Sebelum membahas tentang Niyahah terlebih dahulu kita harus bisa memahami perbedaan antara Tahlilan, Niyahah dan Ma'tam.
*TAHLILAN*
TAHLILAN secara bahasa berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah.”
Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia.
Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya.
قال النبي صلى الله عليه وسلم الدعاء والصدقة هدية إلى الموتى
وقال عمر : الصدقة بعد الدفنى ثوابها إلى ثلاثة أيام والصدقة فى ثلاثة أيام يبقى ثوابها إلى سبعة أيام والصدقة يوم السابع يبقى ثوابها إلى خمس وعشرين يوما ومن الخمس وعشرين إلى أربعين يوما ومن الأربعين إلى مائة ومن المائة إلى سنة ومن السنة إلى ألف عام
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Do'a dan shadaqah yg dihadiahkan kepada mayyit."
Berkata Umar ra, "shadaqah setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shadaqah dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shadaqah tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari." (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)
Jadi TAHLILAN adalah nama dari suatu kegiatan yg berisi bacaan ayat ayat Al-Qur’an, bacaan Dzikir LAA ILAAHA ILLALLOH, bacaan Istighfar, bacaan Tasbih, bacaan Shalawat dan doa yg dilakukan baik secara berjama’ah ataupun sendiri sendiri, baik ketika ada seorang muslim yg meninggal dunia ataupun tidak. Yang dibaca ketika TAHLILAN diantaranya:
1. Membaca Surat Al-Fatihah
2. Membaca Surat Yasin.
3. Membaca Surat Al-Ikhlash.
4. Membaca Surat Al-Falaq
5. Membaca Surat An-Naas
6. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 5
7. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 163
8. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi)
9. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 284 sampai akhir Surat.
10. Membaca Istighfar : ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴْﻢَ
11. Membaca Tahlil : ﻻَ ﺍِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ
12. Membaca Takbir : ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ
13. Membaca Tasbih : ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ
14. Membaca Tahmid : ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟﻠﻪِ
15. Membaca shalawat Nabi.
16. Membaca Asma’ul Husna.
17. Membaca do’a.
Imam an-Nawawi rahimahullah :
“Sebuah cabang : tidak dihukumi makruh pada pembacaan Qur’an secara berkumpul (berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)”. (Al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi ).
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عن أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah seatu kaum yang duduk bersama (dalam perkumpulan) untuk berdzikir kepada Allah, melainkan mereka dikelilingi oleh para malaikat, mereka diliputi oleh rahmat serta turun atas mereka ketetapan hati dan Allah akan membanggakan mereka kepada para malaikat yang didekatnya.” (HR. Muslim)
ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة ، وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده
“Tidaklah suatu kaum berkumpul diantara rumah-rumah Allah sambil membaca Kitabullah, dan saling mempelajari diantara mereka. Kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, dan diberikan rahmat serta malaikat akan menaunginya. Dan mereka akan diingat disisi Allah.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من أعان على ميت بقرأة أو بذكر فاستوجب الله له الجنة
"Barang siapa menolong mayyit dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan dzikir, maka Alloh memastikan surga baginya.” (HR. ad-Darimy dan Nasa’I dari Ibnu Abbas)
تصد قوا على انفسكم وعلى امواتكم ولو بشر بة ماء فان لم تقدروا على ذالك فبأية من كتاب الله تعالى فان لم تعلموا شيئا من القران فادعوا لهم بالمغفرة والر حمة فان الله وعدكم الاجابة.
"Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air seteguk. Jika kalian tak mampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika kalian tidak mengerti Al-Qur’an, berdo’alah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh, ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ telah berjanji akan mengabulkan do’a kalian.” (Tankihul Qaul hlm : 28).
*NIHAYAH*
Menurut Imam Nawawi adalah :
“Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulang-ulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis”. Adapun menangisi mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram” (Al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [147)
Imam al-‘Imrani di dalam al-Bayan mengatakan,
“Dan haram meratap atas orang mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut dan mencoreng-coreng wajah”. (Al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafi’i lil-Imam al-‘Imraniy)
Al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz
“Demikian juga niyahah (meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan menjambak-jambak (mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram”. (Fathul ‘Aziz)
Berdasarkan dari qoul para ulama tersebut maka dapat kita fahami bahwa secara garis besar arti dari NIYAHAH adalah MERATAP.
Jadi Niyahah beda jauh dengan TAHLILAN dan Tahlilan itu bukan NIYAHAH.
