Selasa, 25 Februari 2020
KAJIAN TENTANG BAHAYANYA USTADZ JADI-JADIAN
Ada sebuah pernyataan bahwa Al-Qur’an itu bebas tafsir erat kaitannya dengan bahasan at tafsir bir ra’yi (penafsiran Al-Qur’an dengan opini). Karena jika Al-Qur’an dikatakan bebas tafsir artinya semua orang bebas untuk memaknai dan menafsirkan Al-Qur’an dengan opini mereka masing-masing dan pemahaman masing-masing yang keluar dari benak mereka. Apakah yang demikian dibenarkan?
*Pengertian Tafsir bir Ra’yi*
At-Tafsir bir ra’yi artinya penafsiran seseorang dalam menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan suatu pemahaman khusus yang hanya berlandaskan dengan ra’yu (opini) semata.
Tafsir dengan semata-mata opini adalah “langganannya” orang-orang menyimpang dari ahlul bid’ah dan munafiqun. Syaikh Manna’ Al-Qathan menjelaskan, “Mayoritas yang menggunakan metode ini adalah ahlul bid’ah yang meyakini keyakinan-keyakinan batil. Mereka berbuat lancang terhadap Al-Qur’an dengan menafsirkannya seseuai opini mereka, dan mereka dalam hal ini tidak memiliki teladan dari para sahabat Nabi juga para tabi’in., baik dalam pendapat-pendapat mereka maupun dalam tafsir-tafsir mereka.
Dalam sebuah video ada seorang yang dipanggil gus tapi bukan dzurriyah seorang kyai atau ulama namanya tidak asing lagi yaitu Sugi Nur Raharjo dengan seenak udelnya (pusarnya) tanpa didasari keilmuan atau didasari dengan hujjah yang kuat berani menjabarkan tentang definisi ulama.
Dia menyampaikan bahwa ulama adalah pewaris para nabi kemudian mengutip sebuah ayat yang katanya tegas tidak bertele-tele dan redaksi bahasanya tegas kemudian dia membaca QS. Fathir : 28
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ.
Kemudian dia seenaknya memaknai dan menjelaskan ayat diatas bahwa *'diantara manusia, diantara binatang baik melata apapun jenisnya siapa yang takut kepadaku, maka dia ulama. Jadi ulama menurut Allah adalah bisa ular bisa ayam bisa kambing bisa manusia yang penting takut kepada Allah.'* Na'udzubillah wa nastaghfirullah min dzalik.
Apa yang Sugi Nur katakan adalah bentuk penghinaan terhadap Al-Qur'an yang sesungguhnya dan menodai agama islam dengan statemennya dan bukan pertama kali ini saja.
*Bandingkan dengan penjelasan Al-Hafizh Ibnu Katsir*
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ
"Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya)." (QS. Fathir: 28)
Yakni demikian pula makhluk hidup, baik manusia maupun binatang. Binatang diungkapkan oleh ayat dengan istilah dawab yang artinya setiap hewan yang berjalan dengan kaki; sedangkan lafaz an’am yang jatuh sesudahnya di-ataf-kan kepadanya, termasuk ke dalam pengertian ataf khas kepada am. Yakni demikian pula manusia dan binatang-binatang serta hewan ternak, beraneka ragam pula warna dan jenisnya. Manusia ada yang termasuk bangsa Barbar, ada yang termasuk bangsa Habsyah dan bangsa yang berkulit hitam, ada yang termasuk bangsa Sicilia, dan bangsa Romawi yang keduanya berkulit putih, sedangkan bangsa Arab berkulit pertengahan dan bangsa Indian berkulit merah.
Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain,
وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
"Dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." (QS. Ar-Rum: 22)
Demikian pula hewan yang melata dan hewan ternak beraneka ragam warnanya, sekalipun dari satu jenis. Bahkan satu jenis dari hewan ada yang mempunyai warna kulit yang beraneka ragam, di antaranya ada yang berwarna blonde dan warna-warna lainnya. Mahasuci Allah sebaik-baik Yang Menciptakan.
قَدْ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ سَهْلٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ بْنِ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيَصْبُغُ رَبُّكَ؟ قَالَ: "نَعَمْ صَبْغًا لَا يُنفَض، أَحْمَرَ وَأَصْفَرَ وَأَبْيَضَ".
"Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar ibnu Aban ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Abdullah, dari Ata ibnus Sa'ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu bertanya, "Apakah Tuhanmu memberi warna?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya, warna yang tidak pernah luntur, merah, kuning dan putih."
Hadits ini diriwayatkan ada yang mursal ada pula yang mauquf; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fathir: 28)
Yakni sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama yang mengetahui tentang Allah Ta'ala. Karena sesungguhnya semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang Allah Ta'ala. Yang Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Mengetahui lagi menyandang semua sifat sempurna dan memiliki nama-nama yang terbaik, maka makin bertambah sempurnalah ketakutannya kepada Allah Ta'ala.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS. Fathir: 28) Yaitu orang-orang yang mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Ibnu Lahi'ah telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang yang mengetahui tentang Allah Yang Maha Pemurah dari kalangan hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan ia menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, serta berpegang teguh kepada perintah-Nya, dan meyakini bahwa dia pasti akan bersua dengan-Nya dan Dia akan menghisab amal perbuatannya.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa khasy-yah atau takut kepada Allah ialah perasaan yang menghalang-halangi antara kamu dan perbuatan durhaka terhadap Allah Ta'ala.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa orang yang alim ialah orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sekalipun dia tidak melihat-Nya, menyukai apa yang disukai-Nya, dan menjauhi apa yang dimurkai-Nya. Kemudian Al-Hasan membacakan firman-Nya: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Fathir: 28)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa orang yang alim itu bukanlah orang yang banyak hafal hadis, melainkan orang yang banyak takutnya kepada Allah.
Ahmad ibnu Saleh Al-Masri telah meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik yang mengatakan, "Sesungguhnya berilmu itu bukanlah karena banyak meriwayatkan hadits, melainkan ilmu itu adalah cahaya yang dijadikan oleh Allah di dalam kalbu." Selanjutnya Ahmad ibnu Saleh Al-Masri menjelaskan bahwa takut kepada Allah itu bukan dijumpai melalui banyak meriwayatkan hadits. Dan sesungguhnya ilmu yang diharuskan oleh Allah Ta'ala agar diikuti hanyalah ilmu mengenai Al-Qur'an, sunnah, dan apa yang disampaikan oleh para sahabat dan orang-orang yang sesudah mereka dari kalangan para imam kaum muslim. Hal seperti ini tidak dapat diraih melainkan dengan melalui periwayatan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan cahaya ialah pemahaman mengenai ilmu tersebut dan pengamalannya dalam realita kehidupan.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Hayyan At-Tamimi, dari seorang lelaki yang telah mengatakan bahwa ulama itu ada tiga macam, yaitu ulama yang mengetahui tentang Allah dan mengetahui tentang perintah Allah; ulama yang mengetahui tentang Allah, tetapi tidak mengetahui tentang perintah Allah; dan ulama yang mengetahui tentang perintah Allah, tetapi tidak mengetahui tentang Allah. Orang yang alim (ulama) yang mengetahui tentang Allah dan mengetahui tentang perintah Allah ialah orang yang takut kepada Allah Ta'ala dan mengetahui batasan-batasan serta fardu-fardu yang telah ditetapkan-Nya. Dan orang yang alim tentang Allah, tetapi tidak alim tentang perintah Allah ialah orang yang takut kepada Allah, tetapi tidak mengetahui batasan-batasan dan fardhu-fardhu yang ditetapkan-Nya. Dan orang alim tentang perintah Allah, tetapi tidak alim tentang Allah adalah orang yang mengetahui batasan-batasan dan fardhu-fardhu yang ditetapkan-Nya, tetapi tidak takut kepada Allah Ta'ala. (Tafsir Ibnu Katsir QS. Fathir : 28)
*Ancaman Menafsirkan Al-Qur'an dengan logika tanpa Ilmu*
Allah berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra' : 36)
Dalam hadits disebutkan,
من يفسر القرأن برأيه فليتبواء مقعده فى النار
“Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Muslim)
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Sahabat Umar bin Khaththab ra berkata, “Berprasangka buruklah kepada pendapatmu sendiri dalam urusan agama.”
Sahabat Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Kalau agama adalah dengan akal maka tentu bagian bawah khuf (sepatu dari kulit) lebih layak untuk diusap dari pada bagian atasnya”.
Al-Masruq berkata,
اتقوا التفسير، فإنما هو الرواية عن الله
“Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al Qur’an) karena tafsir adalah riwayat dari Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 16. Disebutkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil dengan sanad yang shahih)
Asy Sya’bi mengatakan,
والله ما من آية إلا وقد سألت عنها، ولكنها الرواية عن الله عز وجل
“Demi Allah, tidaklah satu pun melainkan telah kutanyakan, namun (berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat Al Qur’an), karena ayat tersebut adalah riwayat dari Allah.” (Idem. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sanadnya shahih).
Ibrahim An Nakho’i berkata,
كان أصحابنا يتقون التفسير ويهابونه
“Para sahabat kami begitu takut ketika menafsirkan suatu ayat, kami ditakut-takuti ketika menafsirkan.” (Idem. Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya shahih).
*Cara Menafsirkan Al Qur’an yang Benar*
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al Qur’an sebagai berikut:
1- Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.
2- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.
3- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti khulafaur rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
4- Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar Robi’ bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin Muzahim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 5-16)
Maka jelas bagi kita bahwa agama, Al-Qur'an dan Hadits tidak bisa ditafsirkan dengan akal semata. Sehingga yang bertolakbelakang dengan akal kita tolak, tapi yang wajib bagi kita adalah menjadikan akal tunduk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk menolak dalil yang shahih apa lagi tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Awal dari sebuah kesesatan adalah dengan penolakan seperti khawarij yang menolak taat pada pemerintah Utsman bin Affan. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaiakan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar