Rabu, 12 Januari 2022

KAJIAN TENTANG BAHAYA UJUB DAN TAKABUR

Tidak sedikit diantara kita yang terkadang terjerembab kepada perbuatan ujub yaitu bangga dengan diri sendiri, merasa telah banyak berbuat baik untuk Islam dan kaum muslimin, juga sifat takabur merasa telah melakukan sesuatu untuk membela Allah, Rasul-Nya dan Al-Qur’an, lalu hati kita menganggap remeh orang yang tak seperti dirinya.

Dalam Islam sikap takabur sangat dibenci karena membuat seseorang ingin memperlihatkan kehebatannya kepada orang lain. Takabur termasuk dalam ujub yang melahirkan sikap sombong. 

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

"Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". (HR. Muslim no. 2749, dari 'Abdullah bin Mas'ud).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman :18)

Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَأَنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat yang Allah limpahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain beliau juga bersabda,

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti hawa nafsu (yang selalu mengajak pada kejelekan), dan ujub (takjub pada diri sendiri).” (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 5452 dan Abdur Razaq, hadist hasan)

Menurut bahasa, kata ‘Ujub atau I’jab bin-nafs mempunyai  makna senang, menganggap baik dan tertarik. Contoh penggunaan kata I’jab dalam arti ini adalah ucapan orang arab yang memgatakan,  “a’jabahul amru” (أعجبه الامر) arti ucapan ini adalah bahwa urusan ini telah menjadikannya senang dan ia tertarik kepadanya.

Menurut istilah para ulama yang dimaksud dengan Ujub atau I’jab bin nafs adalah rasa senang atau gembira dengan diri sendiri dan dengan segala hal yang keluar dari dirinya baik berupa ucapan, perbuatan tanpa disertai pelanggaran atau pelampauan batas terhadap orang lain baik berupa ucapan atau perbuatan yang menjadikannya senang itu berupa kebaikan ataupun keburukan, terpuji atau tidak terpuji.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, 

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ 

“Ketika seorang laki-laki sedang bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat”. (HR. Bukhari, no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim)

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,

وَلاَ أَعْلَمُ فِي الْمُصَلِّيْنَ شَيْئًا شَرٌّ مِنَ الْعُجْبِ

“Aku tidak mengetahui pada orang-orang yang rajin shalat perkara yang lebih buruk daripada ujub” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman no. 8260).

Jika rasa senang dan bangga tersebut disertai pelampauan dan pelanggaran hak orang lain dengan cara menolak kebenaran nasehat atau meremehkan kepribadian orang lain serta merasa lebih tinggi atas mereka maka hal ini dinamakan takabur.

Allah Ta’ala berfirman tentang kesombongan kaum Tsamud yang merendahkan pengikut  Nabi Shalih Alaihissalam. 

قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِمَنْ آمَنَ مِنْهُمْ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ صَالِحًا مُرْسَلٌ مِنْ رَبِّهِ ۚ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلَ بِهِ مُؤْمِنُونَ﴿٧٥﴾قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ﴿٧٦﴾فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوا يَا صَالِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ 

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka berkata, “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?”. Mereka (yang dianggap lemah) menjawab, “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu”. Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka berkata, “Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)”. (QS. Al-A’râf [7] :75-77)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ 

“Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan”. [HR. Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499)

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ 

“Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan)”. (HR. Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no.151).

Lalu adakah perbedaan antara ‘Ujub dan takabur? Ada dua pendapat dalam masalah ini yaitu :

1. Antara ‘Ujub dan Kibr tidak terdapat perbedaan dan bahwasannya keduanya adalah sama.

2. Terdapat perbedaan antara ‘Ujub dan Kibr. Namun, mereka juga tidak bersepakat tentang perbedaan diantara keduanya.

a. Satu pendapat mengatakan bahwa Kibr adalah akhlaq batin yang darinya muncul banyak perbuatan. Akhlaq yang dimaksud adalah melihat diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Sedangkan ‘Ujub bisa terjadi walaupun tidak ada pembandingan orang lain. 

Jadi seorang yang memiliki akhlaq Kibr melihat dirinya lebih tinggi dari orang lain, karenanya ia merasa ge-er, gembira dan puas terhadap apa yang diyakininya.

b. Imam Al-Mawardi mengatakan, "Kibr itu terkait dengan kedudukan, sedangkan ‘Ujub terkait dengan kelebihan." 

Jadi seorang yang memiliki akhlaq Kibr membesarkan dirinya melebihi kapasitas orang yang sedang belajar sedangkan orang yang memiliki ‘Ujub memandang dirinya banyak memiliki kelebihan sehingga tidak perlu lagi untuk menambah orang yang belajar kepadanya.

c. Abu Hilal berkata, "perbedaan antara ‘Ujub dan kibr adalah bahwa ‘Ujub dengan suatu arti ia merasa senang dengan sesuatu, sehingga sesuatu itu dipandangnya sebagai hal yang tidak ada duanya. Dan seseorang dikatakan ‘Ujub dengan dirinya manakala ia merasa senang dengan hal yang ada padanya. Namun hal ini tidak ada sama sekali pada akhlaq kibr.

‘Ujub adalah pengikatan jiwa pada suatu kelebihan yang dimiliki memiliki kelayakan untuk dijadikan bahan ‘ujub padahal kelebihan itu bukan milik jiwa itu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ

“Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub! ujub!” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman no. 6868, hadits ini dinyatakan oleh Al-Munawi bahwasanya isnadnya jayyid (baik) dalam at-Taisir)

Adakah cara atau trik terhindar dari sifat ujub dan takabur? Ulama banyak membahas kalau sifat ujub (berbangga diri) dan takabbur (menolak kebenaran dan merendahkan orang lain) merupakan diantara sifat-sifat penyakit hati. Seseorang yang terjangkit penyakit ini akan merasa mulia dan menganggap dirinya besar, sementara kepada orang lain cenderung ada rasa meremehkan dan merendahkan.

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa buah dari penyakit ujub ini adalah banyaknya sifat keakuan. Aku lebih baik dari itu, aku begini, begitu dan lain sebagainya. Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menuturkan bahwa sifat ujub mirip dengan sifat takabbur dalam hal definisi. Orang yang takabur merasa dongkol atau kesal saat diberi nasehat sementara kasar ketika memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain maka dialah orang yang sombong sejatinya.

Lantas, bagaimana agar seseorang bisa terhindar dari sifat ujub ini? Berikut 5 trik terhindar dari sifat ujub menurut Imam Al-Ghazali yang dikutip dari kitabnya Bidayatul Hidayah hal. 135-136,

بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك

“Selayaknya ketahuilah olehmu bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah kelak di akhirat. Hal itu merupakan perkara yang ghaib (tidak diketahui) sehingga menunggu adanya kematian. Keyakinanmu bahwa dirimu lebih baik dari orang lain merupakan sebuah kebodohan. Sepantasnya engkau tidak memandang orang lain melainkan dengan pandangan bahwa ia ebih baik dari dirimu dan mempunyai kelebihan daripada dirimu.” (Bidayatul Hidayah hal. 135-136).

Secara gamblang, trik-trik agar seseorang terhidar dari sifat ujub, takabbur, atau berbangga diri tersebut adalah berikut ini,

1. Bila memandang anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah sementara engkau yang lebih tua darinya justru sebaliknya. Sehingga dengan demikian sudah jelas bahwa ia lebih baik darimu.

2. Bila melihat orang lain yang lebih tua maka yakinlah bahwa dirinya lebih dulu beribadah kepada Allah, sehingga ia lebih baik dari dirimu.

3. Bila orang lain tersebut berilmu maka yakinlah bahwa ia mendapatkan anugerah yag tidak engkau dapatkan, menjangkau apa yang belum engkau jangkau dan mengetahui apa yang tidak engkau tahu. Jika sudah demikian, bagaimana engkau bisa sepadan dengannya atau bahkan lebih unggul?

4. Bila orang lain itu bodoh maka anggaplah bahwa ia melakukan maksiat dengan kebodohannya. Sementara engkau bermaksiat dengan berlandaskan ilmu. Inilah yang menjadi bukti penguat kelak di pengadilan akhirat.

Bila orang lain itu kafir maka yakinlah bahwa kondisi akhir (kematian) seseorang tidak ada yang tahu. Bisa saja orang kafir itu masuk Islam sebelum mati dengan amalan baik (husnul khatimah). Sementara diri kita bisa menjadi sesat dan menjadi kafir sebelum kematian menjemput, sehingga  meninggal dengan amalan buruk (su’ul khatimah) Na'udzu billahi min dzalik.

Itulah kiat-kiat supaya seorang hamba bisa terhindar dari sifat ujub ataupun takabbur yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali, semoga kita semua bisa terhindar dari penyakit hati tersebut, amin. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar