Kamis, 02 April 2020

KAJIAN TENTANG KEBOLEHAN MENINGGALKAN SHALAT JUM'AT BERTURUT-TURUT KARENA UDZUR


Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Jumu'ah :9)

Shalat Jum'at merupakan ritual wajib bagi Muslim laki-laki di setiap jum'atnya. Salah satu hikmah disyariatkannya Jum'at adalah menjaga kerukunan dan kekompakan di antara sesama Muslim. Minimal satu kali dalam seminggu mereka bisa bertemu dan bertatap muka setelah setiap harinya sibuk dengan profesi dan pekerjaan masing-masing.

Sebegitu pentingnya Jum'atan, hingga Nabi menyabdakan bahwa orang yang meninggalkan Jumat tiga kali beturut-turut, Allah membekukan hatinya. Ketika hati sudah beku, pertanda susah menerima nasihat dan kebenaran—semoga Allah melindungi kita darinya. Hanya saja, dalam kondisi tertentu, syariat membolehkan shalat Jumat di suatu daerah ditiadakan.

Sejak wabah Covid-19 melanda, sudah dua minggu masjid-masjid di Indonesia –khususnya di zona merah Covid-19- tidak melaksanakan kegiatan Shalat Jumat.  Padahal ancaman bagi yang meninggalkan shalat Jumat sangatlah keras.

Kebijakan itu dilakukan setelah keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait arahan diperbolehkannya untuk meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat Dzuhur di tengah wabah Covid-19.

Sejak saat itu (Jum'at, 20 Maret 2020), berarti hari ini Jum'at, 03 April 2020 adalah Jum’at ketiga masjid-masjid meniadakan shalat Jumat. Lalu bagaimana hukum meninggalkan Jumat tiga kali berturut-turut karena Covid-19?

*Ancaman Bagi Yang Meninggalkan Shalat Jum’at Tanpa Udzur*

Dalam beberapa Hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatakan keras kepada siapa saja yang meninggalkan Shalat Jum’at tiga kali.

Di antaranya adalah,

Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ، أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ، ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ

”Hendaknya orang yang suka meninggalkan jumatan itu menghentikan kebiasaan buruknya, atau Allah akan mengunci mati hatinya, kemudian dia menjadi orang ghafilin (orang lalai).” (HR. Muslim 865)

Hadits dari Abul Ja’d ad-Dhamri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

”Siapa yang meninggalkan 3 kali jumatan karena meremehkan, maka Allah akan mengunci hatinya.” (HR. Ahmad 15498, Nasai 1369, Abu Daud 1052)

عن محمد بن عبد الرحمن بن سعد بن زرارة ، قال : سمعت عمي يحدث، عن النبي صلى الله عليه وسلم, قال : مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثًا طُبِعَ عَلَى قَلْبِهِ وَجُعِلَ قَلْبُهُ قَلْبَ مُنَافِقٍ

Dari Muhammad bin Abdillah bin Sa`d bin Zurarah, ia berkata, ”Aku telah mendengar pamanku menyampaikan hadits, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda, ’Barangsiapa meninggalkan shalat Jumat tiga kali, ditutup atas hatinya dan dijadikan hatinya, hati orang munafiq. (HR. Musaddad, dishahihkan sanadnya oleh Al Hafidz Al Bushiri dalam Ithaf Al Khiyarah, 2/272).

عن جابر بن عبد الله : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ طَبَعَ الله عَلَى قَلْبِهِ

Dari Jabir bin Abdillah, bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa meninggalkan shalat Jum`at tiga kali tanpa ada perkara darurat, maka Allah menutup atas hatinya.” (HR.  Ibnu Khuzaimah dalam Ash Shahih).

عن أبى الجعد الضمرى أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى قَلْبِهِ

Dari Abu Ja’d Adh Dhamri sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali karena menyepelekannya, Allah ‘Azza wa Jalla menutup atas hatinya.” (HR. At Tirmidzi, dan ia menghasankannya).

عن صفوان بن سليم قال مالك لا أدري أعن النبي صلى الله عليه وسلم أم لا أنه قال :مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Dari Shafwan bin Sulaim – Imam Malik berkata, ”Aku tidak tahu apakah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau tidak – bahwasannya ia berkata, ’Barangsiapa meninggalkan (shalat) Jum’at tiga kali tanpa udzur dan tanpa sakit, Allah menutup atas hatinya.” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha`, dan ia ragu apakah perkataan itu marfu’ atau tidak dan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalib Al Aliyah (5/43) menghukuminya munqathi` (terputus), karena Shafwan bin Sulaim seorang tabi’in).

وعن ابن عباس – رضي الله عنهما – قَالَ: مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ جُمَعٍ مُتَوَالِيَاتٍ فَقَدْ نَبَذَ الإِسْلاَمَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu `anhuma ia berkata, ”Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at tiga Jum`at berurutan, maka ia telah melempar Islam ke belakang punggungnya.” (HR. Abu Ya’la, mauquf dengan sanad yang shahih (Ithaf Al Khiyarah, 2/274)).

Hadits-hadits di atas ada yang berbentuk mutlak, yakni ancaman bagi mereka yang meinggalkan shalat Jum’at tiga kali, seperti hadits Musaddad. Namun hadits-hadits yang lain menunjukkan ancaman berlaku bagi yang meninggalkan shalat Jum’at karena meremehkan, tanpa udzur, tanpa sakit, atau kondisi darurat.

Maka perlu membawa hadits yang bersifat mutlak kepada hadits-hadits yang bersifat muqayad. Sebab itulah, Al Hafidz Al Bushiri meski mencantumkan hadits yang bersifat mutlak, tetap menulis bab dengan judul, ”Dan Ancaman atas Meninggalkan Shalat Jumat tanpa Udzur.” (lihat, Ithaf Al Khiyarah, 2/270) Atas Udzur-udzur yang Sebabkan Bolehnya Meninggalkan Shalat Jumat.

Hadits mengenai meninggalkan shalat jum'at tiga kali berturut-turut dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli melalui Kitab Nihayatul Muhtaj.

قَوْلُهُ (مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمْعٍ تَهَاوُنًا) أَيْ بِأَنْ لَا يَكُونَ لِعُذْرٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ ذَلِكَ اعْتِرَافُهُ بِوُجُوبِهَا وَأَنَّ تَرْكَهَا مَعْصِيَةٌ، وَظَاهِرُ إطْلَاقِهِ أَنَّهُ لَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الْمُتَوَالِيَةِ وَغَيْرِهَا، وَلَعَلَّهُ غَيْرُ مُرَادٍ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ الْمُتَوَالِيَةُ (قَوْلُهُ : طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ) أَيْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِهِ شَيْئًا كَالْخَاتَمِ يَمْنَعُ مِنْ قَبُولِ الْمَوَاعِظِ وَالْحَقِّ

“(Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum'at karena meremehkan) dalam arti tidak ada udzur. Pengakuan atas kewajiban Jum'at tidak menghalanginya dari konsekuensi tindakannya. Tindakan meninggalkan Jum'at adalah maksiat. Secara zahir kemutalakannya bahwa tidak ada perbedaan antara meninggalkan berturut-turut atau tidak. Tetapi bisa jadi bukan itu yang dimaksud. Yang dimaksud adalah ‘berturut-turut’ (niscaya Allah menutup hatinya) Allah menyegel hatinya dengan sesuatu seperti cincin yang dapat menghalanginya dari nasihat dan kebenaran.” (Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz VI, halaman 450).

Para ulama menyebutkan udzur-udzur menjadikan seseorang boleh meninggalkan shalat Jumat itu antara lain :

*Hujan*

Para ulama menyebutkan bahwasannya hujan merupakan salah satu udzur bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan jama’ah, berpedoman pada hadits,

عَنْ أَبِى الْمَلِيحِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ وَأَصَابَهُمْ مَطَرٌ لَمْ تَبْتَلَّ أَسْفَلُ نِعَالِهِمْ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا فِى رِحَالِهِمْ

“Dari Abu Malih dari ayahnya, bahwa sesungguhnya ia menyaksikan zaman Al Hudaibiyah di hari Jum’at dan hujan turun mengenai mereka, sedangkan bawah sandal-sandal mereka tidak basah, dan Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka melaksanakan shalat di rumah-rumah mereka.” (Riwayat Abu Dawud, Imam An Nawawi menshahihkan isnadnya dalam Khulashah Al Ahkam, 2/657)

Disebutkan dalam Shahih Muslim,

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: ” إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلَا تَقُلْ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ “، قَالَ: فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ، فَقَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ»

“Dari Abdillah bin Abbas, beliau berkata kepada juru adzannya di hari-hari penuh hujan, ‘Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lâ ilâha illallâh, asyhadu anna muhammadan rasûlullâh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alash shalâh (kemarilah untuk shalat), namun ucapkan shallû fî buyûtikum (shalatlah di rumah-rumah kalian).’ Juru adzan berkata, ‘Sepertinya orang-orang mengingkari pandangan tersebut.’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Apakah engkau merasa aneh dengan ini? Sungguh telah melakukan hal tersebut orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya Jum'atan adalah hal yang wajib, namun aku benci memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di lelumpuran dan jalan yang rawan terpeleset’.” (HR Muslim).

Al-Imam al-Nawawi mengatakan dalam penjelasan hadits di atas,

  هذا الحديث دليل على تخفيف أمر الجماعة في المطر ونحوه من الأعذار

“Hadits ini menunjukan diringankannya urusan jamaah disebabkan hujan dan sejenisnya dari beberapa uzur” (Syekh al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, hal. 207).

Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

 ويشترط حصول مشقة بالخروج مع المطر كما صرح به الرافعي في الكلام على المرض فلا يعذر بالخفيف ولا بالشديد إذا كان يمشي في كن

  “Dan disyaratkan ada masyaqqah (hal yang memberatkan) dengan keluar saat hujan seperti yang ditegaskan Imam al-Rafi’i dalam pembahasan sakit, maka tidak dimaafkan hujan yang ringan dan lebat bila ia dapat berjalan di bawah atap [memakai payung].” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 1, hal. 473).

Hujan lebat, becek parah, dan angin kencang menjadi uzur sekiranya mengakibatkan masyaqqah (kondisi memberatkan) yang menghilangkan kekhusyukan atau kesempurnan khusyuk di dalam shalat. Syekh al-Qalyubi mengatakan, 

قوله: (ولا رخصة في تركها إلا بعذر) وهو ما يذهب الخشوع أو كماله، والتعليل بغيره للزومه له.

“Tidak ada keringanan dalam meninggalkan jama'ah (dan Jum'at) kecuali karena udzur, yaitu perkara yang menghilangkan khusyuk atau kesempurnaannya. Membuat alasan dengan selain pengertian ini, karena keduanya saling terkait” (Syekh al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Kanz al-Raghibin, juz 1, hal. 260).

*Ketakutan dan Sakit*

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-:  مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِىَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ . قَالُوا: وَمَا الْعُذْرُ؟ قَالَ: خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ. لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلاَةُ الَّتِى صَلَّى

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu `anhuma ia berkata, bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ”Barangsiapa mendengar (adzan) muadzin, sedangkan udzur tidak mencegahnya. Para sahabat pun bertanya,’Dan apa udzurnya? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, ’Ketakutan dan sakit’, Maka tidak diterima darinya shalat yang ia kerjakan.” (Riwayat Abu Dawud)

Imam Al Baihaqi meletakkan hadits di atas dalam bab, ”Bab Meninggalkan Mendatangi Shalat Jum’at karena Takut atau Sakit atau Perkara yang Semakna dengan Keduanya dari Udzur-udzur” (Sunan Al Kubra, 3/185)

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Daud, no. 1067)

  ويعذر في ترك الجمعة والجماعة، المريض. بلا نزاع، ويعذر أيضا في تركهما لخوف حدوث المرض.

“Orang sakit dimaafkan (boleh) meninggalkan shalat Jumat dan jamaah—tak ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Dan dimaafkan pula dalam meninggalkan Jum'at dan jama'ah karena khawatir terkena sakit” (Syekh al-Mardawi, al-Inshaf, juz 4, hal. 464).

Dalam kitab al-Asybah wa an-Nadzair, Imam As-Suyuthi ulama Syafiiyah menyebutkan beberapa udzur yang membolehkan seseorang tidak shalat jama'ah dan tidak juma'atan. Diantara udzur yang beliau sebutkan adalah menangani orang sakit (al-Asybah wa an-Nadzair, hlm. 439).

Keterangan yang lain disampaikan Ibnu Abidin ulama Hanafiyah, beliau menyebutkan beberapan udzur untuk meninggalkan shalat jamaah dan jumatan,

وقيامه بمريض أي يحصل له بغيبته المشقة والوحشة

"Atau menangani orang sakit, maksudnya ketika si sakit bisa mendapat kesulitan dan merasa kesepian ketika yang menunggu tidak ada." (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/556)

Ini berlaku, jika tidak ada orang lain yang bisa menggantikan.

Jika ada orang lain yang bisa menggantikan, misalnya ada perawat wanita atau dokter wanita yang tidak wajib jumatan, maka wajib digantikan mereka yang tidak wajib jum'atan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

قال أصحابنا: من الأعذار في ترك الجماعة : أن يكون مُمَرِّضاً لمريض يخاف ضياعه

Ulama kami –Syafii'yah– mengatakan bahwa termasuk udzur meninggalkan shalat jamaah adalah posisi dia sebagai perawat orang sakit, yang dikhawatirkan akan membahayakan pasiennya. (al-Majmu’, 4/100).

Di sini mereka berbicara tentang udzur meninggalkan shalat jama'ah, namun aturan ini juga berlaku untuk jum'atan.

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin dinyatakan,

قال الحسن: أفادت هذه الرواية أن الجمعة والجماعة في ذلك سواء

"Al-Hasan mengatakan, riwayat ini menunjukkan bahwa udzur jumatan maupun shalat jamaah, itu sama." (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/555)

*Cuaca Terlalu Panas atau Terlalu Dingin*

Dari udzur-udzur meninggalkan shalat jama’ah dan Jum’at adalah cuaca yang amat dingin, baik di malam hari maupun di siang hari, termasuk semakna dengannya cuaca yang sangat panas. (Fath Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, 2/153)

*Tertidur*

Termasuk dari udzur yang membolehkan seorang meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah adalah ketiduran. (Fath Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, 2/153)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى , وَمَنْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَانِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

"Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat (shalat jum'at) bersama imam, hendaknya dia nambahi satu rakaat lagi. Dan siapa yang ketinggalan kedua rakaat jum'atan, hendaknya dia shalat 4 rakaat." (Al-Mudawanah, 1/229).

Adapun hadits yang menyatakan

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Ahmad dan Muslim).

*Tidak Memiliki Pakaian untuk Menutup Aurat*

Termasuk udzur yang menyebabkan seseorang dibolehkan meninggalkan shalat jama’ah dan shalat Jum’at adalah tidak memiliki pakaian yang menutupi aurat. (Fath Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, 2/153)

Tentu, ada pula udzur-udzur lainnya, yang disebut para fuqaha selain urdzur-udzur di atas. Dan perkara-perkara yang merupakan udzur dalam meninggalkan shalat jama’ah merupakan juga udzur dalam meninggalkan shalat Jum`at. (Fath Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, 2/299)

*Wabah Covid 19 Apakah Termasuk Udzur?*

Hai’ah Kibar Ulama Al Azhar memutuskan, bahwasannya di masa menyebarnya wabah Covid 19, umat Islam boleh meninggalkan shalat Jum’at. Hal itu merujuk pada udzur-udzur meninggalkan yang dibolehkan meninggalkan shalat Jum’at yang telah disimpulkan oleh para ulama.

Jika dikarenakan hujan, boleh meninggalkan shalat Jum’at karena masyaqqah (kesusahan), maka meninggalkan shalat Jum’at karena bahaya Covid-19 lebih besar daripada kesulitan melaksanan shalat Jumat di masjid kerena hujan.

Para ulama juga mengambil kesimpulan hukum, bahwasannya termasuk udzur dibolehkan meninggalkan shalat Jumat karena adanya rasa takut, baik terhadap jiwa, harta atau keluarga. Maka kekhawatiran akan terjangkitnya seseorang oleh Covid-19 merupakan udzur baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan diganti dengan shalat dhuhur.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang seseorang yang memakan bawang merah atau bawang putih untuk pergi ke masjid, karena hal itu mengganggu orang lain dengan baunya. Tentu, gangguan dan bahaya penyebaran wabah Covid 19 lebih besar daripada gangguan karena bau bawang yang bersifat sementara. (Lihat, Pernyataan Hai’ah Kibar Ulama Al Azhar Merespon Kondisi Darurat Wabah Covid-19).

Dalam ilmu fikih dijelaskan tentang macam-macam udzur shalat jum'at sama dengan udzur-udzur shalat berjama'ah sebagaimana dalam kitab I’anah at-Tholibiin II/52,

فصل في أعذار الجمعة والجماعة أعذار الجمعة والجماعة المطر إن بل ثوبه ولم يجد كنا والمرض الذي يشق كمشقته وتمريض من لا متعهد له وإشراف القريب على الموت أو يأنس به ومثله الزوجة والصهر والمملوك والصديق والأستاذ والمعتق والعتيق ومن الأعذار الخوف على نفسه أو عرضه أو ماله وملازمة غريمه وهو معسر ورجاء عفو عقوبة عليه ومدافعة الحدث مع سعة الوقت وفقد لبس لائق وغلبة النوم وشدة الريح بالليل وشدة الجوع والعطش والبرد والوحل والحر ظهرا وسفر الرفقة وأكل منتن نيء إن لم يمكنه إزالته وتقطير سقوف الأسواق والزلزلة

PASAL : HALANGAN SHALAT JAMA'AH DAN JUM'AH

1. Hujan yang dapat membasahi pakaiannya dan tidak diketemukan pelindung hujan
2. Sakit yang teramat sangat
3. Sakitnya orang yang tidak terdapat yang mengurusinya
4. Mengawasi kerabat yang hendak meninggal atau berputus asa
5. Khawatir akan keselamatan jiwanya, keluarga atau hartanya
6. Terhimpit kebutuhan dan banyak hutangnya (bangkrut/pailit) dan berharap ampunan dari dosanya karena kemiskinannya
7. Menahan hadats sementara waktu masih senggang
8. Ketiadaan pakaian yang layak
9. Kantuk yang teramat sangat
10. Kelaparan, kehausan, kedinginan
11. Bepergiannya sahabat dekat
12. Memakan makanan busuk setengah matang yang tidak bisa dihilangkan baunya
13. Runtuhnya atap-atap pasar
14. Gempa.  Wallahu a’lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

#tetap_jum'atan_di_masjid_nurul_iman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar