Minggu, 09 Januari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM SESAJEN DALAM TRADISI JAWA

Baru-baru ini beredar sebuah video seorang pria berjenggot membuang dan menendang sesajen warga di Gunung Semeru di Lumajang Jawa Timur (Jatim).

Belum jelas betul identitas pria tersebut. Namun Ia nampak berjenggot, memakai peci, kemudian mengenakan rompi hitam dan sarung abu-abu. Pada dada sebelah kirinya ada logo bendera Indonesia merah dan putih.

"Ini yang membuat murka Allah ya. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah. Hingga Allah menurunkan azabnya, Allahu Akbar," demikian pria dalam video itu sambil menunjuk dua nampan sesajen di bawahnya.

Di Indonesia syiar agama termasuk proses yang sangat unik, menarik dan dinamis. Meski sudah berlangsung berabad-abad lamanya, masih saja menjadi perdebatan hingga sekarang. Padahal tujuan dari walisongo penyebar agama Islam terutama di Jawa menjadikan tradisi sebagai jembatannya. Karena susahnya mencari celah dalam penyebaran agama Islam di jawa, sehingga menggunakan tradisi lokal sebagai jembatan untuk menemukan celahnya.

Sesajen merupakan salah satu adat yang ada dalam masyarakat, yang ketika zamannya para wali datang ketanah jawa sesajen masih tetap dipertahankan. Karena syiar Islam tidak serta merta langsung menghilangkan apa yang ada, selama hal itu baik akan dilanjutkan hanya kaidahnya saja yang diganti.

Lantas bagaimana hukum pembuatan sesajen? Dalam kitab Bulghatut Thullab hlm. 90/91 dijelaskan mengenai tradisi sesajen,

سألة -ث : العادة المطردة فى بعض البلاد لدفع شر الجن من وضع طعام أو نحوه فى الأبيار أو الزرع وقت حصاده وفى كل مكان يظن أنه مأوى الجن وكذلك إيقاد السرج فى محل ادخار نحو الأرز الى سبعة أيام من يوم الإدخار ونحو ذلك كل ذلك حرام حيث قصد به بل إن قصد التعظيم والعبادة له كان ذلك كفرا-والعياذ بالله- قياسا على الذبح للأصنام المنصوص فى كتبهم. وأما مجرد التصدق بنية التقرب إلى الله ليدفع شر ذلك الجن فجائز ما لم يكن فيه إضاعة مال مثل الإيقاظ المذكور انفا, فإن ذلك ليس هو التصدق المحمود شرعا كما صرحوا أن الإيقاد أمام مصلى التراويح وفوق جبل أحد بدعة. قلت : حتى إن مجرد التصدق بنية التقرب إلى الله لا ينبغى فعله فى خصوص تلك الأماكن لئلا يوهم العوام ما لا يجوز إعتقاده.

“Tradisi yang sudah mengakar di sebagian masyarakat yang menyajikan makanan dan semacamnya kemudian diletakkan di dekat sumur atau tanaman yang hendak dipanen dan ditempat-tempat lain yang dianggap tempatnya jin, serta tradisi lain seperti menyalakan beberapa lampu di tempat penyimpanan padi selama tujuh hari yang dimulai dari hari pertama menyimpan padi tersebut, begitu pula tradisi-tradisi lain seperti dua contoh di atas itu hukumnya haram jika memang bertujuan mendekatkan diri kepada jin. Bahkan bisa menyebabkan kekafiran (murtad) jika disertai tujuan pemuliaan dan wujud pengabdian. Keputusan hukum ini diqiyaskan dengan hukum penyembelihan hewan yang dipersembahkan untuk berhala yang disebutkan oleh fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Adapun jika sekedar bersedekah dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah untuk menghindarkan diri dari kejahatan yang dilakukan oleh jin tersebut maka diperbolehkan selama tidak dengan cara menyia-nyiakan harta benda, seperti tradisi menyalakan lampu yang baru saja disebutkan. Karena hal tersebut tidak termasuk dalam sedekah yang terpuji dalam pandangan syari'at, Sebagaimana ulama menjelaskan bahwa menyalakan lampu di depan tempat shalat tarawih dan di atas gunung arafah itu dikategorikan bid'ah. Saya berkata : Bahkan sekedar bersedekah dengan niat mendekatkan diri pada Allah pun tidak pantas dilakukan di tempat-tempat ditempat-tempat tersebut, agar orang awam tidak salah faham, lalu meyakini hal yang tidak seharusnya diyakini .” (Bulghatut Thullab hlm. 90/91)

Islam juga menganut hukum fikih yang mengakui adanya hukum adat. Hukum adat yang dimaksud adalah adat masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang. Sesajen dalam Hukum Islam itu sama seperti sedekah, artinya menghidangkan sajian untuk bersedekah agar mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

*‘Urf (Adat) Sebagai dasar Hukum*

Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama’ Usul Fikih (ushuliyyun) bahwa sumber /dasar/dalil hukum Islam ada 2 (dua) yaitu sumber naqly (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan aqly (akal). Sumber/dalil hukum yang didasarkan atas akal, dalam metodologi hukum Islam (Usul Fikih), dikonstruksi oleh ulama dengan istilah Ijtihad. Salah satu metode ijtihad adalah ‘urf (penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan/tradisi/adat setempat). Penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan setempat (‘urf) ini tentu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat  dan hanya digunakan dalam bidang muamalah (diluar persoalan ibadah mahdhah/ritual)

Penyerapan adat ke dalam hukum (Islam) dilakukan juga terhadap adat/tradisi Arab sebelum Islam. Penyerapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

*(تهميل) Tahmil*

Tahmil atau apresiatif diartikan sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dalam ketentuan atau aturan yang bersifat umum dan tidak mengubah paradigma keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat yang mengatur tidak menyentuh masalah yang mendasar dan nuansanya berupa anjuran dan bukan perintah. Disisi lain, aturannya lebih banyak menyangkut etika yang sebaiknya dilakukan tetapi tidak mengikat.

Contoh dalam masalah ini adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram.

*(تحر يم) Tahrim*

Tahrim diartikan sebagai sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan terhadap praktik tersebut juga dibarengi dengan ancaman bagi yang melakukannya. Termasuk dalam kategori ini dalah kebiasaan berjudi, minuman khamr, praktik riba, dan perbudakan.

*(تغيير) Taghyir*

Taghyir adalah sikap Al-Qur’an yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Qur’an tetap menggunakan simbol-simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, sehingga karakter aslinya berubah. Al-Qur’an mentransformasikan nilai-nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Di antara adat istiadat Arab yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pakaian dan aurat perempuan, hukum-hukum yang terkait dengan perkawinan (keluarga), anak angkat, hukum waris, dan qishash-diyat

*Prinsip “Segala Sesuatu Boleh Dilakukan”*

Metode berfikir di kalangan madzhab Syafi’i antara lain berpijak pada kaidah الأصل في الأشياء الإباحة (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh). Sedangkan  dikalangan madzhab Hanafi menggunakan kaidah sebaliknya yaitu الأصل في الأشياء التحريم  (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah dilarang).

Dalam perkembangannya dua kaidah yang kontradiktif tersebut diberikan peran masing-masing dengan cara membedakan wilayah kajiannya. Kaidah الأصل في الأشياء الإباحة ditempatkan dalam kajian bidang muamalah (selain ibadah mahdhah/ritual) dan kemudian muncul kaidah    الأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل الدليل على التحريم (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh dalil/nash).  

Sedangkan kaidah  الأصل في الأشياء التحريم  ditempatkan dalam wilayah kajian ibadah mahdhah/ritual dan kemudian muncul kaidah  الأصل في العبادة التحريم إلا أن يدل الدليل على الإباحة (Hukum asal dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan).

Memahami dan mencermati dua prinsip kaidah tersebut sangat penting untuk menilai apakah tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat tersebut boleh atau tidak, bid’ah atau tidak bid’ah. Prinsip yang pertama, dalam urusan/wilayah/bidang  muamalah (selain ibadah)  adalah “segala sesuatu boleh dilakukan walaupun tidak ada perintah, asalkan tidak ada larangan”, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan sesuatu, meskipun tidak ada dalil yang memerintahkannya, yang penting tidak ada dalil yang melarangnnya. Sedangkan prinsip kedua, seseorang tidak boleh melakukan ibadah kalau tidak ada perintah, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan suatu ibadah kalau ada perintah, walaupun tidak ada larangan”.

Oleh karena itu, tradisi/kebiasaan/adat apapun yang ada dimasyarakat, selagi tidak ada kaitannya dengan persoalan ibadah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (tidak ada nash yang melarang) adalah boleh saja dilakukan (ibahah).

Bahkan suatu tradisi/kebiasaan/adat tertentu bisa dijadikan dasar penetapan (legitimasi) hukum dan sekaligus  sebagai dasar (legitimasi) penyelesaian persengketaan hukum , terutama dalam bidang jual beli (transaksi atau akad). Prinsip ini ada dalam kaidah : العادة محكمة (adat dapat dijadikan dasar penetapan hukum). Hal ini disebabkan karena persoalan muamalah tidak semuanya dan tidak mungkin diatur secara detail dalam nash (yang diatur secara rinci dalam nash sangat terbatas, sebagian besar yang lain adalah prinsip-prisip dasarnya saja yang diatur), tidak demikian halnya dalam masalah ibadah, sebagian besar diatur secara detail termasuk teknis pelaksanaannya.

*Prinsip Kemaslahatan dan Kemanfaatan*

Salah satu prinsip penting lain yang digunakan dalam menetapkan hukum atau menilai “sesuatu” adalah kemaslahatan atau kemnfaatan riil. Metode ini dalam hukum Islam (Usul Fikih) disebut istishlah atau maslahah mursalah. Oleh karena itu salah satu paramerter untuk menilai tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat baik atau tidak, boleh atau tidak boleh, bid’ah atau tidak bid’ah adalah apakah bermanfaat/ada nilai maslahat (kebaikan) nya atau tidak. Apabila tradisi/kebiasaan/adat itu ada manfaat/ maslahatnya atau tidak mengakibatkan madharat (efek negatif), maka minimal hukumnya boleh (ibahah). Sekali lagi selama tradisi/kebiasaan/adat tersebut tidak berkaitan dengan ibadah atau masuk dalam sistem/teknis ibadah, dan selama tidak ada nash qath’iy yang melarangnya, maka tidak dilarang.

Makanya hukum sesajen dalam pandangan islam juga tidak dapat langsung dihukumi syirik, sebab kita tidak mengetahui niat dari orang yang menggunakan sesajen tersebut. Sehingga beberapa ulama menilai perbuatan tersebut berdasarkan niatnya. Dizaman ulama terdahulu bentuk sesajen ini sudah ada kemiripan dalam bentuk menyembelih hewan.

Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami seorang ulama fiqih bermadzhab Syafi'i berkata,

ومن ذبح تقربا لله تعالى لدفع شر الجن يحرم أوبقصدهم حرم

“Barang siapa menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar terhindar dari gangguan jiin, maka tidak haram (boleh). Atau menyembelih dengan tujuan kepada jin maka haram.” (Tuhfatul Muhtaj 9/326)

Sehingga dapat dikatakan bahwa sesajen dengan mengatas namakan Allah itu hukumnya boleh. Namun ada sesajen yang syirik yaitu petuah yang diberikan oleh Syekh Abu Bakar Dimyati Syatha beliau mengatakan saat mensyarahi ungkapan Ibnu Hajar diatas yang dikutip oleh muridnya dalam Fathul Mu’in

بل إن قصد التقرب والعبادة للجن كفر

“Bahkan jika menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada jin maka ia telah kafir.” (‘Ianatuth Thalibin 2/397)

Begitu juga dimungkinkan apa yang dilakukan masyarakat yang terdampak erupsi Semeru di Lumajang Jawa Timur membuat sesajen sama halnya yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia ketika musim panen yaitu mengadakan sedekah bumi atau sejenisnya, ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur mendapatkan hasil panen yang melimpah, bisa merasakan hasil panen dari tanaman yang ditanam, sehingga menghidangkan makanan dari hasil panen untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Itulah mengapa ketika melihat sesajen disuatu tempat janganlah mudah menuduh kafir atau musyrik. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar