Selasa, 07 September 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH (BERZINA)

Selama ini banyak terjadi remaja yang hamil di luar nikah kemudian langsung dinikahkan hanya untuk menutupi aibnya. Dan yang mengenaskan lagi, laki-laki yang dinikahinya bukanlah orang yang menghamilinya. Tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam pergaulan bebas. Tidak heran jika banyak remaja yang masih usia belia telah menikah disebabkan hamil duluan hasil dari perbuatan zina.

Ada dua hal yang sepertinya perlu dijawab, yaitu bagaimana status hukum seorang laki-laki menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain dan hukum wanita hamil yang dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya di luar nikah.

Menurut madzhab Asy-Syafi’I dan Abu Hanifah serta Muhammad al-Hasan membolehkan seorang yang berzina dan menghamili seorang wanita, maka dia dibolehkan menikah dengannya dan menggaulinya. Tetapi jika yang menikahi wanita yang hamil karena perzinaan tersebut adalah laki-laki lain, maka dalam hal ini dia hanya boleh menikahinya dan tidak boleh menggaulinya, ini menurut Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan. Atas dasar pendapat tersebut, maka yang lebih baik adalah jika laki-laki yang pernah berzina dengan wanita tersebut menikahinya. Bukan menikah dengan laki-laki lain. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah,

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak boleh menikah kecuali dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur : 3). 

Syeikh Nawawi Al-Bantani menjelaskan dalam karyanya Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib, 

ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح 

"Kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya (yang dihamilinya) selama masa kehamilan." 

Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa yang lebih layak menikahi wanita hamil karena zina adalah lelaki yang menghamilinya.

Jadi, menurut Ulama’ Syafi’iyah sepakat boleh dan sah akad nikahnya. Sama saja laki-laki itu adalah orang yang menghamili perempuan itu atau bukan orang yang menghamili perempuan itu.

Referensi :

(فرع) لو نكح حاملاً من الزنا صح نكاحه بلا خلاف. وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد.

(روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 8 / ص 375))

(Cabang) Jika menikah dengan wanita hamil dari hasil zina maka pernikahannya sah tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat ulama). Apakah suaminya boleh menggaulinya sebelum bayi lahir? Ada dua pandangan yang paling, benar adalah ya boleh (jika suaminya yang menghamilinya) ketika tidak haram baginya (jika hamil dengan orang lain) dan menurut Ibnu Al-Haddad melarangnya (tidak membolehkan (menggaulinya). (Raudhah At-Thalibin wa 'Umdah Al-Muttaqin juz 8 hal. 375).

(مسألة: ي ش): يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. 

(بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي – (ص 201))

“Diperbolehkan menikahi wanita yang hamil karena zina baik yang menzinahinya atau orang lain, hanya saja menyetubuhinya saat masih hamil hukumnya makruh.” (Bughyah Al-Mustarayidin hal. 201).

لونكح حاملا من زنا صح نكاحه قطعا وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح ولوجهل حال الحمل هل هو من زنا أومن وطء الشبهة حمل على أنه من الزنا كمانقله الشيخان عن الروياني. (حاشية الباجوري – (ج 2 / ص 169) دار إحياء الكتب)

Jika dia menikahi wanita hamil dari zina, maka pernikahannya sah secara mutlak dan diperbolehkan baginya untuk bersetubuh dengannya sebelum kelahirannya (anak) menurut pendapat yang paling benar. Dan jika tidak mengetahui waktu kehamilan apakah itu hasil dari zina atau dari hasil persetubuhan yang masih samar maka kehamilannya adalah hasil dari zina sebagaimana telah dikatakannya oleh Imam Bukhari Muslim dari Imam Ar-Rauyani. (Hashiyat Al-Bajuri juz 2 hal. 169, Darr Ihya' Al-Kutub).

قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ: وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْل الْفَتْوَى مِنْ الْأَمْصَار عَلَى أَنَّهُ لَا يَحْرُم عَلَى الزَّانِي تَزَوُّج مَنْ زَنَى بِهَا، فَنِكَاح أُمّهَا وَابْنَتهَا أَجْوَزُ. (فتح الباري لابن حجر – (ج 9 / ص 164))

Berkata Ibnu Abdilbar, "telah sepakat konsensus para mufti Mesir bahwa sesungguhnya tidaklah haram laki-laki pezina menikahi wanita yang dizinahinya, menikahi ibunya atau menikahi anaknya dibolehkan." (Fath Al-Bari Ibnu Hajar Al-Asqalani juz 9 hal. 164).

وَلا تُشْتَرَطُ التَّوْبَةُ لِصِحَّةِ نِكَاحِ الزَّانِيَةِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ وَمَعَ الْقَوْلِ بِجَوَازِ نِكَاحِ الْحَامِلِ مِنَ الزِّنَى فَلا فَرْقَ فِي حِلِّ نِكَاحِهَا لِلزَّانِي وَغَيْرِهِ. (الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج 16 / ص 272))

Dan tidak disyaratkan bertaubat untuk keafsahan nikahnya wanita pezina menurul jumhur ulama fiqih beserta pernyataan kebolehan menikahi wanita hamil hasil zina, tidak ada perbedaan kehalalan menikahinya bagi laki-laki pezina atau laki-laki lainnya (yang bukan pezina). (Al-Mausu'at Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah juz 16 hal. 273).

Catatan : Bernasab kepada ibu yang mengandungnya, bila diyakini anak dari perzinahan dan anak itu seperti anak lahir sebelum enam bulan dari pernikahan. 

(قَوْلُهُ: وَيَقُوْلُ فِي وَلَدِ الزِّناَ إلخ) أَيْ لاِنَّهُ لاَ يُنْسَبُ إَلَى أَبٍ، وَإِنَّمَا يُنْسَبُ إِلىَ أُمِّهِ. (إعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ : 2 / 146)

“Musonnif berkata tentang anak zina “karena anak zina tidak bernasab kepada bapak akan tetapi bernasab kepada ibu.” (I'anah At-Thalibin juz 2 hal. 146)

فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ  وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ : إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِه. (ألْحَاوِي الْكَبِيْر : 8 / 454)

“Madzhab Syafi’i sesungguhnya anak zina tidak bisa bernasab kepada yang menzinahinya walaupun dia mengakuinya, imam Abu Hanifah berkata, "apabila orang yang menzinahi menikahi wanita yang ia zinahi sebelum wanita itu melahirkan walaupun jarak sehari maka anak tersebut bernasab dengan orang yang menzinahi ibunya, dan apabila tidak menikahi maka tidak bernasab.” (Al-Hawi Al-Kabir juz 8 hal. 454).

Anak itu bernasab kepada orang yang menikahi apabila:

1. Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, namun suami wajib menafikan anak apabila ia yakin anak itu bukan anaknya, seperti ia tidak pernah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.

2. Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia yakin itu anaknya, sebab ia telah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.

3. Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia tidak tahu apakah kehamilan istrinya dari pernikahan atau dari perzinahan.

(مسألة : ي ش) : نَكَحَ حَامِلاً مِنَ الزِّناَ فَوَلَدَتْ كَامِلاً كَانَ لَهُ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ .... وَإِمَّا لاَحِقٌ بِهِ وَتَثْبُتُ لَهُ اْلأَحْكَامُ إِرْثاً وَغَيْرَهُ ظاَهِراً ، وَيَلْزَمُهُ نَفْيُهُ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لأَكْثَرَ مِنَ السِّتَّةِ وَأَقَلَّ مِنَ اْلأَرْبَعِ السِّنِيْنَ، وَعَلِمَ الزَّوْجُ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ بِأَنْ لَمْ يَطَأْ بَعْدَ الْعَقْدِ وَلَمْ تَسْتَدْخِلْ مَاءَهُ،.......  وَإِمَّا لاَ حَقَّ بِهِ وَيَحْرُمُ نَفْيُهُ بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ، وَوَرَدَ أَنَّهُ كُفْرٌ إِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ مِنْهُ ، أَوِ اسْتَوَى اْلأَمْرَانِ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ إِلَى أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ وَطْئِهِ. (بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ : 1 /  496)

“Seseorang yang menikahi wanita yang hamil karena zina kemudian wanita itu melahirkan anak yang sempurna, maka ada empat hukum terkait dengannya. Adakalanya anak itu ditemukan (bernasab) dengan orang yang menikahi ibunya serta ditetapkannya beberapa hukum padanya seperti hukum warits dan yang lain, namun secara lahiriah saja, dan wajib baginya (orang yang menikahi) menafikan anak tersebut seperti anak itu lahir diatas enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, serta suami mengetahui atau menduga kuat bahwa anak itu bukan anaknya, sebab ia tidak pernah mengumpuli dan istrinya tidak pernah memasukkan seperma. Dan adakalanya anak itu bernasab serta haram bahkan dosa besar bagi suami menafikannya bila ia menduga kuat bahwa itu anaknya, atau kemungkinan sama (mungkin itu anaknya atau anak hasil zina) seperti anak itu lahir tidak kurang dari enam bulan dan tidak melebihi empat tahun dari dia mengumpuli istrinya.” (Bughyah Al-Mustarsyidin juz 1 hal. 496).

يحل بالاتفاق للزاني أن يتزوج بالزانية التي زنى بها، فإن جاءت بولد بعد مضي ستة أشهر من وقت العقد عليها، ثبت نسبه منه، وإن جاءت به لأقل من ستة أشهر من وقت العقد لا يثبت نسبه منه. (الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 9 / ص 140))

Menurut kesepakatan ulama halal bagi laki-laki pezina menikah dengan wanita yang dizinahinya, maka apabila lahir anak setelah lewat enam bulan dari waktu akad pernikahannya, maka ditetapkan nasab atasnya. Dan apabila anak lahir dibawah enam bulan dari waktu akad pernikahannya, maka tidak ditetapkan nasab kepadanya (tetapi kepada ibunya). (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh juz 9 hal. 140). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar