Selasa, 25 Februari 2020

KAJIAN TENTANG BAHAYANYA USTADZ JADI-JADIAN



Ada sebuah pernyataan bahwa Al-Qur’an itu bebas tafsir erat kaitannya dengan bahasan at tafsir bir ra’yi (penafsiran Al-Qur’an dengan opini). Karena jika Al-Qur’an dikatakan bebas tafsir artinya semua orang bebas untuk memaknai dan menafsirkan Al-Qur’an dengan opini mereka masing-masing dan pemahaman masing-masing yang keluar dari benak mereka. Apakah yang demikian dibenarkan?

*Pengertian Tafsir bir Ra’yi*

At-Tafsir bir ra’yi artinya penafsiran seseorang dalam menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan suatu pemahaman khusus yang hanya berlandaskan dengan ra’yu (opini) semata.

Tafsir dengan semata-mata opini adalah “langganannya” orang-orang menyimpang dari ahlul bid’ah dan munafiqun. Syaikh Manna’ Al-Qathan menjelaskan, “Mayoritas yang menggunakan metode ini adalah ahlul bid’ah yang meyakini keyakinan-keyakinan batil. Mereka berbuat lancang terhadap Al-Qur’an dengan menafsirkannya seseuai opini mereka, dan mereka dalam hal ini tidak memiliki teladan dari para sahabat Nabi juga para tabi’in., baik dalam pendapat-pendapat mereka maupun dalam tafsir-tafsir mereka.

Dalam sebuah video ada seorang yang dipanggil gus tapi bukan dzurriyah seorang kyai atau ulama namanya tidak asing lagi yaitu Sugi Nur Raharjo dengan seenak udelnya (pusarnya) tanpa didasari keilmuan atau didasari dengan hujjah yang kuat berani menjabarkan tentang definisi ulama.

Dia menyampaikan bahwa ulama adalah pewaris para nabi kemudian mengutip sebuah ayat yang katanya tegas tidak bertele-tele dan redaksi bahasanya tegas kemudian dia membaca QS. Fathir : 28

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ.

Kemudian dia seenaknya memaknai dan menjelaskan ayat diatas bahwa *'diantara manusia, diantara binatang baik melata apapun jenisnya siapa yang takut kepadaku, maka dia ulama. Jadi ulama menurut Allah adalah bisa ular bisa ayam bisa kambing bisa manusia yang penting takut kepada Allah.'* Na'udzubillah wa nastaghfirullah min dzalik.

Apa yang Sugi Nur katakan adalah bentuk penghinaan terhadap Al-Qur'an yang sesungguhnya dan menodai agama islam dengan statemennya dan bukan pertama kali ini saja.

*Bandingkan dengan penjelasan Al-Hafizh Ibnu Katsir*

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ

"Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya)." (QS. Fathir: 28)

Yakni demikian pula makhluk hidup, baik manusia maupun binatang. Binatang diungkapkan oleh ayat dengan istilah dawab yang artinya setiap hewan yang berjalan dengan kaki; sedangkan lafaz an’am yang jatuh sesudahnya di-ataf-kan kepadanya, termasuk ke dalam pengertian ataf khas kepada am. Yakni demikian pula manusia dan binatang-binatang serta hewan ternak, beraneka ragam pula warna dan jenisnya. Manusia ada yang termasuk bangsa Barbar, ada yang termasuk bangsa Habsyah dan bangsa yang berkulit hitam, ada yang termasuk bangsa Sicilia, dan bangsa Romawi yang keduanya berkulit putih, sedangkan bangsa Arab berkulit pertengahan dan bangsa Indian berkulit merah.

Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain,

وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ

"Dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." (QS. Ar-Rum: 22)

Demikian pula hewan yang melata dan hewan ternak beraneka ragam warnanya, sekalipun dari satu jenis. Bahkan satu jenis dari hewan ada yang mempunyai warna kulit yang beraneka ragam, di antaranya ada yang berwarna blonde dan warna-warna lainnya. Mahasuci Allah sebaik-baik Yang Menciptakan.

قَدْ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ سَهْلٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ بْنِ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيَصْبُغُ رَبُّكَ؟ قَالَ: "نَعَمْ صَبْغًا لَا يُنفَض، أَحْمَرَ وَأَصْفَرَ وَأَبْيَضَ".

"Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar ibnu Aban ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Abdullah, dari Ata ibnus Sa'ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu bertanya, "Apakah Tuhanmu memberi warna?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya, warna yang tidak pernah luntur, merah, kuning dan putih."

Hadits ini diriwayatkan ada yang mursal ada pula yang mauquf; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fathir: 28)

Yakni sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama yang mengetahui tentang Allah Ta'ala. Karena sesungguhnya semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang Allah Ta'ala. Yang Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Mengetahui lagi menyandang semua sifat sempurna dan memiliki nama-nama yang terbaik, maka makin bertambah sempurnalah ketakutannya kepada Allah Ta'ala.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS. Fathir: 28) Yaitu orang-orang yang mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Ibnu Lahi'ah telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang yang mengetahui tentang Allah Yang Maha Pemurah dari kalangan hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan ia menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, serta berpegang teguh kepada perintah-Nya, dan meyakini bahwa dia pasti akan bersua dengan-Nya dan Dia akan menghisab amal perbuatannya.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa khasy-yah atau takut kepada Allah ialah perasaan yang menghalang-halangi antara kamu dan perbuatan durhaka terhadap Allah Ta'ala.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa orang yang alim ialah orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sekalipun dia tidak melihat-Nya, menyukai apa yang disukai-Nya, dan menjauhi apa yang dimurkai-Nya. Kemudian Al-Hasan membacakan firman-Nya: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Fathir: 28)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa orang yang alim itu bukanlah orang yang banyak hafal hadis, melainkan orang yang banyak takutnya kepada Allah.
Ahmad ibnu Saleh Al-Masri telah meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik yang mengatakan, "Sesungguhnya berilmu itu bukanlah karena banyak meriwayatkan hadits, melainkan ilmu itu adalah cahaya yang dijadikan oleh Allah di dalam kalbu." Selanjutnya Ahmad ibnu Saleh Al-Masri menjelaskan bahwa takut kepada Allah itu bukan dijumpai melalui banyak meriwayatkan hadits. Dan sesungguhnya ilmu yang diharuskan oleh Allah Ta'ala agar diikuti hanyalah ilmu mengenai Al-Qur'an, sunnah, dan apa yang disampaikan oleh para sahabat dan orang-orang yang sesudah mereka dari kalangan para imam kaum muslim. Hal seperti ini tidak dapat diraih melainkan dengan melalui periwayatan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan cahaya ialah pemahaman mengenai ilmu tersebut dan pengamalannya dalam realita kehidupan.

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Hayyan At-Tamimi, dari seorang lelaki yang telah mengatakan bahwa ulama itu ada tiga macam, yaitu ulama yang mengetahui tentang Allah dan mengetahui tentang perintah Allah; ulama yang mengetahui tentang Allah, tetapi tidak mengetahui tentang perintah Allah; dan ulama yang mengetahui tentang perintah Allah, tetapi tidak mengetahui tentang Allah. Orang yang alim (ulama) yang mengetahui tentang Allah dan mengetahui tentang perintah Allah ialah orang yang takut kepada Allah Ta'ala dan mengetahui batasan-batasan serta fardu-fardu yang telah ditetapkan-Nya. Dan orang yang alim tentang Allah, tetapi tidak alim tentang perintah Allah ialah orang yang takut kepada Allah, tetapi tidak mengetahui batasan-batasan dan fardhu-fardhu yang ditetapkan-Nya. Dan orang alim tentang perintah Allah, tetapi tidak alim tentang Allah adalah orang yang mengetahui batasan-batasan dan fardhu-fardhu yang ditetapkan-Nya, tetapi tidak takut kepada Allah Ta'ala. (Tafsir Ibnu Katsir QS. Fathir : 28)

*Ancaman Menafsirkan Al-Qur'an dengan logika tanpa Ilmu*

Allah berfirman,

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra' : 36)

Dalam hadits disebutkan,

من يفسر القرأن برأيه فليتبواء مقعده فى النار

“Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Muslim)

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Sahabat Umar bin Khaththab ra berkata, “Berprasangka buruklah kepada pendapatmu sendiri dalam urusan agama.”

Sahabat Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Kalau agama adalah dengan akal maka tentu bagian bawah khuf (sepatu dari kulit) lebih layak untuk diusap dari pada bagian atasnya”.

Al-Masruq berkata,

اتقوا التفسير، فإنما هو الرواية عن الله

“Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al Qur’an) karena tafsir adalah riwayat dari Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 16. Disebutkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil dengan sanad yang shahih)

Asy Sya’bi mengatakan,

والله ما من آية إلا وقد سألت عنها، ولكنها الرواية عن الله عز وجل

“Demi Allah, tidaklah satu pun melainkan telah kutanyakan, namun (berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat Al Qur’an), karena ayat tersebut adalah riwayat dari Allah.” (Idem. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sanadnya shahih).

Ibrahim An Nakho’i berkata,

كان أصحابنا يتقون التفسير ويهابونه

“Para sahabat kami begitu takut ketika menafsirkan suatu ayat, kami ditakut-takuti ketika menafsirkan.” (Idem. Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya shahih).

*Cara Menafsirkan Al Qur’an yang Benar*

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al Qur’an sebagai berikut:

1- Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.

2- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.

3- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti khulafaur rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.

4- Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar Robi’ bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin Muzahim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 5-16)

Maka jelas bagi kita bahwa agama, Al-Qur'an dan Hadits tidak bisa ditafsirkan dengan akal semata. Sehingga yang bertolakbelakang dengan akal kita tolak, tapi yang wajib bagi kita adalah menjadikan akal tunduk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk menolak dalil yang shahih apa lagi tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Awal dari sebuah kesesatan adalah dengan penolakan seperti khawarij yang menolak taat pada pemerintah Utsman bin Affan. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaiakan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 15 Februari 2020

PUJIAN MEMOHON RIZKI


اِلٰهِي لَسۡتُ لِلۡغِنَاءِ اَهۡلًا # وَلَا اَقۡوٰي عَلٰي الۡفَقۡرِ الدَّلِيۡل

"ِYa Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi orang kaya. Namun, aku tidak kuat menjadi orang faqir yang hina."

فَهَبۡ لِي دِرۡهَمًا وأَكۡثِرۡ اَمۡوَالِي# فَاِنَّكَ رَازِقُ كُلِّ الۡعِباَد
ِ
"Berilah kepadaku dirham (uang) dan perbanyaklah hartaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi rizki setiap hamba."

دُيُونِي مِثۡلُ عَدَدِ الرِّمَالِ # فَهَبۡ لِي اَمۡوَالًا يَا ذَاالۡجَلَال
ِ
"Hutangku seperti jumlahnya pasir. Maka berilah aku harta, wahai Pemilik Keagungan."

فُلُوۡسِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوۡمٍ # وَدَيۡنِي زَائِدٌ كَيۡفَ احۡتِمَالِي

"Uangku berkurang setiap hari. Dan hutangku bertambah, bagaimana aku menanggungnya."

اِلٰهِي عَبۡدُكَ الۡفَقِيرُ اَتَاكَ # مُقِرًّا بِالدُّيُونِ وَقَدۡ دَعَاكَ

"Ya Tuhanku, hamba-Mu yang faqir ini datang kepada-Mu. Mengakui banyak hutang dan telah memohon pada-Mu."

وَ اِنۡ تُغۡنِي فَاَنۡتَ لِذَاكَ اَهۡلٌ # وَاِنۡ تَتۡرُد فَمَنۡ يُغۡنِي سِوَاكَ

"Seandainya Engkau memberi kekayaan kepadaku, memang Engkaulah pemilik kekayaan. Dan seandainya Engkau menolak (permohonan) ku. Kepada siapa lagi aku berharap kekayaan selain  kepada-MU."

Jumat, 14 Februari 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT DALAM GENANGAN AIR


Pada saat musim hujan, ada sebagian orang yang memaksakan diri melaksanakan shalat di atas genangan air. Hal ini karena tempat tinggal dan masjid di sekitarnya terkena banjir dan bila menunggu air surut, maka waktu shalat akan habis. Bagaimana hukum melaksanakan shalat di atas genangan air tersebut, apakah sah?

Shalat di atas genangan air hukumnya boleh dan sah selama air dan lumpur yang menempel atas tempat shalat tersebut bisa dipastikan suci. Selama air dan tempat shalat tersebut tidak najis, maka shalat di atas genangan air diperbolehkan.

Disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan salat di atas genangan air dan lumpur saat terjadi hujan. Hadis dimaksud bersumber dari Abu Salamah, dia berkata;

سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ فَقَالَ جَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ السَّقْفُ وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ فَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِي جَبْهَتِهِ

“Saya bertanya kepada Abu Sa’id al-Khudri, kemudian dia menjawab, ‘Pada suatu hari ada banyak awan lalu turun hujan lebat hingga air mengalir dari atap. Waktu itu atap masih terbuat dari daun pohon kurma. Kemudian salat dilaksanakan dan aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sujud di atas genangan air dan lumpur hingga saya melihat ada sisa lumpur pada dahinya.” (HR. Bukhari no. 792)

Hadits ini menjadi dasar kebolehan melaksanakan shalat di atas genangan air dan lumpur. Karena itu, ketika musim hujan tiba dan rumah serta masjid di sekitar rumah kita kebanjiran, maka usahakan melaksanakan shalat fardhu tepat pada waktunya atau boleh menjama' shalat. Usahakan jangan sampai shalat fardhu kita lewatkan hingga waktunya habis.

Jika tidak memungkinkan melaksanakan shalat diatas genangan air atau di tempat lain, maka boleh mengakhirkan pada waktu shalat berikutnya dengan niat jama’ ta’khir. Menurut sebagian ulama, kita boleh melakukan jama’ pada saat terjadi hujan dan tidak memungkinkan salat berjamaah di masjid atau tepat pada waktunya.

Menjama' shalat merupakan bagian dari rukhsah (keringanan) yang diberikan oleh syara’ kepada umat Islam. Bentuk keringanan ini berupa diperbolehkannya melaksanakan shalat dalam satu waktu. Sebab diperbolehkannya menjama' shalat yang sering kita dengar dan diamalkan adalah ketika dalam keadaan perjalanan jauh. Namun ada pula sebab lain yang dapat memperbolehkan menjamak shalat, yaitu dalam keadaan hujan.

Rasulullah dalam salah satu haditsnya tercatat pernah menjama' shalat tanpa adanya hajat juga tidak dalam keadaan perjalanan. Imam Malik pun menafsiri bahwa shalat yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dalam keadaan hujan. Hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu,

 صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ مَالِكٌ أُرَى ذَلِكَ كَانَ فِى مَطَرٍ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat zhuhur dan asar dengan cara jamak. Shalat maghrib dan isya’ dengan cara jamak tanpa adanya rasa takut dan tidak dalam keadaan perjalanan.” Imam Malik berkata, “Saya berpandangan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat tersebut dalam keadaan hujan.” (HR. Baihaqi)

أخبرنا أبو الحسن الشيزي, أنا زاهر بن أحمد, أنا أبو إسحاق الهــــــــاشمي , أنا أبو مصعب , عن مالك , عن أبي الزبير المكي , عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر : عَنْ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ : صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم  الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا, وَ المَغْرِبَ وَالعِشَاءَ جَمِيْعًا, فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ, قَالَ مَالِكُ : أَرَى ذَلِكَ كـَانَ فِيْ مَطَرِ .

Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata : “Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menjama’ antara shalat Zuhur dan Asar dan antara shalat Magrib dan isya’ di luar waktu yang menakutkan dan di luar waktu safar. Malik berkata : saya berpendapat itu adalah pada waktu hujan.”  (HR. Bukhari, Muslim dan Malik )

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر : عَنْ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ : صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم  الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا بِالمَدِيْنَةَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ, قَالَ أَبُوْ الزُّبَيْرِ : فَقُلْتُ لِسَعِيْدِ بنِ جُبَيْر: لِمَ فَعَلَهُ ؟ قَالَ سَأَلْتُ ابنُ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِيْ , فَقَالَ: لِئَلاَ يَحْرَجَ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِهِ.

Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata : Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menjama’ antara shalat Zuhur dan Asar di kota Madinah tidak karena takut ataupun safar. Abu Zubair berkata : aku berkata pada Sa’id bin Jubair, kenapa beliau mengerjakannya ? ia berkata: aku telah bertanya kepada Ibnu Abbas seperti apa yang telah engkau tanyakan (kepadaku), ia (Ibnu Abbas) berkata: supaya tidak kesusahan seorang pun dari umatku.” (HR. Muslim)

Hadits tersebut dijadikan sebagai landasan dalil bolehnya menjamak shalat saat dalam keadaan hujan atau banjir. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaaf. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 13 Februari 2020

KAJIAN TENTANG AGAMA ISLAM BUKAN AJARAN HASIL DARI PEMAKSAAN


Metode radikalisme dakwah yang dilakukan akhir-akhir ini hanya berdampak menyudutkan umat Islam, ternyata diduga dilakukan oleh kelompok islam dengan gerakan dakwah dan penampilan fisik mirip khawarij. Dimana mereka melakukan dakwah dengan cara-cara memaksa  dan kasar layaknya debtcollector sehingga timbul kesan radikal.

Kita sama-sama mengetahui, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bahwa, “Aku diutus untuk membawa agama yang penuh dengan toleransi.” Sebagai contoh ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyah, saat itu, dalam konsepnya Nabi menuliskan kalimat بسم الله الرحمن الرحيم (Bismillahirrahmanirrahim). Namun oleh kaum Musyrik tidak disetujui. Mereka meminta agar ditulis menjadi بسمك اللهم (Bismikallahumma). Nabi berkata kepada Ali bin Abi Thalib “hapus basmalah dan tulis bismikallahumma sesuai usul mereka.” Nabi menyusun dan menyatakan, “inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dan wakil dari kaum musyrik Mekkah.”

Pemimpin delegasi kaum musyrik berkata, “seandainya kami mengakui engkau sebagai rasul Allah, maka kami tidak akan memerangimu. Tulis “Perjanjian ini antara Muhammmad putra Abdullah!” Rasul pun berkata, “hapus kata Rasulullah dan ganti dengan Muhammad putra Abdillah!”  Sayidina Ali dan sahabat-sahabatnya tidak ingin bertoleransi dalam hal ini, mereka enggan menghapusnya. Tetapi Nabi yang penuh dengan toleransi itu menghapus 7 kata demi kemaslahatan, demi perdamaian.

Dakwah Islam begitu mulia, kita diajarkan untuk tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam.

Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam, hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk anak kecil Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.

Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata,

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِىٌّ يَخْدُمُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَمَرِضَ ، فَأَتَاهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُهُ ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ « أَسْلِمْ » . فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهْوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَسْلَمَ ، فَخَرَجَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَهْوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ

“Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.” (HR. Bukhari no. 1356)

Walau boleh mendakwahi, namun haram memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. Karena Allah Ta’ala berfirman,

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256).

Ibnu Katsir menuturkan, “Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam. Tidak ada manfaat jika masuk Islam dalam keadaan terpaksa. Para ulama telah menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah mengenai kaum Anshar. Namun maksud ayat ini adala umum.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 250).

Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita tunjukkan pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam, tanpa harus memaksa.

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ. وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." (QS. Yunus : 99-100)

يقول تعالى « ولو شاء ربك » يا محمد لأذن لأهل الأرض كلهم في الإيمان بما جئتهم به فآمنوا كلهم ولكن له حكمة فيما يفعله تعالى كقوله تعالى « ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا يزالون مختلفين إلا من رحم ربك ولذلك خلقهم وتمت كلمة ربك لأملأن جهنم من الجنة والناس أجمعين » وقال تعالى « أفلم ييأس الذين آمنوا أن لو يشاء الله لهدى الناس جميعا » ولهذا قال تعالى « أفأنت تكره الناس » أي تلزمهم وتلجئهم « حتى يكونوا مؤمنين » أي ليس ذلك عليك ولا إليك بل الله «يضل من يشاء ويهدي من يشاء فلا تذهب نفسك عليهم حسرات » « ليس عليك هداهم ولكن الله يهدي من يشاء » « لعلك باخع نفسك أن لا يكونوا مؤمنين » « إنك لا تهدي من أحببت » « فإنما عليك البلاغ وعلينا الحساب » « فذكر إنما أنت مذكر لست عليهم بمصيطر » إلى غير ذلك من الآيات الدالة على أن الله تعالى هو الفعال لما يريد الهادي من يشاء المضل لمن يشاء لعلمه وحكمته وعدله ولهذا قال تعالى « وما كان لنفس أن تؤمن إلا بإذن الله ويجعل الرجس » وهو الخبال والضلال « على الذين لا يعقلون » أي حجج الله وأدلته وهو العادل في كل ذلك في هداية من هدى وإضلال من ضل

Allah berfirman: walau syaa-a rabbuka (“Jikalau Rabbmu menghendaki,”) hai Muhammad! Niscaya Allah mengizinkan penduduk bumi semuanya untuk beriman kepada apa yang kamu bawa kepada mereka, lalu mereka beriman semuanya. Akan tetapi Allah mempunyai hikmah dalam apa yang dilakukan-Nya. Mahatinggi Allah.

Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman: afa anta tukriHun naasa (“Maka apakah kamu [hendak] memaksa manusia.”) Maksudnya, kamu mewajibkan dan memaksa mereka. hattaa yakuunuu mu’miniin (“Supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”) Maksudnya, hal itu bukan tugasmu dan tidak dibebankan atasmu, akan tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya, maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. ” (QS. Faathir: 8)

Dan lain sebagainya dari ayat-ayat yang menunjukkan, bahwa sesungguhnya Allah-lah Dzat yang melakukan apa yang Dia kehendaki, Yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, karena pengetahuan-Nya, hikmah-Nya dan keadilan-Nya. Maka dari itu Allah Ta’ala berfirman: wa maa kaana linafsin an tu’mina illaa bi-idznillaaHi waj’alur rijsa ‘alal ladziina ya’qiluun (“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya,”) yaitu gila dan sesat, maksudnya terhadap hujjah-hujjah Allah dan dalil-dalil-Nya.

Allah adalah yang Maha Adil dalam segala sesuatu, dalam memberi petunjuk kepada siapa yang berhak ditunjuki dan menyesatkan siapa yang patut disesatkan. (Tafsir Ibnu Katsir QS. Yunus : 99-100).

Sementara dalam firman Allah Ta'ala surat Al-Baqarah ayat 256 menegaskan,

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…." (QS. al-Baqarah: 256)

Kita perhatikan potongan kalimat,

*‘Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)’*

Kemudian lanjutan penggalan kalimat,

*‘sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.’*

Menurut al-Hafdiz Ibnu Katsir, kalimat yang kedua adalah penjelasan bagi kalimat yang pertama. Tidak ada paksaan untuk masuk agama islam, karena kebenaran dan kebatilan sudah sangat jelas, sehingga tidak perlu dipaksa untuk memasukinya.

Imam Ibnu Katsir mengatakan,

أي: لا تكرهوا أحدًا على الدخول في دين الإسلام فإنه بين واضح جلي دلائله وبراهينه لا يحتاج إلى أن يكره أحد على الدخول فيه، بل من هداه الله للإسلام وشرح صدره ونور بصيرته دخل فيه على بينة، ومن أعمى الله قلبه وختم على سمعه وبصره فإنه لا يفيده الدخول في الدين مكرها مقسورًا

"Maksudnya, jangan kalian paksa siapapun untuk masuk agama islam, karena kebenaran islam sudah sangat jelas, nampak, kelihatan, dan sangat terang bukti-buktinya, sehingga tidak butuh memaksa siapapun untuk memasukinya. Namun orang yang mendapat petunjuk dari Allah untuk masuk islam, Allah lapangkan dadanya, Allah beri cahaya ilmunya, maka dia akan masuk islam atas dasar telah mendapatkan penjelasan.

Sebaliknya, orang yang Allah butakan hatinya, Allah kunci mati pendengaran dan penglihatannya, maka tidak akan memberikan manfaat baginya ketika dia masuk islam dengan cara dipaksa." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/682).

Selanjutnya, beberapa ulama ahli tafsir menyebutkan asbabun nuzul ayat ini. Diantaranya yang disebutkan al-Baghawi, sebuah riwayat dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

Ada wanita anshar yang selalu gagal untuk memiliki anak, mereka bernadzar. Jika ada terlahir anak yang bertahan hidup maka akan dimasukkan ke agama yahudi.

Ketika islam datang, ada beberapa anak keturunan orang anshar yang hidup bersama orang yahudi. Pada waktu pengusiran Bani Nadzir, ada beberapa anak keturunan anshar bersama Yahudi, hingga orang-orang anshar hendak memaksa untuk menarik mereka.

Kata orang yahudi, “Mereka ini anak-anak kami, kawan-kawan kami.”

Lalu Allah menurunkan ayat di atas. Kemudian Nabi ﷺ bersabda,

قد خيّر أَصْحَابَكُمْ فَإِنِ اخْتَارُوكُمْ فَهُمْ مِنْكُمْ وإن اختاروهم، فهم منهم

"Allah telah memberikan pilihan untuk keturunan kalian, jika mereka memilih kalian maka mereka bagian dari kalian. Namun jika mereka memilih yahudi, maka mereka bagian dari Yahudi." (Ma’alim at-Tanzil, Tafsir al-Baghawi, 1/313).

Ayat kebebasan beragama berlaku dalam kondisi normal dan damai. Sedangkan ayat perang berlaku dalam konteks mempertahankan aqidah umat dari mereka yang lebih dulu mengangkat senjata.  Satu hal yang bikin repot itu kalau ayat perang justru sengaja dikoar-koarkan untuk dakwah dalam kondisi damai. Ini seperti memainkan musik rock di saat tetangga sedang tidur jam 2 pagi. Anda cari ribut namanya! Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 10 Februari 2020

KAJIAN TENTANG KESUNNAHAN QUNUT SHUBUH


Pada umumnya masyarakat di Indonesia adalah penganut ajaran mazhab Syafi'i dalam masalah fiqih. Namun, banyak di antara mereka mengaku bermadzhab Syafi'i tapi tidak mengerti fiqih Syafi'i termasuk soal Qunut Subuh.

Dalam Kitab: Kifâyat al-Akhyâr fi Hall Ghâyat al-Ikhtishâr, Karya: Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hishni ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Juz: 1, halaman: 114-115).

(كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار، تقي الدين أبو بكر بن محمد الحسيني الحصني الدمشقي الشافعي: جـ: 1، صـ: 114-115).

وأما القنوت فيستحب في اعتدال الثانية في الصبح لما رواه أنس رضي الله عنه قال: {ما زال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا} رواه الإمام أحمد وغيره قال ابن الصلاح: قد حكم بصحته غير واحد من الحفاظ: منهم الحاكم والبيهقي والبلخي قال البيهقي: العمل بمقتضاه عن الخلفاء الأربعة،

Adapun Qunut, maka dianjurkan pada I’tidal kedua dalam shalat Shubuh berdasarkan riwayat Anas, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus membaca doa Qunut pada shalat Shubuh hingga beliau meninggal dunia”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan imam lainnya. Imam Ibnu ash-Shalah berkata, “Banyak para al-Hafizh (ahli hadits) yang menyatakan hadits ini adalah hadits shahih. Diantara mereka adalah Imam al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Balkhi”. Al-Baihaqi berkata, “Membaca doa Qunut pada shalat Shubuh ini berdasarkan tuntunan dari empat Khulafa’ Rasyidin”.

وكون القنوت في الثانية رواه البخاري في صحيحه وكونه بعد رفع الرأس من الركوع فلما رواه الشيخان عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: {لما قنت في قصة قتلى بئر معونة قنت بعد الركوع فقسنا عليه قنوت الصبح} نعم في الصحيحين عن أنس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم {كان يقنت قبل الرفع من الركوع} قال البيهقي: لكن رواة القنوت بعد الرفع أكثر وأحفظ فهذا أولى فلو قنت قبل الركوع قال في الروضة: لم يجزئه على الصحيح ويسجد للسهو على الأصح.

Bahwa Qunut Shubuh itu pada rakaat kedua berdasarkan riwayat Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Bahwa doa Qunut itu setelah ruku’, menurut riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca doa Qunut pada kisah korban pembunuhan peristiwa sumur Ma’unah, beliau membaca Qunut setelah ruku’. Maka kami Qiyaskan Qunut Shubuh kepada riwayat ini. Benar bahwa dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca doa Qunut sebelum ruku’. Al-Baihaqi berkata: “Akan tetapi para periwayat hadits tentang Qunut setelah ruku’ lebih banyak dan lebih hafizh, maka riwayat ini lebih utama”. Jika seseorang membaca Qunut sebelum ruku’, Imam Nawawi berkata dalam kitab ar-Raudhah, “Tidak sah menurut pendapat yang shahih, ia mesti sujud sahwi menurut pendapat al-Ashahh”. (Kifâyat al-Akhyâr fi Hall Ghâyat al-Ikhtishâr, hal. 114-115).

Sejumlah pihak melakukan kritikan terhadap hujjah Madzhab Asy Syafi’i mengenai Qunut Shubuh. Salah satunya adalah hadits yang dijadikan sandaran dalam amalan qunut shubuh yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik. Berikut ini pemaparan para Huffadz Hadits yang menganut pendapat bahwa qunut shubuh disyari’atkan.

  عَن أنس أَن النَّبِي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – قنت شهرا يَدْعُو عَلَى قاتلي أَصْحَابه ببئر مَعُونَة (ثمَّ) ترك ، فَأَما فِي الصُّبْح فَلم يزل يقنت حَتَّى فَارق الدُّنْيَا.

Dari Anas Radhiyallahu Anhu ia berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasalam melakukan qunut selama satu bulan, berdoa (untuk keburukan) kepada para pembunuh para sahabat beliau di Bi’r Ma’unah, lalu beliau meninggalkannya, akan tetapi qunut waktu shubuh, maka beliau masih melakukan hingga wafat”

Hadits ini berada dalam Syarh Al Kabir (1/151). Hadits diriwayatkan Ad Daraquthni (2/39). Ahmad dalam Musnad (3/162), Hafidz Abu Bakar Khatib, dalam At Tahqiq Ibnu Al Jauzi (1/463), Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra (2/201).

*Para Huffadz yang menshahihkan*

Al Hafidz Ibnu Shalah:”Hadits ini telah dihukumi shahih oleh lebih dari seorang huffadz hadits, diantaranya: Abu Abdullah bin Ali Al Balkhi, dari para imam hadits, Abu Abdullah Al Hakim, dan Abu Bakar Al Baihaqi. (Lihat, Badr Al Munir, 3/624).

Al Hafidz Imam Nawawi mengatakan:”Hadits ini diriwayatkan oleh jama’ah huffadz dan mereka menshahihkannya”. Lalu menyebutkan para ulama yang disebutkan Ibnu Shalah, dan mengatakan,”Dan diriwayatkan Daraquthni melalui beberapa jalan dengan sanad shahih”. (Al Khulashah, 1/450-451).

Al Qurthubi dalam Al Mufhim :”Yang kuat diperintahkan oleh Rasulullah shalallhualaihi wasalam dalam qunut, diriwayatkan Daraquthni dengan isnad shahih” (Badr Al Munir, 3/624).

Hafidz Al Hazimi dalam An Nashih wa Al Mansukh:”Hadits ini shahih, dan Abu Ja`far tsiqah”. (Al I’tibar, 255)

Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani : Setelah menyebutkan penilaian para ulama terhadap Abu Jakfar, beliau mengatakan, “haditsnya memiliki syahid (penguat)” lalu menyebutkan hadits qunut shubuh yang diriwayatkan dari Al Hasan bin Sufyan. (Talhis Khabir, 1/443)

Pernyataan Al Hafidz Ibnu Hajar bahwa “haditsnya memiliki syahid” menunjukkan bahwa haditsnya hasan. Sehingga penulis Ithaf fi Takhrij Ahadits Al Ishraf menyatakan,”Ibnu Hajar menghasankan dalam Talhisnya”.

Di halaman yang sama Ibnu Hajar mengatakan,”Hadist riwayat Al Baihaqi…dan dishahihkan Hakim dalam Kitab Al Qunut”. (Talhis Khabir, 1/443).

Hafidz Al Iraqi:”Telah menshahihkan hadits ini Al Hafidz Abu Abdullah Muhammad bin Ali Al Bajili, Abu Abdullah Al Hakim dan Ad Daraquthni” (Tharh Tatsrib,3/289).

*Perawi yang Disoroti dalam Hadits ini adalah Abu Ja`far Ar Razi*

*Pendapat Imam Ahmad*

Bicara mengenai Abu Jakfar Ar Razi. Pendapat Imam Ahmad tentang Abu Jakfar, ada dua riwayat. Pertama. Diriwayatkan Hanbal dari Ahmad bin Hanbal,”Shalih hadits” (haditsnya layak). Kedua, dari Abdullah, anaknya,”Laisa bi qawi (tidak kuat). Al Hazimi dalam Nashih wa Manshuh mengatakan, “Riwayat pertama lebih utama (Al I’tibar, 256).

*Pendapat Yahya bin Ma`in*

Adapun penilaian Yahya bin Ma’in, ada beberapa riwayat:
1, dari Isa bin Manshur, “Tsiqah”.
2, dari Ibnu Abi Maryam , “hadistnya ditulis, tapi ia sering salah”.
3, diriwayatkan Ibnu Abi Khaitsamah, ”shalih”.
4, diriwayatkan oleh Mughirah, ”tsiqah” dan ia salah ketika meriwayatkan dari Mughirah. Daruquthni mengatakan, ”Dan hadits ini tidak diriwayatkan dari Mughirah”.
5, diriwayatkan As Saji “Shoduq wa laisa bimutqin ( hafalanya tidak valid)." Periwayatan dari Yahya bin Ma’in lebih banyak ta’dilnya daripada tajrih.

*Pendapat Ali bin Al Madini*

Ali bin Al Madini: Ada dua riwayat darinya tentang Abu Jakfar. Salah satu riwayat mengatakan,”Ia seperti Musa bin Ubaidah, haditsnya bercampur, ketika meriwayatkan dari Mughirah dan yang semisalnya. Dalam riwayat yang berasal dari anak Ibnu Al Madini, Muhammad bin Utsman bin Ibnu Syaibah,”Bagi kami ia tsiqah”. Ibnu Al Mulaqqin mengatakan,”lebih utama riwayat dari anaknya (anak Ibnu Al Madini).

*Pendapat Para Huffadz*

Muhammad Bin Abdullah Al Mushili mengatakan, ”Tsiqah”. Bin Ali Al Falash mengatakan, ”Shoduq, dan dia termasuk orang-orang yang jujur, tapi hafalannya kurang baik”. Abu Zur’ah mengatakan, ”Syeikh yahummu katisran (banyak wahm). Abu Hatim mengatakan, ”Tsiqah, shoduq, sholih hadits”. Abnu Harash, ”Hafalannya tidak bagus, shoduq (jujur)”. Ibnu ‘Adi, ”Dia mimiliki hadits-hadits layak, dan orang-orang meriwayatkan darinya. Kebanyakan haditsanya mustaqim (lurus), dan aku mengharap ia la ba’sa bih (tidak masalah). Muhammad bin Sa’ad, ”Dia tsiqah”, ketika di Baghdad para ulama mendengar darinya”. Hakim dalam Al Mustadrak, ”Bukhari dan Muslim menghindarinya, dan posisinya di hadapan seluruh imam, adalah sebaik-baik keadaan”, di tempat lain ia mengatakan, ”tsiqah”. Ibnu Abdi Al Barr dalam Al Istighna,”Ia (Abu Ja`far) bagi mereka (para ulama) tsiqah, alim dalam masalah tafsir Al Qur’an.. Ibnu Sahin menyebutnya dalam “Tsiqat”. Al Hazimi dalam Nasikh dan Mansukh,”Ini hadist Shahih, dan Abu Jakfar tsiqah”. Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al Ied dalam Al Ilmam, setelah menyebutkan hadits, ia mengatakan, ”Dalam isnadnya Abu Jakfar Ar Razi. Dan ia ditsiqahkan, lebih dari satu ulama. Nasai mengatakan, ”Laisa bil Qawi” (ia tidak kuat hafalannya).

Demikianlah paparan Al Hafidz Ibnu Al Mulaqqin mengenai perkataan ulama jarh wa ta’dil mengenai Abu Ja’far Ar Razi. (lihat, Badr Al Munir, 3/623)

*Kritik untuk Ibnu Al Jauzi*

Al Hafidz Ibnu Mulaqqin mengatakan, “Adapun Ibnu Al Jauzi menilai bahwa hadits ini mengandung `ilal dalam Al Ilal Al Mutanahiyah dan At Tahqiq mengenai Abu Ja’far ini untuk membela madzhabnya hanya menukil riwayat yang menjarh saja dan ini adalah bukanlah perbuatan yang baik. Ia hanya mencukupkan kepada riwayat siapa yang meriwayatkan dari pendhaifan dari Ahmad, Ibnu Al Madini Dan Yahya bin Ma’in. Dan ini bukanlah perbuatan orang yang obyektif”. (Badr Al Munir, 3/624).

*Hadits-hadits Qunut Shubuh*

عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيْرِيْن قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا.

“Dari Muhammad bin Sirin, berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam membaca qunut dalam shalat shubuh?” Beliau menjawab: “Ya, setelah ruku’ sebentar.” (HR. Muslim)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.

“Dari Anas bin Malik, berkata, “Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam terus membaca qunut dalam shalat fajar (shubuh) sampai meninggalkan dunia.”(HR. Ahmad dan Baihaqi)

Al-Imam An-Nawawi  berkata, “Hadits diatas shahih, diriwayatkan oleh banyak kalangan huffazh dan mereka menilainya shahih. Di antara yang memastikan keshahihannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang shahih.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (3/504).

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ فِيْ آَخِرِ رَكْعَةٍ قَنَتَ.

“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam apabila bangun dari ruku’ dalam shalat shubuh pada rakaat akhir, selalu membaca qunut.” (Hadits ini bahkan dishahihkan oleh ulama salafi wahabi Nashiruddin Al-Albani dalam shahih al Jami’ ash Shaghir (2/862).

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Nabi shallahu ‘alahi wa sallam qunut pada shalat Subuh”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut demikian juga Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah denga mereka.”(HR. Daraquthni dari Anas)

Al Qurthubi mengomentari hadits diatas ”Yang kuat diperintahkan oleh Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam adalah berqunut, diriwayatkan Daruquthni dengan isnad shahih.” (Badr Al Munir (3/624).

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ

“Saya shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut.” (HR. Baihaqi dari Anas).

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ

“Terus-menerus Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggal.”(HR. Ibn Jauzi)
Kalangan Syafi’iyyah berpendapat bahwa sebagian hadits-hadits tentang qunut memang lemah, namun ada hadits shahih yang menjadi hujjahnya dan hadits-hadits lemah itu salang menguatkan. Seperti yang dijelaskan oleh al imam Nawawi dalam kitabnya al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (3/502).

*Bantahan terhadap dalil tidak adanya Qunut Shubuh*

Adanya hadits : “Bahwa Nabi melarang qunut pada waktu subuh “

Hadist ini dhaif karena periwayatan dari Muhammad bin ya’la dari Anbasah bin Abdurahman dari Abdullah bin Nafi’ dari bapaknya dari ummu salamah. Berkata darulqutni :”Ketiga-tiga orang itu adalah lemah dan tidak benar jika Nafi’ mendengar hadis itu dari ummu salamah”. Tersebut dalam mizanul I’tidal “Muhammad bin Ya’la’ diperkatakan oleh Imam Bukhary bahwa ia banyak menhilangkan hadis. Abu hatim mengatakan ianya matruk.” (Mizanul I’tidal (4/70)

Adanya hadits  : “Qunut pada shalat subuh adalah Bid’ah.”

Hadits ini dhaif sekali (daoif jiddan) karena imam Baihaqi meriwayatkannya dari Abu Laila al-kufi dan beliau sendiri mengatakan bahwa hadis ini tidak shahih karena Abu Laila itu adalah matruk (Orang yang ditinggalkan haditsnya). Terlebih lagi pada hadits yang lain Ibnu abbas sendiri mengatakan : “Bahwasanya Ibnu abbas melakukan qunut subuh”.

Adanya riwayat : “Rasulullah tidak pernah qunut didalam shalat apapun”.

Menurut Imam Nawawi dalam Al majmu sangatlah dhaif karena perawinya terdapat Muhammad bin Jabir as-suhaili yang ucapannya selalu ditinggalkan oleh ahli hadits.

Pendalilan Qunut Shubuh ditinggalkan berdasarkan hadits,

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ

“Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah membaca qunut selama satu bulan, di dalamnya mendoakan keburukan bagi beberapa suku Arab, kemudian meninggalkannya.” (HR. Muslim)

Al Imam Nawawi menjawab, “Adapun jawapan terhadap ucapan (stumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan ke atas orang-orang kafir itu dan meninggalkan laknat terhadap mereka. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh.” (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (3/505).

Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam Al-Baihaqi dan Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitab syarahnya Fath al Bari.

Untuk melahirkan hukum syar’i yang kuat setidaknya harus melalui tiga tahapan : Mendatangkan dalil dan membuktikan validitasnya, melakukan istidlal yang benar, menjawab i’tirod (kritikan dan bantahan).

Ibarat ingin memproduksi sebuah handphone berkualitas, maka yang pertama adalah pengadaan bahan baku, proses produksi yang benar kemudian melakukan tes dan pengujian produk.

Ketika suatu hukum hanya dinilai dari dalilnya saja, ibarat kata menanyakan handphone terbuat dari bahan apa? Walaupun bahannya bagus tapi bila proses produksinya salah maka ketika dilakukan pengujian kualitas produk, bisa dipastikan handphone tersebut tidak akan lolos, alias produk gagal.

Kita masuk ke masalah Qunut subuh, mau terima atau tidak, masalah ini memang masalah mukhtalaf fih, masalah yang masih diperselisihkan para ulama. Setiap ulama punya dalil atas pendapat mereka tentu dengan istidlalnya.

Yang menjadi fokus adalah pendapat madzhab Syafi’i yang juga merupakan pendapat mayoritas salafusholih, yaitu bahwa Qunut subuh itu disyari’atkan, hukumnya sunnah muakkad.

Untuk mengetahui kualitas pendapat ini, mari kita lalui ketiga tahap yang telah saya sebutkan;

*Dalil (hujjah)*

واحتج أصحابنا بحديث أنس رضي الله عنه : أن النبي صلى الله تعالي عليه وسلم قنت شهرا يدعوا عليهم ثم ترك فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخي والحاكم أبو عبد الله في مواضع من كتبه والبيهقي ورواه الدارقطني من طرق بأسانيد صحيحة

Dan ulama kami berhujjah dengan hadits Anas -rodhiyallahu ‘anhu- : bahwasannya Nabi ﷺ melakukan qunut selama satu bulan, mendo’akan kejelekan kepada mereka kemudian meninggalkan (do’a) tersebut. Adapun qunut subuh maka beliau tetap melakukannya sampai wafat.

Hadits shohih, diriwayatkan oleh sekelompok huffadz, mereka semua menshohihkannya. Dan di antara yang menyatakan secara jelas tentang itu adalah al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi dan al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat dalam di kitab-kitabnya, begitu juga al-Baihaqi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shohih.

وعن العوام بن حمزة قال سألت أبا عثمان عن القنوت في الصبح قال بعد الركوع قلت عمن قال عن أبي بكر وعمر وعثمان رضي الله تعالى عنهم. رواه البيهقي وقال هذا إسناد حسن ورواه البيهقي عن عمر أيضا من طرق

Dari Awam bin Hamzah, dia berkata: “saya bertanya kepada Abu Utsman tentang qunut subuh, dia menjawab: qunut subuh itu setelah ruku’. Aku bertanya lagi: dari mana kamu tau itu? Dari Abu Bakar, Umar dan Ali -rodhiyallahu anhum-.

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dia berkata: hadits ini sanadnya hasan. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Umar dengan beberapa jalan.

وعن عبد الله بن معقل – بفتح الميم وإسكان العين المهملة وكسر القاف – التابعي قال : قنت علي رضي الله عنه في الفجر رواه البيهقي وقال هذا عن علي صحيح مشهور

Dari Abdillah bin Ma’qil, seorang Tabi’in, dia berkata: Ali -rodhiyallahu ‘anhu- melakukan qunut subuh. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dia berkata: hadits ini dari sahabat Ali shohih masyhur.

وعن البراء رضي الله تعالى عنه : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقنت في الصبح والمغرب رواه مسلم ورواه أبو داود وليس في روايته ذكر المغرب ولا يضر ترك الناس القنوت في صلاة المغرب لأنه ليس بواجب أو دل الاجماع على نسخه فيها

Dari al-Barro -rodhiyallahu ‘anhu- : “sesungguhnya Rosulullah ﷺ selalu melakukan qunut di Subuh dan Maghrib. Hadits riwayat Muslim. Sedangkan dari riwayat Abu Daud tidak ada lafadz Maghrib. Dan tidak mengapa meninggalkan qunut di shalat Maghrib karena memang tidak wajib atau ijma’ ulama telah menasikh hukum tersebut.

*Istidlal*

Hadits-hadits yang digunakan sebagai hujjah adalah hadits shohih atau hasan, yang mana itu semua itu semua sudah diklarifikasi oleh para hafidz, seperti al-Hakim, al-Baihaqi, Daruquthni dan lainnya.

Al-Hafidz adalah gelar yang sangat tinggi dalam dunia hadits, yaitu orang yang hafal dengan baik seratus ribu hadits matan dan sanadnya, tau jenis-jenis hadits baik secara riwayat maupun diroyat, tau ilal hadits dan sebagainya.

Perlu juga diketahui, masalah tashih hadits adalah maslah ijtihadiyah, artinya penilaian satu orang ahli hadits dengan ahli hadits lainnya kadang berbeda, tinggal dilihat saja mana yang lebih berilmu dan lebih terpercaya.

Hadits-hadits tersebut manthuqnya secara shorih, tegas, eksplisit mengatakan bahwa Nabi melakukan Qunut subuh, begitu juga Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. yang ditinggalakan adalah do’a buruk dan laknat atas orang-orang kafir.

*Menjawab i’tirodh (kritik dan bantahan)*

Ulama-ulama lain yang tidak sependapat membawakan beberapa dalil untuk meruntuhkan pendapat dari madzhab Syafi’i, namun bukan pendapat yang kuat namanya bila tak mampu menjawab argumen-argumen dari pengkritik. Berikut dalil pendapat lain dan jawaban dari madzhab Syafi’i yang diwakili oleh al-Imam an-Nawawi -rodhiyallahu ‘anhu-

*Hadits Anas ra.,*

حديث أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله تعالي عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على أحياء من العرب ثم تركه رواه البخاري ومسلم وفى صحيحهما

“Bahwasannya Nabi ﷺ melakukan Qunut setelah ruku’ selama satu bulan, Beliau mendo’akan kejelekan atas sebagian orang-orang arab kemudian meninggalkannya”. HR. Bukhori Muslim

*Jawaban :*

وأما الجواب عن حديث أنس وأبي هريرة رضي الله عنهما في قوله ثم تركه فالمراد ترك الدعاء على أولئك الكفار ولعنتهم فقط لا ترك جميع القنوت أو ترك القنوت في غير الصبح وهذا التأويل متعين لأن حديث أنس في قوله لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا صحيح صريح فيجب الجمع بينهما وهذا الذي ذكرناه متعين للجمع وقد روى البيهقي بإسناده عن عبد الرحمن بن مهدي الإمام أنه قال إنما ترك اللعن ويوضح هذا التأويل رواية أبي هريرة السابقة وهي قوله : ثم ترك الدعاء لهم

Adapun jawaban atas hadits Anas dan hadits Abu Hurairoh yaitu hadits yang berbunyi “kemudian Nabi meninggalkannya”, maksudnya adalah meninggalkan do’a keburukan dan laknat atas orang-orang kafir, bukan meninggalkan qunutnya. Atau juga maksudnya adalah meninggalkan qunut di shalat selain shalat Subuh.

Penafsiran ini sangat kuat, karena hadits Anas yang berbunyi: “Nabi tetap qunut subuh sampai wafat” merupakan hadits shohih dan jelas (eksplisit menunjukan qunut subuh), maka wajib dilakukan al-jam’u (kompromi) diantara dua hadits tersebut. Dan yang kami sebutkan adalah hasil yang kuat dari proses al-jam’u tersebut.

Dan al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Mahdi, seorang Imam (ilmu hadits) bahwasannya dia berkata : “yang ditinggalkan oleh Nabi adalah laknat”. Tafsiran ini juga diperkuat oleh hadits Abu Hurairoh di atas yang berbunyi: “kemudian Nabi meninggalkan do’a atas mereka

*Hadits Sa’d bin Thoriq ra.,*

عن سعد بن طارق قال: قلت لأبي يا أبي إنك قد صليت خلف رسول الله صلي الله تعالي عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي فكانوا يقنتون في الفجر فقال أي بني فحدث. رواه النسائي والترمذي وقال حديث حسن صحيح

Dari Sa’d bin Thoriq : aku bertanya pada ayahku : wahai ayah, sesunggunya engkau telah sholat di belakang Rosulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, apakah mereka melakukan qunut subuh? Ayah menjawab: “wahai anakku itu adalah perkara baru” HR. Nasai dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata : hadits hasan shohih.

*Jawaban :*

والجواب عن حديث سعد بن طارق أن رواية الذين اثبتوا القنوت معهم زيادة علم وهم أكثر فوجب تقديمهم

Adapun jawaban untuk hadits Sa’d bin thoriq: bahwa riwayat orang-orang yang menetapkan (qunut) sangat banyak dan pada mereka ada tambahan informasi (dari sekedar hadits Sa’d bin Thoriq), maka wajib mengunggulkan riwayat mereka”

*Hadits Ibnu Mas’ud ra.,*

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: ما قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في شئ من صلاته

Dari Ibnu Mas’ud: “Rosulullah ﷺ tidak pernah melakukan Qunut dalam shalat”

*Jawaban :*

وعن حديث ابن مسعود أنه ضعيف جدا لأنه من رواية محمد بن جابر السحمى وهو شديد الضعف متروك ولأنه نفي وحديث أنس إثبات فقدم لزيادة العلم

Jawaban atas hadits Ibnu Mas’ud : bahwasannya hadits tersebut dho’if jiddan (sangat lemah), karena hadits tersebut dari riwayat Muhammad bin Jabir as-Sahmi, sedangkan dia adalah orang yang sangat lemah (hafalannya) juga matruk (tidak diambil riwayatnya).

Juga karena hadits tersebut berbentuk nafyun (penafian) sedangkan hadits Anas adalah itsbat (penetapan) maka diunggulkan itsbat atas nafyun karena adanya tambahan informasi.

*Hadits Ibnu Umar ra.,*

عن أبي مخلد قال صليت مع ابن عمر رضي الله تعالى عنهما الصبح فلم يقنت فقلت له ألا أراك تقنت فقال ما احفظه

Dari Abu Mukhlid beliau berkata : aku sholat shubuh bersama Ibnu Umar -rodhiyallohu anhuma- dan beliau tidak membaca doa qunut, maka aku bertanya kepadanya : mengapa engkau tidak berqunut? Kemudian beliau berkata : saya tidak menghafalnya.

*Jawaban :*

وحديث ابن عمر أنه لم يحفظه أو نسيه وقد حفظه أنس والبراء بن عازب وغيرهما فقدم من حفظ

Adapun hadits Ibnu Umar, maka dia tidak hafal tentang hadits qunut atau dia lupa, sedangkan Anas, al-Barro bin Azib dan selain mereka berdua mengingatnya. Maka diunggulkan orang-orang yang hafal.

*Hadits Ibnu Abbas ra ,*

عن ابن عباس رضي الله عنهما : القنوت في الصبح بدعة

Dari Ibnu Abbas -rodhiyallahu ‘anhuma- : “Qunut subuh itu bid’ah”

*Jawaban :*

وعن حديث ابن عباس أنه ضعيف جدا وقد رواه البيهقي من رواية أبي ليلى الكوفي وقال هذا لا يصح وأبو ليلى متروك وقد روينا عن ابن عباس أنه قنت في الصبح

Jawaban atas hadits Ibnu Abbas adalah bahwa hadits tersebut dho’if jiddan (sangat lemah). Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari riwayat Abi Laila al-Kufi, beliau berkomentar: hadits ini tidak shohih karena Abi Laila matruk (tidak diambil riwayatnya).

Dan kami telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya dia melakukan qunut subuh.

*Hadits Ummu Salamah ra.,*

عن أم سلمة عن النبي صلى الله تعالي عليه وسلم أنه نهى عن القنوت في الصبح

Dari Ummu Salamah, dari Nabi ﷺ, bahwasannya Nabi melarang melakukan qunut subuh.

*Jawaban :*

وعن حديث أم سلمة أنه ضعيف لأنه من رواية محمد بن يعلى عن عنبسة بن عبد الرحمن عن عبد الله بن نافع عن ابيه عن ام سلمة قال الدارقطني هؤلاء الثلاثة ضعفاء ولا يصح لنافع سماع من أم سلمة والله أعلم

Jawaban atas hadits Ummu Salamah adalah bahwasannya hadits tersebut lemah, karena berasal dari riwayat Muhammad bin Ya’la dari Anbasah bin Abdirohman dari Abdullah bin Nafi’ dari ayahnya dari Ummu Salamah. Daruquthni berkata: “mereka bertiga semuanya lemah, dan juga tidak valid bahwa Nafi’ mendengar dari Ummu Salamah.

*Hadits lainnya*

Hadits tentang qunut subuh itu dho’if, dan bahwa ketua para ulama (maksudnya sahabat yaitu Thoriq, ayah dari Sa’d) mengatakan bahwa qunut subuh itu bid’ah.

*Jawaban :*

Telah disebutkan di atas bahwa sekelompok Huffadz telah mengatakan tentang ke-shohih-an hadits yang menjadi hujjah pendapat madzhab syafi’I, dan bahwasannya perkara tashih hadits itu perkara ijtihadiyah, maka yang dikedepankan adalah sikap legowo.

Apabila sahabat yang bernama Thoriq adalah ketua para ulama, maka Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali merupakan ketua para Sahabat, mereka semua sebagaimana disebutkan dalam hadits Awam bin Hamzah dan hadits Abdullah bin Ma’qil yang dihukumi sebagai hadits Hasan oleh al-Baihaqi, melakukan Qunut subuh. Wallahu a’lam

Setelah membaca semua ini, ada dua pilihan bagi pembaca; menerima bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah atau membantah dan menjawab dalil-dalil yang dibawakan Imam Nawawi.

Apabila tidak dijawab, berarti pengakuan bahwa masalah ini masalah khilafiyah, apabila dijawab maka itu juga bukti bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah, yang mana di dalamnya terjadi I’tirodh dan jawab.

Apabila kita semua bersepakat bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah maka yang dikedepankan adalah sikap tasamuh, mari hentikan semua perdebatan yang tidak produktif.

Walhasil, meski status hadits qunut diperselisihkan keshahihannya dan pihak yang mendhaifkan hadits qunut memiliki argumen, namun pihak Asy Syafi’iyah juga memiliki argumen yang menunjukkan bahwa hadits qunut bukan hadits dhaif. Tentu dalam hal ini yang dibutuhkan umat adalah kedewasaan untuk saling menghargai satu sama lain tanpa memaksakan kehendak. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 05 Februari 2020

KAJIAN TENTANG PREDIKSI ULAMA MUNCULNYA "VIRUS CORONA




Virus Corona pertama kali merebak di Wuhan, China, sejak akhir 2019. Hingga akhir Januari, jumlah kasus pengidap Corona ada sekitar 5.974 kasus dan 132 orang dilaporkan meninggal dunia pada Rabu (29/01/2020) sebagaimana dilansir dari South China Morning Post.

Dari data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan sumber lain yang diolah, Virus Corona berawal dari penularan antar hewan seperti kelelawar, burung, monyet, ayam, sapi, hingga ular. Penularan kepada manusia diduga dimulai dari Pasar SeaFood Huanan yang menjual berbagai macam hewan tersebut. Pemerintah Cina pun telah menutup pasar Huanan.

Berbicara tentang kelelawar sebagai salah satu sumber virus Corona, Islam sejak dulu telah melarang umatnya untuk mengkonsumsi binatang ini. Diperkuat lewat sebuah hadits  yang menyatakan haramnya memakan kelelawar. Pendapat yang tepat menurut ulama Hambali dan Syafi’iyah dalam masalah ini, kelelawar haram dimakan karena dilarang untuk dibunuh sebagaimana disebutkan dalam hadits,

عن عَبد الله بن عَمْرو ، أنه قال : لاَ تقتلوا الضفادع فإن نقيقها تسبيح ، ولا تقتلوا الخفاش فإنه لما خرب بيت المقدس قال : يا رب سلطني على البحر حتى أغرقهم

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata,  “Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbih. Jangan kalian pula membunuh kelelawar, karena ketika Baitul-Maqdis roboh ia berkata : ‘Wahai Rabb, berikanlah kekuasaan padaku atas lautan hingga aku dapat menenggelamkan mereka” (HR. Al Baihaqi dalam Al-Kubraa 9: 318 dan Ash-Shughraa 8: 293 no. 3907, dan Al-Ma’rifah hal. 456. Al Baihaqi berkata bahwa sanad hadits ini shahih)

“Imam Ahmad ditanya mengenai orang yang makan kelelawar dan ditanyakan pula mengenai khuthof (sejenis kelelawar). Imam Ahmad menjawab, “Saya tidak tahu (mengenai hukumnya).” An Nakho’i mengatakan, “Setiap burung itu halal kecuali kelelawar.” (Lihat Al Mughni  11: 66).

Melihat dari berbagai respon sebagian orang yang menisbatkan kalimat corona dengan apa yang tertulis dalam buku Iqro' kata خ ل ق، ق ر ن، ز م ن، ك ذ ب yang dimaknai dengan "ducipatakan corona di zaman penuh dusta" ada baiknya kita baca prediksi ulama akan munculnya virus corona tersebut dalam kitab Al-Asas Wa Al Munthalaqat karya Al-Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur
(كتاب الاسس والمنطلقات للحبيب ابوبكر العدني بن علي المشهور)
Disana terlulis kata virus "demam corona" (حمى الكرونا). Apakah hal tersebut ada kaitannya atau hanya suatu kebetulan munculnya virus corona yang mewabah di wuhan (2019-nCoV). Maka saya jadi tertarik ingin menyampaikan sebuah analysis tentangnya. Diamana dalam kitab tersebut tertulis di dalam sub bab،

ظهور الامراض التي لم تكن فى الاسلاف

ومن العلامة الصغرى المنصوص عليها فى أحاديث من لا ينطق عن الهوى انتشار العدد من الامراض الوبائية على غير سابق عهدها فى ألامم الشعوب، وقد برزة هذه الظاهرة وتفشت وخاصة فى مراحلنا الاخرة، فظهرة الامراض الوبائية الخطيرة كاالابذير وانفلونز الطيور والخنازير وحمى الكرونا وغيرها من الامراض المستعصية التي لا زال العلماء يبحثون عن وسائل علاجها ومعرفة اسباب انتشارها فى الشعوب الى اليوم.

"Munculnya berbagai macam penyakit yang dahulu belum pernah ada."

"Munculnya berbagai jenis penyakit yg sebelumnya tidak pernah ada. Diantara tanda-tanda kiamat kecil yg telah disebutkan dalam hadits adalah mewabahnya berbagai macam penyakit yg belum pernah dikenal oleh generasi sebelumnya. Hal ini mulai nampak dan mewabah khususnya pada akhir-akhir ini. Hal ini dimulai dengan munculnya berbagai macam penyakit yg berbahaya dan bersifat menular ke banyak korban, seperti aids, flu burung dan babi, DEMAN CORONA, dan berbagai jenis penyakit yg sulit disembuhkan yg lain yg para ilmuam masih terus berusaha mencari solusi penanganan dan pengobatannya serta berusaba mencari tahu tentang sebab penyebarannya di tengah masyarakat hingga hari ini." (Lihat Kitab Al-Asas Wa Al Munthalaqat karya Al-Habib Abu Bakar Al-'Adni bin Ali Al-Masyhur juz 1 hal. 218)

Bukannya tidak mungkin juga jika penyakit ini sengaja dibuat oleh tokoh-tokoh yang berniat buruk di dunia, dengan alasan dorongan politik, ekonomi, dan permainan lainnya.

Perlu diketahui bahwa sebenarnya mulai dari pertengahan tahun 1960 sampai saat ini setidaknya sudah ada 7 rumpun virus corona yang terdeteksi yakni: 229E, NL63, OC43, HKU1, SARS-CoV (di China 2002= asal kelelawar), MERS-CoV (di Saudi Arab 2012 = asal unta) dan 2019-nCov (di China 2019= asal kelelawar). Namun, yang paling populer dan banyak makan korban adalah SARS-CoV, MERS-CoV dan 2019 –nCoV.

Jadi menurut pandangan saya terkait kitab diatas, "Dari judul sub bab, beliau menyampaikan “Penyakit yang sebelumnya tidak ada.” Nah dari sini dapat dianalisa bahwa saat beliau (Al-Habib Abu Bakar Al-'Adni bin Ali Al-Masyhur) menuliskannya berarti wabah tersebut sudah ada. akan tetapi sebelumnya memang belum ada.

Berdasarkan isi yang terlampir  didalam kitab cetakan tahun 2015 tersebut (yang ada di poto) bahwa yang dimaksudakan oleh beliau adalah  MERS-CoV (Corona Virus MERS) yang sempat mewabah di Saudi Arab pada tahun 2012 lalu. Dimana wabah yang sedemikian memang tidak pernah ditemukan di Saudi Arab sebelumnya. Jadi Bukan corona virus yang saat ini mewabah di Wuhan (2019-nCov). Hal ini terlihat berdasarkan pada cetakan tahun 2010 lalu yang tidak melampirkan kalimat demam corona. Itu artinya beliau menuliskan ini setelah wabah MERS-CoV ini terjadi.

Selain itu juga pada cetakan tahun 2010 beliau menuliskan flu burung (Avian Influenza = H5N1)  dan flu babi. Terkait hal Avian Influenza ini sejalan dengan kasus penyakit tersebut yang baru saja mewabah ditanah arab  pada maret tahun 2007 lalu, sebelum pencetakan kitab thn 2010 tsb.

Begitu juga flu babi yang sempat mewabah ditanah saudi arab pada tahun 2009 silam yang mana sebelumnya penyakit sedemikian tidak pernah ditemukan di tanah Saudi Arab.

Selain itu juga dimana dalam kitab tersebut beliau menyampaikan bahwa para ahli lagi terus mencari solusi akan hal ini. Terkait pengobatan, vaksin dan penanganan yang masih saja belum ditemukan dan terus membutuhkan pengembangan (itu artinya kasus telah ada hingga mencari solusi).

Jadi, berdasarkan anylisis tersebut menurut saya yang beliau maksudkan disini adalah penyakit wabah yang ditanah saudi arab (MERS-CoV) bukan (2019-nCoV). Wallahu a’lam.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 04 Februari 2020

KAJIAN PENGOBATAN MUJARAB PENANGKAL SEGALA PENYAKIT SESUAI SUNNAH



Setiap yang bernyawa pasti pernah merasakan sakit, entah itu sakit flu, batuk, kena sihir atau yang lain-lain.

Anjuran berobat ketika mengalami sakit adalah perintah agama. Agar umatnya senantiasa sehat dan bugar.

( ويسن ) للمريض ( التداوي ) لخبر – إن الله لم يضع داء إلا وضع له دواء غير الهرم ـ قال الترمذي حسن صحيح .

"Muslim yang sehat lebih baik dari pada muslim yang sakit-sakitan.
Berobatpun beragam macam caranya, ada yang menggunakan bahan kimia, herbal dan sejenis doa-doa yang telah dibacakan ke atas minuman.  Berikut ini sangat menarik lagi mujarab bagi yang sedang mengalami sakit apapun."
(Lihat Mugnil Muhtaj halaman 573)

Syeikh Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al Qaliyubi al Mishri as Syafi'i, adalah seorang ulama yang berasal dari Mesir, wafat pada tahun 1070 H. Dari kitab Nawadir karangan beliau yang menjelaskan terkait pengobatan ala Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau juga telah menyusun beberapa puluh kitab diantaranya;

1. Hasyiyah Syarah al Jurumiyah
2. Hasyiyah Syarah Isaguji,
3. Hasyiyah Syarah Thahir, (Fiqih).
4. Majma’ul Muhibbin, (Fiqih).
5. Al-Jami, (ilmu Thib).
6. Tadzkirah Al-Qalyubi, (kesehatan).
7. Hasyiyah Al-Qaliyubi Wa Umairah 'Ala Kanz Ar-Raghibin Al-Mahall
8. An-Nawadir dll.

Salah satu kitab karangan beliau yang sangat terkenal di Indonesia, yakni kitab Hasyiyah al Qalyubi karena cara pengobatan tersebut diletakkan dalam satu kitab yang terkenal dengan nama "Hasyiah Al-Qalyubi Wa Umairah 'Ala Kanz Ar-Raghibin "Al-Mahalli."

Berikut keterangannnya;

فائدة ; روي أنه صلى  الله عليه وسلم قال ” علمني جبريل دواء لا أحتاج معه إلى دواء ولا طبيب ،  فقال أبو بكر وعمر وعثمان وعلي رضي الله عنهم ; وما هو يا رسول الله ؟ إن  بنا حاجة إلى هذا الدواء . فقال ; يؤخذ شيئ من ماء المطر وتتلى عليه فاتحة  الكتاب ، وسورة الإخلاص ، والفلق ، والناس ، وآية الكرسي ، كل واحدة سبعين  مرة ويشرب غدوة وعشية سبعة أيام . فو الذي بعثني بالحق نبيا ، لقد قال لي  جبريل ; إنه من شرب من هذا الماء رفع الله عن جسده كل داء وعافاه من جميع  الأمراض والأوجاع ، ومن سقي منه امرأته ونام معها حملت بإذن الله تعالى “.  ويشفي العينين ، ويزيل السحر ، يقطع البلغم ، ويزيل وجع الصدر والأسنان  والتخم العطش وحصر البول ، ولا يحتاج إلى حجامة ولا يحصى ما فيه من المنافع  إلا الله تعالى ، وله ترجمة كبيرة اختصرناها ،  والله أعلم

Diriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jibril mengajariku  sebuah obat dengannya saya tidak lagi butuh pada obat lain dan dokter. Kemudian Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali, bertanya ; Apa itu, wahai Rasulullah? Sesungguhnya kami membutuhkan obat tersebut. Lalu Nabi Muhammad SAW bersabda; Ambillah air hujan secukupnya, dan  bacakanlah atasnya surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Naas, dan  ayat Al-Kursiy. Masing-masing dibaca sebanyak 70 kali. Diminum pagi dan  sore selama 7 hari.

Demi Dzat yang telah mengutusku dengan hak  sebagai seorang Nabi, sungguh Jibril telah berkata kepadaku : ” Sesungguhnya, barang siapa meminum air tersebut, maka Allah akan  menghilangkan segala penyakit dari tubuhnya. Dan Allah akan menyembuhkan  dari semua macam sakit. Dan barangsiapa pula meminumkan air tersebut  pada istrinya, lalu tidur bersama dengan sang istri , maka istri akan  bisa hamil dengan idzin Allah.

Dan air tersebut juga bisa  menyembuhkan mata yang sakit, menghilangkan guna-guna, santet dan sihir,  menghilangkan dahak, menyembuhkan sakit dada, sakit gigi, pencernaan,  sembelit, kecing tidak lancar. dan tidak butuh dibekam (canduk) dan  kemanfaatan-kemanfaatan lain yang hanya Allah yang tahu." (Lihat Hasyiah Al-Qalyubi Wa Umairah 'Ala Kanz Ar-Raghibin Al-Mahalli hal. 194 dan An-Nawadir hal. 142)

*Cara simpelnya begini :*

Sekali buat ambil sekalian air hujan yang kiranya cukup untuk di minum pagi sore selama 7 hari.

Al-Fatihah70x
Al-Ikhlas70x
Al-Falaq 70x
An-Naas 70x
Ayat Kursi 70x

Setelah itu baca doa ini:

اللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أذهِبِ البَأسَ أشفِ…......!!! أَنتَ الشَّافِي لاشِفَاءَ إِلَّا شِفَاوءُكَ شفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Wahai Allah Tuhan manusia
Hilangkanlah rasa sakit ini
Sembuhkanlah … (fulan bin/binti fulan) !!! Engkaulah Yang Maha Penyembuh tidak ada kesembuhan yang sejati kecuali kesembuhan yang datang dari-Mu. Yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan komplikasi rasa sakit dan penyakit lain."

Terus dikasihkan atau diminumkan ke orang yg sakit minum saat pagi dan sore hingga 7 hari fainsya Allah sehat dengan izin Allah Ta'ala. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*