Minggu, 28 November 2021

KAJIAN TENTANG MODERASI BERAGAMA MENURUT SYARI'AT ISLAM

Penguatan moderasi beragama di Indonesia saat ini penting dilakukan didasarkan fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk dengan berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama.  Indonesia juga merupakan negara yang agamis walaupun bukan negara berdasarkan agama tertentu. 

Ada satu ayat menarik yang mungkin bisa mewakili dari beberapa ayat lain yang menjelaskan tentang interaksi sosial kemasyarakatan. Bisa dibilang ayat ini menjadi referensi dari sifat fitrah Islam yang mendorong pengikutnya bersikap moderat dalam beragama.

Surat al-Baqarah ayat 143, masuk dalam kategori surat madaniyah menjelaskan pentingnya menjadi teladan umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sosok muslim yang beriman, berbuat baik, adil dan moderat dalam bertindak dan berfikir.

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia." (QS. Al-Baqarah : 143)

Kata kunci dari ayat tersebut menurut penulis terdiri dari tiga unsur, pertama adalah lafadz ” امة وسطا”. Kedua lafadz ” القبلة” dan ketiga adalah “ايمان”. Terlepas seluruh kalimat yang tersusun dari ayat tersebut selalu berkaitan lafadz satu dengan lafadz yang lainya. Namun Penulis sengaja memetakan ketiga unsur itu tidak lain adalah agar pemahaman tafsir dari ayat tersebut lebih sistematis dan mudah di fahami oleh pembaca, sesuai dengan tema yang diangkat.

Kata “وسطا” secara bahasa mempunyai arti tengah. Beberapa literatur tafsir alqur’an dari tafsir thobari, ibnu katsir, hingga tafsir jalalain tafsir klasik yang biasa dijadikan rujukan kaum pesantren, kata “wasathan” ditafsirkan sebagai “الخيار” dan “العدل” dua kata arab yang mempunyai arti baik dan adil. Dua pengertian ini lebih cenderung difahami sebagai sinonim/persamaan kata dari “wasthan”, belum menunjukkan karakteristik defenisi dari “wasathan” itu sendiri.

Penyelaman tafsir “wasathan” akan ditemukan kata kuncinya jikalau melihat definisi yang disampaikan oleh Imam Thobari dalam kitab tafsirnya. Bahwa kata “washat” mempunyai arti sesuatu yang berada diantara kedua kutub yang saling berlawanan. Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan kata “washat” untuk mensifati sikap orang-orang muslim yang moderat dalam beragama. Tidak termasuk dari golongan yang berlebih-lebihan dalam beragama(اهل غلو فيه) dan juga tidak termasuk dari golongan yang ceroboh(تقصير) beragama, sehingga meninggalkan sakralitas dari ajaran agama itu sendiri, dicontohkan seperti orang yahudi dahulu yang merubah isi dari kitab Allah.

قال : وأنا أرى أن الوسط في هذا الموضع هو الوسط الذي بمعنى الجزء الذي هو بين الطرفين , مثل ” وسط الدار ” , محرك الوسط مثقله , غير جائز في سينه التخفيف . وأرى أن الله تعالى ذكره إنما وصفهم بأنهم وسط لتوسطهم في الدين فلا هم أهل غلو فيه غلو النصارى الذين غلوا بالترهب وقيلهم في عيسى ما قالوا فيه , ولا هم أهل تقصير فيه تقصير اليهود الذين بدلوا كتاب الله وقتلوا أنبياءهم وكذبوا على ربهم وكفروا به ; ولكنهم أهل توسط واعتدال فيه , فوصفهم الله بذلك , إذ كان أحب الأمور إلى الله أوسطها . وأما التأويل فإنه جاء بأن الوسط العدل , وذلك معنى الديار لأن الخيار من الناس عدولهم.(تفسير الطبري)

"Penulis menyebut golongan pertama sebagai golongan ekstrimis, yaitu golongan yang memahami agama melebihi batas kewajaran dan melanggar hukum yang berlaku. Sedangkan golongan kedua sebagai golongan liberalis yaitu golongan yang cenderung bebas menginterpretasikan agama, cenderung meninggalakan dogma dan otoritas keagamaan, sebagaimana yang dicontohkan yahudi yang merubah isi dari kitab sucinya."

“Wasathiyah” dapat dipahami sebagai suatu sikap, dimana kebaikan diwujudkan dalam bentuk keadilan, tidak berat sebelah. Posisinya berada ditengah diantara kedua kutub yang mempunyai nilai negatif. Seperti halnya sifat dermawan berada di tengah antara sifat boros dan kikir.

Pemahaman “Wasthiyah” atau moderasi beragama akan menjadi komprehensif apabila ayat ini dipahami berdasarkan jejak historis turunya ayat tersebut yang tidak terlepas dari realitas masyarakat madinah saat itu.

Mengutip dari kitab al-Madinah al-Munawwarah fi al- Tarikh: Dirasah Syamilah karya Abdussalam Hasyim Hafidz menjelaskan Madinah sebelum Nabi Hijrah, mempunyai nama Yatsrib, yaitu nama daerah yang terambil dari nama seseorang yang pertama kali menginjakkan kaki di sana, atau istilah Jawa menyebutnya dengan babat alas.

Ia adalah Yatsrib bin Qaniyah keturunan dari Sam (putra nuh) sejak 2600 SM yang lalu. Daerah Madinah secara geografis berada di dataran tinggi yang banyak di tumbuhi pohon kurma, tanah di kota Madinah ini terkenal subur karena sejak zaman dahulu merupakan oase besar yang ada di tengah-tengah gurun pasir.

Mayoritas masyarakatnya terdiri dari beberapa suku, dengan penganut keagamaan yang beragam/heterogen. Diantara beberapa suku yang terkenal adalah bani Qoinuqa, bani Nadhir, bani Quraidhah, suku Auz dan suku khazraj. Penduduknya mayoritas beragama Yahudi, disamping itu juga terdapat banyak agama-agama lain seperti Nasrani, pagan, dan majusi.

Agama yahudi menjadi agama mayoritas penduduk madinah, bahkan kondisi politik, ekonomi, pertanian dikendalikan oleh mereka. Maka tak heran kalau Yahudi menjadi kekuatan super power di kota Yatsrib masa itu.

Perlu diketahui bahwa saat itu ada dua suku di Yastrib yang bertikai, berperang dan konflik cukup lama hampir 300 tahun, suku Aus dan suku Khazraj. Ketika itu nabi datang dengan piagam Madinah. Nabi datang dengan mengharmonisasikan diantara mereka dan basisnya adalah menghargai keperbedaan mereka. Pola atau pondasi utama adalah membangun kota Yastrib, disini jelas bahwa aspek lokalitas memiliki peran utama dalam membangun visi kebersamaan.

Dalam islam sering kita sebut islam agama yang santun, ramah, penuh kedamaian sekarang trend berparadigma wasathiyah (moderat) tentu ini menjadi kepentingan kita menjadikan agama manapun juga basisnya adalah mengantarkan pemelukmnya selamat dan menyelamatkan.

Moderasi beragama harus dimaknai sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengalaman agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan. Sikap seimbang ini akan menghindarkan sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama.

Kemajemukan ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa kita hindari. Karena perbedaan itu Allah Subhanahu wa Ta'ala Tuhan yang Maha Esa yang menciptakan. Potensi kemajemukan, pluralitas perbedaan ini, jika dikelola secara baik, maka akan menjadi sumber kekuatan dan sangat berharga. 

Namun sebaliknya, ia mengingatkan, jika disikapi secara tidak proporsional dan bahkan terus menonjolkan aspek perbedaan yang kemudian diikuti oleh sikap ego sektoral, maka akan berpotensi menimbulkan disharmoni kehidupan beragama dan disintegrasi umat dan bangsa. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 27 November 2021

KISAH PEMABUK YANG DICINTAI DAN SELALU MEMBUAT RASULULLAH TERTAWA

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki sahabat yang baik hati, humoris, dan bahkan bisa membuatnya tertawa. Salah satu sahabat nabi yang jenaka dan bisa membuat nabi tertawa adalah Nu’aiman bin Amr bin Rafa’ah.

Di dalam beberapa kitab salaf memuat kisah masyhur sahabat Nu'aiman bin Amr bin Rifa'ah Al-Anshari diantaranya Kitab Al-Isti'ab Fi Ma'rifah Ash-Shahabah karya Ibnu Abdil Barr, Usdul Ghabah karya Ibnu Atsir, Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-Shahabah karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dijelaskan,

قصة النعيمان بن عمرو الأنصاري رضي الله عنه قال الحافظ ابن حجر في الإصابة: “ﺍﻟﻨﻌﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺭﻓﺎﻋﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ ﺑﻦ ﺳﻮﺍﺩ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﻏﻨﻢ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺭ ﺍﻷ‌ﻧﺼﺎﺭﻱ. 

Kisah Al-Nu'aiman bin Amr Al-Ansari radhiyallahu 'anhu, Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam Al-Ishabah, “An-Nu'aiman bin Amr bin Rifa'ah bin Al-Harits bin Sawad bin Malik bin Ghannam bin Malik bin Al-Najjar Al-Anshari.

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﺃﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻟﻪ ﺻﺤﺒﺔ ﻭﺫﻛﺮﻩ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﻋﻦ ﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ﻭﺃﺑﻮ ﺍﻷ‌ﺳﻮﺩ ﻋﻦ ﻋﺮﻭﺓ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻓﻴﻤﻦ ﺷﻬﺪ ﺑﺪﺭﺍ 

Imam Al-Bukhari dan Imam Abu Hatim dan lain-lain mengatakan bahwa ia (Nu'aiman) memiliki sahabat, dan sebutannya Musa bin Uqbah kabar ini dari Ibnu Shihab Al-Zuhri dan Abu Al-Aswad dari Urwah dan lain-lain, sehubungan dengan mereka yang menyaksikan perang Badar, 

ﻭﺃﺧﺮﺝ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻓﻲ ﺗﺎﺭﻳﺨﻪ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻭﻫﻴﺐ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﻠﻴﻜﺔ ﻋﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﺗﻰ ﺑﺎﻟﻨﻌﻴﻤﺎﻥ ﺃﻭ ﺑﻦ ﺍﻟﻨﻌﻴﻤﺎﻥ ﻛﺬﺍ ﺑﺎﻟﺸﻚ ﻭﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﺍﻟﻨﻌﻴﻤﺎﻥ ﺑﻼ‌ ﺷﻚ ﻭﻓﻲ ﻟﻔﻆ ﻷ‌ﺣﻤﺪ ﻭﻛﻨﺖ ﻓﻴﻤﻦ ﺿﺮﺑﻪ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻴﻪ ﺃﺗﻰ ﺑﺎﻟﻨﻌﻴﻤﺎﻥ ﻭﻟﻢ ﻳﺸﻚ ﻭﺭﻭﺍﻩ ﺑﺎﻟﺸﻚ ﺃﻳﻀﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺳﻠﻢ ﻣﺮﺳﻼ‌ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺒﺮ ﺇﻥ ﺻﺎﺣﺐ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﺼﺔ ﻫﻮ ﺑﻦ ﺍﻟﻨﻌﻴﻤﺎﻥ ﻭﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ ﻭﻗﺪ ﺗﻘﺪﻡ ﻓﻲ ﺗﺮﺟﻤﺔ ﻣﺮﻭﺍﻥ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﺍﻟﺴﻠﻤﻲ ﺃﻥ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻘﺼﺔ ﺍﻟﻨﻌﻴﻤﺎﻥ

ﻭﻛﺬﺍ ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﺰﺑﻴﺮ ﺑﻦ ﺑﻜﺎﺭ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﻜﺎﻫﺔ ﻭﺍﻟﻤﺰﺍﺡ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺃﺑﻲ ﻃﻮﺍﻟﺔ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺣﺰﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺭﺟﻞ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﻌﻴﻤﺎﻥ ﻳﺼﻴﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﺍﺏ ﻓﺬﻛﺮ ﻧﺤﻮﻩ ﻭﺑﻪ ﺃﻥ ﺭﺟﻼ‌ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻟﻠﻨﻌﻴﻤﺎﻥ ﻟﻌﻨﻚ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻻ‌ ﺗﻔﻌﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﻠﻪ ورسوله

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam riwayatnya dari jalan Wahib atas otoritas Ayyub, dari Ibn Abi Malikah, dari Uqbah Ibn al-Harits, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa An-Na'aiman atau Ibnu al-Nu'aiman juga dengan keraguan (nama), dan pendapat yang paling benar adalah An-Nu'aiman tidak diragukan lagi namanya. Muhammad bin Sa'ad dari jalan Muammar dari Zaid bin Aslam secara mursal, dan Ibnu Abdil Barr berkata bahwa pemilik cerita ini adalah Ibnu An-Nu'aiman, dan ada beberapa pertimbangan di dalamnya. Al-Zubair bin Bakar menyebutkannya dalam kitab Al-Fukahah wal Mizah dari jalur Abu Thawalah dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya. dia, berkata, "Dahulu di Madinah, ada seorang lelaki pemabuk disebut namanya Nu'aiman. Dia seorang lelaki dari sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ketika dikatakan kepada Nu'aiman, "Allah melaknatmu." Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Jangan lakukan itu, karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya."

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺰﺑﻴﺮ ﻭﻛﺎﻥ ﻻ‌ ﻳﺪﺧﻞ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻃﺮﻓﺔ ﺇﻻ‌ ﺍﺷﺘﺮﻯ ﻣﻨﻬﺎ ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻴﻘﻮﻝ ﻫﺎ ﺃﻫﺪﻳﺘﻪ ﻟﻚ ﻓﺈﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﻳﻄﻠﺐ ﻧﻌﻴﻤﺎﻥ ﺑﺜﻤﻨﻬﺎ ﺃﺣﻀﺮﻩ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻋﻂ ﻫﺬﺍ ﺛﻤﻦ ﻣﺘﺎﻋﻪ ﻓﻴﻘﻮﻝ ﺃﻭ ﻟﻢ ﺗﻬﺪﻩ ﻟﻲ ﻓﻴﻘﻮﻝ ﺍﻧﻪ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻋﻨﺪﻱ ﺛﻤﻨﻪ ﻭﻟﻘﺪ ﺃﺣﺒﺒﺖ ﺃﻥ ﺗﺄﻛﻠﻪ ﻓﻴﻀﺤﻚ ﻭيأﻣﺮ ﻟﺼﺎﺣﺒﻪ ﺑﺜﻤﻨﻪ”.

Az-Zubair berkata, "Dan dia (Nu'aiman) tidak memasuki kota Madinah sama sekali kecuali membeli (oleh-oleh) darinya, lalu dia membawanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan dia berkata, “Ini hadiah, aku memberikannya kepadamu ya Rasul." Dan ketika pemilik (penjual)nya datang untuk meminta uang pembayaran sesuai harganya, dia membawanya menghadap  Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Bayarlah harga barang itu (ya Rasul)?" Nabi berkata, "Bukankan engkau hadiahkan ini kepadaku?" Dia (Nu'aiman) menjawab, "Demi Allah, saya tidak memiliki uang untuk membayarnya, sungguh saya suka memakannya," dan dia sambil tertawa dan meminta (Nabi) untuk membayarkan harga kepada pemiliknya.

وروى البخاري ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺃﻥ ﺭﺟﻼ‌ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﺍﺳﻤﻪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻠﻘﺐ ﺣﻤﺎﺭﺍ ﻭﻛﺎﻥ ﻳُﻀﺤﻚ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﺟﻠﺪﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﺍﺏ ﻓﺄﺗﻲ ﺑﻪ ﻳﻮﻣﺎ ﻓﺄﻣﺮ ﺑﻪ ﻓﺠﻠﺪ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﻡ: ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻟﻌﻨﻪ ﻣﺎ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺎ ﻳﺆﺗﻰ ﺑﻪ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: “ﻻ‌ ﺗﻠﻌﻨﻮﻩ ﻓﻮﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻋﻠﻤﺖ ﺇﻧﻪ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ”. 

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab bahwa seorang pria pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bernama Abdullah, dan dia dijuluki himar (keledai), dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa tertawa, dan adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukum jilid kepadanya karena mabuk.  Suatu hari dia (Nu'aiman) dihadapkan kepada Nabi untuk dihukum jilid, seorang lelaki berdo'a, "Ya Allah, laknatlah dia (Nu'aiman) atas perbuatan yang paling sering dilakukan (mabruk). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kamu mengutuk dia, karena demi Allah, apa yang aku ketahui bahwa dia sesungguhnya mencintai Allah dan Rasul-Nya." 

انتهى كلام الحافظ ابن حجر رحمه الله. قلت: فانظر رحمك الله أيها المنصف إلى سيرة هذا الصحابي ومحبته لرسول الله صلى الله عليه وسلم وإدخاله السرور إلى قلبه، فهو وإن حصل منه غفلة فقد تاب الله عليه بالحد الذي حده، فكيف تورد قصته في سياق التنقيص والرسول نهى عن لعنه وشهد له بأنه يحب الله ورسوله، جعلنا الله من أحبابه المخلصين والله أعلم

Penutup dari perkataan Imam Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah. Saya katakan, "Perhatikanlah, semoga Allah merahmatimu, wahai para mushannif (pengarang) biografi sahabat ini dan bagaimana cintanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membawa sukacita ke dalam hatinya. Jika dia pernah melakukan kelalaian maka Allah telah menerima taubatnya dengan hukuman had yang diterimanya. Bagaimana mungkin kita menolak kisahnya karena kekurangannya (sebagai pemabuk) sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk melaknatnya karena beliau bersaksi bahwa sesungguhnya dia mencintai Allah dan rasul-Nya. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang ikhlas mencintainya. Wallahu a'lam

Kisah diatas juga termaktub di dalam syarah kitab Ihya’ Ulumuddin karangan “Hujjatul Islam” Imam Al-Ghazali sebagai berikut,

Nu'aiman adalah sahabat yang hidup sezaman dengan Rasulullah, namun ada yang tidak senang dengan kebiasaan Nu'aiman yang hampir tiap pagi hari mabuk. Selain itu gemar bercanda bahkan sering iseng terhadap rasul.

Pernah suatu ketika, sesaat setelah sadar dari mabuknya, Nu'aiman merasa perutnya keroncongan karena lapar. Tanpa banyak pikir panjang, Nu'aiman mencegat penjual makanan yang kebetulan lewat di depan masjid lalu memesan dua bungkus.

Sembari menunggu penjual menyiapkan pesanannya, Nuaiman masuk halaman masjid lalu mengajak Rasul untuk makan bersama. Rasul kemudian berdiri dan menuju ke arah Nu'aiman yang sudah memegang dua bungkus makanan. Mereka berdua duduk lantas menyantap makanan tersebut.

Setelah makanan habis, Rasul hendak kembali ke masjid namun dihadang oleh Nu'aiman.

“Mau kemana ya Rasul? Habis makan masak tidak bayar,” kata Nu'aiman.

Rasul pun dengan senyumnya balik tanya, “Yang pesan kamu kan?”.

“Betul ya Rasul,” jawabnya sambil berdehem. Nu'aiman melanjutkan perkataannya, “Di mana-mana raja itu mengayomi rakyatnya, penguasa melayani warganya,  bos mentraktir karyawannya, masak saya yang harus bayar ya Rasul?”

Rasul lantas merogoh kocek sambil memberikan sejumlah uang kepada Nu'aiman dengan senyum yang agak terkekeh.

Pasca kejadian tersebut, kebiasaan mabuk Nu'aiman tak kunjung berhenti. Sampai suatu ketika beberapa sahabat menghampiri Nu'aiman yang masih dalam keadaan mabuk. Nu'aiman lantas berdiri karena beberapa sahabat tersebut menghampiri.

“Ada apa?” Tanya Nu'aiman.

“Salah seorang sahabat langsung memarahi Nu'aiman dengan makian. “Kamu ini setiap hari bersama Rasul, tapi kelakuan mu tetap saja seperti ini, apa nggak malu sama Rasul?”

Sahabat yang lain meneruskan, “Dasar kamu ini orang bejat, tidak pantas orang sepertimu mencintai  Rasul karena pasti bakal di laknat oleh Allah atas perbuatanmu ini”.

Dalam keadaaan beberapa sahabat masih memaki dan menghujat Nu'aiman, Rasulullah lewat dan langsung menanyakan apa yang sedang terjadi. Salah satu sahabat menceritakan kejadian sesaat sebelum Rasul datang.

Setelah mendengarkan keterangan, seketika Rasulullah memarahi para sahabat, “Jangan pernah sekali lagi kalian semua menghujat dan melaknat Nu'aiman, meskipun dia seperti ini tapi dia selalu membuatku tersenyum, dia masih mencintai Allah dan Aku, dan tidak ada hak bagi kalian melarang Nuaiman mencintai Allah dan mencintaiku sebagai Rasul-Nya."

Dalam sebuah riwayat hadits ada kisah penuh hikmah lainnya, 

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ. فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَىَّ رَقِيبًا فَقَالَ وَاللهِ لَا يَغْفِرُ اللهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ أَرْوَاحُهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهٰذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ». قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.

Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, 'Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada dua orang di Bani Isra’il yang bersaudara, salah satunya suka berbuat dosa dan yang lainnya rajin beribadah. Saudaranya yang ahli ibadah setiap melihat saudaranya yang suka berdosa maka dia menasihatinya, ‘Berhentilah kamu.’ Pada suatu saat, dia mendapatinya melakukan dosa lalu menasihatinya tetapi saudaranya yang berdosa mengatakan, ‘Biarkanlah diriku dengan Rabbku, apakah kamu diutus untuk mengawasiku?’ Maka saudaranya berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni dosamu atau tidak akan memasukkanmu ke surga.’ Akhirnya, keduanya dibangkitkan ruh keduanya maka keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam, lalu Allah mengatakan kepada yang rajin ibadah, ‘Apakah kamu lebih tahu daripada Aku? Apakah kamu memiliki kekuasaan apa yang berada pada Tangan-Ku.’ Dan Allah berfirman kepada yang berdosa, ‘Pergilah kamu dan masuklah ke surga dengan sebab rahmat-Ku’ dan mengatakan untuk saudaranya yang lain, ‘Seretlah dia ke neraka.’” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh dia telah mengucapkan suatu ucapan yang menyengsarakan dunia dan akhiratnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Dawud: 4901). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 25 November 2021

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Tiga (3) Warisan Rasulullah Yang Sering Terabaikan)

 


*Khutbah Pertama*

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن


عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

*Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah*

Diriwayatkan, sepeninggal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, putrinya, Siti Fatimah, meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar diberikan warisan dari harta peninggalan Nabi.

Namun, Abu Bakar menolak permintaannya. Karena Rasul pernah bersabda,

لا نُورَثُ ما تَرَكْنَا صَدَقَةٌ

“Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah [milik umat].” (HR Bukhari no.4035 dari Aisyah).

Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, 

إنَّ الأنْبِياءَ لَمْ يُورِّثُوا دِينَاراً وَلا دِرْهَماً وإنَّما ورَّثُوا الْعِلْمَ، فَمنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para Nabi ‘Alaihimush Shalatu wa sallam tidak mewariskan emas maupun perak yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

*Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah*

Dalam riwayat lain, dikisahkan pula bahwa sahabat Abu Hurairah merasa heran melihat banyak orang di salah satu pasar di Madinah, yang begitu sibuk berbisnis. Lalu, ke pada mereka Abu Hurairah bertanya, “Kalian di sini, tahukah kalian bahwa warisan Nabi sedang dibagikan di Masjid Nabawi?”

Mereka pun bergegas menuju masjid. Merasa tak ada pembagian warisan di sana, mereka dengan rasa kecewa kembali menemui Abu Hurairah. “Tak ada pembagian warisan di masjid,” sanggah mereka. 

Jawab Abu Hurairah, “Apa kalian tidak melihat di sana ada orang-orang yang sedang shalat, membaca Al-Qur'an, dan belajar tentang hukum-hukum Allah? Itulah warisan Nabi.” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).

Dua kisah ini menegaskan kepada kita bahwa warisan penting yang ditinggalkan Nabi Shallallahu ''alaihi wa sallam bukanlah harta, tetapi ajaran Islam. Karenanya, ahli waris Nabi bukanlah keturunannya, tetapi mereka para ulama. Nabi Shallallahu ''alaihi wa sallam, seperti diungkapkan para perawi hadits (ash-hab al-Sunan), berkata, Ulama adalah ahli waris para Nabi.

Sebagai ahli waris nabi, para ulama memikul beban dan tanggung jawab dakwah, yaitu kewajiban menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah, ila sabil-i rabbik.

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl [16]: 125) 

Melalui tabligh , amar makruf, dan nahi munkar, serta beramal saleh dan keluhuran budi pekerti. Hal inilah yang ditunjukkan sahabat Abu Bakar Shiddiq dan Abu Hurairah, dalam kisah di atas.

*Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah*

Belajar dari dakwah sahabat Abu Hurairah di atas maka ada dua hal yang secara absolut harus dimiliki oleh para ulama dan para dai. *Pertama, hikmah,* yakni ilmu dan kearifan dalam mengidentifikasi masalah dan memberikan jawab an (solusi) yang tepat dalam mengatasi masalah tersebut.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Allah menganugerahkan al-Hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan As-Sunah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 269).

*Kedua, qudwah hasanah,* yakni keteladanan baik dalam sikap maupun perilaku, sehingga sang dai layak menjadi tokoh panutan (patron client), atau model peran (role model). 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ - ٢١

"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS Al-Ahzab [33]: 21).

Warisan yang sesungguhnya adalah agama dan hikmah atau kebenaran yang bersifat universal. Setiap orang beriman, setingkat dengan ilmu dan kesanggupan yang dimiliki, diminta untuk menjaga “warisan suci” ini.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara [pusaka]. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunah Rasul.” (HR. Malik, Muslim dan Ash-hab al-Sunan).

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ

أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ 

وَٱلۡعَصۡرِ, إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ, إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ :

فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. 

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ 

اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ

 اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. 

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. 

رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. 

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Rabu, 17 November 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM SUAMI MENYUSU KEPADA ISTRINYA


Apakah jika suami menyusu pada istrinya sendiri menyebabkan mahram?

Ini kembali ke permasalahan persusuan. Persusuan sekali lagi bisa menyebabkan hubungan mahram sebagaimana hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ

“Persusun itu menjadikan mahram sebagaimana mahram disebabkan karena nasab.” (HR. Bukhari no. 3105 dan Muslim no. 1444).

Persusuan ini diistilahkan dengan rodho’ah. Dalam Fathul Qorib (2: 134), salah satu rujukan fikih dalam madzhab Syafi’i disebutkan, “Rodho’ah atau persusuan adalah sampainya air susu seorang wanita yang khusus ke dalam perut anak yang khusus dengan cara yang khusus.”

Dalam madzhab Syafi’i juga disebutkan bahwa wanita yang disusui (dihisap susunya) adalah masih hidup. Wanita yang disusui berumur 9 tahun, baik janda atau perawan, baik masih single ataukah sudah menikah.

Al-Qodhi Abu Syuja’ memberikan syarat untuk bisa persusuan menjadikan mahram :

1. Yang disusui berusia di bawah dua tahun.

2. Wanita tersebut menyesui sebanyak lima kali susuan secara terpisah.

3. Air susu tersebut sampai dalam perut dan standar jumlah persusuannya tersebut dilihat dari ‘urf (kebiasaan yang ada). Jika dianggap sudah satu kali persusuan atau beberapa kali, maka dianggap seperti itu. Jika yang disusui memutus persusuan diantara lima kali persusuan tersebut dengan melepas dari ambing susu, maka sudah dihitung beberapa kali susuan. (Lihat Fathul Qorib, 2: 135-137).

4. Dipersyaratkan dua tahun berdasarkan ayat,

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah: 233).

5. Dipersyaratkan lima kali susuan berdasarkan hadits,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata berkata, “Ketika Al Quran diturunkan yang berlaku adalah sepuluh kali susuan sehingga bisa menjadi mahram. Kemudian perkara tersebut dihapus menjadi lima kali susuan. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia dan demikianlah yang berlaku dalam Al Quran (yaitu lima kali susuan, -pen).” (HR. Muslim no. 1452).

Jadi, dibolehkan bagi seorang suami untuk menghisap puting istrinya. Bahkan hal ini dianjurkan, jika dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Sebagaimana pihak lelaki juga menginginkan agar istrinya memenuhi kebutuhan biologis dirinya.

Adapun suami minum susu istri, para ulama membolehkan jika membutuhkan, semacam untuk berobat. Akan tetapi, jika tidak ada kebutuhan, ulama di kalangan madzhab Hanafi berselisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang me-makruh-kan.

Dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah (5/355) disebutkan,

وَفِي شُرْبِ لَبَنِ الْمَرْأَةِ لِلْبَالِغِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ اخْتِلَافُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَذَا فِي الْقُنْيَةِ

“Tentang hukum minum susu wanita, untuk laki-laki yang sudah baligh tanpa ada kebutuhan mendesak, termasuk perkara yang diperselisihkan ulama belakangan. Demikian keterangan dalam  Al-Qunyah.”

Ada sebuah atsar dan hadits berikut. Alkisah diriwayatkan dalam al-Muwattha’ dan Sunan Abi Dawud, suatu ketika pada masa para sahabat ada seorang suami mendatangi Abu Musa Al-Asy’ari ra meminta fatwa karena telah menyusu istrinya. Lalu Abu Musa ra menghukumi Si Istri menjadi mahram suaminya itu karena telah menyusu kepadanya. Namun setelah mendapatkan keterangan lebih jelas dari Ibnu Mas’ud ra yang mengatakan secara tegas, “Tidak ada susuan yang menyebabkan (wanita yang menyusui) menjadi mahram kecuali susuan dalam usia bayi dua (2) tahun,” kemudian Abu Musa ra mencabut fatwanya. Bahkan sebagai apresiasi kepada Ibnu Mas’ud ra, ia secara jujur menyatakan,

لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا دَامَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ.

“Jangalah kalian bertanya (masalah hukum) apapun kepadaku selama ulama agung ini ada di antara kalian.” (Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf as-Syirazi, al-Muhaddzab pada at-Takmilah min Kitab al-Majmu’, [Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tth.], juz XX, halaman 85); dan (al-Mula Ali al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, juz X, halaman 115).

Nah, kisah pencabutan fatwa Abu Musa Al-Asy’ari ra dan apresiasinya kepada Ibnu Mas’ud ra tentu mengandung teladan, hendaknya orang tidak mudah memutuskan hukum-hukum agama kecuali telah lengkap atau komprehensif sumber-sumber hukumnya, apalagi di lingkungan sekitar terdapat ulama lain yang lebih lengkap referensinya. Selain itu, kisah keteladanan ini juga menginspirasi orang agar tidak pelit mengapresiasi kelebihan orang lain.

Inilah kelengkapan hadits dalam atsar sahabat tersebut,

عَنِ ابْنٍ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَجُلا كَانَ مَعَهُ امْرَأَتُهُ وَهُوَ فِي سَفَرٍ فَوَلَدَتْ فَجَعَلَ الصَّبِيُّ لا يَمُصُّ فَأَخَذَ زَوْجُهَا يَمُصُّ لَبَنَهَا وَيَمُجُّهُ حَتَّى وَجَدَ طَعْمَ لَبَنِهَا فِي حَلْقِهِ فَأَتَى أَبَا مُوسَى فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ” حُرِّمَتْ عَلَيْكَ امْرَأَتُكَ ” , فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ: أَنْتَ الَّذِي تُفْتِي هَذَا بِكَذَا وَكَذَا وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ “؟ 

Seorang putera Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa seorang suami membawa isterinya dalam sebuah perjalanan, dan isterinya melahirkan. Si bayi tidak mau menyusu, maka sang suami menyedot susu isterinya dan memberikannya untuk si bayi, hingga ia mendapatkan ada rasa susu di tenggorokannya. Dia lalu datang dan bertanya kepada Abu Musa al-Asy’ari, maka Abu Musa mengatakan, “Isterimu menjadi haram atas dirimu.” Kemudian sang suami datang kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah berkata kepada Abu Musa, “Engkau yang berfatwa demikian, sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Persusuan tidak berpengaruh kecuali jika menguatkan tulang dan menumbuhkan daging." (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi no.15.653)

Maksudnya, persusuan hanya berpengaruh jika dilakukan saat anak masih kecil dan membutuhkan susu.  Kelemahan atsar ini tidak berpengaruh pada permasalahan kita, karena tidak ada dalil yang mengharamkan suami menyusu dan meminum susu isterinya. Sedangkan tidak berpengaruhnya persusuan di atas umur dua tahun di dukung oleh banyak dalil lain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِn

“Penyusuan tidaklah menyebabkan jadi mahram kecuali susuan yang mengenyangkan perut, dan itu sebelum disapih.” (HR. Tirmidzi)

Kesimpulannya, boleh bagi suami untuk menyusu atau meminum susu istrinya, dan jika itu dilakukan, istrinya tetap menjadi istri yang sah dan halal baginya. Selamat menyusu wahai para suami !!!

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏

Selasa, 16 November 2021

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Pentingnya Kaderisasi dan regenerasi)

 


*Khutbah Pertama*

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: 

فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا 

وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

*Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,*

Regenerasi dan kaderisasi sangat penting dalam Islam. Sebab, suatu saat kita pasti akan berpulang menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau kita mati, apakah anak cucu kita masih Islam? Apakah mereka masih sholat? Bagi kiai yang mempunyai pesantren dan mempunyai lembaga pendidikan dakwah untuk berjuang (jihad fi sabililah). Setelah kita mati, apakah pendidikan yang telah diperjuangkan bisa lanjut atau tidak, madrasah dan TPQ sebagai sarana dakwah bisa lanjut apa tidak? Begitu juga bagi orang yang menjadi takmir. Setelah kita mati, apakah masjid yang telah diperjuangkan mati atau tidak? Apakah anak cucu kita sanggup melanjutkan dan mengurusi masjid atau tidak?

Sebagai ikhtiar yang menjamin keberlangsungan dakwah agama Islam, kita harus mempersiapkan anak-anak dan murid-murid kita supaya bisa melanjutkan dakwah serta perjuangan ini. Oleh karena itu, kaum muslimin rahimakumulah, regenerasi dan kaderisasi sangat penting kita lakukan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyarankan kepada kita supaya senantiasa mempersiapkan keturunan yang kuat-kuat. Maksudnya, kuat secara iman, fisik, ekonomi, ilmu dan jihad dalam perjuangannya. Allah memerintahkan kita untuk tidak mati dengan meninggalkan anak cucu yang lemah-lemah. Oleh karenanya, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 9.

وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا  ٩

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa' : 9)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengapresiasi kader-kader yang kuat fisik, mental, ekonomi dan imannya. Sebagai bekal untuk memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab, tanpa kekuatan, kita sulit memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala Dalam Kitab Bulughul Maram halaman 342. No. 8 Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,

المُؤْمِنُ القَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ.

"Orang mukmin yang kuat, jauh lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada orang mukmin yang lemah. Orang mukmin sama-sama baiknya, namun orang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala."

*Kaum Muslimin Rahimakumullah,*

Ikhtiar untuk melahirkan generasi yang kuat dan mampu melanjutkan perjuangan Islam dapat kita upayakan dengan beberapa cara.

Pertama, tentunya melalui pernikahan secara syar’i. Jangan sampai ada di antara kita yang mempunyai keturunan, anak dan cucu tanpa lewat pernikahan. Karena berdasarkan penelitian dan survei hampir semua anak manusia yang lahir lewat perzinahan rata-rata sulit disholihkan. Mereka sulit dididik lantaran proses awal kelahirannya sudah tidak benar. Oleh karena itu, kalau anak cucu kita ingin menjadi manusia yang baik dan kuat imannya, serta shqleh amal perbuatannya, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melalui pernikahan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kedua, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam mengutamakan sisi keagamaan seorang hamba, terutama dalam akhlak dan keshalihannya. Kategori inilah yang seharusnya diutamakan dalam menentukan pilihan calon suami maupun istri. Sebagai orang tua, jika ada orang sekaya dan sehebat apapun yang melamar anak kita, jangan diterima. Kecuali, agamanya benar-benar baik, khususnya mampu menjaga sholat dan seterusnya. Sebaliknya, jika anak kita dilamar orang yang biasa-biasa saja dan tidak terlalu kaya. Tapi dia ‘alim dan imannya luar biasa. Itulah yang layak dipilih untuk menjadi calon menantu kita dan akan melahirkan kader-kader yang melanjutkan perjuangan ini.

*Kaum Muslimin Rahimakumullah,*

Nabi mengingatkan, “Jangan sampai kita menolak pinangan orang yang agamanya baik dan akhlaknya juga baik.”

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْن دِيْنَه وخَلقَه فَزَوِّجُوه إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَة في الأرض وَفَسَاد كَبِيْر. (روى الترمذي: 1084)

"Jika ada anak laki-laki datang kepadamu, meminang putrimu, sekiranya anak laki-laki itu agamanya bagus, akhlaknya bagus, terima saja. Nikahkan dengan putrimu, jika tidak justru kamu matre, keduniaan dan memilih calon lain yang lebih kaya, tapi tidak shalat, maka akan terjadi kerusakan di muka bumi ini."

*Kaum Muslimin Rahimakumullah,*

Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,

عن عَبْد اللَّهِ بْن عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (رواه مسلم)

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash r.a, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari manusia dengan sekali cabutan, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika  tidak ada lagi ulama yang tersisa, maka manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya, lalu berfatwa tanpa landasan ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (H.R. Muslim)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Wafatnya ulama tak cukup hanya ditangisi, melainkan harus ada upaya regenerasi kader-kader pengganti para ulama yang telah pergi. Krisis kader ulama adalah hal yang cukup mengkhawatirkan dan harus mendapat perhatian serius. Oleh karena itu, Harus ada segolongan kaum muslimin yang memfokuskan diri untuk tafaqquh fiddin dan hadir di tengah-tengah umat sebagai lentera penerang yang membimbing mereka untuk lebih mengenal hakikat syari’at Islam.

*Kaum Muslimin Rahimakumullah,*

Terakhir, yaitu “lukmatul halal.” Sebagai upaya supaya anak cucu kita baik-baik dan sebagai modal bekal perjuangan agar mereka kuat imannya, maka berkerja yang baik, mencari rejeki dengan cara yang halal merupakan cara yang penting untuk menjada iman anak dan cucu kita. Jangan memakan apapun makanan yang tidak halal, jangan minum berbagai minuman yang tidak halal.

Dengan demikian, kalau anak istri kita, senantiasa diberi makanan yang halal dan berkah, insyaallah kelak mereka akan menjadi hamba yang kuat imannya, kuat Islamnya dan manfaat serta berkah ilmunya.

*Kaum Muslimin Rahimakumullah,*

Inilah, tanggung jawab kita sebelum kita mati, pastikan anak cucu kita sholat, mengaji dan mau mengurusi masjid. Kalau itu bisa kita lakukan, maka berbahagialah. Kita mati, agama tidak ikut mati, madrasah dan dakwah tidak ikut mati, dan pesantren tetap berlangsung. Dengan begitu, kita sudah memperjuangkan ihyaululmiddin, yakni menghidupkan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ

أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ 

وَٱلۡعَصۡرِ, إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ, إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ :

فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. 

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ 

اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ

 اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. 

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. 

رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. 

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Minggu, 07 November 2021

DOA SINGKAT DAN PADAT


اللَّهُمَّ لاَ تَدَعْ لَنَا ذَنْباً إِلاَّ غَفَرْتَهُ، وَلاَ عَيْباً إِلاَّ سَتَرْتَهُ، وَلا هَمّاً إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ دَيْناً إَلاَّ قَضَيْتَهُ، وَلاَ حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اللَّهُمَّ إِنِّا نسْأَلُكَ مُوْجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالْغَنِيْمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ شَرٍّ، وَالْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ، وَالنَّجَاةَ مِنَ النَّارِ

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي اْلأُمُوْرِ كُلِّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذاَبِ الآخِرَةِ

اللَّهُمَّ إِنِّا نعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ الْبَلاَءِ وَدَرْكِ الشَّقَاءِ وَسُوْءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ اْلأَعْدَاءِ

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لنا دِيْننا الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنا، وَأَصْلِحْ لنا دُنْيَانا الَّتِي فِيْهَا مَعَاشنا، وَأَصْلِحْ لنا آخِرَتنا الَّتِي إِلَيْهَا مَعَادنا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لنا فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لنا مِنْ كُلِّ شَرٍّ

اللَّهُمَّ اجْعَلْ أَوَّلَ هَذَا الْيَوْمِ صَلاَحاً، وَأَوْسَطَهُ فَلاَحاً وَآخِرَهُ نَجَاحاً وَنسْأَلُكَ خَيْرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللَّهُمَّ إِنِا نعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَنعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَمِنَ الْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَنعُوْذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

Ya Allah, janganlah Kau biarkan pada diri kami suatu dosa kecuali Kau ampuni, janganlah Kau biarkan suatu cacat kecuali Kau tutupi, janganlah Kau biarkan kesusahan kecuali Kau bukakan jalan keluar, janganlah Kau biarkan hutang kecuali Kau lunaskan, dan janganlah Kau biarkan hajat duniawi dan ukhrowi kecuali Kau penuhi, wahai Yang Maha Pengasih lebih dari mereka yang berhati kasih.

Ya Allah, kami mohon kepada-Mu segala yang mendatangkan rahmat-Mu, segala yang menimbulkan ampunan-Mu, kami mohon keberuntungan dari segala kebajikan, keselamatan dari berbagai kejahatan dan keberuntungan memperoleh sorga serta keselamatan dari api neraka.

Ya Allah, baikkanlah kesudahan segenap urusan kami, dan lindungilah kami dari kenistaan hidup di dunia dan siksaan hidup di akhirat.

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari beratnya cobaan, pedihnya kesengsaraan, buruknya keputusan dan kegembiraan musuh melihatku.

Ya Allah, perbaikilah  agama kami yang merupakan pelindung segala urusan kami, perbaikilah keadaan dunia kami yang merupakan tempat kehidupan kami, perbaikilah akhirat kami yang merupakan tempat kami kembali. Jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagi kami untuk berbuat segala kebajikan dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan akhir bagi kami dari segala kejahatan.

Ya Allah, jadikanlah permulaan hari ini kebaikan dan pertengahannya keberuntungan  serta akhirnya kesuksesan. Kami memohon kepada-Mu kebaikan dunia dan akhirat, wahai Yang Maha Pengasih lebih dari mereka yang berhati kasih.

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari duka cita dan kesusahan. Kami berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, serta dari rasa kikir dan jiwa pengecut. Kami berlindung kepada-Mu dari cengkraman hutang dan penindasan manusia. Aamiin