Kamis, 24 Februari 2022

KAJIAN TENTANG PROSES HUJAN DALAM AL-QUR'AN DAN AL-HADITS

Hujan adalah berkah yang turun dari langit. Dengannya, tumbuhan hidup, manusia mengambil manfaat, dan roda kehidupan dunia pun dimulai. Pembahasan hujan ini tak luput dari Al-Qur'an.

Pesan ini dimuat dalam Surat Rum ayat 24 :

وَمِنْ آياتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفاً وَطَمَعاً وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّماءِ ماءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِها إِنَّ فِي ذلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (24)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya”. (QS. Ar-Rum : 24 )

Lalu surat Mu’minun  (23) ayat 18 :

وَأَنْزَلْنا مِنَ السَّماءِ ماءً بِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّاهُ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّا عَلى ذَهابٍ بِهِ لَقادِرُونَ (18)

“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu tersimpan di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya”

Lalu surah Hijr (15) ayat 22 :

وَأَرْسَلْنَا الرِّياحَ لَواقِحَ فَأَنْزَلْنا مِنَ السَّماءِ ماءً فَأَسْقَيْناكُمُوهُ وَما أَنْتُمْ لَهُ بِخازِنِينَ (22)

“Dan Kami mengirimkan angin yang  menyuburkan/mengisi (lawaqih) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu air dengan ukuran tertentu,  dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”. (QS. Al-Hijr : 22 )

Jadi Al-Qur’an menggambarkan Siklus Penuh dari Air. Bagaimana Air menguap? Membentuk awan bergerak kedaratan, caranya turun hujan, dan cara kembali ke lautan dalam beberapa tahap.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّماءِ ماءً فَسَلَكَهُ يَنابِيعَ فِي الْأَرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعاً مُخْتَلِفاً أَلْوانُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَراهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَجْعَلُهُ حُطاماً إِنَّ فِي ذلِكَ لَذِكْرى لِأُولِي الْأَلْبابِ (21)

“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, lalu menyerapkannya kedalam permukaan air tanah ke dalam sumber matar air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”.(QS. Az-Zumar : 21 )

Pembentukan hujan menurut Al-Qur'an berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, “bahan baku” hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat.

Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Al-Qur’an berabad-abad yang lalu, yang memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan,

اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ ۖ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira” (QS. Ar-Ruum : 48)

Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.

TAHAP KE-1: “Dialah Allah Yang mengirimkan angin…”

Gelembung-gelembung udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfir. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut “perangkap air”.

TAHAP KE-2: “…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…”

Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.

TAHAP KE-3: “…lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya…”

Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.

Dalam surah An Nur ayat 43, Allah SWT menggambarkan proses turunnya hujan juga dengan rinci. Ayat yang berisi kandungan sains ini dimulai dengan gambaran bagaimana Allah mengarak awan sebagai sarana turunnya air.

Berikut penjelasan Al-Qur'an yang menggambarkan hujan dalam surah An Nur ayat 43.

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُزْجِيْ سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهٗ ثُمَّ يَجْعَلُهٗ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلٰلِهٖۚ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ جِبَالٍ فِيْهَا مِنْۢ بَرَدٍ فَيُصِيْبُ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَصْرِفُهٗ عَنْ مَّنْ يَّشَاۤءُۗ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهٖ يَذْهَبُ بِالْاَبْصَارِ ۗ

"Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan." (QS. An Nur: 43)

Ayat ini telah mendahalui penemuan ilmiah modern tentang fase-fase pembentukan awan kumulus dan ciri-cirinya dan yang berkaitan dengan hal tersebut. Disebutkan bahwa awan yang menurunkan hujan dimulai dari atas awan yang berbentuk onggokan yang disebut kumulus, yaitu awan yang timbulnya ke atas.

Puncak kumulus bisa mencapai 15 sampai 20 kilometer, hingga tampak seperti gunung yang tinggi. Dalam penemuan ilmu pengetahuan modern, kumulus yang menghasilkan hujan mengalami tiga fase: a. Fase kohorensi dan pertumbuhan, b. Fase penurunan hujan, dan c. Fase penghabisan. Di samping itu, awan kumulus inilah satu-satunya awan yang menghasilkan dingin dan mengandung aliran listrik.

Kilat kadang-kadang dapat terjadi secara berturut-turut dan hampir berkesinambungan. Sekitar 40 pengosongan aliran listrik dalam satu menit (yang karena cahayanya yang amat terang) dapat mengakibatkan kebutaan bagi orang yang melihatnya.

Kasus ini sering terjadi pada pelaut dan penerbang yang menembus angin yang berguruh di lokasi-lokasi yang panas. Hal ini dapat membahayakan bagi perjalanan dan aktivitas penerbangan di tengah-tengah angin yang berguruh.

Secara garis besar, dari sekian ayat menerangkan pola siklus hujan yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah kajian ilmu pengetahuan ilmiah pada masa modern sekarang. Tak ayal, dari penelitian para ahli kini, mereka mencoba meniru susunan dan material juga prosesnya, sehingga mampu membuat hujan buatan. Namun, pelajaran besar yang dapat kita petik adalah, betapa besar keagungan Tuhan yang telah menurunkan segala ilmu pengetahuan untuk kebaikan manusia. Hanya saja kadangkala manusia itu melalaikan karunia ilmu, hingga menjadikan hujan yang awalnya adalah berkah menjadi bencana yang amat merugikan.

Dalam sebuah hadits mauquf sampai Ibnu Abbas ra. dijelaskan sebuah riwayat,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : مَا مِنْ عَامٍ بِأَقَلَّ مَطَرًا مِنْ عَامٍ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ.ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآيَةَ (وَلَقَدْ صَرَّفْنَاهُ بَيْنَهُمْ لِيَذَّكَّرُوا فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاس الا كُفُارا . رواه البيهقى فى سنن الكبرى

“Tidak ada tahun yang lebih sedikit curah hujannya daripada tahun yang lain. Akan tetapi Allah mengalihkannya sesuai kehendaknya. Kemudian Ibnu Abbas ra. membaca ayat, "Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu di antara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (darinya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat) [QS. Al-Furqan : 50]." (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra)

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini memyampaikan semoga bermanfaat.. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG CARA TAWADHU' MELALUI MUHASABAH DIRI

Manusia selalu memiliki dua sisi mata uang dalam setiap tindakannya, seperti takabur atau tawadhu'. Dua hal tersebut akan saling bertentangan. Satu sikap menyeru manusia pada kebaikan, dan lainnya mengajak manusia pada keburukan mau pun perbuatan dosa.

Tawadhu' artinya rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Sementara dalam kamus bahasa Indonesia, muhasabah artinya introspeksi, yaitu  peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya) diri sendiri; mawas diri

Muhasabah berasal dari akar kata hasiba yahsabu hisab yang secara etimologis berarti "melakukan perhitungan".

Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk muhasabah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18) وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (19)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr : 18-19).

Sementara dalam ayat ayat ayat lain Allah Ta'ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan." (QS. Al-Anfal : 24)

Dalam riwayat hadits disebutkan bahwa hati semua manusia memilik dua potensi baik dan buruk serta tidak stabil mudah berubah.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولُ: " يَا مُقَلِّب الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ". قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ، فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ تَعَالَى يُقَلِّبُهَا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Anas ibnu Malik ra. yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. acapkali mengucapkan doa berikut, "Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu." Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau sampaikan, maka apakah engkau merasa khawatir terhadap iman kami?' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ya, sesungguhnya hati manusia itu berada di antara dua jari kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia membolak-balikkannya'.” (HR. Ahmad)

Dari Abdullah bin Amr ra. bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﻗُﻠُﻮﺏَ ﺑَﻨِﻲ ﺁﺩَﻡَ ﻛُﻠَّﻬَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺇِﺻْﺒَﻌَﻴْﻦِ ﻣِﻦْ ﺃﺻﺎﺑﻊ اﻟﺮﺣﻤﻦ، ﻛَﻘَﻠْﺐٍ ﻭَاﺣِﺪٍ، ﻳُﺼَﺮِّﻓُﻪُ ﺣَﻴْﺚُ ﻳَﺸَﺎءُ

“Sungguh semua hati manusia berada dalam kekuasaan Allah yang Maha Pengasih, seperti satu hati. Dia menggerakkan hati sesuai kehendak-Nya.”

ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: «اﻟﻠﻬُﻢَّ ﻣُﺼَﺮِّﻑَ اﻟْﻘُﻠُﻮﺏِ ﺻَﺮِّﻑْ ﻗُﻠُﻮﺑَﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻃَﺎﻋَﺘِﻚَ»

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah yang Maha Menggerakkan hati. Gerakkan hati kami untuk beribadah kepada-Mu.” (HR Muslim)

حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ جَابِرٍ يَقُولُ: حَدَّثَنِي بُسْرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَان الْكِلَابِيَّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَا مِنْ قَلْبٍ إِلَّا وَهُوَ بَيْنُ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، إِذَا شَاءَ أَنْ يُقِيمَهُ أَقَامَهُ، وَإِذَا شَاءَ أَنْ يُزِيغَهُ أَزَاغَهُ". وَكَانَ يَقُولُ: "يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ". قَالَ: "وَالْمِيزَانُ بِيَدِ الرَّحْمَنِ يَخْفِضُهُ وَيَرْفَعُهُ".

Telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Jabir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Bisyr ibnu Ubaidillah Al-Hadrami, ia mendengar dari Abu Idris Al-Khaulani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar An-Nuwwas ibnu Sam'an Al-Kilabi r.a. mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada suatu hati pun melainkan berada di antara kedua jari kekuasaan Tuhan Yang Maha Pemurah, Tuhan semesta alam. Jika Dia menghendaki kelurusannya, maka Dia akan meluruskannya; dan jika Dia menghendaki kesesatannya, maka Dia akan menyesatkannya." Dan tersebutlah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam acapkali mengucapkan doa berikut, "Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda pula, "Neraca itu berada di tangan kekuasaan Tuhan Yang Maha Pemurah; Dialah Yang merendahkan dan yang mengangkatnya." (HR. Ahmad)

Ini hadits yg harus kita jadikan pegangan biar selalu tawadhu' dan tidak takabbur, selalu merasa diri paling salah daripada org lain sehingga selalu husnuzhon dan optimis

إن العبد ليعمل في ما يرى الناس عمل أهل الجنة وإنه لمن أهل النار. ويعمل في ما يرى الناس عمل أهل النار وهو من أهل الجنة. وإنما الأعمال بخواتيمها

“Sesungguhnya ada seorang hamba yg melakukan amalan penghuni surga menurut pandangan manusia, padahal sesungguhnya (di mata Allah) ia termasuk penghuni neraka. Dan ada seorang hamba yg melakukan amalan penghuni neraka menurut pandangan manusia, padahal sesungguhnya (di mata Allah) ia termasuk calon penghuni Surga. Dan sesungguhnya amalan-amalan hamba itu ditentukan oleh amalan penutup (hidup)nya.” (HR. Al-Bukhari)

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ـ ﺃُﺭَاﻩُ ﺭَﻓَﻌَﻪُ ـ ﻗَﺎﻝَ: «ﺃَﺣْﺒِﺐْ ﺣَﺒِﻴﺒَﻚَ ﻫﻮﻧﺎ ﻣَﺎ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺑَﻐِﻴﻀَﻚَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻣَﺎ، ﻭَﺃَﺑْﻐِﺾْ ﺑَﻐِﻴﻀَﻚَ ﻫَﻮْﻧًﺎ ﻣَﺎ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺣَﺒِﻴﺒَﻚَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻣَﺎ»

Dari Abu Hurairah secara marfu’, “Cintailah orang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta.” (HR Tirmidzi)

عَنْ خُذْيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لاَ تَكُوْنُوْا اِمَّعَةً تَقُوْلُوْنَ إِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَاِنْ ظَلَمُوْا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوْا اَنْفُسَكُمْ إِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوْا وَاِنْ اَسَاَءُوْا فَلاَ تُظْلِمُوْا (روه الترمدى)

Hudzaifah ra. berkata, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Janganlah kalian menjadi tidak berpendirian, kalian berkata, “Jika manusia berbuat baik, kami pun berbuat baik, dan jika manusia berbuat zhalim, kami pun berbuat zhalim; akan tetapi tetaplah pada pendirian kalian. Jika orang-orang berbuat kebaikan, berbuat baiklah kalian, dan jika orang-orang berbuat kejahatan, janganlah kalian berbuat kejahatan”. (HR. Turmudzi)

Imam An-Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab karangannya, Nashaihul Ibad Menjelaskan pada Maqalah ke-21 Bagian Kedua: Manusia Dalam Pandangan Allah, Dirinya Sendiri dan dalam Pandangan Orang Lain.

كُنْ عِنْدَ اللهِ خَيْرَ النَّاسِ وَكُنْ عِنْدَ النَّفْسِ شَرَّ النَّاسِ وَكُنْ عِنْدَ النَّاسِ رَجُلًا مِنَ النَّاسِ.

Telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra. sebagai berikut, "Jadilah engkau orang yang paling baik dalam pandangan Allah, dan jadilah engkau orang yang paling hina dalam pandanganmu sendiri, dan jadilah engkau orang biasa (yang sewajarnya) dalam pandangan orang lain." 

Keterangan : 

Kita harus memandang diri orang lain lebih baik daripada kita dan memandang diri kita lebih jelek daripada orang lain dalam hal iman, ilmu, dan amal. 

Ada beberapa ciri yang menunjukkan sikap tawadhu;

1. Seseorang tidak suka atau tidak berambisi agar dirinya menjadi sosok terkenal dan penuh pujian. Popularitas tidak menjadi prioritas dalam tawadhu'.

Sebaliknya, dia akan ikhlas saat beramal semata-mata mencari ridho Allah dan bukan pengakuan dari manusia.

2. Selalu melihat orang lain lebih baik, dan merasa diri paling bersalah dan berdosa. Sehingga selalu husnuzhan kepada orang lain dan diri merasa kurang dalam beribadah dan beramal shalih.

3. Selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menerimanya, tanpa memandang disampaikan oleh orang dengan status sosial yang lebih rendah.

Bagi orang yang tawadhu, kebenaran apa pun harus diterima. Hal ini sejalan dengan ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib yang meyatakan, "Jangan melihat siapa yang mengatakan, lihatlah apa yang dikatakannya".

4. Mau bergaul dengan siapa pun termasuk fakir miskin, lalu mencintai mereka. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam adalah teladan dalam mencintai kaum fakir dan miskin. Beliau tidak membedakan mereka dalam pergaulan.

5. Mudah dalam membantu orang lain yang memerlukan bantuan. Orang tawadhu tidak membeda-bedakan siapa yang akan dibantunya, baik sederajat atau tidak. Dia senantiasa meringankan beban orang lain yang membutuhkan. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini memyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG HUKUM DAN ATURAN PENGGUNAAN PENGERAS SUARA DI MASJID

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

ٱدْعُوا۟ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-A'raf : 55)

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raf : 205)

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا

 “Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul-Husna dan  janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu." (QS. Al-Isra' : 110)

Viral dan heboh sebagian muslim Indonesia terkait kebijakan pemerintah melalui Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menerbitkan surat edaran (SE) yang mengatur tentang pengeras suara masjid dan mushalla. Aturan itu ditetapkan dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022. 

Sementara di negeri muslim lain, Mesir misalnya, tercatat mulai menerapkan aturan pembatasan pengeras suara sejak sejak 2018 lalu. Pada bulan Juni 2021, Arab Saudi secara resmi mengeluarkan edaran terkait dengan pengaturan suara di masjid dan mushalla. Arab Saudi membatasi penggunaan pengeras suara  hanya boleh digunakan untuk azan dan ikamah. Arab Saudi sendiri saat ini memiliki kurang lebih 98.000 masjid di seantero wilayah Kerajaan Arab.

Sebagaimana dilansir Gulf News, Menteri Urusan Islam Saudi, Anullarif bin Abdulaziz Al-Sheikh, merilis edaran mengenai pembatasan penggunaan pengeras suara ini ke seluruh masjid. Al-Sheikh menegaskan bahwa pihaknya sudah menyiapkan sanksi keras bagi siapapun yang melanggar aturan ini.

Masih merujuk Syariah itu, Al-Sheikh menyatakan bahwa suara imam seharusnya hanya didengar jelas oleh orang-orang di dalam masjid. Menurutnya, suara imam tak perlu terdengar sampai ke rumah-rumah di sekitar masjid.

Selain itu, Dewan Ulama Senior Arab Saudi juga sudah mengeluarkan fatwa serupa terkait pembatasan penggunaan pengeras suara masjid.

Masih ada negara mayoritas muslim yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla diantaranya Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia pada tahun 2017.

https://muslim.okezone.com/read/2022/02/24/614/2552512/selain-indonesia-5-negara-mayoritas-muslim-ini-juga-atur-penggunaan-pengeras-suara-masjid

Bagaimana dengan aturan hukum di negeri kita terkait penggunaan pengeras suara? Sebenarnya tadarus atau pemutaran kaset pengajian dengan pengeras suara masjid atau mushalla untuk sejumlah keperluan tersebut boleh saja. Tetapi pemutaran kaset itu atau tadarus Al-Qur'an dengan durasi panjang misalnya lebih dari satu jam juga tidak baik karena dapat mengganggu orang yang memerlukan kondisi tenang. Pemutaran kaset terlalu lama hanya membuat bising atau polusi suara hingga menggangu aktivitas sebagian masyarakat. Kebisingan atau polusi suara ini yang dilarang dalam agama. 

Jangankan pakai pngeras suara tadarus tanpa pengeras suara lalu mengacaukan konsenstrasi orang yang sedang shalat jelas dilarang agama sebagai keterangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin berikut ini, 

فائدة: جماعة يقرأون القرآن في المسجد جهراً، وينتفع بقراءتهم أناس، ويتشوّش آخرون، فإن كانت المصلحة أكثر من المفسدة فالقراءة أفضل، وإن كانت بالعكس كرهت اهـ فتاوى النووي 

“(Pemberitahuan) sekelompok orang membaca Al-Qur'an dengan lantang di masjid. Sebagian orang mengambil manfa'at dari pengajian mereka. Tetapi sebagian orang lainnya terganggu. Jika maslahatnya lebih banyak dari mafsadatnya, maka baca Al-Qur'an itu lebih utama (afdhal). Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka baca Al-Qur'an itu menjadi makruh. Selesai. Fatwa Imam An-Nawawi,” (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, 1994 M/1414 H], halaman 108).

Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan lebih lanjut bahwa tadarus Al-Qur'an, zikir, atau semacamnya hingga membuat polusi suara bukan saja dilarang karena dapat mengganggu orang yang sedang shalat. Semua itu dilarang dan karenanya harus dihentikan atau dikurangi volume suaranya karena dapat mengganggu sebagian orang lain bahkan mengganggu orang istirahat.

لا يكره في المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ، ومنه قراءة القرآن إلا إن شوّش على مصلّ أو أذى نائماً ، بل إن كثر التأذي حرم فيمنع منه حينئذ ، كما لو جلس بعد الأذان يذكر الله تعالى ، وكل من أتى للصلاة جلس معه وشوّش على المصلين ، فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء 

“Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Qur'an dengan lantang di masjid tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang sembahyang atau mengusik orang yang sedang tidur. Tetapi jika bacaan Al-Qur'an dengan lantang itu lebih banyak mengganggu (menyakiti orang lain), maka saat itu bacaan Al-Qur'an dengan lantang mesti dihentikan. Sama halnya adengan orang yang duduk setelah azan dan berzikir. Demikian halnya dengan setiap orang yang datang untuk shalat ke masjid, lalu duduk bersamanya, kemudian mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat. Kalau di sana tidak memunculkan suara yang mengganggu, maka zikir atau tadarus Al-Qur'an itu itu hukumnya mubah bahkan dianjurkan untuk kepentingan seperti taklim jika tidak dikhawatirkan riya,” (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, 1994 M/1414 H], halaman 108). 

Pandangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi ini bukan tanpa dasar. Sebuah riwayat menceritakan bagaimana Rasulullah yang sedang beritikaf menegur orang yang membaca Al-Qur'an dengan suara lantang sehingga ibadah itikafnya terganggu sebagaimana riwayat hadits berikut ini,

  عن أبي سعيد قال اعتكف رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد فسمعهم يجهرون بالقراءة فكشف الستر وقال ألا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة 

“Dari Abu Said, ia bercerita bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan itikaf di masjid. Di tengah itikaf ia mendengar mereka (jama'ah) membaca Al-Qur'an dengan lantang. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kamu menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kamu meninggikan atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,’” (HR Abu Dawud). 

Hadits riwayat Abu Dawud ini secara jelas mengangkat persoalan polusi suara. Keterangan ini bisa didapat dari Syarah Abu Dawud sebagai berikut,        

عن أبي سعيد) وهو الخدري (ولا يرفع بعضكم على بعض) أي صوته (أو قال في الصلاة) شك من الراوي. قال المنذري: وأخرجه النسائ 

“(Dari Abu Said) ia adalah Al-Khudri. (Jangan juga sebagian kamu meninggikan) suaranya (atas sebagian lainnya). (Atau ia berkata, ‘dalam shalat.’) keraguan datang dari perawi. Al-Mundziri berkata, ‘Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai,’” (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 626). 

Oleh karena itu, pengurus masjid yang akan memutar kaset pengajian atau jama'ah yang hendak tadarus Al-Qur'an dengan pengeras suara masjid atau mushalla perlu mengukur durasi dan memiliki tujuan jelas, yaitu mengingatkan masyarakat akan masuknya waktu shalat atau syiar.

Tetapi pertimbangan durasi ini menjadi penting agar tidak menimbulkan polusi suara atau kebisingan yang tidak perlu. Artinya, pengurus masjid perlu mempertimbangkan sebagian masyarakat yang sedang sakit, orang perlu istirahat, lansia yang membutuhkan ketenangan, pelajar yang membutuhkan konsentrasi untuk belajar, atau pekerja yang memerlukan suasana kondusif tanpa polusi suara. Tentu saja ini tidak hanya berlaku untuk pengeras suara masjid, tetapi juga anggota masyarakat, instansi negara maupun swasta yang ingin menggunakan pengeras untuk pelbagai kepentingan. Pada prinsipnya, boleh saja asal tidak mengganggu orang lain. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 19 Februari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM TRANSGENDER DAN CARA MENGURUS JENAZAHNYA


Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman,

....وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْراناً مُبِيناً

"dan akan aku (setan) suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya”. Barang siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa : 119)

Imam As-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan,

وذلك يتضمن التسخط من خلقته والقدح في حكمته واعتقاد أن ما يصنعون بأيديهم أحسن من خلقة الرحمن، وعدم الرضا بتقديره و بتدبيره

Perbuatan mengubah-ubah ciptaan Allah (anggota tubuh) itu mengandung makna :

1. Ketidaksenangan terhadap penciptaan Allah.

2. Celaan kepada hikmah-Nya.

3. Keyakinan bahwa yang mereka ciptakan dengan tangan mereka sendiri, lebih baik dari penciptaan Allah.

4. Serta tidak ridho kepada takdir Allah. (Tafsir As-Sa’di [Taisir Kariim Ar-Rahman], hal. 204)

Belakangan ini tengah menjadi perbincangan di media sosial tentang bagaimana mengurus jenazah transgender? Apakah mereka dimandikan sebagai laki-laki atau perempuan?.

Menurut Islam transgender adalah praktik dan perilaku menyimpang yang berlawanan dengan jenis kelamin. Kategori ini bisa dibongkar dengan mengusung makna perempuan sekaligus laki-laki dan sebaliknya. Semua perbuatan yang melibatkan proses mengubah jenis kelamin asli menjadi lawan jenis jelas bertentangan dengan hukum Islam.

Dalam hukum Islam, istilah ini paling dekat disebut sebagai Al-Mukhannath (laki-laki yang menyerupai perempuan) atau Al-Mutarajjil (perempuan yang menyerupai laki-laki). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,

لَعَنَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang bersifat kewanitaan dan perempuan yang bersifat kelaki-lakian.” (HR. Bukhari)

Imam Al-Munawi berkata di dalam karyanya, Faidhul Qadir,

وحكمة لعن من تشبه إخراجه الشئ عن صفته التي وضعها عليه أحكم الحكماء 

“Hikmah dari laknat terhadap orang yang berusaha menyerupai lawan jenis adalah mengeluarkan sesuatu dari sifat yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Bijaksana (Allah Ta'alq),” (Lihat: Zaid Al-Munawi, Faidhul Al-Qadir, Beirut, Darul Fikr Al-Ilmiyah, cetakan kedua, 2003 M, juz 5, hal. 271).

Golongan transgender atau waria dilaknat oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Baik laki-laki yang menyerupai perempuan atau sebaliknya.

Dalam hal ini mengacu pada kelompok laki-laki yang menyerupai perempuan dari berbagai sudut sehingga menonjolkan laki-laki sebagai perempuan dan bukan lagi laki-laki. Imam At-Tabari mengatakan, hadits larangan tersebut menunjukkan bahwa pria tidak boleh menyerupai wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang didedikasikan untuk wanita dan sebaliknya (Lihat: Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim, 8/520).

Para ahli bahasa mengatakan arti Al-Mukhannath adalah sebagai berikut, “Ahli bahasa mengatakan al-mukhannath adalah kelompok yang menyerupai seorang wanita dalam tindakan, kata-kata dan gerak tubuh. Kadang-kadang terjadi secara alami (tidak diciptakan) tetapi kadang-kadang terjadi dengan sengaja (diciptakan).” (Lihat: Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, 14/163).

Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari No. 5885).

Dalam lafazh Musnad Imam Ahmad disebutkan,

لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, begitu pula wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad No. 3151, 5: 243. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari).

Begitu pula dalam hadits Abu Hurairah ra disebutkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian lelaki.” (HR. Ahmad no. 8309)

Oleh karena itu, berdasarkan pengertian di atas Al-Mukhannath terbagi menjadi dua, yaitu ciri-ciri yang lahir secara alamiah dan diciptakan. Jika sifat perempuan dalam diri laki-laki lahir atau lahir secara wajar, maka perbuatan itu tidak berdosa. Sedangkan dosanya adalah jika ciri-ciri tersebut diciptakan dengan sengaja. (Lihat: ‘Umdah Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, juz 8 hal. 403)

Syaikh Imam An-Nawawi juga menjelaskan,

المخنث ضربان أحدهما من خلق كذلك ولم يتكلف التخلق بأخلاق النساء وزيهن وكلامهن وحركاتهن وهذا لا ذم عليه ولا إثم ولا عيب ولا عقوبة لأنه معذور والثاني من يتكلف أخلاق النساء وحركاتهن وسكناتهن وكلامهن وزيهن فهذا هو المذموم الذي جاء في الحديث لعنه 

“Mukhannits ada dua, pertama orang yang terlahir dalam kondisi demikian (mukhannits) dan ia tidak sengaja berusaha berperilaku seperti perilaku para wanita, pakaian, ucapan dan gerakan-gerakannya, mukhannits semacam ini tidak tercela, tidak berdosa, tidak memiliki cacat dan tidak dibebani hukuman karena sesungguhnya ia orang yang ma’dzur (dimaafkan sebab bukan karena kesengajaan dan usaha darinya). Yang kedua, orang yang sengaja berusaha berperilaku seperti perilaku para wanita, gerakan-gerakannya, diamnya, ucapan dan pakaiannya. Mukhannits yang keduanya inilah yang dilaknat di dalam hadits,” (Lihat Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, Beirut, Darul Fikr Al-Ilmiyah, cetakan kedua, 2003 M, juz 8, hal. 57).

Beberapa hari yang lalu, publik dihebohkan dengan permintaan (wasiat) Bunda Dorce agar kelak ketika meninggal, diurus seperti halnya jenazah perempuan. Padahal sudah jamak diketahui bahwasanya beliau merupakan seorang transgender, kira-kira bagaimana fikih menyikapi hal demikian, bolehkah transgender diurus sesuai jenis kelaminnya yang sekarang?

Pada prinsipnya, wasiat itu hanya diperbolehkan pada 2 hal, yaitu: pentasarrufan harta dan pada perkara mubah. Adapun mengenai wasiat transgender agar diurus sesuai kelamin barunya, itu tidak bisa dilaksanakan, sebab tidak memenuhi syarat. 

Persoalan transgender adalah kontemporer, namun berikut adalah keterangan yang hampir mirip dengan konteks permasalahan ini dalam kitab Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib, biasa dikenal dengan Hasyiyah Bujairami Ala Al-Khatib berikut,

ووقع السؤال عما لو تصور ولي بصورة امرأة أو مسخ رجل امرأة هل ينقض أو لا؟

فأجيب عنه: بأن الظاهر في الأول عدم النقض للقطع بأن عينه لم تنقلب، وإنما انخلع من صورة إلى صورة مع بقاء صفة الذكورة، وأما المسخ فالنقض به محتمل لقرب تبدل العين مع أنه قد يقال فيه بعدم النقض أيضا لاحتمال تبدل الصفة دون العين ع ش على م ر.

Ada pertanyaan “Kalau ada seseorang menyerupai perempuan atau seorang lelaki dirubah menjadi perempuan, apakah membatalkan wudhu bagi lelaki lain saat menyentuhnya ?

Jawabannya : tidak batal secara pasti karena (dirubah bagaimanapun) kesejatian dirinya tidak bisa diganti, yang dapat ditanggalkan hanyalah satu bentuk pada bentuk lain, sedang sifat kelelakiannya (bisa saja) masih ada, andaikan sifatnya pun juga berubah tetap saja tidak membatalkan wudhu." (Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib dikenal dengan Hasyiyah Bujairami Ala Al-Khatib juz 1 hal. 211)

Keterangan serupa dengan redaksi yang hampir mirip, terdapat di Hasyiyah Al-Baijuri juz 1 hal. 69, Nihayat Al-Muhtaj juz 1 hal. 116), Hawasyi Syarwani wa Al-Ubbadi (1/137), Tuhfah Al-Muhtaj juz 1 hal. 137, dan Hasyiah Sibramalisi juz 1 hal. 116.

Juga penjelasan Imam An-Nawawi berikut,

(الخامس): لو لمس الخنثى المشكل بشرة خنثى مشكل أو لمس رجل أو امرأة بدن المشكل أو لمس المشكل بدنهما لم ينتقض للاحتمال فلو لمس المشكل بشرة رجل وامرأة انتقض هو لانه لمس من يخالفه ولا ينتقض الرجل ولا المرأة للشك وكذا لو لمساه لم ينتقض واحد منهما للشك وفى انتقاض الخثى القولان في الملموس فلو اقتدت المرأة بهذا الرجل لم تصح صلاتها لانها ان لم تكن محدثة فأمامها محدث

"(Kelima) Bila Khuntsa Musykil (orang dengan dua alat kelamin, pria dan wanita) menyentuh kulit khuntsa musykil lainnya atau seorang pria atau wanita menyentuh badan Khuntsa Musykil atau Khuntsa Musykil menyentuh badan pria atau wanita maka wudhunya tidak batal karena terdapat kemungkinan kesamaan jenis antara keduanya.

Bila Khuntsa Musykil menyentuh badan seorang pria atau wanita (sejati) maka batal wudhunya karena ia menyentuh orang yang berlainan jenis dengannya dan wudhu pria atau wanitanya tidak menjadi batal karena keraguan kesamaan jenis diatas, begitu juga tidak batal wudhu seorang pria atau wanita yang menyentuh Khuntsa Musykil karena keraguan diatas sedang untuk wudhunya Khuntsa Musykil yang disentuh terdapat dua pendapat ulama namun bila seorang wanita menjadi makmum lelaki jenis ini (Khuntsa Musykil yang telah ia sentuh) maka shalatnya tidak sah sebab bila ia tidak menjadi hadats akibat bersentuhan dengannya maka imamnya menjadi hadats." (Al-Majmuu’ Alaa Syarh Al-Muhadzdzab juz 2 hal. 30).

Dengan demikian, berdasarkan pengertian transgender dan Al-Mukhannath yang telah disebutkan dengan jelas bahwa seorang individu tetap dengan jenis kelamin aslinya, hanya penampilannya yang menunjukkan lawan jenis. Oleh karena itu cara memandikan jenazah transgender, sesuai dengan kelamin awal. Seorang laki-laki tetaplah seorang laki-laki meskipun ia bertingkah laku seperti seorang perempuan. Semua hukum yang berlaku padanya juga sesuai dengan jenis kelamin pria tersebut.

Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Asy-Syarwani,

ولو تصور الرجل بصورة المرأة أو عكسه فلا نقض في الاولى وينتقض الوضوء في الثانية للقطع بأن العين لم تنقلب وإنما انخلعت من صورة إلى صور

“Jika seorang laki-laki bertingkah laku seperti perempuan atau sebaliknya, (jika seorang laki-laki menyentuhnya) tidak membatalkan wudhunya pada masalah pertama (laki-laki berwatak perempuan) dan membatalkan wudhunya pada masalah kedua (perempuan berwatak laki-laki) karena dipastikan tidak ada perubahan realitas tetapi yang berubah hanyalah penampakannya, yaitu berubah dari satu penampakan ke bentuk penampakan lainnya. (Lihat : Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hasyiyatus Syarwani, Beirut, Darul Kutub Al-Islamiyah, cetakan kelima, 2006, jilid I, halaman 137).

*Kesimpulan*

Semua hukum terkait transgender didasarkan pada jenis kelamin aslinya. Hal ini disebabkan karena tidak ada perubahan pada jenis kelamin aslinya, yaitu dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya, tetapi yang berubah hanyalah penampilan luarnya saja.

Oleh karena itu, semua masalah yang berkaitan dengan aurat, pakaian, pengelolaan jenazah seorang waria sesuai dengan jenis kelamin aslinya. Wallahu a’lam.

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 18 Februari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH


LTM PCNU Jakarta Timur | Perdebatan antara Islam dan tradisi lokal rupanya masih menjadi sasaran empuk bagi para tokoh agama ortodoks. Beberapa waktu lalu, seorang penceramah kondang bernama Khalid Basalamah,  dalam salah satu ceramahnya, mempersoalkan strategi dakwah yang menggunakan kebudayaan sebagai medium.

Saya kutipkan secara verbatim, begini:

“Harusnya Islam dijadikan tradisi dan budaya. Jangan kita balik, budaya di Islamkan. Susah. Mengislamkan budaya ini repot, karena budaya banyak sekali, standar yang mana yang harus dipegangi?”

Pernyataan itu bermula ketika ketika salah seorang jamaahnya bertanya mengenai hukum bermain wayang dalam ajaran Islam.

“Saya orang Jawa dan saya suka pewayangan. Jadi, apakah wayang dilarang? Bagaimana tobat profesi dalang?”

Ustadz Khalid Basalamah pun menjawab, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap budaya di Indonesia, bahwa Islam melarang permainan wayang alias haram.

Isu ini cukup sensitif bagi masyarakat Indonesia karena wayang memiliki sejarah dan nilai istimewa, terutama bagi umat Muslim di Nusantara. 

Budaya ini adalah media dakwah Islam yang digunakan Wali Songo dan terbukti sukses di Indonesia. Tapi, bagaimana sebenarnya Islam memandang wayang? Apakah hukum wayang bisa disamakan dengan membuat patung yang dilarang dalam Islam?  

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH. Sholahuddin Al-Ayubi, menjelaskan terkait hukum wayang ini dapat dijelaskan melalui tujuan penggunaan wayang dan hukum objek wayang itu sendiri.

Menurutnya, umumnya wayang dikenal secara luas digunakan dengan tujuan menyampaikan informasi, nilai-nilai kebaikan hingga sarana dakwah Islam. Sehingga dari sisi ini, tidak ada alasan yang membuat wayang menjadi haram.   

“Wayang menjadi media untuk penyampaian dakwah yang dicreate khusus oleh para Wali Songo supaya nilai-nilai keagamaan bisa tersampaikan kepada masyarakat. Dalam konteks itu, sama dengan wasail da’awiyah (alat dakwah) yang lain, seperti film dalam konteks kontemporer yang digunakan untuk dakwah.”

Adapun hukum Islam terkait objek wayang itu sendiri disebut mubah atau boleh, sehingga bukan menjadi benda yang dilarang. 

Wayang dikatakannya tidak bisa disamakan dengan patung yang menyerupai manusia yang dilarang Islam. Wayang dikatakan tidak memiliki karakteristik yang menyerupai manusia sama sekali, seperti lengan, wajah, hidung dan rupanya yang gepeng. 

Pada benda-benda yang dihukumi mubah, bergantung tujuan pemakaiannya seperti hukum pisau yang bisa haram jika digunakan untuk menusuk orang atau merampok. Tapi jika wayang digunakan untuk media dakwah dan memberikan nilai-nilai positif kepada umat, maka tidak ada larangan atasnya.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti merespons viralnya isi ceramah yang menyebut wayang haram menurut ajaran agama Islam. Menurutnya, ucapan tersebut menunjukkan dangkalnya pemahaman terhadap budaya Indonesia salah satunya adalah kesenian wayang.

"Pernyataan Ustadz Khalid Basalamah tentang wayang menunjukkan pemahaman yang dangkal tentang wayang."

Sementara penyampaian dakwah bisa dilakukan dengan cara yang arif dan bijaksana sebagaimana firman Allah Ta'ala,

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl : 125)

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)

“Maka dengan rahmat Allah Ta'ala engkau lemah lembut kepada mereka (umatmu). Sekiranya engkau pemarah dan berhati kasar niscaya mereka akan lari dari padamu. Maka maafkanlah mereka, dan mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (urusan duniawi). Kemudian apabila engku telah mantap, bertawakkalaah kapada Allah swt. Sungguh Allah swt menyukai orang-orang yang bertawakkal.” (QS. Ali Imran ayat 159)

Islam agama yang menebarkan rahmatan Lil Al-Amin, memberikan kasih sayang kepada seluruh alam tak terbatas kepada manusia saja, tapi kepada hewan, tumbuhan, bahkan kepada ciptaan Allah yang lain. Dari sini, Islam menghapus  perbudakan dan penjajahan karena tak sesuai perikemanusiaan menyalahi kodrat manusia.

Islam menyebar ke pelosok penjuru dunia karena ajarannya mudah diterima oleh semua kalangan tidak hanya kalangan pejabat maupun rakyat, orang kaya maupun orang tak punya, ilmuwan maupun orang yang tak pernah mengenyam bangku sekolahan.

Keberhasilan ini setidaknya ada beberapa hal yang menjadi acuannya. Ini seperti saat Nabi mengirim Mu'adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asyari ke Yaman. Beliau berpesan kepada keduanya agar memperkenalkan Islam dengan cara santun, tak memberatkan mereka. Hal ini seperti keterangan dalam Hadits Nabi, 

ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺑﺮﺩﺓ، ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ، ﻋﻦ ﺟﺪﻩ، ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺑﻌﺚ ﻣﻌﺎﺫا ﻭﺃﺑﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺇﻟﻰ اﻟﻴﻤﻦ ﻗﺎﻝ: «ﻳﺴﺮا ﻭﻻ ﺗﻌﺴﺮا، ﻭﺑﺸﺮا ﻭﻻ ﺗﻨﻔﺮا، ﻭﺗﻄﺎﻭﻋﺎ ﻭﻻ ﺗﺨﺘﻠﻔﺎ. رواه البخاري

"Diriwayatkan dari Sa'id bin Abi Burdah, dari Ayahnya, dari kakeknya bahwasanya Nabi mengutus Mu'adz dan Abu Musa ke Yaman, lantas beliau berpesan, "Permudah, jangan mempersulit, berikan kabar gembira kepada mereka, jangan menakuti, dan saling mengasihi, jangan bercerai berai." (HR. Bukhari).

Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir menjelaskan bahwa agama Islam sangat mudah dan meringankan, tak membebani hambanya kecuali yang ia mampu mengerjakannya. Misalnya Seseorang tak mampu berdiri dalam shalat boleh sambil duduk. Haji diwajibkan hanya bagi yang mampu saja, begitu juga saat puasa Ramadhan, orang yang sakit boleh tak berpuasa jika dikhawatirkan bertambah sakitnya.

Wali Songo merupakan tokoh penting dalam penyebaran Islam khususnya di pulau Jawa di abad ke-14. Ada beragam warisan dari para wali mulai dari wayang hingga bangunan masjid yang dulunya dipakai sebagai media dakwah. 

Dalam menyebarkan ajaran Islam, Wali Songo menggunakan pendekatan kebudayaan serta profesionalitas dari para wali di bidangnya masing-masing.

Gending (lagu instrumental Jawa), tradisi kebudayaan, hingga permainan, menjadi media Wali Songo untuk menyebarkan agama Islam kala itu. 

Dengan menyisipkan unsur seni dan budaya dakwah yang disampaikan menjadi lebih menarik dan tidak membosankan. Hal ini juga mempermudah para wali karena dakwah menjadi lebih mudah dipahami dan dekat dengan rakyat Jawa.

Kita mungkin mengetahui dan sering mendengar salah satu anggota Wali Songo, Sunan Kalijaga. Beliau terkenal dengan dakwahnya yang menggunakan media pertunjukan wayang kulit dan gamelan Gong Sekaten. Sunan Kalijaga berperan dalam pembangunan Masjid Demak.

Melalui media seni ini, wayang juga mampu mengenalkan Islam kepada masyarakat yang saat itu animisme, dinamisme, serta menganut Hindu, dan islam adalah ajaran yang datang terakhir di negeri tercinta ini, dengan menggunakan pendekatan psikologi, sejarah, serta politik.

Wayang di masa itu dulu, dipertunjukkan di masjid, jadi masyarakat bebas untuk menyaksikan, tetapi dengan syarat mereka wajib berwudhu dan mengucap syahadat dulu sebelum masuk masjid. Nah, dari sinilah banyak masyarakat yang tertarik dan semakin banyak yang menjadi mualaf (masuk agama Islam). 

*Kesimpulan*

Urgensitas penyampaian pesan nilai-nilai ilahi yang disampaikan oleh para Walisongo, telah dibungkus dan dikemas dengan semenarik mungkin. Hal ini menyebabkan ketertarikan dari masyarakat yang ingin mempelajari ajaran islam. Kedamaian, kehalusan, dengan penyampaiannya tanpa menggunakan kekerasan dan menginjak-injak citra suatu golongan, telah memberikan citra yang baik terhadap mereka.

Mereka adalah penolong bagi masyarakat Indonesia yang memang pada saat itu dikenal memiliki kepercayaan animisme, dinamisme serta hindu hampir jatuh pada hal-hal yang berbau musrik dan yang merusak aqidah masyarakat Indonesia. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

Selasa, 15 Februari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMEGANG MUSHAF DI HP SAAT SEDANG SHALAT (Contoh Bid'ah Hasanah)

Dalam khazanah fiqih klasik, kita pastinya tidak akan menemukan jawaban secara langsung atas persoalan hukum shalat sambil memegang hp dengan maksud membaca Al-Qur'an. Sebab hal ini merupakan perkara yang tergolong baru. Oleh karena itu kita mesti mencari qiasnya dalam khazanah fiqih klasik.

Jika ditelusuri lebih jauh kita akan menemukan dalam kajian fiqih klasik terdapat penjelasan mengenai orang shalat yang membaca Al-Qur'an dengan membawa mushaf.

Hal ini bisa jadi karena orang tersebut mungkin tidak hafal surah dalam Al-Qur'an sehingga memerlukan bantuan mushaf, atau bisa jadi ia hafal surah yang pendek, namun tidak hafal surah yang panjang. Sehingga ketika ingin membaca surah yang sedikit panjang ia menggunakan bantuan mushaf.

Dalam kitab “Qiyam Al-Lail wa Qiyam Ramadhan” karya Al-Maruzi dinyatakan,

عن ابن أبي مليكة أن ذكوان أبا عمرو كانت عائشة أعتقته عن دبر فكان يؤمها ومن معها في رمضان في المصحف

"Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Dzakwan [Abu Amr] (budak yang dijanjikan bebas oleh Aisyah jika beliau (Aisyah) meninggal) mengimami Aisyah dan orang-orang bersama Aisyah di bulan Ramadhan dengan membaca mushaf." (HR. Bukhari secara Muallaq, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf)

Hukum membaca bacaan shalat dengan cara melihat Mushaf, Ulama berbeda pendapat dari berbagai Mazhab empat, bahkan mayoritas memperbolehkan, hanya saja ada sebagian pendapat dari kalangan Mdzhab Malikiyah yang mengatakan makruh shalat dengan cara tersebut, bahkan pendapat Imam Abu Hanifah mengatakan batal shalatnya.

*Pertama, Ulama Kalangan Mazhab Syafi’iyah*

Imam Nawawi menjelaskan, orang sholat itu boleh melihat Mushaf, baik hafal atau tidak. Imam Nawawi mengatakan,


لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته سواء كان يحفظه أم لا بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة كما سبق ولو قلب أوراقه أحيانا في صلاته لم تبطل ولو نظر في مكتوب غير القرآن وردد ما فيه في نفسه لم تبطل صلاته وإن طال لكن يكره نص عليه الشافعي في الاملاء

“Jika membaca Al-Qur’an dengan melihat Mushaf, maka shalatnya tidak batal, baik hafal atau tidak. Bahkan menjadi wajib melihat Mushaf apabila tidak hafal surah Al-Fatihah sebagaimana penjelasan sebelumnya. Begitupun tidak batal apabila sampai membolak-balik Al-Qur’an di waktu-waktu tertentu. Juga tidak batal bagi orang shalat yang melihat catatan-catatan lain selain Al-Qur’an dan diulang-ulang isinya dalam hati meski lama, akan tetapi hukumnya makruh. Demikian penjelasan Imam as-Syafi’i dalam kitab Al-Imla’.” (Lihat, Imam Nawawi, Majmu Syarh al-Muhaddzab, juz 4, hlm 95)

Alasannya yang dapat dikemukakan disini bahwa hal tersebut merupakan gerakan yang sedikit (yasiir). Sedangkan sedikit gerakan dianggap tidak membatalkan shalat, sepanjang ada kebutuhan. Meski demikian hukumnya makruh.

وَالْقَلِيلُ من الْفِعْلِ اَلَّذِي يُبْطِلُ كَثِيرُهُ إذَا تَعَمَّدَهُ بِلَا حَاجَةٍ مَكْرُوهٌ

“Bahwa gerakan yang sedikit (dimana gerakan yang banyak dapat membatalkan shalat) ketika dilakukan dengan sengaja tanpa ada kebutuhan adalah makruh.” (Lihat Muhammad Khathib Asy-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut-Darul Fikr, tanpa tahun, juz I, halaman 199).

*Kedua, Ulama kalangan Mazhab Hanabilah*

Syaikh Muhammad Sulaiman dalam kitab At-Ta’liq Ala Al-Iddah Syarh Al-Umdah mengatakan, bagi orang yang sedang shalat, baik sendiri maupun berjama’ah, itu boleh membaca surah Al-Qur’an dengan cara melihat Mushaf. Beliau mengatakan,

يجوز للمنفرد والمنفردة أن يقرأ من المصحف ويجوز للامام أن يقرأ من المصحف

“Boleh bagi orang shalat munfarid (sendiri), baik laki-laki maupun perempuan membaca Al-Qur’an dengan cara melihat mushaf. Juga boleh bagi imam membaca Al-Qur’an dengan melihat Mushaf”. (Lihat, at-Ta’liq ala al-Iddah Syarh al-Umdah, juz 14, hlm, 12)

*Ketiga, Ulama kalangan Mazhab Malikiyah*

Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Alais dalam kitab Manhul Jalil Syarah Mukhtasar Al-Khalil menjelaskan bahwa Makruh hukumnya melihat bacaan Mushaf ketika shalat, baik shalat Fardlu maupun shalat Sunnah. Syaikh Alais mengatakan,

وكره (نظر بمصحف) أي قراءة فيه (في) صلاة (فرض) سواء كانت في أوله أو في أثنائه أو في أثناء نفل لكثرة اشتغاله به

“Makruh melihat bacaan dari Mushaf dalam shalat Fardhu, baik melihat di awal shalat maupun maupun pertengahan shalat, atau juga di pertengahan sunnah, karena banyaknya pekerjaan dengan cara melihat Mushaf”. (Lihat, Manhul Jalil, juz 1, hlm 345)

*Keempat, Ulama kalangan Mazhab Hanafiyah*

Syaikh Utsman bin Ali dari kalangan Ulama Mazhab Hanafi mengutip beberapa pendapat dari kalngan Hanafi, bahwa melafalkan bacaan shalat dengan cara melihat Mushaf terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan batal, dan itu pendapat murni Imam Abu Hanifah, ada juga yang mengatakan makruh tidak sampai membatalkan shalat dan ini pendapat dari Syaikh Abu Yusuf dari kalangan Mazhab Hanafi. 

Imam Al-Kasani ulama bermadzab Hanafi mengatakan,

ولو قرأ المصلي من المصحف فصلاته فاسدة عند أبي حنيفة. وعند أبي يوسف و محمد: تامة ويكره. وقال الشافعي: لا يكره.

“Jika ada orang yang shalat sambil membaca mushaf, maka shalatnya batal menurut Imam Abu Hanifah, sementara menurut Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani (dua murid senior Imam Abu Hanifah), shalatnya sah namun makruh. Kemudian Imam asy-Syafi'i berpendapat, “Tidak makruh.” (Bada’i Ash-Shana’i, juz 1 hal. 133).

Syaikh Utsman bin Ali menjelaskan,

(وَقِرَاءَتُهُ من مُصْحَفٍ) يَعْنِي تَفْسُدُ الصَّلَاةُ وَهَذَا عِند حَنِيفَةَ وقال أبو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ تُكْرَهُ وَلَا تَفْسُدُ صَلَاتُهُ لِمَا رُوِيَ عن ذَكْوَانَ مولى عَائِشَةَ رضي اللَّهُ عنهما أَنَّهُ كان يَؤُمُّهَا في شَهْرِ رَمَضَانَ وكان يَقْرَأُ من الْمُصْحَفِ

“(Membaca bacaan shalat dengan melihat Mushaf) maksudnya, diantara batalnya shalat adalah membaca bacaan shalat dengan cara melihat mushaf, dan ini pendapat Imam Abu Hanifah. Syaikh Abu Yusuf dan Syaikh Muhammad berkata, "dimakruhkan dan tidak sampai membatalkan shalat, karena ada sebuah riwayat dari Dzakwan budah sahaya siti Aisyah radiyallahu ‘anhuma bahwa siti Aisyah shalat berjama’ah dengannya sebagai makmum di bulan Ramadhan, dan Dzakwan membaca bacaan shalat dengan cara melihat Mushaf." (Lihat, Tabyin al-Haqa’iq, juz 1, hal. 158). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 11 Februari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMBAKAR BUKHUR DAN KEMENYAN

Dupa atau Bukhur merupakan sebuah wewangian yang dalam penggunaanya yaitu dengan cara dibakar. Bagi sebagian warga, bau bukhur atau kemenyan diidentikan dengan pemanggilan roh, dan sebagian yang lain menganggapnya sebagai pengharum ruangan. Ada pula yang merasa terganggu dengan baunya dan menganggapnya bid'ah.

Bukhur atau Bakhuur (بخور) adalah nama yang diambil dari bahasa Arab, berupa  potongan-potongan kecil dari kayu beraroma/ harum atau campuran bahan-bahan tradisional alami, dengan bahan utama kayu (Oudh nama yang berasal dari bahasa Arab untuk kayu Gaharu/Aloeswood) direndam dalam minyak wangi dan dicampur dengan bahan-bahan alami lainnya (resin, ambergris, musk, cendana, minyak esensial dan lain-lain). 

Kemenyan atau luban (arab) merupakan semacam resin yang dihasilkan dari getah tanaman tertentu dan biasanya digunakan sebagai salah satu bahan untuk dupa atau bukhur (bahan yang asapnya mengeluarkan bau wangi bila dibakar).

Ada juga gaharu yang sering disamakan dengan kemenyan, padahal sebetulnya bukan kemenyan melainkan tanaman kayu yang hanya tumbuh di sekitar Nusantara, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan menyebar sampai ke China. Ada lagi kaafur sebagai campuran dupa gaharu. Kaafur itulah yang sejak zaman Mesir kuno dikenal dengan komoditas kaafur dari Barus (Sumatera Utara). Gaharu maupun kaafur jelas bukan kemenyan, melainkan komponen dupa yang lain.

Ternyata bukhur, dupa, gaharu, dan kemenyan juga memiliki banyak manfaat. Selain untuk wangi-wangian, juga sebagai pengobatan bahkan untuk aroma terapi.

Pada abad kesepuluh, Ibnu Sina, ahli pengobatan Arab, merekomendasikan kemenyan/bukhuur sebagai obat untuk tumor, bisul, muntah, disentri dan demam.

Mengharumkan ruangan dengan membakar kemenyan, dupa, musthiki, kayu gaharu yang membawa ketenangan suasana adalah suatu hal yang baik. Karena hal ini ittiba' dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena beliau sendiri sangat menyukai wangi-wangian, baik minyak wangi, bunga-bungaan ataupun pembakaran dupa. Hal ini turun-temurun diwariskan oleh beliau kepada sahabat dan tabi'in. Hingga sekarang banyak sekali penjual minyak wangi dan juga kayu gaharu, serta dupa-dupaan di sekitar Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.

ﻣﺴﺌﻠﺔ ﺝ: ﺍﺧﺮﺍﻕ ﺍﻟﺒﺨﻮﺭ ﻋﻨﺪ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻛﻘﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺃﻥ ﻭﻣﺠﻠﺲ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻟﻪ ﺍﺻﻞ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﺮﻳﺢ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻭﻳﺤﺐ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﻭﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻬﺎ ﻛﺜﻴﺮﺍ. بلغة ﺍﻟﻄﻼﺏ ﺹ ٥٣ - ٥٤

"Membakar dupa atau kemenyan ketika berzikir kepada Allah dan sebagainya seperti membaca Al-Qur'an atau di majlis-majlis ilmu, mempunyai dasar dalil dari Al-Hadits yaitu dilihat dari sudut pandang bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad menyukai bau wangi dan menyukai minyak wangi dan beliau pun sering memakainya." (Kitab Bulghat Ath-Thullab hal. 53-54).

Kemenyan dizaman Nabi dan Salafush Shaleh juga menjadi bagian dari beberapa ritual umat Islam. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat sendiri sangat menyukai wangi-wangian, baik yang berasal dari minyak wangi hingga kemenyan, sebagaimana disebutkan didalam berbagai hadits.

Misalnya hadits shohih riwayat Imam Muslim dan Imam Al-Bukhari berikut ini,

عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ «إِذَا اسْتَجْمَرَ اسْتَجْمَرَ بِالْأَلُوَّةِ، غَيْرَ مُطَرَّاةٍ وَبِكَافُورٍ، يَطْرَحُهُ مَعَ الْأَلُوَّةِ» ثُمَّ قَالَ: «هَكَذَا كَانَ يَسْتَجْمِرُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Nafi’, ia berkata, “Apabila Ibnu Umar mengukup mayat (membakar kemenyan), maka beliau mengukupnya dengan kayu gaharu yang tidak dihaluskan, dan dengan kapur barus yang dicampurkan dengan kapur barus. Kemudian beliau berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengukup jenazah (membakar kemenyan untuk mayat)”. (HR. Muslim)

Al-Imam Nawawi mensyarahi hadits ini sebagai berikut, "Yang dimaksud dengan istijmar di sini ialah memakai wewangian dan berbukhur "berdupa" dengannya. Lafadz istijmar itu di ambil dari kalimat Al Majmar yang bermakna al bukhur "dupa" adapun Uluwah itu menurut Al Ashmu'i dan Abu Ubaid dan seluruh pakar bahasa Arab bermakna kayu dupa yang dibuat dupa. (Syarh Nawawi ala Muslim: 15/10).

Ditambah komentar Imam Nawawi pensyarah hadits ulung tentang hadits ini, "Dan sangat kuat kesunnahan memakai wewangian (termsuk istijmar) bagi laki-laki pada hari Jumat dan hari raya, dan saat menghadiri perkumpulan kaum muslimin dan majlis zikir juga majlis ilmu. (Syarah Nawawi ala Muslim: 15/10)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” أَوَّلُ زُمْرَةٍ تَدْخُلُ الجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ، … الى قوله … وَوَقُودُ مَجَامِرِهِمْ الأَلُوَّةُ – قَالَ أَبُو اليَمَانِ: يَعْنِي العُودَ -، وَرَشْحُهُمُ المِسْكُ

Dari Abi Hurairah radliyalahu ‘anh, bahwa Rosulullah  Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Golongan penghuni surga yang pertama kali masuk surga adalah berbentuk rupa bulan pada malam bulan purnama, … (sampai ucapan beliau) …, nyala perdupaan mereka adalah gaharu, Imam Abul Yaman berkata, maksudnya adalah kayu gaharu” (HR. Imam Bukhari)

Demikian juga hadits shahih riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya,

عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا أَجْمَرْتُمُ الْمَيِّتَ، فَأَجْمِرُوهُ ثَلَاثًا

Dari Abu Sufyan, dari Jabir, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian mengukup mayyit diantara kalian, maka lakukanlah sebanyak 3 kali” (HR. Ahmad)

Shahih Ibnu Hibban juga meriwayatkan sebuah shahih (atas syarat Imam Muslim),

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فأوتروا

Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian mengukup mayyit, maka ukuplah dengan bilangan ganti (ganjilkanlah)” (HR. Ibnu Hibban, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah)

Disebutkan juga bahwa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat ketika telah meninggalkan dunia, supaya kain kafannya di ukup.

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهَا قَالَتْ لِأَهْلِهَا: «أَجْمِرُوا ثِيَابِي إِذَا مِتُّ، ثُمَّ حَنِّطُونِي، وَلَا تَذُرُّوا عَلَى كَفَنِي حِنَاطًا وَلَا تَتْبَعُونِي بِنَارٍ

Dari Asma` binti Abu Bakar bahwa dia berkata kepada keluarganya; “Berilah uap kayu gaharu (ukuplah) pakaianku jika aku meninggal. Taburkanlah hanuth (pewangi mayat) pada tubuhku. Janganlah kalian tebarkan hanuth pada kafanku, dan janganlah mengiringiku dengan membawa api.”

Riwayat shahih ini terdapat dalam Al-Muwaththa’ Imam Malik, As-Sunan Al-Kubro Imam Al-Baihaqi. Bahkan, ada juga riwayat tentang meng-ukup masjid,

جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ، وَخُصُومَاتِكُمْ وَحُدُودَكُمْ وَشِرَاءَكُمْ وَبَيْعَكُمْ وَجَمِّرُوهَا يَوْمَ جَمْعِكُمْ، وَاجْعَلُوا عَلَى أَبْوَابِهَا مَطَاهِرَكُمْ

Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak kecil kalian, dari pertikaian diantara kalian, pendarahan kalian dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci kalian. (HR. Imam Al-Thabrani di dalam Al-Mu’jram Al-Kabir. Ibnu Majah, Abdurrazaq dan Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan redaksi yang hampar sama)

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah pernah menyebutkan dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’ (5 /22 ) tentang biografi Nu’aim Bin Abdillah Al-Mujammar, sebagai berikut,

نعيم بن عبد الله المجمر المدني الفقيه، مولى آل عمر بن الخطاب، كان يبخر مسجد النبي صلى الله عليه وسلم.

"Nu’aim Bin Abdillah Al-Mujammar, ahli Madinah, seorang faqih, Maula (bekas budak) keluarga Umar Bin Khattab. Ia membakar kemenyan untuk membuat harum Masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang serupa. Dan dari sebagian riwayat-riwayat disebutkan diatas, diketahui bahwa penggunaan kemenyan merupakan hal biasa pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian juga pada masa para sahabat dan seterusnya. Baik sebagai wangi-wangian maupun hal-hal yang bersifat keagamaan.

Hingga Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pun pernah berkomentar mengenai kemenyan ini didalam kitabnya Zadul Ma’ad (4/315) yakni mengenai kemenyan India,

العود الهندي نوعان، أحدهما: يستعمل في الأدوية وهو الكست، ويقال له: القسط وسيأتي في حرف القاف. الثاني: يستعمل في الطيب، ويقال له: الألوة. وقد روى مسلم في ” صحيحه “: عن ابن عمر رضي الله عنهما، أنه ( «كان يستجمر بالألوة غير مطراة، وبكافور يطرح معها، ويقول: هكذا كان يستجمر رسول الله صلى الله عليه وسلم،» ) وثبت عنه في صفة نعيم أهل الجنة ( «مجامرهم الألوة» )

”Kayu gaharu india itu ada dua macam. Pertama adalah kayu gaharu yang digunakan untuk pengobatan, yang dinamakan kayu Al-Kust. Ada juga yang menyebutnya dengan Al-Qusth, menggunakan huruf “Qaf”. Kedua adalah yang digunakan sebagai pengharum, yang disebut Uluwwah. Dan sungguh Imam Muslim telah meriwayatkan didalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, bahwa beliau (Ibnu Umar) mengukup mayyit dengan kayu gaharu yang tidak dihaluskan, dan dengan kapur barus yang dicampur dengan kayu gaharu. Kemudian beliau berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengukup mayyit. 

Dan terbukti sebuah hadits lain riwayat Imam Muslim perihal mensifati keni’matan penghuni surga, yaitu “pengukupan/kemenyan ahli surga itu menggunakan kayu gaharu”.

ﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﺃﻥ ﻳﺒﺨﺮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻣﻦ ﺣﻴﻦ ﻳﻤﻮﺕ ﻻﻧﻪ ﺭﺑﻤﺎ ﻇﻬﺮ ﻣﻨﻪ ﺷﺊ ﻓﻴﻐﻠﺒﻪ ﺭﺍﺋﺤﺔ ﺍﻟﺒﺨﻮﺭ

Sahabat-sahabat kita (dari Imam Syafi'i) berkata, "Sesungguhnya disunnahkan membakar dupa di dekat mayyit karena terkadang ada sesuatu yang muncul maka bau kemenyan tersebut bisa mengalahkan/menghalanginya." (Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab juz 5 hal. 160)

Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Kanzul Madfun Wal Fulkul Masyhun mengatakan,  "Salah satu keistimewaan Mushthaka (menyan) adalah dapat mencegah datangnya kutu. Siapa saja yang membuat buhur (dupa) kemudian dia mengasapkan pakaiannya, maka dengan izin Allah pakaian tersebut tidak akan dimakan oleh kutu selamanya.

Membakar dupa saat majlis dzikir, atau majlis pengajian di contohkan oleh Imam Malik RA, seperti yang di jelaskan dalam biografi Imam Malik yang di tulis di belakang kitab Tanwir Al-Hawalik Syarh Muwattha’ Imam Malik oleh Juz 3 no.166 disebutkan,

قال مطرف كان مالك إذا أتاه الناسخرجت اليهم الجارية فتقوللهم يقول لكم الشيخ تريدون الحديث أو المسائل؟ فإن قالوا المسائل خرج اليهم وافتاهم وان قالوا الحديث قال لهم اجلسوا ودخل مغتسله فاغتسل وتطيب ولبس ثيابا جددا وتعمم ووضع على رأسهالطويلة وتلقى له المنصة فيخرج اليهم وعليه الخشوع ويوضع عود فلا يزال يتبخر حتى يفرغ من حديث رسول اللهصلى الله عليه وسلم

Mutrif berkata apabila orang orang mendatangi kediaman imam malik, maka mereka di sambut oleh pelayan wanita beliau yang masih kecil lalu berkata kepada mereka, “imam malik bertanya apakah anda semua mau bertanya tentang hadits atau masalah keagamaan?

Jika mereka berkata “masalah keagamaan” maka, imam malik kemudian keluar kamar dan berfatwa, jika mereka berkata”hadits” maka beliau mempersilahkan mereka untuk duduk, kemudian beliau masuk kedalam kamar mandi, lalu mandi, dan memakai minyak wangi, kemudian memakai pakaian yang bagus, dan memakai sorban. Dan di atas beliau memakai selendang panjang di atas kepalanya, kemudian di hadapan beliau di letakkan mimbar (dampar) dan setelah itu beliau keluar menemui mereka dengan khusu’ lalu di bakarlah dupa hingga selesai dari menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam." (Tanwir Al-Hawalik Syarh Muwattha’ Imam Malik  Juz 3 no. 166)

Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halabi menyatakan,

وليس من شك أن استعمال البخور من صنائع المشعوذين ، حيث يجلبون الجن والشياطين ، يستهوونهم بها على هذه النية ، فهذا لا يجوز بحال ، وأما استعمال البخور لطيب رائحته وحسن عبيره لا إشكال في جوازه في غير هذا المقام

“Dan tidak diragukan lagi bahwa penggunaan Gaharu (orang jawa biasa memakai menyan) adalah merupakan perbuatan para dukun dalam rangka untuk menghadirkan jin dan setan, serta memanggil mereka dengan niat ini. Maka yang seperti ini TIDAK BOLEH.

Adapun penggunaan gaharu untuk wewangian dan memanfaatkan bau segarnya tidak ada keraguan sama sekali akan kebolehannya”. Manhajusy Syar’i Fi Itsbatil Massi Wash Shor’i : 223). Wallahu a’lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 09 Februari 2022

KAJIAN TENTANG HIKMAH BELAJAR ILMU BAHASA ARAB (ILMU NAHWU)


Imam Ibnu Manzhur (711 h) berkata dalam kitabnya yang terkenal lisaanul-‘arab, di dalam isi muqqaddimahnya menyebutkan, 

فإن الله سبحانه قد كرم الإنسان وفضله بالنطق على سائر الحيوان، وشرف هذا اللسان العربي بالبيان على كل لسان، وكفاه شرفا أنه به نزل القران، وأنه لغة أهل الجنان. روى عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " أحبوا العرب لثلاث : لأني عربي، والقران عربي، وكلام أهل الجنة عربي".

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan manusia, memberikan kelebihan dari seluruh hewan dengan berbicara, dan memuliakan bahasa Arab sebagai bahasa paling indah. Dan cukuplah sebagai keutamaan bahasa Arab karena dengan bahasa tersebut Al-Qur'an itu turun, serta sebagai bahasa penduduk Surga. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra. Rasulullah Shallallahu ''alaihi wa sallam bersabda, “Cintailah bahasa Arab karena tiga hal, yang pertama karena aku berasal dari bangsa Arab, kedua Al-Qur'an berbahasa Arab, dan yang ketiga obrolan penduduk Surga dengan bahasa Arab”.

Berangkat dari sini, kita akan menggali sisi keistimewaan bahasa arab, sehingga Allah memilihnya sebagai bahasa Al-Qur'an.

Sebelum melihat sisi keistimewaan bahasa arab, satu hal penting yang perlu kita tanamkan, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini dan Allah Ta'ala yang paling berhak untuk memilih siapa diantara makhluknya yang memiliki keunggulan melebihi yang lain. Ada milyaran manusia. Tentu saja, derajat mereka tidak sama. Allah berhak memilih, siapa diantara mereka yang berhak menjadi nabi dan rasul.

Ada ribuan bahasa di alam ini. dan Allah berhak memilih bahasa mana yang paling layak untuk kitab-Nya.

Kita yang hanya berposisi sebagai hamba, hanya bisa menerima, dan saja sama sekali tidak berhak mengkritik. Semacam ini Allah ajarkan dalam firman-Nya,

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ

“Tuhanmu menciptakan apa saja yang Dia kehendaki dan Dia memilih (sesuai yang Dia kehendaki). Mereka tidak bisa menentukan pilihan.” (QS. Al-Qashas: 68)

Karena itu, alur berfikir yang benar terkait realita Al-Qur'an, bukan bertanya, apa kelebihan bahasa arab, sehingga Allah memilihnya untuk bahasa Al-Qur'an. Akan tetapi, cara berfikir yang tepat, bahwa dengan Allah memilih bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur'an, itu sudah sangat cukup untuk menjadi dasar yang menunjukkan bahasa arab memiliki banyak kelebihan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

إِنَّا أَنزلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kalian memahaminya." (QS. Yusuf: 2)

وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات ، على أشرف الرسل ، بسفارة أشرف الملائكة ، وكان ذلك في أشرف بقاع الأرض ، وابتدئ إنزاله في أشرف شهور السنة وهو رمضان ، فكمل من كل الوجوه

"Demikian itu karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling jelas, paling terang, paling luas, dan paling banyak perbendaharaan kata-katanya untuk mengungkapkan berbagai pengertian guna meluruskan jiwa manusia. Karena itulah Allah menurunkan Kitab-Nya yang paling mulia dengan bahasa yang paling mulia di antara bahasa-bahasa lainnya yang disampaikan-Nya kepada rasul yang paling mulia melalui perantaraan malaikat yang paling mulia. Dan penurunannya terjadi di belahan bumi yang paling mulia, serta awal penurunannya (Al-Qur'an) terjadi di dalam bulan yang paling mulia, yaitu bulan Ramadan; sehingga sempurnalah kitab Al-Qur'an ini dari berbagai seginya." (Tafsir Ibnu Katsir)

*Kelebihan Bahasa Arab*

Allah menyebut bahasa arab dengan bahasa yang Al-Mubin, yang artinya bahasa yang bisa menjelaskan.

Allah berfirman,

بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

“Al-Qur'an itu turun dengan bahasa arab yang mubin.” (QS. As-Syu’ara: 195).

Imam Ibnu Faris (w. 395) (salah satu ulama ahli bahasa) menyatakan,

فلما خَصَّ – جل ثناؤه – اللسانَ العربيَّ بالبيانِ، عُلِمَ أن سائر اللغات قاصرةٌ عنه، وواقعة دونه

"Ketika Allah Ta’ala memilih bahasa arab untuk menjelaskan (firman-Nya), menunjukkan bahwa bahasa-basaha yang lainnya, kemampuan dan tingkatannya di bawah bahasa arab." (As-Shahibi fi Fiqh Al-Lughah, 1/4).

Diantara sisi penunjangnya, bahasa arab merupakan bahasa yang sangat tua dan terjaga. Dan semakin tua sebuah bahasa, akan semakin kaya dengan kosakata, semakin sempurna gramatikalnya dan banyak simbol-simbol makna.

Imam As-Suyuthi memuji kekayaan linguistik dalam bahasa arab,

لأنَّا لو احتجنا إلى أنْ نعبر عن السيفِ وأوصافه باللغةِ الفارسية، لما أمكننا ذلك إلا باسمٍ واحد؛ ونحن نذكرُ للسيفِ بالعربية صفاتٍ كثيرة، وكذلك الأسد والفرس وغيرهما من الأشياءِ المسميات بالأسماء المترادفة، فأين هذا من ذاك؟! وأين سائرُ اللغات من السَّعةِ ما للغةِ العرب؟! هذا ما لا خفاءَ به على ذي نُهية

"Ketika kita hendak mengungkapkan kata pedang dengan bahasa persi, kita tidak akan bisa menceritakannya kecuali hanya dengan satu kata. Sementara kita bisa menyebut kata ‘pedang’ berikut sifat-sifatnya dengan banyak ungkapan dalam bahasa arab. Demikian pula kata ‘singa’ dan ‘kuda’ atau kata lainnya yang memiliki banyak sinonim. Sehingga bagaimana mungkin dua bahasa ini mau dibandingkan?! Bahasa mana yang lebih luas dari pada bahasa arab ?! semua orang yang berilmu mengetahuinya." (Al-Mazhar fi Ulum Al-Lughah, 1/254).

Mengingat Al-Quran berbahasa arab, hadits berbahasa arab, khazanah islam yang menjadi kara para ulama, berbahasa arab, maka bahasa arab menjadi kunci untuk memahami itu semua. Karena itulah, para sahabat menekankan agar umat islam berusaha memahami bahasa arab.

Sahabat Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu pernah berpesan,

تعلَّموا العربيةَ؛ فإنها من دينِكم

“Pelajarilah bahasa arab, karena bahasa ini bagian dari agama kalian.” (Idhah al-Waqf, Ibnul Anbari, 1/31)

Khalifah Umar radhiyallahu 'anhi juga pernah memerintahkan gubernurnya, Abu Musa al-Asy’ari untuk mengajarkan bahasa arab kepada penduduk Iraq,

أمَّا بعد، فتفقهوا في السنةِ، وتفقهوا في العربية، وأَعْرِبُوا القرآنَ فإنه عربي

“Pelajarilah sunah dan pelajarilah bahasa arab. Pahami Al-Qur'an dengan bahasa arab. Karena kitab ini berbahasa arab.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 30534).

Ada jutaan karya ulama yang semuanya berbahasa arab dan belum diterjemahkan. Tidak mungkin anda menunggu terjemahannya untuk bisa anda baca. Bahkan ribuan kitab itu, tidak mungkin diterjemahkan. Karena karya semacam ini, bukan konsumsi mereka yang tidak paham bahasa arab.

Ribuan aliran sesat, salah satu sebabnya, mereka menafsirkan Al-Qur'an dan sunah, tanpa didukung kaidah bahasa yang benar. Ahmadiyah meyakini adanya nabi palsu, karena mereka memahami kata ‘Khatam An-Nabiyin’ dengan cincin para nabi, dan bukan penghujung para nabi. LDII menilai sesat selain anggota kelompoknya, karena kata muttashil dalam periwayatan hadits, dibawa pada pembelajaran dan dakwah, yang itu tidak pada tempatnya. Mu’tazilah dan kelompok penerusnya menolak hadits Ahad, karena salah paham dengan kata ‘zhan’. Da'i MTA menghalalkan anjing, tikus, karena menelan ‘istisna’’ mentah-mentah.

Karena itu, benarlah apa yang disampaikan Imam Ayub As-Sikhtiyani (ulama tabi'in) (w. 131 H),

عامة من تزندق من أهل العراق لجهلهم بالعربية

“Umumnya orang yang menyimpang mengikuti aliran sesat di kalangan penduduk Irak, karena mereka tidak paham bahasa arab.” (Khutbah al-Kitab, Abu Syamah, hlm. 63).

Keterangan lain disampaikan Imam Ibnu Syihab az-Zuhri (ulama tabi'in, muridnya Abu Hurairah),

إنما أخطأ الناس في كثير من تأويل القرآن لجهلهم بلغة العرب

"Banyak masyarakat yang salah dalam mentakwilkan Al-Qur'an, sebabnya adalah karena mereka tidak paham bahasa arab." (Khutbah Al-Kitab, Abu Syamah, hlm. 63).

Imam Hasan Al-Bashri (ulama tabi'in),

أهلكتهم العجمة يتأولون القرآن على غير تأويله

"Mereka sesat karena bahasa selain arab. Mereka mentakwil Al-Qur'an, tidak sesuai takwil yang benar." (Syarh Mukhtashar Ar-Raudhah, At-Thufi).

*Cintailah Bahasa Arab*

Mempelajari ilmu bahasa arab suatu kewajiban bagi setiap muslim. Sebagaimana Imam As-Sya’bi (ulama Tabiin, muridnya Usamah dan Abu Hurairah) mengatakan,

النحو في العلم كالملحِ في الطعام لا يُستغنى عنه

"Nahwu dalam ilmu itu seperti garam dalam makanan. Selalu dibutuhkan." (Jami Bayan al-Ilmi, 2/325).

Keterangan Muhammad bin Hasan (gurunya Imam As-Syafii),

خلَّف أبي ثلاثين ألف درهم، فأنفقتُ نصفَها على النحوِ بالري، وأنفقتُ الباقي على الفقه

"Ayahku meninggalkan warisan untukku 30.000 dirham (sekitar 12,75 kg emas). Separuhnya, saya gunakan untuk belajar nahwu di kota Roy. Sisinya saya gunakan untuk belajar Fiqh." (Al-Ibar fi Khabar, 1/56).

Keterangan Abu Raihan Al-Bairuni,

لأنْ أُشتَم بالعربيةِ خير من أُن أمدحَ بالفارسية

“Saya dihina dengan bahasa arab, lebih baik dari pada saya dipuji pake bahasa persi.”

Karena beliau merasa sangat senang bahasa arab terdengar di telinga beliau, sekalipun bentuknya kelimat celaan.

Ada buanyak keterangan Imam As-Syafi'i terkait bahasa arab. Yang menunjukkan bagaimana beliau sangat mencintai bahasa arab. Kita simak beberapa keterangan beliau bahwa ilmu nahwu adalah kunci,

من تبَحَرَّ فى النحو اهتدى إلى كل العلوم

“Siapa yang menguasai nahwu, dia dimudahkan untuk memahami seluruh ilmu.” (Syadzarat Ad-Dzahab, hlm. 1/321).

Jawaban fiqh dengan kaidah nahwu,

لا أُسأَلُ عن مسألةٍ من مسائل الفقهِ إلا أجَبْتُ عنها من قواعدِ النحو

“Tidaklah aku ditanya tentang satu permasalahan fikih, selain aku jawab dengan kaidah nahwu.” (Syadzarat ad-Dzahab, hlm. 1/321).

Rajin belajar nahwu, agar bisa memahami fiqh,

ما أردتُ بها-يعنى:العربية-إلا الاستعانة على الفقه

“Tidaklah aku serius mempelajari nahwu, selain karena aku gunakan untuk membantu mempelajari fikih.” (Siyar A’lam An-Nubala, 10/75).

Sudah saatnya kita mencintai bahasa arab bukan sekedar bisa baca Al-Qur'an semata, tetapi membuktikan cinta itu dengan mempelajarinya.

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*