*MA’TAM*
Menurut Ibnu Barri, “Ibnu Barri mengatakan, "tidak bisa dihindari untuk memahami Ma’tam dengan pengertian perempuan-perempuan yang meratap, kesedihan, ratapan dan tangisan, karena semua inilah yang menyebabkan para perempuan berkumpul, dan kesedihan merupakan sebab adanya perkumpulan”.
Menurut Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshariy Asy-Syafi’i,
“Ma’tam adalah sebuah perkumpulan perempuan pada terjadinya mushibah”.
(Al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafi’i lil-Imam al-‘Imraniy)
Berdasarkan dari qoul para ulama tsb maka dapat kita fahami bahwa secara garis besar arti dari MA’TAM adalah suatau perkumpulan yg bertujuan utk melakukan Niyaahah atau Ratapan.
Jadi Ma’tam beda jauh dengan TAHLILAN dan Tahlilan itu bukan Ma’tam.
Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894 dituliskan,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى
“Muhammad bin al-‘Ala’ (Guru Imam Bukhari dan Imam Muslim) beliau menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). *Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya.* Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi, tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’” (HR. Abu Daud)
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ»
"Bahwasanya jika ada salah seorang anggota keluarganya (‘Aisyah) wafat, maka berkumpullah kaum wanita. Lalu mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang tertentu, lalu Aisyah pun memerintahkan untuk memasak talbinah (bubur tepung), lalu dibuatkan tsarid, lalu dia menuangkan talbinah itu di atasnya, lalu berkata: “Makanlah bubur ini! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Talbinah bisa menyegarkan hati orang yang sakit, dan menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
*Apa itu Niyahah?*
Niyahah adalah jika seseorang bersedih dan menangisi mayit serta menghitung-hitung berbagai kebaikannya. Ada yang mengartikan pula bahwa niyahah adalah menangis dengan suara keras dalam rangka meratapi kepergian mayit atau meratap karena di antara kemewahan dunia yang ia miliki lenyap. Niyahah adalah perbuatan terlarang. Demikian penjelasan penulis ‘Aunul Ma’bud ketika menjelaskan maksud niyahah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 8: 277).
Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
« أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).
Ulama besar Syafi’iyah, Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mengenai orang yang melakukan niyahah lantas tidak bertaubat sampai mati dan disebutkan sampai akhir hadits, menunjukkan bahwa haramnya perbuatan niyahah dan hal ini telah disepakati. Hadits ini menunjukkan diterimanya taubat jika taubat tersebut dilakukan sebelum mati (nyawa di kerongkongan).” (Syarh Muslim, 6: 235)
Akhir-akhir ini beredar fatwa menyesatkan yang isinya selamatan atau tahlilan untuk mayit dapat menyebabkan siksa bagi mayit. Dalil yang mereka gunakan adalah tentang larangan niyahah atau meratapi mayit. Dalam berbagai hadits dan kitab fikih, semua telah maklum bahwa niyahah atau meratapi mayit dengan menangis disertai menyobek baju, menjambak rambut, dll adalah haram dengan nash hadits dan ijam’ ulama. Sedangkan menangis yang tidak mengeluarkan suara keras dan tidak disertai kemungkaran di atas adalah boleh, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat putranya Ibrahim meninggal dunia, beliau juga menangis.
Yang menjadi masalah adalah ketika dalil niyahah dipakai untuk menghukumi tahlilan kematian. Ini merupakan analog hukum yang sesat menyesatkan. Dilihat dari segi terminologi jelas beda antara niyahah dengan tahlilan. Niyahah adalah meratap dan kegiatannya adalah menangis disertai mengungkit kebaikan mayit, menyobek baju, dan menjambak rambut, yang menunjukkan ketidak ihlasan keluarga atas kepergian mayit. Perbuatan ini jelas dilarang agama melalui nash hadits dan ijmak ulama. Sedangkan tahlilan berarti membaca dzikir baik al-Qur’an atau lainnya, kemudian ditutup dengan doa dengan tujuan mendoakan mayit agar diampuni dosa dan dilapangkan kuburnya yang mana perbuatan ini jelas dianjurkan agama melalui nash dan pendapat ulama. Jadi, kaum wahabi yang mengatakan tahlilan sama dengan niyahah adalah analog hukum yang salah alamat.
Adapun beberapa referensi wahabi mengambil pendapat dari Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al Umm berkata,
وأكره النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما أمر الله عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن
“Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan. Karena berkumpul seperti itu pun hanya membuat keluarga mayit mengungkit kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318).
Fatwa Imam Asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm tersebut tidak ada pembahasan tentang tahlilan. Beliau hanya tidak menyukai berkumpul di rumah duka tanpa ada kegiatan positif. Karena itu akan menambah kesusahan keluarga mayit. Sekali lagi, akan menambah kesusahan keluarga mayit, tidak ada hubungannya dengan menambah siksa mayit.
Seperti keterangan di atas bahwa tahlilan adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an dan dzikir lainnya kemudian berdoa dihadiahkan kepada mayit, maka perbuatan ini disepakati oleh ulama diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan. Dalam kitab I’anatutthalibin dijelaskan:
وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ عَلَى نَدْبِ قِرَاءَةِ مَا تَيَسَّرَ عِنْدَ الْمَيِّتِ وَالدُّعَاءِ عَقِبَهَا، أَيْ لِأَنَّهُ حِينْئَذٍ أَرْجَى لِلْإِجَابَةِ.
“Dan sungguh Imam as-Syafi’i dan ulama penerusnya secara terang-terangan menyunnahkan membaca al-Qur’an secukupnya di sisi mayit dan berdoa setelahnya. Maksudnya karena doa setelah membaca al-Qur’an lebih diharapkan terkabul.”
Adapun beberapa keterangan dalam kitab yang menjelaskan bacaan Al-Qur’an menurut Imam Asy-Syafi’i tidak sampai ke mayit itu jika tidak didoakan dan diperuntukkan ke mayit, maka memang terjadi khilaf. Tapi jika ada niat dihadiahkan dan didoakan untuk mayit, maka dalam madzhab Asy-syafi’iyyah sepakat boleh dan dianjurkan. Hal ini ditulis oleh Syaikh Sulaiman al-Bujairami dlm kitab Tuhfah al-Habib, II/574):
ثُمَّ إنَّ مَحِلَّ الْخِلَافِ حَيْثُ لَمْ يُخْرِجْهُ مَخْرَجَ الدُّعَاءِ، كَأَنْ يَقُولَ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ قِرَاءَتِي لِفُلَانٍ، وَإِلَّا كَانَ لَهُ إجْمَاعًا كَمَا ذَكَرَهُ فِي الْمَدْخَلِ.
“Kemudian sungguh konteks perbedaan ulama tentang sampainya pahala itu sekira tidak dikemas dalam kemasan doa, seperti pelakunya berdoa: “Ya Allah, jadikanlah pahala bacaan al-Qur’anku untuk Fulan”, dan jika tidak demikian maka hadiah pahala sampai kepada mayit sesuai Ijma’ ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibn al-Hajj dalam kitabnya al-Madkhal.”
Kaum Wahabi juga menukil pendapat Imam an-Nawawi dlm al-Majmu’,
وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة
“Adapun yang dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan dan mengumpulkan orang-orang di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan dalam hal ini. Hal ini termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan.” (Lihat Al Majmu’, 5: 320).
Perlu diketahui bahwa qaul Imam An-Nawawi tersebut ditulis dalam bab niyahah atau meratap mayit. Bahwa termasuk meratap adalah sekedar berkumpul di rumah duka tanpa ada kegiatan apa-apa, maka menurut Imam An-Nawawi tidak dianjurkan.
Akan tetap dalam bab do'a terhadap mayit Imam An-Nawawi jelas mengatakan dalam kitab Al-Adzkar dan Al-Majmu’ bahwa sesuai fatwa Imam Asy-Syafi’i membaca Al-qur’an disisih mayit sangat dianjurkan, bahkan jika bisa khatam itu lebih baik. (lihat Al-adzkar dan Al-Majmu’). Artinya, Imam An-Nawawi juga menganjurkan membaca al-qur’an dan lainnya untuk dihadiahkan kepada mayit. Karena itu dapat bermanfaat bagi mayit.
*Hadits tentang larangan niyahah*
Terdapat beberapa hadits yg menunjukkan hal itu, berikut diantaranya,
Hadits dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الحَيِّ عَلَيْهِ
"Mayit disiksa karena tangisan orang yang hidup untuknya." (HR. Bukhari 1292 & Muslim 930).
Kemudian, hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati wanita yahudi yang meninggal dan ditangisi keluarganya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُمْ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا
"Mereka menangisi wanita itu, sementara si wanita itu disiksa di kuburnya." (HR. Bukhari 1289)
*Tangisan seperti apakah yang menyebabkan mayit disiksa?*
Ada hadits lain yg menggunakan lafadz berbeda,
Dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
"Siapa yang diratapi maka dia disiksa karena ratapan yang ditujukan kepadanya." (HR. Bukhari 1291 & Muslim 927).
Kemudian, disebutkan dalam hadits Ibnu Umar
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabatnya pernah menjenguk Sa’d bin Ubadah yang ketika itu sedang dirundung kesedihan seluruh keluarganya. Melihat suasana sedih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa dia sudah meninggal?”
’Belum, ya Rasulullah.’ jawab keluarganya.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis. Para sahabatpun ikut menangis. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ تَسْمَعُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ العَيْنِ، وَلاَ بِحُزْنِ القَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا – وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ – أَوْ يَرْحَمُ، وَإِنَّ المَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
"Tidakkah kalian mendengar, bahwa Allah tidak menyiksa disebabkan tetesan air mata atau kesedihan hati. Namun Allah menyiksa atau merahmati disebabkan ini, – beliau berisyarat ke lisannya -. Sesungguhnya mayit disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya." (HR. Bukhari 1304 & Muslim 924).
Dari dua hadits di atas, kita bisa memahami bahwa tangisan yang menyebabkan mayit disiksa adalah *tangisan ratapan. Tangisan sebagai ungkapan tidak terima dan tidak ridha terhadap taqdir dan keputusan Allah.* Bukan tangisan karena kesedihan semata. Karena menahan tangisan kesedihan, di luar kemampuan manusia. Sampaipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak bisa menahan bentuk tangisan itu.
Makna semacam ini, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ بَاكِيهِ، فَيَقُولُ: وَاجَبَلَاهْ وَاسَيِّدَاهْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، إِلَّا وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَلْهَزَانِهِ: أَهَكَذَا كُنْتَ؟
"Ketika ada orang yang mati, kemudian keluarga yang menangisinya itu meratapinya dengan mengatakan, ’Duhai sandaran hidupku, duhai pahlawanku…’ atau semacamnya, maka Allah menyuruh Malaikat untuk mendorong-dorong dadanya sambil ditanya, ”Apa benar kamu dulu seperti itu.” (HR. Turmudzi 1003).
Kalimat semacam ini, *’Wahai pujaanku kenapa kau tinggalkan aku, pahlawanku, sandaran hidupku,'* dst. merupakan ungkapan yang menunjukkan bahwa keluarganya tidak menerima taqdir Allah dengan kematiannya. Sehingga hukuman yang diberikan Allah adalah dia dipukuli Malaikat, sambil dihina dengan pertanyaan, ”Apa benar kamu seperti yang diucapkan orang itu?.”
*Mengapa Mayit Ikut Disiksa?*
Permasalahan berikutnya, mengapa mayit turut disiksa karena tangisan mereka yang hidup? Padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun. Tangisan itu adalah kesalahan keluarganya yang ditinggal mati.
Kita simak keterangan an-Nawawi,
واختلف العلماء في هذه الأحاديث فتأولها الجمهور على من وصى بأن يبكى عله ويناح بعد موته فنفذت وصيته فهذا يعذب ببكاء أهله عليه ونوحهم لأنه بسبه ومنسوب إليه
"Ulama berbeda pendapat tentang maksud hadits bahwa mayit disiksa karena ratapan keluarganya. Mayoritas ulama memahami bahwa hukuman itu berlaku untuk mayit yang berwasiat agar dia ditangisi dan diratapi setelah dia meninggal. Kemudian wasiatnya dilaksanakan. Maka dia disiksa dengan tangisan dan ratapan keluarganya karena kematiannya. Karena dia menjadi penyebab adanya tangisan itu."
قالوا فأما من بكى عليه أهله وناحوا من غير وصية منه فلا يعذب لقول الله تعالى ولا تزر وازرة وزر أخرى قالوا وكان من عادة العرب الوصية بذلك
"Mereka juga mengatakan, mayit yang ditangisi keluarganya dan diratapi tanpa ada wasiat sebelumnya, maka dia tidak disiksa, berdasarkan firman Allah, (yang artinya), ”Seseorang tidak menanggung dosa yang dilakukan orang lain.”
Mereka mengatakan, bahwa bagian dari kebiasaan orang arab, mereka berwasiat agar diratapi. (Syarh Shahih Muslim, 6/228) Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar