Selasa, 29 September 2020

KAJIAN TENTANG LARANGAN MENGUNGKIT DAN MERENDAHKAN ORANG LAIN

Di antara bentuk penyakit dan maksiat lisan (lidah) adalah mengungkit-ungkit pemberian kepada orang lain. Misalnya seseorang mengatakan kepada temannya, “Bukankah dulu aku yang telah memenuhi kebutuhanmu saat kamu kesusahan, mengapa sekarang melupakanku?” atau kalimat-kalimat semacam itu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan (pahala) sedekah kalian dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti (yang diberi).” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنّاً وَلا أَذىً لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 262)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.”

Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Orang yang melakukan isbal (memanjangkan pakaian sampai melebihi mata kaki karena sombong), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang (berusaha) membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 106)

Demikian halnya termasuk penyakit hati dan lisan adalah sifat sombong yang salah satu tandanya suka merendahkan orang lain.

Merendahkan orang lain itu sangat sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, apalagi kita sebagai manusia pasti banyak sekali kata-kata orang yang menghina diri kita. Sedangkan apabila kita mengerjakan sesuatu yang tidak dapat di pahami oleh orang lain pasti akan dianggap remeh. Tapi tahukah anda orang yang diremehkan dan di hina boleh jadi lebih mulia di sisi Allah.

Ada beberapa wasiat yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Jurayy Jabir bin Sulaim. Wasiat yang pertama adalah jangan sampai menghina dan meremehkan orang lain. Boleh jadi yang diremehkan lebih mulia dari kita di sisi Allah.

Abu Jurayy Jabir bin Sulaim, ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang perkataannya ditaati orang. Setiap kali ia berkata, pasti diikuti oleh mereka. Aku bertanya, “Siapakah orang ini?” Mereka menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Aku berkata, “‘Alaikas salaam (bagimu keselamatan), wahai Rasulullah (ia mengulangnya dua kali).” Beliau lalu berkata, “Janganlah engkau mengucapkan ‘alaikas salaam (bagimu keselamatan) karena salam seperti itu adalah penghormatan kepada orang mati. Yang baik diucapkan adalah assalamu ‘alaik (semoga keselamatan bagimu.”

Abu Jurayy bertanya, “Apakah engkau adalah utusan Allah?” Beliau menjawab, “Aku adalah utusan Allah yang apabila engkau ditimpa malapetaka, lalu engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan menghilangkan kesulitan darimu. Apabila engkau ditimpa kekeringan selama satu tahun, lantas engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untukmu. Dan apabila engkau berada di suatu tempat yang gersang lalu untamu hilang, kemudian engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan mengembalikan unta tersebut untukmu.”

Abu Jurayy berkata lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah wasiat kepadaku.”

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat,

لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا

“Janganlah engkau menghina seorang pun.” Abu Jurayy berkata, “Aku pun tidak pernah menghina seorang pun setelah itu, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun seekor domba.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya,

وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ

“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau dengan berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan. Tinggikanlah sarungmu sampai pertengahan betis. Jika enggan, engkau bisa menurunkannya hingga mata kaki. Jauhilah memanjangkan kain sarung hingga melewati mata kaki. Penampilan seperti itu adalah tanda sombong dan Allah tidak menyukai kesombongan. Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722).

Di antara wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah janganlah menghina orang lain. Setelah Rasul menyampaikan wasiat ini, Jabir bin Sulaim pun tidak pernah menghina seorang pun sampai pun pada seorang budak dan seekor hewan.

Dalam surat Al Hujurat, Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa ayat di atas berisi larangan melecehkan dan meremehkan orang lain. Dan sifat melecehkan dan meremehkan termasuk dalam kategori sombong sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91). Yang dimaksud di sini adalah meremehkan dan menganggapnya kerdil. Meremehkan orang lain adalah suatu yang diharamkan karena bisa jadi yang diremehkan lebih mulia di sisi Allah seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 713).

Ingatlah orang  jadi mulia di sisi Allah dengan ilmu dan takwa. Jangan sampai orang lain diremehkan dan dipandang hina. Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11)

Seorang mantan budak pun bisa jadi mulia dari yang lain lantaran ilmu. Coba perhatikan kisah seorang bekas budak berikut ini.

أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ لَقِىَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ فَقَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِى فَقَالَ ابْنَ أَبْزَى. قَالَ وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى قَالَ مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا. قَالَ فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى قَالَ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ. قَالَ عُمَرُ أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ »

Dari Nafi’ bin ‘Abdil Harits, ia pernah bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfaan. ‘Umar memerintahkan Nafi’ untuk mengurus Makkah. Umar pun bertanya, “Siapakah yang mengurus penduduk Al Wadi?” “Ibnu Abza”, jawab Nafi’. Umar balik bertanya, “Siapakah Ibnu Abza?” “Ia adalah salah seorang bekas budak dari budak-budak kami”, jawab Nafi’. Umar pun berkata, “Kenapa bisa kalian menyuruh bekas budak untuk mengurus seperti itu?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah seorang yang paham Kitabullah. Ia pun paham ilmu faroidh (hukum waris).” ‘Umar pun berkata bahwa sesungguhnya Nabi kalian -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda, “Sesungguhnya suatu kaum bisa dimuliakan oleh Allah lantaran kitab ini, sebaliknya bisa dihinakan pula karenanya.” (HR. Muslim no. 817).

Demikiam Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan dan semoga bermanfaat. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar