Rabu, 25 Maret 2020

KAJIAN TENTANG PEMULASARAAN JENAZAH BERESIKO (PENYAKIT MENULAR)



Korban meninggal dunia akibat pandemi virus corona (COVID-19) semakin bertambah, khususnya di Indonesia.

Bagi yang beragama islam, lazimnya jenazah akan dimandikan, dikafani dan disholatkan sebelum akhirnya dimakamkan. Lalu apakah jenazah pasien Covid-19 yang Muslim harus dimandikan dan dirawat sebagaimana aturan syariat terhadap jenazah biasa, lalu bagaimana cara memandikan dan menguburnya?

Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan penjelasan secara fikih pengurusan jenazah korban COVID-19. Di dalam Islam, manusia diposisikan sebagai penerima anugerah karamah insaniyah (martabat kemanusiaan). Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. Al Isra:70)

"Karamah insaniyah tersebut salah satunya tercermin dalam tajhizul mayyit (تجهيز الميت) pemulasaraan jenazah yaitu memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkan yang menjadi kewajiban fakultatif (فرض كفاية) yang tertuju kepada umat Islam untuk setiap mayit Muslim," kata ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, KH. M. Nadjib Hassan dalam keterangan resmi, Selasa (24/3/2020)

Lebih lanjut, kata beliau, pemulasaraan jenazah (التجھیز) diatur di dalam syari'at dengan begitu baik dan sempurna yang benar-benar mencerminkan posisi manusia sebagai makhluk terhormat.

Namun di sisi lain, yakni terkait dengan jenazah yang terkena wabah COVID-19 perlu lebih hati-hati dalam memperlakukannya. Sebab virus tersebut akan dengan cepat menular, ketika seseorang berhadapan langsung dengan pasien atau jenazah yang terjangkit virus Corona.

"Perlakuan terbaik terhadap jenazah kadang tidak dapat diwujudkan karena kendala tertentu, seperti soal memandikan jenazah pasien COVID-19, yang mana kalau dilakukan dengan standar normal diduga kuat dapat menimbulkan bahaya bagi yang hidup terutama bagi yang melaksanakannya, yaitu penularan virus," kata beliau.

Adapun cara memandikan jenazah pasien COVID-19 dengan menggunakan peralatan yang bisa mencegah penularan penyakit tersebut, yakni memandikan dilakukan oleh orang yang profesional atau petugas kesehatan dengan alat pelindung diri. Kemudian memastikan keamanannya (menggunakan pakaian pelindung, sarung tangan, masker, dan desinfeksi diri) agar tidak tertular virus dari jenazah.

Karena kondisi darurat atau sulit tersebut, maka boleh mengambil langkah kemudahan (al-masyaqqoh tajlibut taisir). Dan termasuk bagian dari prinsip ajaran Islam adalah menghilangkan kesulitan. Allah berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dan Dia tidak pernah sekalipun menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS. Al-Hajj : 78)

Hukum memandikan jenazah dari kalangan mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i rahimahullah sendiri menjelaskan,

حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لايسع عامتهم، وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية أجزأ إن شاء الله تعالى 

“Merupakan hak wajib seseorang atas manusia lainnya adalah memandikan mayit, menshalatinya dan menguburkannya, meski kewajiban ini tidak memuat semua orang. Jika sudah ada pihak yang melakukannya, maka hal itu sudah cukup bagi kewajiban sebagian lainnya, insyaallah ta’ala.” (Al-Umm, Juz 1, halaman 312). 

Imam Nawawi rahimahullah, salah satu ulama otoritatif dari kalangan Mazhab Syafi’i, menjelaskan,

وغسل الميت فرض كفاية بإجماع المسلمين، ومعنى فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين، وإن تركوه كلهم أثموا كلهم، واعلم أن غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف 

“Memandikan mayit adalah fardhu kifayah secara ijma’. Makna fardhu kifayah ini adalah bahwa bila sudah ada seseorang yang melakukan dengan niat kifayah, maka gugur tanggungan bagi yang lain. Dan jika sama sekali tidak ada yang melakukan, maka semuanya berdosa. Ketahuilah, sesungguhnya memandikan mayit, mengafaninya, menshalatinya, adalah fardhu kifayah, tanpa khilaf.” (Al-Majmu Syarah al-Muhadzab, Juz 5, halaman 128). 

(ﻗﻮﻟﻪ ﺃﻭ ﺧﻴﻒ ﺇﻟﺦ) ﻋﻄﻒ ﻋﻠﻰ ﺗﻬﺮﻯ ﺃﻱ ﻭﻟﻮ ﻏﺴﻞ ﺗﻬﺮﻯ اﻟﻤﻴﺖ ﺃﻭ ﺧﻴﻒ ﻋﻠﻰ اﻟﻐﺎﺳﻞ ﻣﻦ ﺳﺮاﻳﺔ اﻟﺴﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺮﺩﻱ

"Jika ada jenazah bila dimandikan tubuhnya akan mengelupas atau dikhawatirkan menularnya racun kepada orang yang memandikan, maka jenazah tersebut ditayamumi" (Syekh Ibnu Hajar, Tuhfah Al Muhtaj 3/184)

Ada sejumlah pandangan lain mengenai beberapa praktik memandikan jenazah dalam Islam, khususnya bila kondisi mayat tidak dalam kondisi normal. Maksud dari tidak dalam normal adalah, mayat tersebut merupakan kasus terbakar, korban tenggelam, kecelakaan, atau bahkan terkena wabah menular semisal HIV AIDS, antraks atau korban COVID 19. Pandangan ini didasarkan pada beberapa hasil identifikasi menurut bisa atau tidaknya mayit dimandikan, sehingga perlu dilakukan tajhiz mayyit (pemulasaraan jenazah) menurut kadar memungkinkan dilakukan.

*Pertama, mayat dalam kondisi masih bisa dimandikan.*

Gambaran dari kondisi mayat bisa dimandikan adalah bilamana anggota badannya masih utuh, akan tetapi tidak mungkin untuk dilakukan dalku (membersihkan mayat). Misalnya, untuk kasus mayat yang gosong karena terbakar, namun jasadnya masih utuh. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,

(فَرْعٌ) قالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ وَالْأَصْحَابُ إذَا تَعَذَّرَ غُسْلُ الْمَيِّتِ لِفَقْدِ الْمَاءِ أَوِ احْتَرَقَ بِحَيْثُ لَوْ غُسِّلَ لَتَهَرَّى لَمْ يُغَسَّلْ بَلْ يُيَمَّمُ وَهَذَا التَّيَمُّمُ وَاجِبٌلِأَنَّهُ تَطْهِيرٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ فَوَجَبَ الانْتِقَالُ فِيهِ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنْ الْمَاءِ إلَى التَّيَمُّمِ كَغُسْلِ الْجَنَابَةِ وَلَوْ كَانَ مَلْدُوغًا بِحَيْثُ لَوْ غُسِّلَ لَتَهَرَّى أَوْ خِيفَ عَلَى الْغَاسِلِ يُمِّمَ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَذَكَرَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ وَآخَرُونَ مِنْ الْخُرَاسَانِيِّينَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ بِهِ قُرُوحٌ وَخِيفَ مِنْ غُسْلِهِ إسْرَاعُ الْبِلَى إلَيْهِ بَعْدَ الدَّفْنِ وَجَبَ غُسْلُهُ لِأَنَّ الْجَمِيعَ صَائِرُونَ إلَى الْبِلَى هَذَا تَفْصِيلُ مَذْهَبِنَا وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ فِيمَنْ يُخَافُ مِنْ غُسْلِهِ تَهَرِّي لَحْمِهِ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى غُسْلِهِ عَنْ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكٍ يُصَبُّ عَلَيْهِ الْمَاءُ وَعِنْدَ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ يُيَمَّمُ قَالَ وَبِهِ أَقُولُ

(Sub Masalah) Penulis -Abu Ishaq al-Syairazi- dan para Ashhab berkata: “Apabila tidak dimungkinkan memandikan mayit karena tidak ada air atau karena korban kebakaran, yang  jika dimandikan akan jenazah akan rontok, maka tidak boleh dimandikan, namun ditayamumi.” Tayamum ini hukumnya wajib, karena berfungsi menyucikan tanpa terkait membersihkan najis. Karenanya wajib beralih pada tayamum ketika tidak ada air, seperti mandi janabat. Kalau jenazah itu mati karena sengatan binatang berbisa, yang sekira bila dimandikan akan rontok atau berbahaya bagi yang memandikannya, maka jenazah harus ditayamumi karena alasan yang telah kami sebutkan.   Al-Imam al-Haramain, al-Ghazali dan ulama lain dari Khurasan menyebutkan, jika pada jenazah ada luka yang bernanah, di mana jika dimandikan dikhawatirkan mempercepat hancurnya jenazah setelah dikuburkan, maka tetap wajib memandikannya, karena semua orang akhirnya akan hancur. Begitu perincian madzhab kita.   Ibn al-Mundzir meriwayatkan pendapat dari Imam al-Tsauri dan Imam Malik tentang jenazah yang dikhawatirkan bila dimandikan menyebabkan dagingnya rontok, dan orang-orang tidak mampu memandikannya: “Cukup dituangi air.” Sedangkan menurut Imam Ahmad dan Ishaq, jenazah itu ditayamumi. Dan Ibn al-Mundzir berkata: “Dengan pendapat ini aku berpendapat.” (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid V, h. 137).

*Kedua, mayat dalam kondisi tidak bisa dimandikan*

Maksud dari kondisi tidak bisa dimandikan adalah disebabkan karena kondisinya hancur, sehingga bila dituangi air, maka justru anggota-anggota tubuhnya terlepas satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini, maka cara melakukan penanganan terhadap mayat adalah dengan ditayamumi.

إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غُسِّل لتَهَرَّى، لم يُغَسَّل بل يُيَمَّم ، وهذا التيمم واجب ؛ لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة ، فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء إلى التيمم كغسل الجنابة ، ولو كان ملدوغاً بحيث لو غُسَّل لتَهَرَّى أو خيف على الغاسل يُمِّم لما ذكرناه

“Bila sulit memandikan mayat sebab ketiadaan air atau mayit gosong sebab terbakar, dengan sekira jika dimandikan justru berakibat merusak, maka ia tidak dimandikan, melainkan cukup ditayamumi. Hukum mentayamumi ini adalah wajib, karena tayamum menjadi wasilah bagi penyucian yang tidak ada kaitannya dengan menghilangkan najis. Kewajiban berpindah pada mentayamumi ini juga berlaku bagi pihak yang tidak bisa tersentuh air, seperti layaknya kasus jinabat. Meskipun kondisi mayat itu hancur, dengan sekira bila dimandikan maka menjadi terkelupas, atau timbul kekhawatiran bagi orang yang memandikannya, maka cukup dengan mentayamumkannya, sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5, halaman 178 dan I’anatu al-Thalibin, Juz 2, halaman 127).

*Ketiga, untuk kondisi mayit yang masih bisa dimandikan akan tetapi berbahaya karena timbulnya kekhawatiran bagi yang memandikan, seperti tertular penyakit dan sejenisnya.*

Jika menghadapi mayat dalam kondisi semacam ini, maka ada tahapan-tahapan yang penting untuk diupayakan, antara lain:

1. Mengupayakan mayat agar bisa dimandikan. Misalnya dengan jalan petugasnya memakai perlengkapan yang dibenarkan secara medis dan memenuhi standar keamanan dan kesehatan
2. Mengkondisikan mayat untuk dimandikan di tempat yang khusus dan tidak membahayakan bagi orang lain, seperti sebab percikan airnya atau yang semisalnya
3. Bila dua prosedur di atas tidak bisa dilakukan, maka solusi terakhir adalah dengan jalan mentayammumkannya. Akan tetapi, bagi pihak yang mentayammumkan, hendaknya juga tetap memakai prosedur baku yang memenuhi standar kesehatan.

Dasar hukum dari pelaksanaan ini adalah sebagaimana yang disampaikan oleh al-Rafii dalam Syarhu al-Kabir dan mendapat dukungan dari al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, yang menyatakan:

وصب على مجروح أمكن الصَّب عليه من غير خشية تقطُّعٍ أو تزلعٍ ماءٌ من غير ذلك ؛ كمجدور ونحوه ، فيُصبُّ الماء عليه إن لم يَخَفْ تزلُّعه أو تقطُّعه فإن لم يُمكن بأن خيف ما ذَكَرَ يُمِّمَ

“Cukup dituangkan air pada mayat dengan wabah menular sekedar kemampuan menuangkannya, tanpa unsur khawatir terlepasnya anggota badan mayat, atau dirusakkan oleh air, dan semacamnya. Seperti orang yang tertimpa cacar misalnya, maka cukup dituangkan air ke badan mayat, jika tidak takut rusaknya badan mayat atau terpotongnya. Namun, jika khawatir lepas, atau rusaknya mayat, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka ditayamumi.” (Al-Syarhu al-Kabir li al-Rafii, Juz 4, halaman 410).

Walhasil, mayat muslim adalah wajib untuk dimandikan karena memandikan adalah merupakan perintah nash. Akan tetapi, pelaksanaan kewajiban, juga hendaknya tetap memperhatikan standart prosedur keamanan, karena ada nash juga yang melarang seseorang untuk menjerumuskan diri dalam kerusakan.

*Tata cara pemakaman jenazah beresiko penyakit menular semisal HIV AIDS, antraks, korban virus corona dan semisalnya*

Sesuai ilmu yang penulis dapatkan saat pelatihan pemulasaraan jenazah beresiko penyakit menular di RS Islam Cempaka Putih (YARSI) beberapa tahun lalu bahwa sebelum dimandikan dan dimakamkan, biasanya dilakukan penyiraman atau penyemprotan cairan klorin (larutan campuran antara air dan kaporit atau bayclin) atau disinfektan pada jenazah dan mendiamkannya selama 10-15 menit untuk mematikan bakteri dan virus yang ada pada jenazah, karena secara medis bakteri dan virus itu akan tetap hidup dalam tubuh jenazah selama 8 jam dari kematiannya. Ini juga berlaku untuk petugas medis atau amil jenazah yang akan menangani jenazah. Selain menyemprotkan disinfektan, untuk menjaga tidak adanya penularan, petugas medis atau amil jenazah harus menggunakan pakaian dan alat pelindung universal precaution (UP), serta menerapkan tata cara pencegahan lainnya, seperti merendam semua perlengkapan UP dalam larutan klorin, mencuci tangan dan mandi dengan sabun setelah menangani jenazah atau mengubur dan membakar peralatan tersebut jika tidak digunakan lagi.

Menteri Agama, Fachrul Razi, menuturkan, untuk jenazah muslim atau muslimah, pengurusan jenazah harus tetap memperhatikan ketentuan syariah yang dianjurkan dan menyesuaikan petunjuk rumah sakit.

Dalam hal ini, untuk pelaksanaan shalat jenazah, Menag mengimbau agar dilakukan di Rumah Sakit, tempat korban meninggal. Jika tidak, shalat jenazah bisa dilakukan di masjid yang sudah dilakukan proses pemeriksaan sanitasi secara menyeluruh. Shalat pun dilakukan tanpa menyentuh jenazah. Demikian halnya dalam pemakaman jenazah yang harus diperhatikan adalah masalah kesehatan dan keselamatan para petugas khususnya juga masyarakat luas dengan tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap si mayit. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar