Kamis, 18 Maret 2021

KAJIAN TENTANG KONTROVERSI NABI MUHAMMAD SAW MELIHAT ALLAH TA'ALA SAAT MI'RAJ

Salah satu perdebatan seputar Isra’ dan Mi’raj adalah, apakah dalam peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad melihat Allah secara langsung dengan mata kepala? Bila menilainya hanya dengan akal tentu sulit menerima. Tapi bila agama hanya didasarkan pada akal maka akan rusak.

Agama adalah riwayat bukan berdasar akal semata. Dalam konteks ini akal hanya pelengkap. Oleh karena, ketika berita Isra’ dan Mi’raj sampai kepada Abu Bakar, beliau berkata, “Kalau yang bicara adalah Nabi Muhammad, lebih dari itu aku pasti percaya”.

Pertanyaan di atas sebenarnya telah terjadi sejak dulu. Pada era sahabat, perdebatan apakah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Allah langsung dalam Mi’rajnya menjadi wacana hangat. Seperti telah maklum, ada yang percaya dan adapula sebaliknya.

Perdebatan terjadi antara Aisyah dan Ibnu Abbas. Aisyah menyatakan:

مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا – صلى الله عليه وسلم – رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ . ثُمَّ قَرَأَتْ لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Siapa yang berkata padamu bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Tuhannya maka ia telah berdusta, lalu beliau membaca, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (HR Bukhari).

Sedangkan Ibnu Abbas  dalam musnad Imam Ahmad (Juz 6: 212), menyatakan sebaliknya.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه رَأَيْتُ رَبِّى تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “Aku telah melihat Tuhanku yang Maha Suci dan Maha Tinggi.” (HR Ahmad)

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bary jilid 8 hal.708, setelah menyebutkan pendapat-pendapat yang menyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Tuhannya dan pendapat yang sebaliknya, berkata, “Hadits-hadits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Tuhannya, ada yang diriwayatkan secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang diriwayatkan secara mutlak. Oleh kerana itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-hadits yang mutlak tersebut kepada hadits-hadits yang muqayyad”.

Kemudian Ibnu Hajar rahimahullah menggabungkan (menjamak) antara kedua pendapat yang kelihatannya saling bertentangan tersebut dengan menyatakan, “Dengan ini kita dapat mengumpulkan antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Allah) dengan pendapat Aisyah yang justru mengingkarinya yaitu dengan membawa pengingkaran Aisyah kepada penglihatan dengan mata, adapun penetapan Ibnu Abbas adalah penglihatan dengan hatinya."

Berkata Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi: “Jamak (penggabungan) dari Ibnu Hajar ini sangat bagus dan dengan ini kita dapat mengambil seluruh riwayat-riwayat tersebut”. (Al-Iman, karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi hal. 24).

Ibnu Abbas, dalam konteks ini, menyimpulkan bahwa peristiwa Nabi Muhammad melihat Allah adalah pernyataan yang tak mungkin diambil berdasarkan Ijtihad, sebab bukan ranah ijtihad karena tidak bisa dinalar dengan akal. Dengan model analisa ini, menurut para ulama, pendapat Ibnu Abbas lebih kuat. Seputar perbedaan pendapat para ulama, lebih detailnya dijelaskan dalam kitab As-Syifa Bita’rif Huquq Al-Mustafa juz 1 hal.195-196.

Namun demikian dalam Tafsir As-Sa'di, Tafsir Al-Baghawi, Tafsir At-Thobari, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurthubi memang saat menjelaskan makna surat An-Najem ayat 13-14 adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat malaikat Jibril 'alaihissalam,

وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ. عِندَ سِدْرَةِ الْمُنتَهَىٰ 

"Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha." (QS. An-Najm : 13-14). Dan Imam Al-Qurthubi mengutip riwayat Imam Muslim dari Aisyah radhiyallaha 'anha berikut dalam tafsirnya,

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ دَاوُدَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ كُنْتُ مُتَّكِئًا عِنْدَ عَائِشَةَ فَقَالَتْ يَا أَبَا عَائِشَةَ ثَلَاثٌ مَنْ تَكَلَّمَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ قُلْتُ مَا هُنَّ قَالَتْ مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ قَالَ وَكُنْتُ مُتَّكِئًا فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْظِرِينِي وَلَا تَعْجَلِينِي أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ } { وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى } فَقَالَتْ أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا مِنْ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ فَقَالَتْ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ } أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ { وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ } قَالَتْ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ وَاللَّهُ يَقُولُ { يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ } قَالَتْ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يُخْبِرُ بِمَا يَكُونُ فِي غَدٍ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ وَاللَّهُ يَقُولُ { قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ } و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ حَدِيثِ ابْنِ عُلَيَّةَ وَزَادَ قَالَتْ وَلَوْ كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ لَكَتَمَ هَذِهِ الْآيَةَ { وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ } حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ هَلْ رَأَى مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبَّهُ فَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَقَدْ قَفَّ شَعَرِي لِمَا قُلْتَ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِقِصَّتِهِ وَحَدِيثُ دَاوُدَ أَتَمُّ وَأَطْوَلُ

Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Dawud dari asy-Sya'bi dari Masruq dia berkata, "Ketika aku duduk bersandar di samping Aisyah, maka dia berkata, 'Wahai Abu Aisyah (Masruq)! Ada tiga perkara, barangsiapa yang memperbincangkan salah satu darinya, berarti dia telah melakukan pembohongan yang amat besar terhadap Allah.' Aku bertanya, 'Apakah tiga perkara itu? ' Aisyah menjawab, 'Pertama, barangsiapa mengklaim bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Tuhannya maka sungguh dia telah membesarkan kebohongannya terhadap Allah.' Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata, 'Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru, (dengarlah kata-kataku ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman,

 وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ

 'Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain.' (QS. Al Takwir: 23). Dan Firman Allah, 

وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى

'Dan sungguh Muhammad telah melihat 'dia' dalam bentuk rupanya yang asal sekali lagi.' (QS. An Najm: 13). 

Maka Aisyah menjawab, 'Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau telah menjawab dengan bersabda, "Yang dimaksud 'dia' dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), aku tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan bumi.' Kemudian Aisyah berkata lagi, 'Apakah kamu tidak pernah mendengar bahwa Allah, 

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

'Dia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat dan mengetahui hakikat segala penglihatan mata, dan Dialah Yang Maha Bersifat Lemah Lembut lagi Maha Mendalam pengetahuannya.' (QS. Al An'am: 103). Atau, apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah,

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ 

 'Dan tidaklah layak bagi seorang manusia, bahwa Allah mengajaknya berbicara kecuali berupa wahyu (dengan diberi mimpi) atau dari balik dinding (dengan mendengar suara saja) atau dengan mengutuskan utusan (Malaikat), lalu utusan itu menyampaikan wahyu kepadanya dengan izin Allah sesuatu yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana'. (QS. Asy Syura: 51). Kemudian Aisyah berkata lagi, 'Barangsiapa yang mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyembunyikan sebagian dari kitab Allah, maka sungguh dia telah membesarkan pendustaan terhadap Allah, sebagaimana firman Allah,

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ 

'Wahai Rasulullah, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu, dan jika kamu tidak melakukannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya) ' (QS. Al Maidah: 67). 

Kemudian Aisyah berkata, "Barangsiapa mengklaim bahwa dia mampu mengabarkan tentang takdir yang akan terjadi besok, maka sungguh dia telah membesarkan kebohongan terhadap Allah. Allah berfirman, 

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّه

'Katakanlah (hai Muhammad), tidak satu pun makhluk yang di langit dan bumiyang mengetahui kegaiban kecuali Allah'. (QS. An Naml: 65). 

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami Dawud dengan sanad ini semisal hadits Ibnu Ulayyah, dan dia menambahkan, "Aisyah berkata, 'Kalau seandainya Muhammad telah menyembunyikan sebagian dari wahyu yang diturunkan kepadanya, niscaya dia menyembunyikan ayat ini, 

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ

'(Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang mana Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, 'Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah', sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu sesuatu yang mana Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti) ' (QS. al-Ahzab: 37). 

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Ismail dari asy-Sya'bi dari Masruq dia berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah, 'Apakah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Rabbnya? ' Dia menjawab, 'Maha Suci Allah, sungguh bulu kuduku merinding karena perkataan yang kamu ucapkan tadi'." Lalu dia membawakan hadits tersebut dengan kisahnya. Dan hadits Dawud lebih sempurna dan panjang."  (HR. Muslim no. 259, Abu Daud dan At-Tirmidzi no.2994)

Terdapat di dalam hadits yang shahih pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menegaskan bahwa manusia apapun tidak mungkin melihat Tuhannya di dunia. Beliau bersabda,

تعلَّموا أنه لن يرى أحد منكم ربه عز وجل حتى يموت

“Yakini, bahwa seorang pun diantara kalian tidak akan bisa melihat Tuhannya sampai dia mati.” (HR. Muslim 7283, Ahmad dalam Musnadnya 5/433)

Yang menjadi perbedaan ulama adalah apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj ataukah tidak?

Perselisihan semacam ini adalah perbedaan pendapat yang masing-masing bisa ditoleransi. Karena itu, memilih pendapat apapun yang disukai dan diyakini dalam hal ini tidak dihukumi bersalah atau layak divonis memiliki aqidah menyimpang. 

Imam Adz-Dzahabi ulama madzab Hambali mengatakan,

ولا نعنف من أثبت الرؤية لنبينا في الدنيا، ولا من نفاها، بل نقول الله ورسوله أعلم، بل نعنف ونبدع من أنكر الرؤية في الآخرة، إذ رؤية الله في الآخرة ثبتت بنصوص متوافرة…

Kita tidak boleh bersikap keras terhadap orang yang berpendapat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia maupun yang berpendapat sebaliknya. Sikap yang tepat, kita mengatakan, Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Dan kita bersikap keras dan menilai sesat orang yang mengingkari Allah bisa dilihat pada hari kiamat. Karena keterangan bahwa Allah bisa dilihat pada hari kiamat terdapat dalam berbagai dalil yang shahih (Siyar A’lam Nubala’, juz 10 hal. 114).

Pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, mereka meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj. Sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Ibnu Taimiyah ulama madzab Hambali beliau mengatakan,

كان النزاع بين الصحابة في أن محمدا صلى الله عليه وسلم هل رأى ربه ليلة المعراج؟ فكان ابن عباس رضي الله عنهما وأكثر علماء السنة يقولون: إن محمدا صلى الله عليه وسلم رأى ربه ليلة المعراج وكانت عائشة رضي الله عنها وطائفة معها تنكر ذلك

"Perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat adalah apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya pada malam isra mi’raj? Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan mayoritas ulama ahlus sunah berpendapat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya ketika isra mi’raj. Sementara Aisyah dan beberapa tokoh yang bersamanya, mengingkari aqidah ini." (Majmu’ Fatawa, 3/386).

Beberapa riwayat yang mendukung pendapat ini,

a. Keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, tentang firman Allah di surat An-Najm, yang artinya, ‘Sesungguhnya Muhammad telah melihat-nya pada waktu yang lain,  (yaitu) di Sidratil Muntaha.’ Ibnu Abbas menjelaskan tentang ayat ini,

رأى ربه فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى

"Beliau melihat Tuhannya dan mendekat. Sehingga jaraknya seperti dua busur atau lebih dekat." (HR. Turmudzi 3280)

b. Dari Qatadah, bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

رأى محمدٌ ربَّه

“Nabi Muhammad melihat Tuhannya” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunah no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Bab Tauhid no. 280)

c. Keterangan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau ditanya oleh Marwan bin Hakam, apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya. Jawab beliau, ‘Ya, beliau telah melihatnya.’ (HR. Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunah no. 218, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad, no. 908).

Ada juga pendapat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan hati.

Terdapat satu hadits yang mendukung pendapat ini, namun haditsnya lemah/dhaif. Karena statusnya hadits mursal. Hadits tersebut dari seorang tabi'in, Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Apakah anda melihat Tuhan anda?’ jawab beliau,

رأيته بفؤادي، ولم أره بعيني

“Saya melihat dengan mata hatiku dan tidak dengan mata kepalaku.” (HR. At-Thabari 27/46-47, dan Ibnu Abi Hatim no. 18699)

Diantara riwayat lain yang mendukung pendapat ini (bahwa Nabi melihat Allah) adalah keterangan Ibnu Abbas menurut salah satu riwayat dari Abul Aliyah,

أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى ربه بفؤاده مرتين

"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya dengan hatinya dua kali." (HR. Muslim no. 176, Ahmad dalam musnad 1/223).

Kemudian, dalam hadits dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu 'anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Nabi melihat Allah ketika isra mi’raj? Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نور أنى أراه

“Ada cahaya, bagaimana aku melihat-Nya.”

Dalam riwayat lain, “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim 178, Turmudzi 3282, Ahmad 21392, dan yang lainnya).

Pendapat lainnya adalah tawaqquf (tidak mengambil sikap)

Diantara yang berpendapat demikian adalah Sa’id bin Jubair, ulama tabi'in, murid Ibnu Abbas. Said pernah mengatakan,

لا أقول رآه ولا لم يره

“Saya tidak berpendapat Nabi melihat Allah, tidak pula berpendapat beliau tidak melihat Allah.” (HR. Abu Ya’la, simak Masail fi Ushul Ad-Diyanat, hlm. 66)

Imam Al-Qodhi Iyadh (Ulama Syafi’iyah) mengatakan,

ووقف بعض مشايخنا في هذا، وقال: ليس عليه دليل واضح، ولكنه جائز أن يكون

"Beberapa guru kami tidak mengambil sikap dalam perselisihan ini. Mereka mengatakan, ‘Tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini. Meskipun secara logika itu memungkinkan untuk terjadi." (As-Syifa, juz 1 hal.261). 

Syaikh Ibnu Athoillah As-Sukandari menyampaikan diawali dengan firman Allah Azza wa Jalla,

وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ

"Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui." (QS. Al-An’am 18)

الحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِذْ لَوْحَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ ماَحَجَبَهُ وَلَوكاَنَ لَهُ ساَتِرٌ لَكاَنَ لِوُجُوْدِهِ حاَصِرٌ وَكُلُّ حاَصِرٍ لشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قاَهِرٌ

"Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya."

يَعْنِي أَنَّ الحِجاَبَ لاَ يَتَّصِفُ بِهِ الحَقُّ سُبْحاَنَهُ وَتَعاَلىَ ِلاسْتِحاَلَتِهِ فيِ حَقِّهِ

"Yakni, bahwa penghalang tidak akan pernah terjadi menyertai Allah Subhanahu wa Ta’ala Al-Haq Subhanallah, karena hal itu mustahil bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala."

وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ أَيُّهاَ العَبْدُ بِصِفاَتِكَ النَّفْساَنِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ وَعاَلَجَهاَ

"Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan."

إِن الحِجاَبَ يَرْتَفِعُ عَنْكَ فَتَصِلُ إِلىَ النَّظْرِ إِلَيْهِ بِعَيْنِ بَصِيْرَتِكَ وَهُوَ مَقاَمُ الإِحْساَنِ الَّذِي يُعَبِرُوْنَ عَنْهُ بِمَقاَمِ المُشاَهَدَةِ

"Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihat-Nya, apabila anda tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar