Kamis, 30 Juli 2020

EDISI KHUTBAH 'IDUL ADHA 2020 M/1441 H (Esensi Berkurban Melawan Rasa Takut)


#Masjid_Babul_Jannah_Ceger_Cipayung_Jakarta_Timur

*Khutbah Pertama*

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ.

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانِ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلِ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ

فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.

*Allahu Akbar 3x Walillaahil Hamd*
*Kaum muslimin rohimakumulloh....*

Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi kesempatan untuk berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.

Berkurban saat Idul Adha seperti hari ini sangat dianjurkan kepada siapa saja umat muslim yang sudah mampu dalam hal ekonomi.

Esensinya adalah mengikuti jejak nabi Ibrahim untuk #mengalahkan_rasa_takut agar bisa semakin dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

*Jama'ah shalat Idul Adha rohimakumulloh,*

Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah berfirman,

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ. سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ. كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. As-Shoffat: 106-111)

Bayangkan, dalam riwayat disebutkan Nabi Ibrahim yang sudah begitu lama terpisah dari Ismail anaknya, mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih anak yang begitu sangat disayanginya. Seorang anak laki-laki yang begitu diidamkan sejak lama, hingga akhirnya Allah menguji Ibrahim untuk menyembelihnya. Terbayangkah betapa besar rasa takut yang dihadapi Ibrahim? #Pertama, tentu takut kehilangan anaknya. #Kedua, bahwa penyebab kehilangan anaknya itu adalah dirinya secara langsung. #Ketiga, bahwa Ibrahim takut mendapat murka Allah jika tidak melaksanakan perintah-Nya.

Sebuah pertimbangan yang sangat rumit. Hingga akhirnya Ibrahim memutuskan untuk *‘mendekat’* kepada Allah dengan #mengorbankan anaknya. Hingga anaknya diganti oleh Allah dengan sebuah sembelihan yang besar. Peristiwa ini adalah salah satu dari peristiwa yang membuat Allah begitu cinta kepada nabi Ibrahim, sang ayah para nabi. Saking cintanya, hingga tersemat shalawat di setiap muslim shalat dalam tahiyat bersama dengan doa untuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jika esensi qurban terletak pada menghadapi #rasa_takut, maka dalam konteks saat ini kita bisa lihat jika Allah ingin #ngetes setiap muslim apakah dia bersedia melepaskan hartanya untuk mendekat kepada Allah. Jika nabi Ibrahim diuji dengan melepas anak yang disayanginya, kita diuji dengan melepas harta yang kita cintai.

Melepas harta ini tidaklah mudah, bahkan untuk orang mampu sekalipun. Selalu muncul rasa takut untuk melepas harta agar bisa berqurban. Mulai dari mengurangi tabungan, takut nanti terkena musibah dan tidak punya dana cadangan, hingga berbagai macam alasan logis lainnya. Apalagi kalau pasangan muda yang sebentar lagi ingin punya anak, akan berpikir lebih baik uangnya untuk persiapan melahirkan daripada berqurban.

Tapi ya justru di situ esensi qurbannya. Seperti Nabi Ibrahim, apakah kita mampu menghadapi rasa takut untuk melepas apa yang kita cintai?

*Allahu Akbar 3x Walillaahil Hamd*
*Kaum muslimin rohimakumulloh....*

Dalam surah al-Hajj ayat 37, Allah Ta'ala menyebutkan,

لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلأَ دِمَاءُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَقْوَى مِنْكٌم

"Tidak akan sampai kepada Allah daging (hewan) itu, dan tidak pula darahnya, tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah takwa dari kamu". (QS. Al-Hajj : 37)

Penegasan Allah Ta'ala ini mengindikasikan dua hal. Pertama, penyembelihan hewan ternak sebagai kurban, merupakan bentuk simbolik dari tradisi Nabi Ibrahim AS, dan merupakan syi’ar dari ajaran Islam. Kedua, Allah Ta'ala hanya menginginkan nilai ketakwaan, dari orang yang menyembelih hewan ternak sebagai ibadah kurban. Indikasi ini sejalan dengan peringatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

إن الله لا ينظر الى صواركم وأموالكم ولكن ينظر الى قلوبكم وأعمالكم

“Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak melihat bentuk luarmu dan harta bendamu, tetapi Dia melihat hatimu dan perbuatanmu”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Usaha mendekatkan diri kepada Tuhan terutama melalui kurban, kita lakukan secara terus menerus. Karena itulah agama Islam disebut sebagai jalan (syari'ah, thariqah, dan shirath) menuju dan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Melakukan kurban bersifat dinamis dan tiada pernah berhenti, menempuh jalan yang hanya berujung kepada ridha Allah Ta'ala. Dengan demikian, wujud yang paling penting dari kurban adalah seluruh perbuatan baik.

*Allahu Akbar 3x Walillaahil Hamd*
*Kaum muslimin rohimakumulloh....*

Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرِبَنَّ مُصَلاَّناَ

“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan menyembelih hewan qurban tetapi tidak melaksanakannya, maka janganlah sekali-kali ia mendekati tempat shalat kita” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah)

*Allahu Akbar 3x Walillaahil Hamd*
*Kaum muslimin rohimakumulloh....*

Ketahuilah bahwa dalam setiap diri kita adalah IBRAHIM dan setiap Ibrahim pasti punya ISMAIL.

Ismailmu mungkin #hartamu...
Ismailmu mungkin #jabatanmu...
Ismailmu mungkin #gelarmu...
Ismailmu mungkin #égomu...

*ISMAIL'mu adalah sesuatu yang kau SAYANGI dan kau PERTAHANKAN di dunia ini...*

Ibrahim *tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail*, Ibrahim hanya diminta Allah *untuk  membunuh  RASA, yaitu rasa #KEPEMILIKAN akan Ismail. Karena hakekatnya semua adalah milik Allah

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan #KESHALIHAN Nabi Ibrahim dan #KEIKHLASAN Nabi Ismail kepada kita semua, agar kita bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin

جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ السُّعَدَآءِ المَقْبُوْلِيْنَ وَأَدْخَلَنَا وَإِيَّاكُمْ فِيْ زُمْرَةِ عِباَدِهِ المُتَّقِيْنَ. قَالَ تَعَالى فِي القُرآنِ العَظِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ . قُلْ إِنَّمَا أَنَاْ بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
يُوْحَى إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلهُكُمْ إِلهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْلِقَآءَ رَبَّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

 بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

*Khutbah Kedua*

الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ إِلَهَ إِلاّاَلله ُوَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لاَ إِلَهَ إِلاّاَلله ُوَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ المُشْرِكُوْنَ وَلَوْكَرِهَ الكاَفِرُوْنَ وَلَوْكَرِهَ المُناَفِقُوْنَ.

الحَمْدُ لِلّهِ حَمْداً كَثِيْرًا كَماَ أَمَرَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ إِرْغاَماً لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الخَلَآئِقِ وَالبَشَرِ. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ مَصَابِيْحَ الغُرَرِ. أَمَّا بَعْدُ: فَيآأَيُّهاَالحاَضِرُوْنَ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. وَافْعَلُوْاالخَيْرَ وَاجْتَنِبُوْآ عَنِ السَّيِّآتِ. وَاعْلَمُوْآ أَنَّ الله َأَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّابِمَلَآئِكَةِ المُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ. فَقاَلَ تعالى فِيْ كِتاَبِهِ الكَرِيْمِ  أَعُوْذُ باِلله ِمِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَحِيْمِ. إِنَّ اللهَ وَمَلَآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيْ يَآأَيُّهاَالَّذِيْنَ آمَنُوْآ صَلُّوْآ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. فَأَجِيْبُوْآالله َاِلَى مَادَعَاكُمْ وَصَلُّوْآ وَسَلِّمُوْأ عَلَى مَنْ بِهِ هَدَاكُمْ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصِحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَعَلَى التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِيْ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. وَارْضَ الله ُعَنَّا وَعَنْهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الراَحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِناَتِ وَالمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ الأَحْيآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعُ قَرِيْبٌ مُجِيْبٌ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ انْصُرْأُمَّةَ سَيّدِناَ مُحَمَّدٍ. اللَّهُمَّ اصْلِحْ أُمَّةَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ. اللّهُمَّ انْصُرْ أُمَّةَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ. اللّهمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ. وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الدِّيْنَ. وَاجْعَلْ بَلْدَتَناَ إِنْدُوْنِيْسِيَّا هَذِهِ بَلْدَةً تَجْرِيْ فِيْهَا أَحْكاَمُكَ وَسُنَّةُ رَسُوْلِكَ ياَ حَيُّ ياَ قَيُّوْمُ. يآاِلهَناَ وَإِلهَ كُلِّ شَيْئٍ. هَذَا حَالُناَ ياَالله ُلاَيَخْفَى عَلَيْكَ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنّاَ الغَلآءَ وَالبَلآءَ وَالوَبآءَ وَالفَحْشآءَ وَالمُنْكَرَ وَالبَغْيَ وَالسُّيُوفَ المُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَآئِدَ وَالِمحَنَ ماَ ظَهَرَ مِنْهَا وَماَ بَطَنَ مِنْ بَلَدِناَ هَذاَ خاَصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ المُسْلِمِيْنَ عاَمَّةً ياَ رَبَّ العَالمَيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَهْلِكِ الكَفَرَةَ وَالمُبْتَدِعَةِ وَالرَّافِضَةَ وَالمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ. وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ. رَبَّناَ اغْفِرْ لَناَ وَلِإِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِالإِيمْاَنِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّناَ اِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيْمٌ. رَبَّناَ آتِناَ فِيْ الدُّنْياَ حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِناَ عَذَابَ النَّارِ وَالحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العاَلمَيْنَ

Senin, 27 Juli 2020

CARI TAU PENYAKIT ANDA DAN OBATI DENGAN CARA INI OLEH DIRI ANDA SENDIRI



1. #Maag

Bukan hanya diakibatkan karena kesalahan pola makan yg tidak teratur, Akan tetapi justru lebih didominasi karena "stress" coba untuk lebih Fress dan memerdekakan  Diri.

2. #Hypertensi

Bukan hanya diakibatkan oleh terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang asin, Daging tapi lebih dominan karena kesalahan dalam memanage "emosi" Jadi Coba dengan cara mengatur Emosi Dan Rasa.

3. #Kolesterol
Bukan hanya diakibatkan oleh makanan berlemak, tapi rasa "malas berlebih" yang lebih dominan menimbulkan lemak, Jadi coba perbanyak Gerak Dan Tingkatkan semangat hingga Seluruh organ dapat bergerak.

4. #Asthma

Bukan hanya karena terganggunya suplai oksigen ke paru-paru, akan tetapi  Dikarenakan sering merasa "sedih" yang membuat kerja paru-paru tidak stabil, Jadi Coba Terus Membuat suasana Hati riang dan Refresing

5. #Diabetes 

Bukan hanya karena terlalu banyak konsumsi glucousa, yang manis manis,  tapi Bisa saja sikap "egois dan keras kepala" yang mengganggu fungsi pankreas, Coba Ikhlas Dan Rela Dalam segala Hal.

6. Penyakit #liver

Bukan hanya karena kesalahan pola tidur, tapi sifat "ngrasani" orang lain yang justru merusak hati kita, Coba Untuk Membuat hati kita tenang Dan Damai.

7. #Jantung koroner

Bukan hanya diakibatkan oleh sumbatan pada aliran darah ke jantung, tapi kita jarang sedekah atau memberi yang membuat jantung kita kurang merasakan ketenangan, sehingga detaknya tidak stabil

Presentase Indikator penyebab munculnya penyakit adalah karena masalah :
#Spiritual 50%
#Psikis.    25%
#Sosial.    15%
#Fisik.       10%

Jadi kalau kita ingin selalu sehat, perbaiki :
#Diri kita
#Pikiran kita
terutama hati kita dari segala jenis penyakit.

Hati-hati 
#Hindari :
Dari Rasa iri, dengki, pendendam, fitnah, benci, amarah terpendam, sombong, pelit, egois, keras kepala, sedih, malas, dan lainnya, karena itu sumber penyakit.

#SARAN Perbanyaklah Do'a...

#copas....

😊😊😊

Sabtu, 25 Juli 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM DISKUSI ILMIAH MASALAH DUNIA DI DALAM MASJID


Masjid bagi umat Islam tidak hanya sebatas tempat beribadah, tetapi juga berfungsi untuk tempat belajar agama, sosialisasi, musyawarah, dan kegiatan sosial lainnya. Pada masa Rasul pun masjid digunakan untuk berbagai kepentingan selama tidak melanggar aturan syariat. Banyak hadits mengisahkan bahwa masjid dijadikan tempat tinggal, belajar, dan diskusi oleh sebagian sahabat.

Kendati masjid multifungsi, namun perlu diingat bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai tempat beribadah. Adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang berada di masjid menghormati fungsi utama masjid ini dengan cara menjaga adab dan tidak melakukan hal-hal lain yang dapat menganggu kenyaman orang beribadah.

Tidak diragukan lagi bahwa masjid hakikatnya didirikan untuk menegakkan peribadahan kepada Allah Ta’ala; ber-tasbih, mendirikan shalat, membaca kalam Ilahi, dan berdoa kepada-Nya,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَار

“Di rumah-rumah yang di sana Allah telah memerintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana ber-tasbih (menyucikan)-Nya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nur: 36-37).

Pada ayat ini dijelaskan bahwa masjid adalah tempat untuk menegakkan ibadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar menegakkan peribadatan kepada-Nya tidaklah menjadi terlalaikan atau tersibukkan dari peribatannya hanya karena mengurusi perniagaan dan pekerjaannya. Apalagi sampai menjadikan masjid sebagai tempat untuk berniaga.

إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya, masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, shalat, dan bacaan al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285).

Demikianlah karakter orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah Allah. Tidak heran bila Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menggunakan masjid sesuai fungsinya dengan berfirman,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُوْلاَئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah: 18).

Sebagai konsekuensi dari ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berniaga di dalam masjid. Beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ

“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. at-Tirmidzi, no. 1321).

Imam At-Thabrani dalam Mu’jamnya (10452), dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam bersabda,

سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ يَجْلِسُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ حلقاً حلقاً، أَمَامُهُمْ الدُّنْيَا فَلَا تُجَالِسُوْهُمْ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لِلهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ

“Akan ada di akhir zaman, suatu kaum yang duduk-duduk di masjid berkelompok-kelompok, di depan mereka adalah dunia. Maka janganlah kalian duduk-duduk bersama mereka, karena sesungguhnya Allah tidak memiliki hajat (tidak melimpahkan kebaikan) pada mereka.” (HR. At-Thabrani)

أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا تُرِيدُ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ قَالَ عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا وَإِنَّمَا هَذَا سُوقُ الْآخِرَةِ

Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, "Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika dikabarkan kepadanya bahwa orang tersebut mau berdagang, beliau berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2/244, no. 601).

Berdasarkan keterangan diatas, sebagian ulama ada yang mengharamkan atau memakruhkan jual-beli di dalam masjid. Perbedaan pandangan ulama dalam memandang hadits-hadits larangan jual beli di masjid juga disebutkan dalam al Mausu’ah, disana tertulis,

وَاخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى التَّحْرِيمِ

“Ulama berbeda pendapat tentang sifat larangannya, menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) mengharamkannya.”
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 17/179. Maktabah Misykah).

Berkata Imam At Tirmidzi,   

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِد

“Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan, ahli ilmu lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di masjid.” (Sunan At Tirmidzi lihat penjelasan No. 1336).

Lantas bagaimana hukum diskusi, seminar atau pelatihan kewirausahaan di masjid?

Jika tujuan utama masjid dibangun adalah untuk dijadikan tempat berzikir dan beribadah kepada Allah. Selain urusan ibadah dan akhirat, maka selayaknya tidak dilakukan di dalam masjid, seperti ngerumpi, ngobrol masalan dunia, kampanye politik, dan lain sebagainya. Dalam kitab Lubabul Hadits, Imam Suyuthi As-Syafi'i menyebutkan empat ancaman bagi orang yang membicarakan masalah dunia di dalam masjid yaitu :

Pertama, Allah menghapus amalnya selama empat puluh tahun. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَكَلَّمَ بِكَلاَمِ الدُّنْيَا فِى الْمَسْجِدِ أَحْبَطَ اللهُ عَمَلَهُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً

"Siapa yang berbicara tentang urusan dunia di dalam masjid, maka Allah menghapus amalnya selama empat puluh tahun."

Kedua, dibenci oleh para malaikat. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ المَلاَئِكَةَ يَتَكَرَّهُوْنَ مِنَ الْمُتَكَلِّميْنَ فِى الْمَسْجِدِ بِكَلاَمِ اللَّغْوِ وَالْجَوْرِ

"Sesungguhnya malaikat tidak suka orang-orang yang berbicara di dalam masjid dengan pembicaraan yang sia-sia dan menyimpang dari kebenaran."

Ketiga, didoakan celaka oleh malaikat. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ارْتَفَعَتِ الْمَسَاجِدُ شَاكِيَةً مِنْ أهْلِهَا الَّذِيْنَ يَتكَلَّمُوْنَ فِيْهَا بِكَلاَمِ الدُّنْيَا، فَتَسْتَقْبِلُهَا الْمَلائِكَةُ فَتَقُولُ ارْجِعِيْ فَقَدْ بُعِثْنَا بِهَلاَكِهِمْ

"Masjid-masjid naik sambil mengadukan orang-orang yang membicarkan urusan dunia di dalamnya. Kemudian malaikat menemuinya lalu ia berkata; ‘Pulanglah, sungguh kami telah diperintah untuk membinasakan mereka.’

Keempat, kita diperintah untuk mendoakan keburukan bagi orang yang membicarakan dan melakukan urusan dunia di dalam masjid. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِى الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيْهِ ضَالَّةً فَقُوْلُوْا لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ.

"Jika kalian melihat orang berjualan atau membeli di dalam masjid, maka ucapkanlah; ‘Semoga Allah tidak akan memberikan keuntungan kepada daganganmu.’ Dan jika kalian melihat orang yang mencari barang hilang di dalam masjid, ucapkanlah; ‘Semoga Allah tidak akan mengembalikan kepadamu.’

Namun demikian ada juga penjelasan akan kebolehannya sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi As-Syafi'i dalam keterangan berikut,

قال الإمام النووي رحمه الله من الشافعية: يجوز التحدث بالحديث المباح في المسجد وبأمور الدنيا وغيرها من المباحات وإن حصل فيه ضحك ونحوه ما دام مباحاً، لحديث جابر بن سمرة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يقوم من مصلاه الذي صلى فيه الصبح حتى تطلع الشمس، فإذا طلعت قام، قال: وكانوا يتحدثون فيأخذون في أمر الجاهلية فيضحكون ويتبسم. رواه مسلم. المجموع شرح المهذب

Imam An-Nawawi rahimahullah seorang ulama madzab Syafi'iyah mengatakan, "Dibolehkan untuk berdiskusi dengan pembicaraan yang mubah di dalam masjid mengenai urusan-ururan dunia dan hal-hal yang dibolehkan lainnya, meski terdapat canda tawa di dalamnya selama itu hal yang mubah (dibolehkan), merujuk pada hadits dari Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu berkata, adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bangkit dari mushallanya tempat dilaksanakan shalat shubuh sampai matahari terbit, dan jika matahari terbit beliau bangkit." Jabir berkata, "Dan mereka saling membicarakan perkara semasa jahiliyah sehingga mereka tertawa dan tersenyum." (HR. Imam Muslim)

Merujuk pada hadits riwayat Jabir ini, Imam An-Nawawi membolehkan mengobrol dan berdiskusi di dalam masjid, walaupun membahas persoalan dunia atau permasalahan yang tidak berhubungan langsung dengan ibadah. Tidak hanya itu, tertawa dan tersenyum secukupnya pun dibolehkan ketika berada di dalam masjid. Meskipun dibolehkan, tentu selayaknya seorang Muslim tetap menjaga etika dan adab di dalam masjid.

Di antara adab yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai membicarakan perkara maksiat dan dosa, ataupun sesuatu yang mengundang kemudharatan, dan tidak tertawa keras-keras ketika bergurau agar tidak menganggu kenyaman orang lain beribadah. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud memyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 22 Juli 2020

KAJIAN TENTANG KENCING UNTA MINUMAN NAJIS YANG DIANGGAP ISLAMI



Dalam sebuah hadits riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَوْمٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِلِقَاحٍ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا

"Ada sejumlah orang dari suku Ukl dan Urainah yang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka mengalami sakit karena tidak betah di Madinah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi kandang unta, dan menyuruh mereka untuk minum air kencingnya dan susunya." (HR. Bukhari 1501 & Muslim 4447)

Dalam riwayat lain dinyatakan, bahwa orang yang minum susu dan kencing unta ini menjadi gemuk.

فَفَعَلُوا فَصَحُّوا وَسَمِنُوا

"Merekapun melakukan saran itu, hingga mereka sehat dan menjadi gemuk."

Namun demikian kita pahami dulu kelengkapan hadits diatas sebagai berikut,

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِيْنَةَ، فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِلِقَاحٍ، وَأَنْ يَشْرَبُوْا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا، فَانْطَلَقُوْا فَلَمَّا صَحُّوْا قَتَلُوْا رَاعِيَ النَّبِيِّ، وَاسْتَاقُوْا النَّعَمَ، فَجَاءَ الْخَبَرُ فِيْ أَوَّلِ النَّهَارِ، فَبَعَثَ فِيْ آثَارِهِمْ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيْئَ بِهِمْ، فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوْا فِيْ الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُوْنَ فَلَا يُسْقَوْنَ، الحديث. (رواه البخاري)

Dari Anas ra. berkata: Sekelompok orang datang dari Suku ‘Ukl atau ‘Urainah, lalu mereka merasa tidak nyaman di Madinah (hingga sakit). Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya, lalu mereka pergi menuju kandang unta. *Ketika sudah sembuh, mereka membunuh penggembala unta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membawa kabur unta-unta tersebut. Kemudian kabar tersebut datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelang siang, lalu beliau mengutus orang untuk menelusuri jejak mereka. Ketika matahari sudah meninggi, utusan tersebut datang membawa mereka. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka, mencongkel mata mereka, lalu mereka dibuang di padang pasir yang panas. Mereka meminta minum namun tidak diberi (minum)."* (HR. Al-Bukhari)

Dalam hadits yang berakhir tragis diatas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh sekelompok orang tersebut untuk meminum air kencing dan susu unta. Hal inilah yang sengaja dipraktekkan oleh UBN (lihat video), mencampur air kencing dan susu unta kemudian meminumnya. Berdasarkan fakta tersebut, banyak yang merespon tentang bagaimana cara memahami dan mengamalkan substansi suatu hadits.

Pemahaman terhadap teks hadits merupakan salah satu aspek yang harus menjadi perhatian, disamping juga mengetahui bagaimana keorisinilan hadits untuk dapat diamalkan. Selain itu, perlu adanya konfirmasi terhadap literatur syarah (penjelas) suatu hadits apakah bisa diamalkan atau tidak.

Dalam Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Batthal menjelaskan bahwa terdapat dua pendapat yang merespon hadis tersebut. Pertama, air kencing unta tersebut dihukumi suci menurut Atha’, an-Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Sirin, Malik bin Anas, dan lain sebagainya. Kelompok yang pertama ini berpendapat bahwa hadits tersebut menunjukkan tentang bolehnya meminum air kencing dan memposisikannya seperti air susu. Mereka menganggap bahwa tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan meminum air kencing unta apabila memang dihukumi najis. Kedua, air kencing unta tersebut dihukumi najis menurut Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Hammad, dan lain sebagainya. Kelompok yang kedua ini berpendapat bahwa air kencing dihukumi najis dan (berdasarkan hadits tersebut) hanya boleh diminum bagi orang yang sakit.

Selanjutnya, mengamalkan suatu hadits juga perlu dikonfirmasi konteks yang melatarbelakanginya, syari’at pengamalannya, maupun tujuan yang menyertainya. Lebih lanjut, dalam kitab Kaifa Nata’amal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan tentang tiga prinsip dasar dalam memahami dan mengamalkan suatu hadits, yaitu sebagai berikut:

1. Meneliti dengan seksama kesahihan hadits yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadits yang kredibel.
2. Memastikan bahwa teks tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits lainnya yang lebih kuat kedudukannya.
3. Memahami dengan benar teks-teks hadits yang berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan makna tekstual, kontekstual, serta sebab munculnya hadits tersebut.

Berdasarkan poin pertama, hadits tentang air kencing unta tersebut memang shahih, mengingat diriwayatkan (dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya.

Berdasarkan poin kedua, hadits tersebut tampak bertentangan dengan ayat-ayat yang menjelaskan tentang keharaman mengkonsumsi sesuatu yang najis dan menjijikkan. Dalam Ma’ayir al-Halal wa al-Haram, Ali Mustafa Yaqub mengelompokkan air kencing ke dalam kategori sesuatu yang najis dan menjijikkan, bahkan term menjijikkan terkadang bisa dimaknai dengan najis. Selain itu, meminum air kencing juga dianggap mengkonsumsi sesuatu yang najis dan menjijikkan.

Berdasarkan poin ketiga, hadits tersebut harus dimaknai tidak hanya secara tekstual, melainkan juga secara kontekstual serta aspek-aspek yang menyebabkan munculnya hadits tersebut. Aspek munculnya kebolehan minum air kencing unta dalam hadits tersebut disebabkan kondisi darurat yang dialami oleh sekelompok orang. Kondisi darurat adalah ketika terjadi suatu hal yang mengancam jiwa dan keselamatan. Apabila hanya sekedar sakit saja, maka belum bisa diklaim sebagai kondisi darurat. Perlu diperiksa kembali oleh ahli kesehatan apakah sakit tersebut mengancam jiwa dan keselamatan seseorang.

Secara kontekstual, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi mengkritik banyak orang yang keliru memahami hadits dengan mencampuradukkan antara sarana dan tujuan. Jika memang air kencing unta diklaim sebagai bagian dari ath-thib an-nabawi, maka hal tersebut seharusnya lebih cenderung dipahami sebagai sarana saja. Lebih lanjut, setiap sarana dan prasarana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya, bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat manusia dengan sarananya.

Bukankah air kencing hewan itu memang najis? Para ulama membagi dua kategori najis. Pertama, benda yang disepakati ulama status najisnya, yaitu daging babi, darah, air kencing manusia, muntah dan kotoran manusia, khamar, nanah, madzi, dan lain sebagainya.

Kedua, benda yang diperdebatkan ulama perihal status najisnya, yaitu anjing, kulit bangkai, air kencing anak kecil yang belum makan apapun selain ASI, mani, cairan pada nanah, dan lain sebagainya. Air kencing unta termasuk kategori kedua ini. Hal ini disebutkan secara rinci oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli sebagai berikut,

ثانياً ـ النجاسات المختلف فيها: اختلف الفقهاء في حكم نجاسة بعض الأشياء… بول الحيوان المأكول اللحم وفضلاته ورجيعه: هناك اتجاهان فقهيان: أحدهما القول بالطهارة، والآخر القول بالنجاسة، الأول للمالكية والحنابلة، والثاني للحنفية والشافعية.

“Jenis kedua adalah najis yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ahli fikih berbeda pendapat perihal status najis sejumlah benda ini... Salah satunya adalah air kencing, kotoran, dan zat sisa tubuh hewan yang boleh dimakan. Disini pandangan ulama fikih terbelah menjadi dua. Satu pandangan menyatakan suci. Sementara pandangan lainya menyatakan najis. Pandangan pertama dianut oleh madzhab Maliki dan Hanbali. Sedangkan pandangan kedua diwakili oleh madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‘i,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405, juz I, halaman 160).

Bagi Madzhab Maliki dan Hanbali, status air kencing dan kotoran hewan yang halal dimakan yaitu unta, sapi, kambing, ayam, burung dara, dan aneka unggas tidak najis. Tetapi bagi Madzhab Maliki, air kencing hewan yang memakan atau meminum benda najis juga berstatus najis sehingga air kencing dan kotorannya menjadi najis. Berlaku juga bila hewan-hewan ini makruh dimakan, maka air kencing dan kotorannya juga makruh. Jadi status kencing hewan itu mengikuti status kenajisan daging hewan itu sendiri sehingga status air kencing hewan yang haram dimakan adalah najis. Sedangkan status air kencing hewan yang halal dimakan adalah suci.

Kedua madzhab ini mendasarkan pandangannya pada izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memerintahkan masyarakat Ukl atau Urani meminum air kencing dan susu unta sebagaimana hadits diatas. Bagi kedua madzhab ini, kebolehan shalat di kandang kambing menunjukkan kesucian kotoran dan air kencing hewan tersebut. Adapun Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i memandang status kotoran dan air kencing unta adalah najis sehingga keduanya memasukkan kotoran dan air kencing unta ke dalam kategori benda yang haram dikonsumsi. Mereka mendasarkan pandangannya pada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa kotoran hewan itu najis. Sedangkan kedua madzhab ini memahami hadits perihal masyarakat Uraiyin sebagai izin darurat Rasulullah untuk kepentingan pengobatan.

وقال الشافعية والحنفية: البول والقيء والروث من الحيوان أو الإنسان مطلقاً نجس، لأمره صلّى الله عليه وسلم بصب الماء على بول الأعرابي في المسجد، ولقوله صلّى الله عليه وسلم في حديث القبرين: «أما أحدهما فكان لا يستنزه من البول»، ولقوله صلّى الله عليه وسلم السابق: «استنزهوا من البول» وللحديث السابق: «أنه صلّى الله عليه وسلم لما جيء له بحجرين وروثة ليستنجي بها، أخذ الحجرين ورد الروثة، وقال: هذا ركس، والركس: النجس». والقيء وإن لم يتغير وهو الخارج من المعدة: نجس؛ لأنه من الفضلات المستحيلة كالبول. ومثله البلغم الصاعد من المعدة، نجس أيضاً، بخلاف النازل من الرأس أو من أقصى الحلق والصدر، فإنه طاهر. وأما حديث العرنيين وأمره عليه السلام لهم بشرب أبوال الإبل، فكان للتداوي، والتداوي بالنجس جائز عند فقد الطاهر الذي يقوم مقامه.

“Madzhab Syafi’i dan Hanafi berpendapat bahwa air kencing, muntah, dan kotoran baik hewan maupun manusia mutlak najis sesuai perintah Rasulullah SAW untuk membasuh air kencing Arab badui di masjid, sabda Rasulullah SAW perihal ahli kubur, ‘salah satunya tidak bersuci dari air kencing,’ sabda Rasulullah SAW sebelumnya, ‘Bersucilah dari air kencing,’ dan hadits sebelumnya bahwa Rasulullah SAW–ketika dua buah batu dan sepotong kotoran binatang yang mengering dihadirkan di hadapannya untuk digunakan istinja–mengambil kedua batu, dan menolak kotoran. ‘Ini adalah najis,’ kata Rasulullah SAW. Sementara muntah–sekalipun tidak berubah bentuk adalah sesuatu yang keluar dari dalam perut–adalah najis karena ia termasuk sisa tubuh yang ‘berubah’ seperti air kencing. Hal ini sama najisnya dengan lender yang keluar dari dalam perut. Lain soal dengan lendir yang turun dari kepala, pangkal tenggorokan atau dada. Lendir ini suci. Sedangkan terkait perintah Rasulullah kepada warga Uraniyin untuk meminum air kencing unta, maka ini berlaku untuk pengobatan. Pengobatan dengan menggunakan benda najis boleh ketika obat dari benda suci tidak ditemukan dan benda najis dapat menggantikannya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405, juz I, halaman 160).

Kalau mau diperjelas, kita dapat mencari tahu alasan empat madzhab ini ke dalam dua pandangan yang berbeda. Ibnu Rusyd mencoba memetakan persoalan yang melahirkan dua pandangan berbeda. Ia mengidentifikasi dua sebab yang memicu perbedaan tajam di kalangan ulama perihal status najis kotoran dan air kencing unta sebagai berikut,

وسبب اختلافهم شيئان: أحدهما اختلافهم في مفهوم الإباحة الواردة في الصلاة في مرابض الغنم وإباحته عليه الصلاة والسلام للعرنيين شرب أبوال الإبل وألبانها وفي مفهوم النهي عن الصلاة في أعطان الإبل. والسبب الثاني اختلافهم في قياس سائر الحيوان في ذلك على الإنسان فمن قاس سائر الحيوان على الإنسان ورأى أنه من باب قياس الأولى والأحرى ولم يفهم من إباحة الصلاة في مرابض الغنم طهارة أرواثها وأبوالها جعل ذلك عبادة، ومن فهم من للعرنيين أبوال الإبل لمكان المداواة على أصله في إجازة ذلك قال: كل رجيع وبول فهو نجس ومن فهم من حديث إباحة الصلاة في مرابض الغنم طهارة أرواثها وأبوالها وكذلك من حديث العرنيين وجعل النهي عن الصلاة في أعطان الإبل عبادة أو لمعنى غير معنى النجاسة، وكان الفرق عنده بين الإنسان وبهيمة الأنعام أن فضلتي الإنسان مستقذرة بالطبع وفضلتي بهيمة الأنعام ليست كذلك جعل الفضلات تابعة للحوم والله أعلم.

“Sebab perbedaan pandangan mereka terdiri atas dua hal. Pertama, perbedaan mereka dalam memahami status mubah shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di kandang kambing, izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Uraniyin untuk meminum susu dan air kencing unta, dan larangan Rasul untuk shalat di kandang unta. Kedua, perbedaan mereka dalam menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia. Ulama yang menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia dan memandangnya dari qiyas aulawi atau lebih-lebih lagi utama–, dan tidak memahami dari status mubah shalat di kandang kambing sebagai kesucian kotoran dan kencingnya di mana itu menjadi ibadah–, dan orang yang memahami izin meminum air kencing unta sebagai kepentingan pengobatan, akan berpendapat bahwa semua kotoran dan kencing makhluk hidup dari jenis apapun adalah najis. Sedangkan ulama yang memahami kesucian kotoran dan kencing kambing dari hadits yang membolehkan shalat di kandang kambing, dari hadits masyarakat Uraniyin, atau larangan shalat di kandang unta sebagai makna lain selain najis, di mana baginya jelas perbedaan antara jenis manusia dan jenis hewan di mana kotoran sisa dari manusia dianggap kotor secara alamiah, tidak berlaku pada kotoran sisa dari jenis hewan, memandang status kotoran sisa jenis makhluk apapun sesuai dengan kategori daging tersebut (halal atau haram di makan). Wallahu a‘lam,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan kelima, 2013 M/1434 H, halaman 79-80).

Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan pandangan ulama dan hadits yang memperbolehkan meminum air kencing unta? Kita dianjurkan untuk bersikap bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan ulama. dengan kata lain, kita harus menghargai hasil ijtihad para ulama dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Adapun perihal sikap kita terhadap hadits yang memperbolehkan meminum air kencing unta, kita sebaiknya hati-hati. Kita boleh mengikuti pandangan yang mana saja tanpa harus menyalahkan pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Sedangkan dalam hemat kami, kita perlu melihat hadits tersebut dalam kaitannya misalnya dengan pengobatan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat kembali bagaimana para ulama ushul fikih memetakan perbuatan rasul ke dalam dua bagian besar yaitu, pertama perbuatan yang disyariatkan, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, jual beli, dan seterusnya yang perlu diikuti soal sah dan tidaknya. Kedua, perbuatan rasul yang tidak disyariatkan sehingga tidak wajib diikuti. Ulama ushul fikih merinci perbuatan rasul jenis kedua yang bukan termasuk bagian dari syariat menjadi tiga kategori. Pertama, perbuatan rasul sebagai makhluk hidup yaitu makan, minum, tidur, diri, duduk, jalan. Kedua, perbuatan rasul sebagai makhluk budaya (pengalaman dan eksperimen dalam soal keduniaan, bisa ditiru dan bisa dikoreksi) yaitu perdagangan, pertanian, strategi perang, pengaturan tentara, soal pengobatan, dan bidang lainnya. Rasulullah pernah dikoreksi oleh petani kurma Madinah yang gagal panen karena mempraktikkan teknik pertanian yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah dikoreksi oleh salah seorang sahabat yang lebih berpengalaman dalam hal perang perihal penempatan pasukan di lokasi tertentu. Ketiga, perbuatan rasul yang bersifat khusus (haram ditiru) yaitu beristri lebih dari empat orang, memutuskan perkara dengan seorang saksi, puasa wishal, kewajiban shalat dhuha, tahajud, witir.

Terlepas dari perbedaan pendapat empat madzhab, hadits yang memperbolehkan minum air kencing unta untuk kepentingan pengobatan dapat dipahami berdasarkan kategori kedua. Artinya, meminum air kencing unta dapat dibenarkan untuk kepentingan pengobatan dengan catatan, pertama tidak ada lagi obat lain selain air kecing unta, kedua air kencing unta terbukti secara klinis mutakhir merupakan obat atas penyakit tersebut. Artinya, pertimbangan ilmu pengetahuan medis paling mutakhir perlu menjadi pertimbangan utama dalam hal ini. Jangan sampai justru mendatangkan bakteri, membuat mudharat baru secara medis, atau tidak memberikan efek positif apapun sementara kotoran binatang itu terlanjur masuk ke tubuh kita.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 03 Juli 2020

KAJIAN TENTANG UCAPAN YANG DIPEREBUTKAN 30 MALAIKAT UNTUK MENERIMANYA


KRONOLOGI BACAAN '' سمع الله لمن حمده " SAAT BERDIRI DARI RUKU' MENUJU I'TIDAL

Siapa yg tak kenal beliau Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama pengganti Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam.

Beliau dalam sholatnya tidak pernah tertinggal unt berjamaah dengan Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallan.

Suatu hari, diwaktu ashar tiba, beliau Abu Bakar menduga bahwa beliau sudah tidak menemukan sholat ashar bersama dengan Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam. Beliau pun sangat sedih dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke Masjid dimana Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam mengimami sholat jamaah ashar disitu.

Setiba di masjid, beliau masuk, ternyata Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam masih dalam takbir hendak ruku'. Sontak beliau mengucapkan " الحمد لله ", lantas takbir dibelakang Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam.

Lalu turunlah malaikat Jibril 'Alaihissalam. Dan posisi Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam masih dalam keadaan ruku'. Jibril 'Alaihissalam berkata, " Wahai Muhammad,
سمع الله لمن حمده
"Alloh mendengarkan orang yg telah memuji-Nya ".

Maka, bacalah "
سمع الله لمن حمده

Kemudian, Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam pun membacanya disaat Beliau bangun dari ruku'. Maka jadilah bacaan tersebut menjadi sebuah kesunahan bacaan disaat berdiri dari ruku' dimulai saat itu. Yang mana sebelum ada kejadian, Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam tatkala bangun dari ruku, Beliau membaca takbir.

Kisah diatas sebagaimana dijelaskan Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi dalam kitab I’anatut Thalibin (Beirut: Darul Fikr, 1997) meriwayatkan sebuah kisah yang menjadi penyebab perbedaan kesunahan ucapan ketika bangun dari ruku’ ini sebagai berikut.

والسبب في سن سمع الله لمن حمده: أن الصديق رضي الله عنه ما فاتته صلاة خلف رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قط، فجاء يوما وقت صلاة العصر فظن أنه فاتته مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فاغتم بذلك وهرول ودخل المسجد فوجده - صلى الله عليه وسلم - مكبرا في الركوع، فقال: الحمد لله. وكبر خلفه - صلى الله عليه وسلم -. فنزل جبريل والنبي - صلى الله عليه وسلم - في الركوع، فقال يا محمد، سمع الله لمن حمده. … اجعلوها في صلاتكم عند الرفع من الركوع، - وكان قبل ذلك يركع بالتكبير ويرفع به - فصارت سنة من ذلك الوقت ببركة الصديق رضي الله عنه.

“Sebab kesunahan ucapan سمع الله لمن حمده ialah bahwasanya sahabat Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu 'anhu tidak pernah sama sekali tertinggal shalat berjama’ah di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hingga pada suatu ketika, saat shalat ashar, Sahabat Abu Bakar radhiyallahu 'anhu tertinggal shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sahabat Abu Bakar sangat bersedih dan bergegas masuk masjid.

Sampai di masjid, ia masih bisa menemui ruku‘ Rasulullah, maka ia berucap: “Alhamdulillah” sebagai bentuk pujian terhadap Allah, lantas takbiratul ihram dan shalat di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jibril kemudian turun saat Nabi sedang ruku‘ sambil berkata: “Wahai Muhammad, ucapkan سمع الله لمن حمده . ‘Allah mendengar orang-orang yang memuji-Nya.’ …baca kalimat itu setiap shalat saat bangun dari ruku‘.

Sebelum kejadian ini setiap akan ruku‘ dan bangun dari ruku‘ yang dibaca adalah takbir. Berkah dari Sahabat Abu Bakar radhiyallahu 'anhu membuat tasmi’ jadi disunahkan.”

*DALAM KITAB ATS TSIMAR AL YANIAH FII AR RIYADH AL BADIAH, halaman.37*

والحكمة في مشروعية التسميع أن أبا بكر الصديق لم تفته صلاة خلف رسول الله قط فجاء يوما وقت صلاة العصر وظن أنها فاتته فاغتم لذلك وهرول ودخل المسجد فوجد رسول الله صلي الله عليه وسلم مكبرا للركوع فقال الحمد لله وكبر خلفه فنزل جبريل والنبي صلي الله عليه وسلم في الركوع فقال يا محمد سمع الله لمن حمده فقل سمع الله لمن حمده فقالها عند الرفع من الركوع ورفع به فصارت سنة من ذلك الوقت ببركة الصديق رضي الله عنه وكان قبل ذلك يرفع رسول الله صلي الله عليه وسلم بالتكبير

Bagaimana dengan bacaan, ربناولك الحمد ? Ini jawabannya:

 عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِىِّ قَالَ :

( كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ . فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ قَالَ : أَنَا . قَالَ : رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُُ ) رواه البخاري (799) .

Dari Rifa'ah bin Rofi' Az-Zaroqi ra, suatu hari kami pernah sholat bersama Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam. Ketika beliau mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku' beliau mengucapkan,
 سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَه

Seorang laki2 dibelakangnya mengucapkan,

 رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

“Wahai Rabb kami, hanya untuk-Mu lah segala pujian. Pujian yg banyak, yg baik, yg diberkahi di dalamnya.”

Seselesainya dari shalat, Rasulullah bertanya, “Siapa yg mengucapkannya tadi?”Orang itu berkata, “Saya, wahai Rasulullah.”

Rasulullah bersabda, “Sungguh aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yg paling dahulu mencatatnya.” (HR. Bukhari dari hadits Rifa’ah ibnu Rafi’).

عن أبي هريرة : { كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قال سمع الله لمن حمده قال : اللهم ربنا ولك الحمد الى اخره...... }

Dari Abu Hurairah yg dikeluarkan oleh Ahmad dan lain-lain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yg memuji-Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian). Barangsiapa bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, maka akan diampuni dosa2nya yg telah lalu.” (Al-Bukhari, bab Adzan, pasal Keutamaan Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu)

وفى صحيح مسلم عن ابن عمر { أن النبي صلى الله عليه وسلم : كان إذا رفع رأسه من الركوع قال : سمع الله لمن حمده اللهم ربنا لك الحمد ملء السماوات وملء الأرض وملء ما شئت من شيء بعد }

Di dalam shohih Muslim dari Ibnu Umar ra berkata sesunghuhnya Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam ketika mengangkat kepalanya  dari riku' beliau mengucapkan "Sami'allohu liman hamidahu Allohumma ribbanaa wa lakal hamdu mil-us samaawati wa mil-ul ardhi wa mil-u maa syi'ta min syai-in ba'du." (HR. Muslim). Wallohu a'lam bis-Showab.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud memyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*