Sabtu, 25 Juli 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM DISKUSI ILMIAH MASALAH DUNIA DI DALAM MASJID


Masjid bagi umat Islam tidak hanya sebatas tempat beribadah, tetapi juga berfungsi untuk tempat belajar agama, sosialisasi, musyawarah, dan kegiatan sosial lainnya. Pada masa Rasul pun masjid digunakan untuk berbagai kepentingan selama tidak melanggar aturan syariat. Banyak hadits mengisahkan bahwa masjid dijadikan tempat tinggal, belajar, dan diskusi oleh sebagian sahabat.

Kendati masjid multifungsi, namun perlu diingat bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai tempat beribadah. Adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang berada di masjid menghormati fungsi utama masjid ini dengan cara menjaga adab dan tidak melakukan hal-hal lain yang dapat menganggu kenyaman orang beribadah.

Tidak diragukan lagi bahwa masjid hakikatnya didirikan untuk menegakkan peribadahan kepada Allah Ta’ala; ber-tasbih, mendirikan shalat, membaca kalam Ilahi, dan berdoa kepada-Nya,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَار

“Di rumah-rumah yang di sana Allah telah memerintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana ber-tasbih (menyucikan)-Nya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nur: 36-37).

Pada ayat ini dijelaskan bahwa masjid adalah tempat untuk menegakkan ibadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar menegakkan peribadatan kepada-Nya tidaklah menjadi terlalaikan atau tersibukkan dari peribatannya hanya karena mengurusi perniagaan dan pekerjaannya. Apalagi sampai menjadikan masjid sebagai tempat untuk berniaga.

إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya, masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, shalat, dan bacaan al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285).

Demikianlah karakter orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah Allah. Tidak heran bila Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menggunakan masjid sesuai fungsinya dengan berfirman,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُوْلاَئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah: 18).

Sebagai konsekuensi dari ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berniaga di dalam masjid. Beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ

“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. at-Tirmidzi, no. 1321).

Imam At-Thabrani dalam Mu’jamnya (10452), dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam bersabda,

سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ يَجْلِسُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ حلقاً حلقاً، أَمَامُهُمْ الدُّنْيَا فَلَا تُجَالِسُوْهُمْ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لِلهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ

“Akan ada di akhir zaman, suatu kaum yang duduk-duduk di masjid berkelompok-kelompok, di depan mereka adalah dunia. Maka janganlah kalian duduk-duduk bersama mereka, karena sesungguhnya Allah tidak memiliki hajat (tidak melimpahkan kebaikan) pada mereka.” (HR. At-Thabrani)

أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا تُرِيدُ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ قَالَ عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا وَإِنَّمَا هَذَا سُوقُ الْآخِرَةِ

Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, "Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika dikabarkan kepadanya bahwa orang tersebut mau berdagang, beliau berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2/244, no. 601).

Berdasarkan keterangan diatas, sebagian ulama ada yang mengharamkan atau memakruhkan jual-beli di dalam masjid. Perbedaan pandangan ulama dalam memandang hadits-hadits larangan jual beli di masjid juga disebutkan dalam al Mausu’ah, disana tertulis,

وَاخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى التَّحْرِيمِ

“Ulama berbeda pendapat tentang sifat larangannya, menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) mengharamkannya.”
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 17/179. Maktabah Misykah).

Berkata Imam At Tirmidzi,   

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِد

“Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan, ahli ilmu lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di masjid.” (Sunan At Tirmidzi lihat penjelasan No. 1336).

Lantas bagaimana hukum diskusi, seminar atau pelatihan kewirausahaan di masjid?

Jika tujuan utama masjid dibangun adalah untuk dijadikan tempat berzikir dan beribadah kepada Allah. Selain urusan ibadah dan akhirat, maka selayaknya tidak dilakukan di dalam masjid, seperti ngerumpi, ngobrol masalan dunia, kampanye politik, dan lain sebagainya. Dalam kitab Lubabul Hadits, Imam Suyuthi As-Syafi'i menyebutkan empat ancaman bagi orang yang membicarakan masalah dunia di dalam masjid yaitu :

Pertama, Allah menghapus amalnya selama empat puluh tahun. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَكَلَّمَ بِكَلاَمِ الدُّنْيَا فِى الْمَسْجِدِ أَحْبَطَ اللهُ عَمَلَهُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً

"Siapa yang berbicara tentang urusan dunia di dalam masjid, maka Allah menghapus amalnya selama empat puluh tahun."

Kedua, dibenci oleh para malaikat. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ المَلاَئِكَةَ يَتَكَرَّهُوْنَ مِنَ الْمُتَكَلِّميْنَ فِى الْمَسْجِدِ بِكَلاَمِ اللَّغْوِ وَالْجَوْرِ

"Sesungguhnya malaikat tidak suka orang-orang yang berbicara di dalam masjid dengan pembicaraan yang sia-sia dan menyimpang dari kebenaran."

Ketiga, didoakan celaka oleh malaikat. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ارْتَفَعَتِ الْمَسَاجِدُ شَاكِيَةً مِنْ أهْلِهَا الَّذِيْنَ يَتكَلَّمُوْنَ فِيْهَا بِكَلاَمِ الدُّنْيَا، فَتَسْتَقْبِلُهَا الْمَلائِكَةُ فَتَقُولُ ارْجِعِيْ فَقَدْ بُعِثْنَا بِهَلاَكِهِمْ

"Masjid-masjid naik sambil mengadukan orang-orang yang membicarkan urusan dunia di dalamnya. Kemudian malaikat menemuinya lalu ia berkata; ‘Pulanglah, sungguh kami telah diperintah untuk membinasakan mereka.’

Keempat, kita diperintah untuk mendoakan keburukan bagi orang yang membicarakan dan melakukan urusan dunia di dalam masjid. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِى الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيْهِ ضَالَّةً فَقُوْلُوْا لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ.

"Jika kalian melihat orang berjualan atau membeli di dalam masjid, maka ucapkanlah; ‘Semoga Allah tidak akan memberikan keuntungan kepada daganganmu.’ Dan jika kalian melihat orang yang mencari barang hilang di dalam masjid, ucapkanlah; ‘Semoga Allah tidak akan mengembalikan kepadamu.’

Namun demikian ada juga penjelasan akan kebolehannya sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi As-Syafi'i dalam keterangan berikut,

قال الإمام النووي رحمه الله من الشافعية: يجوز التحدث بالحديث المباح في المسجد وبأمور الدنيا وغيرها من المباحات وإن حصل فيه ضحك ونحوه ما دام مباحاً، لحديث جابر بن سمرة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يقوم من مصلاه الذي صلى فيه الصبح حتى تطلع الشمس، فإذا طلعت قام، قال: وكانوا يتحدثون فيأخذون في أمر الجاهلية فيضحكون ويتبسم. رواه مسلم. المجموع شرح المهذب

Imam An-Nawawi rahimahullah seorang ulama madzab Syafi'iyah mengatakan, "Dibolehkan untuk berdiskusi dengan pembicaraan yang mubah di dalam masjid mengenai urusan-ururan dunia dan hal-hal yang dibolehkan lainnya, meski terdapat canda tawa di dalamnya selama itu hal yang mubah (dibolehkan), merujuk pada hadits dari Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu berkata, adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bangkit dari mushallanya tempat dilaksanakan shalat shubuh sampai matahari terbit, dan jika matahari terbit beliau bangkit." Jabir berkata, "Dan mereka saling membicarakan perkara semasa jahiliyah sehingga mereka tertawa dan tersenyum." (HR. Imam Muslim)

Merujuk pada hadits riwayat Jabir ini, Imam An-Nawawi membolehkan mengobrol dan berdiskusi di dalam masjid, walaupun membahas persoalan dunia atau permasalahan yang tidak berhubungan langsung dengan ibadah. Tidak hanya itu, tertawa dan tersenyum secukupnya pun dibolehkan ketika berada di dalam masjid. Meskipun dibolehkan, tentu selayaknya seorang Muslim tetap menjaga etika dan adab di dalam masjid.

Di antara adab yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai membicarakan perkara maksiat dan dosa, ataupun sesuatu yang mengundang kemudharatan, dan tidak tertawa keras-keras ketika bergurau agar tidak menganggu kenyaman orang lain beribadah. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud memyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar