dan Muslim No. 57)

Oleh karenanya, dakwah jangan menyakiti ini pun harus melalui dua (2) proses yaitu :

a. Tidak Menasehati di Depan Umum

Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.

Bahkan Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.

b. Jangan Melakukan Tahrisy

Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.

Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 14 Maret 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM SIMBOLISASI MENURUT SYARIAT ISLAM

Viral, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (14/3/2022) pagi melaksanakan prosesi penyatuan tanah dan air Nusantara dari 34 provinsi di Indonesia di lokasi titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Jokowi menyebut penyatuan tanah dan air Nusantara itu menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan pembangunan IKN.

Penyerahan air dan tanah kepada Presiden Jokowi diawali dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diambil dari Jakarta Utara. Kemudian satu per satu diikuti oleh Gubernur Aceh, Papua, DIY, dan gubernur seluruh Indonesia lainnya, hingga diakhiri oleh Gubernur Kalimantan Timur.

Dalam sejarah umat Islam, penggunaan simbol-simbol dalam agama, ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran yang tinggi, pemahaman yang sungguh-sungguh, dan penghayatan yang mendalam Paham atau aliran tata pemikiran yang mendasarkan diri pada simbol disebut simbolisme. Data sejarah umat Islam menunjukkan, ternyata simbolisasi telah dimulai sejak Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dalam hadits shahih Bukhari,

قاَلَ الإمَامُ البُخاَرِي رَحِمَهُ اللهُ حدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَبِلَالٌ وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ الْحَجَبِيُّ فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ وَمَكَثَ فِيهَا فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِينَ خَرَجَ: مَا صَنَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟

قَالَ: جَعَلَ عَمُودًا عَنْ يَسَارِهِ وَعَمُودًا عَنْ يَمِينِهِ وَثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ وَكَانَ الْبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ ثُمَّ صَلَّى.

Imam al-Bukhari ra berkata,

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Yusuf yang berkata, Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar ra, bahwa: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam Ka’bah bersama Usamah ibn Zaid, Bilal dan ‘Usman ibn Thalhah Al-Hajabi kemudian pintu ditutup, dan beliau berada di dalamnya. Kemudian setelah beliau keluar aku bertanya kepada Bilal, Apa yang dilakukan oleh Beliau di dalamnya. Bilal menjawab Beliau menjadikan tiang berada di sebelah kiri, lalu satu di sebelah kanan dan tiga tiang berada di belakangnya (saat itu tiang Ka’bah berjumlah enam buah) kemudian beliau shalat.” (HR. Bukhari)

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 473-475 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadits ini dengan judul “Shalat Menghadap Tiang (Ustuwanah)” dan “Shalat di antara Tiang-tiang Selain Shalat Berjamaah.” Hadits-hadits ini menunjukkan betapa tinggi perhatian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya untuk menjaga sutrah atau pembatas shalat mereka. Keterangan hadits dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 277-281.

Muncul kritik terkait ritual simbolisasi presiden Jokowi tersebut diantaranya dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat (Sumbar), Gusrizal Gazahar mengkritik sikap gubernur Mahyeldi Ansharullah yang ikut membawa tanah dan air untuk Ritual Kendi Nusantara di Titik Nol Kilomenter Ibu Kota Nusantara (IKN). Lantas bagaimana peran islam mensikapi hal tersebut?

Salah satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari proses berkomunikasi adalah kebutuhan akan simbolisasi atau penggunaan lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Simbol tersebut dapat berupa kata-kata (verbal), gerakan tubuh (nonverbal) ataupun objek lainnya yang maknanya disepakati bersama seperti contohnya memasang bendera kuning adalah tanda berduka bagi sebagian masyarakat di Pulau Jawa, di jakarta utara bendera warna putih atau bendera merah putih setengah tiang. Simbol atau lambang tersebut sangat variatif dan bergantung pada kebudayaan yang berlaku di sebuah tempat.

Dalam dunia Islam, penggunaan simbol sebagai media berkomunikasi bukanlah hal yang asing. Namun minimnya pengetahuan dan kekakuan dalam menginterpretasikan nash/dalil, tak jarang banyak pihak yang menolak keberadaan simbol-simbol dalam proses kehidupan beragama. Yang kemudian mengategorikan simbol-simbol dalam kehidupan beragama itu ke dalam takhayul, bid’ah, khurafat atau bahkan tak tanggung-tanggung, yaitu musyrik.

Sebagai contoh, suatu ketika saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat Istisqa', Rasul memutar posisi sorbannya sebagai bentuk doa bir rumuz, yakni berdoa dengan menggunakan isyarat atau simbol. Dari Abi Hurairoh ra berkata,

خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمَا يَسْتَسْقِي فَصَلَّي بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلاَ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَالْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَّبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الاَ يْمَنَ عَلَي الاَيْسَرِ وَالاَيْسَرَ عَلَي الاَيْمَنِ

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk memohon turun hujan, maka beliau shalat dengan kami dua rakaat tanpa adzan dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah dan berdoa kepada Allah, memalingkan wajahnya ke arah kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau memindahkan selendangnya yang di sebelah kanan ke sebelah kiri dan yang di sebelah kiri ke sebelah kanan.” (HR. Ibnu Majah)

Berdoa dengan simbol pun sering dilakukan oleh umat Islam di Nusantara. Contohnya sebagian kelompok masyarakat Sunda ketika akan pindah/menempati rumah baru, hal yang pertama dipindahkan adalah pabeasan (tempat menyimpan beras) terlebih dahulu sebelum barang yang lain. Ini adalah bentuk doa agar kelak saat mendiami rumah tersebut akan tercukupi kebutuhan pangannya.

Tidak hanya dalam doa, penggunaan simbol juga biasa dilakukan dalam proses pendidikan. Sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika beliau mendapat aduan dari Yahudi yang merasa dizalimi oleh salah satu gubernurnya di wilayah pemerintahnnya kala itu, Umar bin Abdul Aziz mengambil sebuah tulang unta, kemudian membuat goresan lurus pada tulang tersebut dengan pedang, lalu beliau memerintahkan Yahudi itu untuk membawa tulang tersebut pada gubernurnya. Ketika tulang dibawakan ke hadapan gubernur, tiba-tiba sang gubernur bergetar dan bercucuran keringat. Si Yahudi pun terheran-heran. Saat ditanyakan, sang gubernur menjawab “Ini adalah pesan dari khalifah Umar agar aku berbuat adil (lurus) sebagaimana lurusnya garis pada tulang ini. Kalau aku tak sanggup, maka pedanglah yang akan meluruskan perbuatanku”. Sang gubernur itu lalu meminta maaf atas kekhilafannya. Menyaksikan kejadian ini, Yahudi itu tertunduk kagum pada dua orang yang ditemuinya itu, lalu dengan mantap ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Proses komunikasi dengan simbol tersebut, telah berperan mengantarkan Yahudi tadi memeluk agama Islam.

Jadi, proses pengunaan simbol yang kerap dilakukan oleh leluhur kita sebagai media bekomunikasi apa pun itu konteksnya, entah sebagai doa, nasihat, atau proses pendidikan, bukanlah hal yang bertabrakan dengan aqidah. Sebagaimana telah dilakukan dari zaman Rasul, Sahabat, dan generasi-generasi berikutnya hingga sampai pada kita sekarang. Ada banyak pesan moral yang terkandung dalam simbolisasi tersebut. Orang tua kita telah sedemikian sempurna dalam menyampaikan sebuah pesan melalui media simbol yang terkadang lebih efektif dan efisien dibanding dengan beretorika belaka. Masalahnya kita tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencari makna dari pesan yang terkandung di balik simbol-simbol tersebut, lalu terjebak pemahaman yang cenderung normatif daripada substanstif dalam menginterpretasikan dalil, menyebabkan kekeliruan memahami konsep musyrik yang sebenaranya.

Lalu seiring perubahan zaman, masih efektifkah proses penyampaian pesan menggunakan simbol-simbol? Atau mampukah kita membuat model komunikasi dengan penggunaan simbol sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang terdahulu kita? Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 10 Maret 2022

KAJIAN TENTANG MENGINGAT KEMATIAN DAN ALAM KUBUR

Kematian adalah sebuah kepastian bagi siapapun yang bernyawa. Maka, sudah kewajiban bagi kita untuk menyiapkan bekal menuju ke sana. Namun, banyak yang masih bertanya tentang apa yang akan dihadapi sesaat setelah masuk alam kubur. 

Alam kubur ini pula yang disebut-sebut sebagai pintu gerbang menuju akhirat atau batas antara alam dunia dan alam akhirat. Mengingat secara bahasa, kata barzah mengandung arti sekat.

Selain itu menjadi tempat tinggal bagi mereka yang telah meninggal dunia lebih dahulu hingga datangnya hari kiamat kelak. Bahkan manusia-manusia yang singgah di sana sudah ada sejak zaman Nabi Adam AS.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka (orang kafir), dia berkata, “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al Mu’minun: 99-100)

Dalam sebuah hadits disebutkan,

عَنْ هَانِئٍ مَوْلَى عُثْمَانَ قَالَ كانَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ إِذَا وَقَفَ عَلَى قَبْرٍ يَبْكِي حَتَّى يَبُلَّ لِحْيَتَهُ فَقِيلَ لَهُ تَذْكُرُ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ وَلَا تَبْكِي وَتَبْكِي مِنْ هَذَا قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ. روه إبن ماجة

Dari Hani` bekas budak 'Utsman dia berkata, "Jika Utsman bin 'Affan berhenti di suatu kuburan, dia menangis sehingga jenggotnya basah. Di tanyakan kepadanya, "Apakah kamu ingat surga dan neraka?, janganlah kamu menangis, apakah kamu menangis hanya karena ini?" dia menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya kuburan adalah tempat singgah pertama akhirat. Jika selamat darinya, maka setelahnya pun ia akan lebih mudah (urusannya) namun jika ia tidak selamat darinya, maka sesudahnya pun ia akan lebih sulit lagi." Utsman berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Aku tidak pernah melihat suatu pemandangan melainkan kuburan itu lebih buruk dari  segalanya." (HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi dan Ahmad hadits hasan)

لَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُسْمِعَكُمْ من عَذَابَ الْقَبْرِ ما أسمعني

“Seandainya kalian tidak akan saling menguburkan, tentulah aku akan berdoa kepada Allah agar memperdengarkan kepada kalian siksa kubur yang aku dengar.” (HR. Muslim 7393, Ahmad 12026, dari sahabat Anas bin Malik radhilallahu 'anhu).

مِنْ عُجُزِ يَهُودِ الْمَدِينَةِ فَقَالَتَا لِى إِنَّ أَهْلَ الْقُبُورِ يُعَذَّبُونَ فِى قُبُورِهِمْ ، فَكَذَّبْتُهُمَا ، وَلَمْ أُنْعِمْ أَنْ أُصَدِّقَهُمَا ، فَخَرَجَتَا وَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَجُوزَيْنِ وَذَكَرْتُ لَهُ ، فَقَالَ « صَدَقَتَا ، إِنَّهُمْ يُعَذَّبُونَ عَذَابًا تَسْمَعُهُ الْبَهَائِمُ كُلُّهَا » . فَمَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ فِى صَلاَةٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, ia berkata, "Suatu ketika ada dua orang tua dari kalangan Yahudi di Madinah datang kepadaku. Mereka berdua berkata kepadaku bahwa orang yang sudah mati diadzab di dalam kubur mereka. Aku pun mengingkarinya dan tidak mempercayainya." Kemudian mereka berdua keluar. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam datang menemuiku. Maka aku pun menceritakan apa yang dikatakan dua orang Yahudi tadi kepada beliau. Beliau lalu bersabda, ‘Mereka berdua benar, orang yang sudah mati akan diadzab dan semua binatang ternak dapat mendengar suara adzab tersebut’. Dan aku pun melihat beliau senantiasa berlindung dari adzab kubur setiap selesai shalat” (HR. Bukhari 6005)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ »

“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari sebagian pekuburan di Madinah atau Makkah. Lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang diadzab di kuburnya. Beliau bersabda, ‘Keduanya sedang diadzab. Tidaklah keduanya diadzab karena dosa besar’, lalu Nabi bersabda, ‘Padahal itu merupakan dosa besar. Salah satu di antara keduanya diadzab karena tidak membersihkankan bekas kencingnya, dan yang lain karena selalu melakukan namimah (adu domba)” (HR. Bukhari 6055, Muslim 703)

Imam As-Syafi'i rahimahullah pernah bersenandung dalam syairnya,

تزود من التقوى فإنك لاتدرى إذا جن ليل هل تعيش إلى الفجر

"Berbekallah engkau dengan taqwa karena engkau tidak tahu, apabila malam kian kelam apakah engkau masih hidup pada saat fajar.

فكم من فتى أمسى وأضحى ضاحكا

وقد نسجت أكفانه وهو لا يدري

Berapa banyak pemuda yang tertawa riang pagi dan sore hari, sementara kain kafannya telah ditenun namun mereka tidak tahu.

وكم من عروس زينوها لصاحبها

وقد قبضت أرواحهم ليلة القدر

Berapa banyak mempelai wanita yang dirias untuk suaminya, akan tetapi malaikat maut datang mencabut nyawanya di malam hari.

وكم من صغير يرتجى طول عمرهم

وقد أدخلت أرواحهم ظلمة القبر..

Berapa banyak anak kecil diharapkan panjang umurnya

Namun tubuh mereka telah dimasukkan ke dalam gelapnya kuburan.

وكم من صحيح مات من غير علة

وكم من سقيم عاش حينا من الدهر

Berapa banyak orang sehat namun wafat tanpa penyakit yang mendahuluinya, dan betapa banyak orang yang sakit namun ia hidup dalam waktu yang lama.

وكم ساكن عند الصباح بقصره

وعند المساء كان من ساكن القبر

Berapa banyak orang yang tinggal di istana di pagi hari. Namun di sore hari, dia tinggal di kuburan..

فـمن عـاش ألفـا وألفيـن إنـه

لابـد من يـوم يسـير إلى القبر

Siapapun yang hidup seribu atau dua ribu tahun. Suatu hari ia pasti akan menuju kuburan"

فداوم على تقوى الإله فإنها

أمان في موقف الحشر

Maka teruslah untuk selalu bertaqwa kepada Allah, sesungguhnya taqwa Memberikan rasa aman ketika dibangkitkan." (Syair Imam As-Syafi'i)

Ingatlah akan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

”Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami)

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 04 Maret 2022

KAJIAN TENTANG HIJRAH BUKAN SEBATAS PENAMPILAN

Secara bahasa, kata hijrah berasal dari bahasa Arab hajara (هَجَرَ ) yang maknanya adalah berpindah (tempat/keadaan/sifat).

Makna lain dari hajara adalah memutus hubungan antara dirinya dengan sesuatu. Dapat juga dimaknai sebagai keadaan yang memaksa orang untuk berpindah atau meninggalkan pekerjaan yang tidak baik/merugikan.

Di dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 100 diungkapkan bahwa orang yang berhijrah akan mendapatkan tempat yang lebih luas dan rejeki yang banyak, juga pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa : 100).

Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻭَﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮُ ﻣَﻦْ ﻫَﺠَﺮَ ﻣَﺎ ﻧَﻬَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪ

“Dan Al-Muhaajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40)

Dari sinilah para ulama mengklasifikasikan hijrah secara syar'i atau hijrah syar'iyyah menjadi dua jenis, yaitu hijrah secara fisik dan hijrah secara nonfisik.

Hijrah secara fisik dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu hijrah Islam, hijrah dari wilayah kafir, dan hijrah dari wilayah maksiat. Adapun hijrah syar'i atau hijrah secara nonfisik adalah hijrah yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan istilah hijrah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Di kalangan milenial dan kalangan public figure fenomena hijrah sangat marak hari ini. Hijrah merupakan proses berpindah, namun banyak orang yang mendefinisikan hijrah dari penampilan padahal hijrah tak sesederhana itu. Diksi hijrah baru belakangan muncul, namun narasi yang dibawa itu adalah narasi Islam secara umum, sehingga acap kali banyak anak muda yang tertarik. Sebetulnya, hijrah yang digaungkan oleh mereka itu baik, namun tampak sangat sederhana dalam memaknai sebuah hijrah yang sebatas permukaan sehingga banyak yang bermunculan anak muda yang berhijrah namun mudah sekali menyalahkan orang lain karena menganggap dirinya sudah lebih baik.

Hijrah merupakan fase terpenting seseorang untuk memperbaiki diri. Hijrah yang berarti “berpindah/meninggalkan” merupakan roh yang menjiwai gerakan seorang muslim. Seperti hijrahnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kota Makkah menuju kota  Madinah yang bertujuan untuk mendakwahkan Islam sekaligus membangun peradaban Islam. Namun yang disayangkan hijrah di kalangan milenial maupun artis saat ini menjadi bias makna. Ketika penekanan hijrah lebih pada simbol daripada substansi, ketika life-style lebih diutamakan, hal ini sangat tidak dibenarkan. Banyak yang melihat hijrah hanya dari penampilan, bahkan dengan adanya fenomena hijrah, menjadi ladang bisnis dengan barang-barang dengan label syar’i. 

Hijrah yang hanya merubah penampilan adalah hijrah aksesoris, karena jika hanya merubah dari penampilan tentunya kurang sempurna, ini bukan tentang merubah penampilan menjadi lebih baik namun untuk merubah diri menjadi lebih baik. Hijrah haruslah dilakukan dengan kaffah. Islam itu bukan hanya tampak dari luar (casing) atau hanya sebagai simbol lahir namun juga simbol batin. Begitupun sebaliknya islam tidak hanya sebagai simbol batin namun juga harus sebagai simbol lahir. Untuk itulah islam menganjurkan untuk selaras antara tindakan dan penampilan.

Belakangan ini banyak banyak orang yang menganggap dirinya sebagai seorang yang telah berhijrah dan menganggap dirnya adalah syar’i dan meminta orang lain untuk berhijrah. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa buruk diri kita hingga disuruh untuk berhijrah? Dari statemen tersebut muncul beberapa tafsiran, pertama menganggap diri kita lebih baik dari orang lain. Kedua, menganggap orang lain tersesat sedangkan diri kita tidak. Suatu hal yang menjadi permasalahan dalam dunia perhijrahan adalah ketika mereka yang sudah menggunakan beberapa simbol ke-Islaman mengeklaim dirinya lebih benar dari orang lain, begitu juga sebaliknya.

Syekh Ibnu Ajibah RA lebih jauh mengulas pandangan Syekh Ibnu Athaillah. Menurutnya, hijrah merupakan migrasi tingkat tinggi, yaitu migrasi spiritual atau migrasi kerohanian. Ia menyebut tiga jenis hijrah atau migrasi spiritual tersebut.    

قلت الهجرة هي الانتقال من وطن إلى وطن آخر بحيث يهجر الوطن الذي خرج منه ويسكن الوطن الذي انتقل إليه وهي هنا من ثلاثة أمور من وطن المعصية إلى وطن الطاعة ومن وطن الغفلة إلى وطن اليقظة ومن وطن عالم الأشباح إلى وطن عالم الأرواح أو تقول من وطن الملك إلى وطن الملكوت أو من وطن الحس إلى وطن المعنى أو من وطن علم اليقين إلى وطن عين اليقين أو حق اليقين 

“Buat saya, hijrah itu migrasi dari satu ke lain daerah di mana seseorang meninggalkan tanah asalnya dan kemudian mendiami tanah tujuan. Hijrah atau migrasi ini terdiri atas tiga jenis, yaitu migrasi dari lapangan maksiat ke lapangan taat, dari lalai ke sadar, dan dari alam raga ke alam rohani. Atau dapat dikatakan migrasi dari alam malak ke alam malakut, dari lahiriah fisik ke makna, dan dari ilmul yakin ke ainul yakin atau haqqul yakin,” (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 73-74). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*