Rabu, 22 Juli 2020
KAJIAN TENTANG KENCING UNTA MINUMAN NAJIS YANG DIANGGAP ISLAMI
Dalam sebuah hadits riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,
قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَوْمٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِلِقَاحٍ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا
"Ada sejumlah orang dari suku Ukl dan Urainah yang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka mengalami sakit karena tidak betah di Madinah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi kandang unta, dan menyuruh mereka untuk minum air kencingnya dan susunya." (HR. Bukhari 1501 & Muslim 4447)
Dalam riwayat lain dinyatakan, bahwa orang yang minum susu dan kencing unta ini menjadi gemuk.
فَفَعَلُوا فَصَحُّوا وَسَمِنُوا
"Merekapun melakukan saran itu, hingga mereka sehat dan menjadi gemuk."
Namun demikian kita pahami dulu kelengkapan hadits diatas sebagai berikut,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِيْنَةَ، فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِلِقَاحٍ، وَأَنْ يَشْرَبُوْا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا، فَانْطَلَقُوْا فَلَمَّا صَحُّوْا قَتَلُوْا رَاعِيَ النَّبِيِّ، وَاسْتَاقُوْا النَّعَمَ، فَجَاءَ الْخَبَرُ فِيْ أَوَّلِ النَّهَارِ، فَبَعَثَ فِيْ آثَارِهِمْ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيْئَ بِهِمْ، فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوْا فِيْ الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُوْنَ فَلَا يُسْقَوْنَ، الحديث. (رواه البخاري)
Dari Anas ra. berkata: Sekelompok orang datang dari Suku ‘Ukl atau ‘Urainah, lalu mereka merasa tidak nyaman di Madinah (hingga sakit). Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya, lalu mereka pergi menuju kandang unta. *Ketika sudah sembuh, mereka membunuh penggembala unta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membawa kabur unta-unta tersebut. Kemudian kabar tersebut datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelang siang, lalu beliau mengutus orang untuk menelusuri jejak mereka. Ketika matahari sudah meninggi, utusan tersebut datang membawa mereka. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka, mencongkel mata mereka, lalu mereka dibuang di padang pasir yang panas. Mereka meminta minum namun tidak diberi (minum)."* (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits yang berakhir tragis diatas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh sekelompok orang tersebut untuk meminum air kencing dan susu unta. Hal inilah yang sengaja dipraktekkan oleh UBN (lihat video), mencampur air kencing dan susu unta kemudian meminumnya. Berdasarkan fakta tersebut, banyak yang merespon tentang bagaimana cara memahami dan mengamalkan substansi suatu hadits.
Pemahaman terhadap teks hadits merupakan salah satu aspek yang harus menjadi perhatian, disamping juga mengetahui bagaimana keorisinilan hadits untuk dapat diamalkan. Selain itu, perlu adanya konfirmasi terhadap literatur syarah (penjelas) suatu hadits apakah bisa diamalkan atau tidak.
Dalam Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Batthal menjelaskan bahwa terdapat dua pendapat yang merespon hadis tersebut. Pertama, air kencing unta tersebut dihukumi suci menurut Atha’, an-Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Sirin, Malik bin Anas, dan lain sebagainya. Kelompok yang pertama ini berpendapat bahwa hadits tersebut menunjukkan tentang bolehnya meminum air kencing dan memposisikannya seperti air susu. Mereka menganggap bahwa tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan meminum air kencing unta apabila memang dihukumi najis. Kedua, air kencing unta tersebut dihukumi najis menurut Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Hammad, dan lain sebagainya. Kelompok yang kedua ini berpendapat bahwa air kencing dihukumi najis dan (berdasarkan hadits tersebut) hanya boleh diminum bagi orang yang sakit.
Selanjutnya, mengamalkan suatu hadits juga perlu dikonfirmasi konteks yang melatarbelakanginya, syari’at pengamalannya, maupun tujuan yang menyertainya. Lebih lanjut, dalam kitab Kaifa Nata’amal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan tentang tiga prinsip dasar dalam memahami dan mengamalkan suatu hadits, yaitu sebagai berikut:
1. Meneliti dengan seksama kesahihan hadits yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadits yang kredibel.
2. Memastikan bahwa teks tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits lainnya yang lebih kuat kedudukannya.
3. Memahami dengan benar teks-teks hadits yang berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan makna tekstual, kontekstual, serta sebab munculnya hadits tersebut.
Berdasarkan poin pertama, hadits tentang air kencing unta tersebut memang shahih, mengingat diriwayatkan (dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya.
Berdasarkan poin kedua, hadits tersebut tampak bertentangan dengan ayat-ayat yang menjelaskan tentang keharaman mengkonsumsi sesuatu yang najis dan menjijikkan. Dalam Ma’ayir al-Halal wa al-Haram, Ali Mustafa Yaqub mengelompokkan air kencing ke dalam kategori sesuatu yang najis dan menjijikkan, bahkan term menjijikkan terkadang bisa dimaknai dengan najis. Selain itu, meminum air kencing juga dianggap mengkonsumsi sesuatu yang najis dan menjijikkan.
Berdasarkan poin ketiga, hadits tersebut harus dimaknai tidak hanya secara tekstual, melainkan juga secara kontekstual serta aspek-aspek yang menyebabkan munculnya hadits tersebut. Aspek munculnya kebolehan minum air kencing unta dalam hadits tersebut disebabkan kondisi darurat yang dialami oleh sekelompok orang. Kondisi darurat adalah ketika terjadi suatu hal yang mengancam jiwa dan keselamatan. Apabila hanya sekedar sakit saja, maka belum bisa diklaim sebagai kondisi darurat. Perlu diperiksa kembali oleh ahli kesehatan apakah sakit tersebut mengancam jiwa dan keselamatan seseorang.
Secara kontekstual, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi mengkritik banyak orang yang keliru memahami hadits dengan mencampuradukkan antara sarana dan tujuan. Jika memang air kencing unta diklaim sebagai bagian dari ath-thib an-nabawi, maka hal tersebut seharusnya lebih cenderung dipahami sebagai sarana saja. Lebih lanjut, setiap sarana dan prasarana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya, bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat manusia dengan sarananya.
Bukankah air kencing hewan itu memang najis? Para ulama membagi dua kategori najis. Pertama, benda yang disepakati ulama status najisnya, yaitu daging babi, darah, air kencing manusia, muntah dan kotoran manusia, khamar, nanah, madzi, dan lain sebagainya.
Kedua, benda yang diperdebatkan ulama perihal status najisnya, yaitu anjing, kulit bangkai, air kencing anak kecil yang belum makan apapun selain ASI, mani, cairan pada nanah, dan lain sebagainya. Air kencing unta termasuk kategori kedua ini. Hal ini disebutkan secara rinci oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli sebagai berikut,
ثانياً ـ النجاسات المختلف فيها: اختلف الفقهاء في حكم نجاسة بعض الأشياء… بول الحيوان المأكول اللحم وفضلاته ورجيعه: هناك اتجاهان فقهيان: أحدهما القول بالطهارة، والآخر القول بالنجاسة، الأول للمالكية والحنابلة، والثاني للحنفية والشافعية.
“Jenis kedua adalah najis yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ahli fikih berbeda pendapat perihal status najis sejumlah benda ini... Salah satunya adalah air kencing, kotoran, dan zat sisa tubuh hewan yang boleh dimakan. Disini pandangan ulama fikih terbelah menjadi dua. Satu pandangan menyatakan suci. Sementara pandangan lainya menyatakan najis. Pandangan pertama dianut oleh madzhab Maliki dan Hanbali. Sedangkan pandangan kedua diwakili oleh madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‘i,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405, juz I, halaman 160).
Bagi Madzhab Maliki dan Hanbali, status air kencing dan kotoran hewan yang halal dimakan yaitu unta, sapi, kambing, ayam, burung dara, dan aneka unggas tidak najis. Tetapi bagi Madzhab Maliki, air kencing hewan yang memakan atau meminum benda najis juga berstatus najis sehingga air kencing dan kotorannya menjadi najis. Berlaku juga bila hewan-hewan ini makruh dimakan, maka air kencing dan kotorannya juga makruh. Jadi status kencing hewan itu mengikuti status kenajisan daging hewan itu sendiri sehingga status air kencing hewan yang haram dimakan adalah najis. Sedangkan status air kencing hewan yang halal dimakan adalah suci.
Kedua madzhab ini mendasarkan pandangannya pada izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memerintahkan masyarakat Ukl atau Urani meminum air kencing dan susu unta sebagaimana hadits diatas. Bagi kedua madzhab ini, kebolehan shalat di kandang kambing menunjukkan kesucian kotoran dan air kencing hewan tersebut. Adapun Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i memandang status kotoran dan air kencing unta adalah najis sehingga keduanya memasukkan kotoran dan air kencing unta ke dalam kategori benda yang haram dikonsumsi. Mereka mendasarkan pandangannya pada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa kotoran hewan itu najis. Sedangkan kedua madzhab ini memahami hadits perihal masyarakat Uraiyin sebagai izin darurat Rasulullah untuk kepentingan pengobatan.
وقال الشافعية والحنفية: البول والقيء والروث من الحيوان أو الإنسان مطلقاً نجس، لأمره صلّى الله عليه وسلم بصب الماء على بول الأعرابي في المسجد، ولقوله صلّى الله عليه وسلم في حديث القبرين: «أما أحدهما فكان لا يستنزه من البول»، ولقوله صلّى الله عليه وسلم السابق: «استنزهوا من البول» وللحديث السابق: «أنه صلّى الله عليه وسلم لما جيء له بحجرين وروثة ليستنجي بها، أخذ الحجرين ورد الروثة، وقال: هذا ركس، والركس: النجس». والقيء وإن لم يتغير وهو الخارج من المعدة: نجس؛ لأنه من الفضلات المستحيلة كالبول. ومثله البلغم الصاعد من المعدة، نجس أيضاً، بخلاف النازل من الرأس أو من أقصى الحلق والصدر، فإنه طاهر. وأما حديث العرنيين وأمره عليه السلام لهم بشرب أبوال الإبل، فكان للتداوي، والتداوي بالنجس جائز عند فقد الطاهر الذي يقوم مقامه.
“Madzhab Syafi’i dan Hanafi berpendapat bahwa air kencing, muntah, dan kotoran baik hewan maupun manusia mutlak najis sesuai perintah Rasulullah SAW untuk membasuh air kencing Arab badui di masjid, sabda Rasulullah SAW perihal ahli kubur, ‘salah satunya tidak bersuci dari air kencing,’ sabda Rasulullah SAW sebelumnya, ‘Bersucilah dari air kencing,’ dan hadits sebelumnya bahwa Rasulullah SAW–ketika dua buah batu dan sepotong kotoran binatang yang mengering dihadirkan di hadapannya untuk digunakan istinja–mengambil kedua batu, dan menolak kotoran. ‘Ini adalah najis,’ kata Rasulullah SAW. Sementara muntah–sekalipun tidak berubah bentuk adalah sesuatu yang keluar dari dalam perut–adalah najis karena ia termasuk sisa tubuh yang ‘berubah’ seperti air kencing. Hal ini sama najisnya dengan lender yang keluar dari dalam perut. Lain soal dengan lendir yang turun dari kepala, pangkal tenggorokan atau dada. Lendir ini suci. Sedangkan terkait perintah Rasulullah kepada warga Uraniyin untuk meminum air kencing unta, maka ini berlaku untuk pengobatan. Pengobatan dengan menggunakan benda najis boleh ketika obat dari benda suci tidak ditemukan dan benda najis dapat menggantikannya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405, juz I, halaman 160).
Kalau mau diperjelas, kita dapat mencari tahu alasan empat madzhab ini ke dalam dua pandangan yang berbeda. Ibnu Rusyd mencoba memetakan persoalan yang melahirkan dua pandangan berbeda. Ia mengidentifikasi dua sebab yang memicu perbedaan tajam di kalangan ulama perihal status najis kotoran dan air kencing unta sebagai berikut,
وسبب اختلافهم شيئان: أحدهما اختلافهم في مفهوم الإباحة الواردة في الصلاة في مرابض الغنم وإباحته عليه الصلاة والسلام للعرنيين شرب أبوال الإبل وألبانها وفي مفهوم النهي عن الصلاة في أعطان الإبل. والسبب الثاني اختلافهم في قياس سائر الحيوان في ذلك على الإنسان فمن قاس سائر الحيوان على الإنسان ورأى أنه من باب قياس الأولى والأحرى ولم يفهم من إباحة الصلاة في مرابض الغنم طهارة أرواثها وأبوالها جعل ذلك عبادة، ومن فهم من للعرنيين أبوال الإبل لمكان المداواة على أصله في إجازة ذلك قال: كل رجيع وبول فهو نجس ومن فهم من حديث إباحة الصلاة في مرابض الغنم طهارة أرواثها وأبوالها وكذلك من حديث العرنيين وجعل النهي عن الصلاة في أعطان الإبل عبادة أو لمعنى غير معنى النجاسة، وكان الفرق عنده بين الإنسان وبهيمة الأنعام أن فضلتي الإنسان مستقذرة بالطبع وفضلتي بهيمة الأنعام ليست كذلك جعل الفضلات تابعة للحوم والله أعلم.
“Sebab perbedaan pandangan mereka terdiri atas dua hal. Pertama, perbedaan mereka dalam memahami status mubah shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di kandang kambing, izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Uraniyin untuk meminum susu dan air kencing unta, dan larangan Rasul untuk shalat di kandang unta. Kedua, perbedaan mereka dalam menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia. Ulama yang menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia dan memandangnya dari qiyas aulawi atau lebih-lebih lagi utama–, dan tidak memahami dari status mubah shalat di kandang kambing sebagai kesucian kotoran dan kencingnya di mana itu menjadi ibadah–, dan orang yang memahami izin meminum air kencing unta sebagai kepentingan pengobatan, akan berpendapat bahwa semua kotoran dan kencing makhluk hidup dari jenis apapun adalah najis. Sedangkan ulama yang memahami kesucian kotoran dan kencing kambing dari hadits yang membolehkan shalat di kandang kambing, dari hadits masyarakat Uraniyin, atau larangan shalat di kandang unta sebagai makna lain selain najis, di mana baginya jelas perbedaan antara jenis manusia dan jenis hewan di mana kotoran sisa dari manusia dianggap kotor secara alamiah, tidak berlaku pada kotoran sisa dari jenis hewan, memandang status kotoran sisa jenis makhluk apapun sesuai dengan kategori daging tersebut (halal atau haram di makan). Wallahu a‘lam,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan kelima, 2013 M/1434 H, halaman 79-80).
Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan pandangan ulama dan hadits yang memperbolehkan meminum air kencing unta? Kita dianjurkan untuk bersikap bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan ulama. dengan kata lain, kita harus menghargai hasil ijtihad para ulama dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Adapun perihal sikap kita terhadap hadits yang memperbolehkan meminum air kencing unta, kita sebaiknya hati-hati. Kita boleh mengikuti pandangan yang mana saja tanpa harus menyalahkan pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Sedangkan dalam hemat kami, kita perlu melihat hadits tersebut dalam kaitannya misalnya dengan pengobatan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat kembali bagaimana para ulama ushul fikih memetakan perbuatan rasul ke dalam dua bagian besar yaitu, pertama perbuatan yang disyariatkan, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, jual beli, dan seterusnya yang perlu diikuti soal sah dan tidaknya. Kedua, perbuatan rasul yang tidak disyariatkan sehingga tidak wajib diikuti. Ulama ushul fikih merinci perbuatan rasul jenis kedua yang bukan termasuk bagian dari syariat menjadi tiga kategori. Pertama, perbuatan rasul sebagai makhluk hidup yaitu makan, minum, tidur, diri, duduk, jalan. Kedua, perbuatan rasul sebagai makhluk budaya (pengalaman dan eksperimen dalam soal keduniaan, bisa ditiru dan bisa dikoreksi) yaitu perdagangan, pertanian, strategi perang, pengaturan tentara, soal pengobatan, dan bidang lainnya. Rasulullah pernah dikoreksi oleh petani kurma Madinah yang gagal panen karena mempraktikkan teknik pertanian yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah dikoreksi oleh salah seorang sahabat yang lebih berpengalaman dalam hal perang perihal penempatan pasukan di lokasi tertentu. Ketiga, perbuatan rasul yang bersifat khusus (haram ditiru) yaitu beristri lebih dari empat orang, memutuskan perkara dengan seorang saksi, puasa wishal, kewajiban shalat dhuha, tahajud, witir.
Terlepas dari perbedaan pendapat empat madzhab, hadits yang memperbolehkan minum air kencing unta untuk kepentingan pengobatan dapat dipahami berdasarkan kategori kedua. Artinya, meminum air kencing unta dapat dibenarkan untuk kepentingan pengobatan dengan catatan, pertama tidak ada lagi obat lain selain air kecing unta, kedua air kencing unta terbukti secara klinis mutakhir merupakan obat atas penyakit tersebut. Artinya, pertimbangan ilmu pengetahuan medis paling mutakhir perlu menjadi pertimbangan utama dalam hal ini. Jangan sampai justru mendatangkan bakteri, membuat mudharat baru secara medis, atau tidak memberikan efek positif apapun sementara kotoran binatang itu terlanjur masuk ke tubuh kita.
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar