Selasa, 24 Desember 2019

KAJIAN TENTANG BANGSA TURK (BERMATA SIPIT) ITU BANGSA CINA ATAU YA'JUJ MA'JUJ


Sebagian teman-teman FB, WhatsApp dan media sosial lainnya sedang digegerkan hadits tentang tanda kiamat yang dipolitisir dan digoreng oleh oknum yang dampaknya meresahkan umat islam. Hadits tersebut menjelaskan bahwa tanda kiamat itu di antaranya umat Muslim memerangi suatu kelompok bermata sipit dan berhidung pesek. Sebagian Muslim yang kurang suka dengan orang cina, pasti mengasumsikan sipit dan pesek tersebuat adalah orang cina. Padahal hadits itu tidak menyebutkan bangsa cina secara spesifik.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ التُّرْكَ، قَوْمًا وُجُوهُهُمْ كَالْمِجَانِّ الْمُطْرَقَةِ، يَلْبَسُونَ الشَّعَرَ وَيَمْشُونَ فِي الشَّعَرِ.

“Kiamat tidak akan terjadi,” kata Nabi dalam salah satu haditsnya, “sampai kalian memerangi sekolompok orang yang sendalnya terbuat dari rambut, dan memerangi bangsa Turk, yang mana mereka bermata sipit, berwajah kemerah-merahan, berhidung pesek, wajah mereka berbentuk perisai yang bundar.” (HR Muslim).

Dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تُقَاتِلُوا قَوْمًا نِعَالُهُمُ الشَّعَرُ وَحَتَّى تُقَاتِلُوا التُّرْكَ صِغَارَ اْلأَعْيُنِ حُمْرَ الْوُجُوهِ ذُلْفَ اْلأُنُوفِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمِجَـانُّ الْمُطْرَقَةُ.

“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kalian memerangi satu kaum yang sandal-sandal mereka terbuat dari bulu, dan kalian memerangi bangsa Turk yang bermata sipit, wajahnya merah, hidungnya pesek [5], wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.” (HR. Bukhari)

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Taghlib, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُقَاتِلُوا قَوْمًا عِرَاضَ الْوُجُـوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ.

‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah kalian memerangi suatu kaum yang berwajah lebar, wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.’” (HR. At-Thabtani)

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah dari bapaknya Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami mendengar beliau bersabda:

إِنَّ أُمَّتِي يَسُوقُهَا قَوْمٌ عِرَاضُ اْلأَوْجُهِ، صِغَارُ اْلأَعْيُنِ، كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْحَجَفُ (ثَلاَثَ مِرَارٍ) حَتَّـى يُلْحِقُوهُمْ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ، أَمَّا السَّابِقَةُ اْلأُولَى فَيَنْجُو مَنْ هَرَبَ مِنْهُمْ، وَأَمَّا الثَّانِيَةُ فَيَهْلِكُ بَعْضٌ وَيَنْجُو بَعْضٌ، وَأَمَّا الثَّالِثَةُ فَيَصْطَلِمُوْنَ كُلُّهُمْ مَنْ بَقِيَ مِنْهُـمْ، قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللهِ! مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمُ التُّرْكُ، قَالَ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِـي بِيَدِهِ لَيَرْبِطُنَّ خُيُولَهُمْ إِلَى سَوَارِي مَسَاجِدِ الْمُسْلِمِينَ.

‘Sesungguhnya umatku akan digiring oleh satu kaum yang berwajah lebar, bermata sipit, wajah-wajah mereka seperti tameng (hal itu terjadi tiga kali), hingga mereka dapat mengejarnya di Jazirah Arab. Adapun pada kali yang pertama, selamatlah orang yang lari darinya. Pada kali kedua, sebagiannya binasa dan sebagian lainnya selamat, sementara pada kali yang ketiga, mereka semua membunuh yang tersisa.’ Para Sahabat bertanya, ‘Wahai Nabiyullah! Siapakah mereka?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah bangsa Turk.’ Beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, niscaya kuda-kuda mereka akan ditambatkan di tiang-tiang masjid kaum muslimin.’”

Dia (‘Abdullah) berkata, “Setelah itu Buraidah tidak pernah berpisah dengan dua atau tiga unta, bekal perjalanan, dan air minum untuk kabur sewaktu-waktu, karena beliau mendengar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang musibah yang ditimpakan oleh para pemimpin Turk.” (HR. Ahmad (Musnad Imam Ahmad V/348-349)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Harmalah, dari bibinya, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah sedangkan jari tangan beliau dibalut dengan perban karena tersengat kalajengking, lalu beliau bersabda,

إِنَّكُمْ تَقُوْلُوْنَ لاَ عَدُوَّ، وَإِنَّكُمْ لاَ تَزَالُوْنَ تُقَاتِلُوْنَ عَدُوًّا حَتَّـى يَأْتِيْ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ، عِرَاضُ الْوُجُوْهِ، صِغَارُ الْعُيُوْنِ، شُهْبُ الشَّعَافِ، مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُوْنَ، كَأَنَّ وُجُوْهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ.

“Sesungguhnya kalian berkata tidak ada musuh sementara kalian senantiasa memerangi musuh hingga datang Ya’juj dan Ma’juj; bermuka lebar, bermata sipit, berambut pirang, mereka datang dari setiap arah, wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.’” (HR. Ahmad 5: 271)

Dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah juga disebutkan, “Kiamat tidak akan terjadi hingga kalian memerangi suatu bangsa bermata sipit, bermuka lebar, bermata hitam, muka mereka seperti perisai, memakai sepatu bulu, membawa perisai dan mereka menambatkan kuanya di pohon kurma.” (HR. Ahmad)

Siapakah yang dimaksud dengan sekelompok orang yang bermata sipit, berwajah kemerah-merahan, berhidung pesek dan wajahnya seperti perisai bundar?

Terkait hadits itu, Imam Nawawi (Syarh Shahih Muslim, XVIII/38) berpendapat, bahwa tanda-tanda itu ada pada zamannya. Umat Islam beberapa kali berperang dengan mereka. Pendapat ini menunjukkan bahwa yang dipahami dengan mata sipit di sini adalah bangsa Mongol yang menyerbu umat Islam hingga meruntuhkan Baghdad sampai akhirnya tumbang di pertempuran Ainun Jalut.

Penyebutan kata “al-Turk” dalam hadits tersebut tidak selalu merujuk kepada bangsa Turki, namun itu adalah terkait dengan ras yang memiliki tanda-tanda seperti yang disebutkan dalam hadits tadi. Karena, pada dasarnya ras al-Turk itu ada banyak jenisnya. (Badruddin Ayni, XIV/200).

Dalam hadits lain disebutkan:

فَإِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ جَاءَ بَنُو قَنْطُورَاءَ عِرَاضُ الْوُجُوهِ صِغَارُ الْأَعْيُنِ حَتَّى يَنْزِلُوا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ فَيَتَفَرَّقُ أَهْلُهَا ثَلَاثَ فِرَقٍ فِرْقَةٌ يَأْخُذُونَ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَالْبَرِّيَّةِ وَهَلَكُوا وَفِرْقَةٌ يَأْخُذُونَ لِأَنْفُسِهِمْ وَكَفَرُوا وَفِرْقَةٌ يَجْعَلُونَ ذَرَارِيَّهُمْ خَلْفَ ظُهُورِهِمْ وَيُقَاتِلُونَهُمْ وَهُمْ الشُّهَدَاءُ

“Di akhir zaman nanti akan datang suatu kaum yang bernama Qanthura, wajah mereka lebar dan matanya sipit, hingga kaum itu sampai ke daerah tepian sungai lalu para penduduknya pecah menjadi tiga kelompok; satu kelompok pergi mengikuti ekor sapi dan binatang ternak (pergi ke tempat yang jauh dengan membawa binatang ternak mereka untuk bercocok tanam) hingga mereka hancur. Satu kelompok mengambil untuk keamanan mereka (mengajukan atau menerima jaminan keamanan dari bani Qanthura) hingga akhirnya menjadi kafir. Dan satu kelompok melindungi anak dan istri mereka dan berperang melawan musuh (Bani Qanthura) hingga mereka mati sebagai syuhada.” (HR. Abu Dawud)

Bani Qanthura dalam kitab “Mirqāt al-Mafātih” (VIII/3408) karya Tibrizi adalah hamba sahaya Ibrahim yang melahirkan melahirkan anak-anak keturunan seperti Bangsa Turk dan China.

Selain itu beliau juga memberi catatan, “Barangkali yang dimaksud dengan apa yang diprediksi dalam hadits adalah perang yang terjadi pada masa sekarang antara bangsa Turk dan muslimin. Lebih dekat lagi, itu adalah isyarat pada masalah Jengis Khan dengan segala kerusakan yang dibuatnya khususnya di Baghdad.”

Di hadits lain tanda-tanda itu juga merupakan ciri-ciri dari Ya’juj dan Ma’juj. Dalam hadits riwayat Ahmad disebutkan, “Sesunguhnya kalian senantiasa akan berperang dengan musuh hingga kedatangn Ya’juj dan Ma’juj, wajahnya bundar, bermata sipit, jambul rambutnya berwarna putih, mereka turun dari tempat yang tinggi, wajah mereka seperti perisai yang ditempa (tebal dank eras).”

Dalam buku “al-Mausū’ah fī al-Fitan wa al-Malāhim wa Asyrāthi al-Sā’ah” (2006: 801), Dr. Muhammad Ahmad al-Mubayyadh memberi komentar bahwa hadits itu menjelaskan beberapa ciri Ya’juj dan Ma’juj yang sesuai dengan ciri-ciri bangsa Mongolia, Tatar dan Turk yang terdapat dalam banyak hadits Nabi. Hadits hanya cocok pada penghuni pegunungan di Mansyuria, Mongolia, tepu Siberia dan Asia Tengah.

Dalam hadits qudsi Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

يقول الله تعالى: يا آدم –يعني: يوم القيامة– فيقول: لبيك وسعديك. فيقول: أخرج من ذريتك بعثاً إلى النار. قال: يا ربِّ وما بعث النار؟ قال: تسعمائة وتسعة وتسعون من كل ألف) يعني: تسعمائة وتسعة وتسعين من بني آدم كلهم في النار وواحد في الجنة، (فَكَبُر ذلك على الصحابة وعظم عليهم وقالوا: يا رسول الله! أين ذلك الواحد؟ قال: أبشروا فإنكم في أمتين ما كانتا في شيء إلا كثرتاه يأجوج ومأجوج

Allah berfirman, “Wahai Adam. Ia pun menjawab, “Ya, aku memenuhi panggilan-Mu”. Allah berfirman, “Keluarkanlah ba’tsun naar (utusan neraka)!” Ia bertanya, “Apakah ba’tsun nar itu?” Allah berfirman, “Dari setiap 1000 orang, 999 orang sebagai menghuni neraka (sehingga 1 orang masuk surga). Para shahabat pun gempar dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang termasuk satu orang (yang satu) itu?” Beliau bersabda, “Bergembiralah! Sesungguhnya dari kalian satu orang dan dari Ya`juj dan Ma`juj seribu orang”. (HR. Bukhari). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

VIRAL, HAIKAL HASAN MENGATAKAN ALLAH TA'ALA BINGUNG


Dalam cuplikan potongan video Haikal Hasan mengatakan bahwa *Allah sampai bingung* dengan mengutip penggalan firman Allah Ta'ala surat At-Taubah ayat 38.

Pertanyaannya, benarkah Allah Ta'ala mengalami kebingungan dengan prilaku hamba-hamba-Nya sebagaimana yang dikatakan Haikal Hasan? Sebaiknya kita simak penjelasan salah seorang ulama ahli tafsir Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sbb :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ (38)

هذا شروع في عتاب من تخلف عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في غزوة تبوك ، حين طابت الثمار والظلال في شدة الحر وحمارة القيظ ، فقال تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا ما لكم إذا قيل لكم انفروا في سبيل الله ) أي : إذا دعيتم إلى الجهاد في سبيل الله ( اثاقلتم إلى الأرض ) أي : تكاسلتم وملتم إلى المقام في الدعة والخفض وطيب الثمار ، ( أرضيتم بالحياة الدنيا من الآخرة ) أي : ما لكم فعلتم هكذا ؟ أرضا منكم بالدنيا بدلا من الآخرة .

ثم زهد تبارك وتعالى في الدنيا ، ورغب في الآخرة ، فقال : ( فما متاع الحياة الدنيا في الآخرة إلا قليل ) كما قال الإمام أحمد .

حدثنا وكيع ويحيى بن سعيد قالا حدثنا إسماعيل بن أبي خالد ، عن قيس ، عن المستورد أخي بني فهر قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : ما الدنيا في الآخرة إلا كما يجعل إصبعه هذه في اليم ، فلينظر بم ترجع ؟ وأشار بالسبابة .

انفرد بإخراجه مسلم .

وقال ابن أبي حاتم : حدثنا بشر بن مسلم بن عبد الحميد الحمصي ، حدثنا الربيع بن روح ، حدثنا محمد بن خالد الوهبي ، حدثنا زياد - يعني الجصاص - عن أبي عثمان قال : قلت : يا أبا هريرة ، سمعت من إخواني بالبصرة أنك تقول : سمعت نبي الله يقول : إن الله يجزي بالحسنة ألف ألف حسنة ، قال أبو هريرة : بل سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول : إن الله يجزي بالحسنة ألفي ألف حسنة ، ثم تلا هذه الآية : ( فما متاع الحياة الدنيا في الآخرة إلا قليل )

فالدنيا ما مضى منها وما بقي منها عند الله قليل .

وقال [ سفيان ] الثوري ، عن الأعمش في الآية : ( فما متاع الحياة الدنيا في الآخرة إلا قليل ) قال : كزاد الراكب .

وقال عبد العزيز بن أبي حازم عن أبيه : لما حضرت عبد العزيز بن مروان الوفاة قال : ائتوني بكفني الذي أكفن فيه أنظر إليه ، فلما وضع بين يديه نظر إليه فقال : أما لي من كبير ما أخلف من الدنيا إلا هذا ؟ ثم ولى ظهره فبكى وهو يقول أف لك من دار ، إن كان كثيرك لقليل ، وإن كان قليلك لقصير ، وإن كنا منك لفي غرور

"Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kalian, “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah, kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat kalian?” Apakah kalian puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini(dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit." (QS. At-Taubah : 38)

Ini adalah permulaan celaan yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak ikut dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Perang Tabuk. Saat itu buah-buahan sedang meranum dan masak, dan cuaca sangat terik dan panas. Maka Allah Subhanahu wa Ta'qla berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ}

"Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kalian, “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah." (QS. At-Taubah: 38)

Artinya, apabila kalian diseru untuk berperang di jalan Allah.

{اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأرْضِ}

"..kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat kalian?" (QS. At-Taubah: 38)

Yakni kalian malas dan cenderung untuk tetap tinggal di tempat dengan penuh kesantaian dan menikmati buah-buahan yang telah masak.

{أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ}

"Apakah kalian puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?" (QS. At-Taubah: 38)

Maksudnya, mengapa kalian melakukan demikian; kalian puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan akhirat (Pahala akhirat) ?

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan berzuhud terhadap kehidupan di dunia dan menganjurkan kepada pahala akhirat. Untuk itu, Allah Ta'ala berfirman,

{فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ}

"...padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan)di akhirat hanyalah sedikit." (QS. At-Taubah: 38)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ. حَدَّثَنَا وَكِيع وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسٍ، عَنِ المستَوْرِد أَخِي بَني فِهْر قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا كَمَا يَجْعَلُ إِصْبَعَهُ هَذِهِ فِي اليم، فلينظر بما تَرْجِعُ؟ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’ dan Yahya ibnu Sa’id; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isma’il ibnu Abu Khalid, dari Qais, dari Al-Mustaurid (saudara lelaki Bani Fihr) yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Tiada kehidupan di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan di akhirat, melainkan sebagaimana seseorang di antara kalian memasukkan jarinya ke dalam laut, maka hendaklah ia melihat apa yng didapati oleh jarinya?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan demikian seraya berisyarat dengan jari telunjuknya.

Hadits ini diketengahkan secara munfarid oleh Imam Muslim.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ الحِمْصي، حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ رَوْح، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ الْوَهْبِيُّ، حَدَّثَنَا زِيَادٌ -يَعْنِي الْجَصَّاصَ -عَنْ أَبِي عُثْمَانَ قَالَ: قُلْتُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، سَمِعْتُ مِنْ إِخْوَانِي بِالْبَصْرَةِ أَنَّكَ تَقُولُ: سَمِعْتُ نَبِيَّ اللَّهِ يَقُولُ: “إِنَّ اللَّهَ يَجْزِي بِالْحَسَنَةِ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ” قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: بَلْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِنَّ اللَّهَ يجزي بالحسنة ألفي ألف حَسَنَةٍ” ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: {فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ}

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Muslim ibnu Abdul Hamid Al-Himsi di Himsa, telah menceri­takan kepada kami Ar-Rabi’ ibnu Rauh, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalid Al-Wahbi, telah menceritakan kepada kami Ziyad (yakni Al-Jassas), dari Abu Usman yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hurairah, “Aku telah mendengar dari teman-temanku di Basrah bahwa engkau pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ’Sesungguhnya Allah membalas perbuatan kebaikan dengan sejuta pahala kebaikan’.” Abu Hurairah menjawab.”Bahkan aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah membalas kebaikan dengan dua juta pahala kebaikan’.” Selanjutnya beliau membacakan firman-Nya, "Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit." (QS. At-Taubah: 38) [HR. Muslim]

Kehidupan di dunia yang telah lalu dan yang kemudian tidak ada artinya bila dibandingkan dengan kehidupan di akhirat (yakni pahala-Nya).

As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-A’masy sehubungan dengan makna firman-Nya, "Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit." (QS. At-Taubah: 38) Menurutnya, perumpamaannya sama dengan bekal yang dibawa oleh seorang musafir.

Abdul Aziz ibnu Abu Hazim telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ketika Abdul Aziz ibnu Marwan menjelang kematiannya, ia mengatakan, “Berikanlah kepadaku kain kafan yang akan dipakai untuk mengafani diriku. untuk aku lihat.” Ketika kain kafan itu diletakkan di hadapannya, maka ia memandang ke arah kain itu dan berkata, “Bukankah aku memiliki yang banyak, tiada yang menemaniku dari dunia ini kecuali hanya kain kafan ini?” Kemudian ia memalingkan punggungnya seraya menangis dan berkata, “Celakalah engkau, hai dunia, sebagai rumah. Sesungguhnya banyakmu hanyalah sedikit, sedikitmu hanyalah kecil, dan sesungguhnya kami yang bergelimang denganmu benar-benar dalam keadaan teperdaya.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa ayat tersebut menerangkan sifat manusia yang lebih mementingkan urusan dunia daripada urusan akhirat sehingga Allah berfirman mempertanyakan kepada manusia akan prioritas utamanya dalam memilih kebahagiaan hidupnya. Dan ayat tersebut bukan menjelaskan tentang KEBINGUNGAN Allah terkait prilaku manusia sebagaimana yang disampaikan Haikal Hasan. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 23 Desember 2019

KAJIAN TENTANG KHILAFIYAH UCAPAN NATAL



Menjelang perayaan Natal seperti ini, biasanya muncul perdebatan di tengah masyarakat tentang hukum seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani atau siapa saja yang memperingatinya. Tidak jarang, perdebatan itu menimbulkan percekcokan, bahkan vonis kafir (takfîr). 

Untuk menjawab hukumnya, penulis akan mengupasnya dalam beberapa poin. Pertama, tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi sosial saat nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).   

Kedua, karena tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah,

لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

"Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari." 

Ketiga, dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya, sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini. Karenanya, mereka berbeda pendapat. 

*Ulama yang Menghukumi Haram*

Pertama, sebagian ulama, meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.    Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat 72,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا 

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan : 72)

Pada ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya haram. 

Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ       

"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut." (HR. Abu Daud, nomor 4031). 

Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai tradisi kaum Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan demikian, hukum ucapan dimaksud adalah haram. 

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah sbb,

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق ، مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم ، فيقول: عيد مبارك عليك ، أو تهْنأ بهذا العيد ونحوه ، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثماً عند الله ، وأشد مقتاً من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس ، وارتكاب الفرج الحرام ونحوه ، وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً بمعصية أو بدعة ، أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” *(Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 441)*

*Ulama yang Membolehkan*

Kedua, sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ     

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.   Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam riwayat Anas bin Malik,

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ) ـ 

“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata, “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata, ‘Taatilah Abul Qasim (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ”Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657) 

Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586). 

Pada hadits di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan. 

Syekh Said Ramadhan Al-Buthi dalam kitab Istifta’ an-Nas hal. 41 masalah ke-93 beliau mengemukakan:

السؤال:هل يجوز تهنئة غير المسلمين بأعيادهم وخاصة النصارى ؟ وماذا اذا إضطر لذلك هل من صيغة مفضلة ؟ وهل تجوز تعزيتهم أو القول “رحمه الله” ؟

الجواب: يجوز تهنئة الكتابيين : النصارى واليهودي بأفراحهم ويجوز تعزيتهم بمصائبهم بل يسن ذلك كما نص عليه الفقهاء ويجوز الدخول لمعابدهم لمناسبة ما بشرط ان لا يشترك معهم في عبادتهم

Bolehkah mengucapkan kata ‘selamat’ pada non-muslim saat hari raya agama mereka, terlebih umat Nasrani (Kristen)? Dan bagaimana saat hal tersebut sudah tidak bisa dihindari, apakah malah lebih baik untuk disampaikan? Lebih jauh, bolehkah takziyah kepada mereka, atau sekedar mengucapkan kata “semoga Allah mengasihi kalian” kepada mereka?

Jawab: Boleh mengucapkan kata ‘selamat’ pada ahlul kitab saat hari raya mereka, baik itu umat Yahudi ataupun Nasrani.  Juga boleh takziyah kepada mereka saat terkena musibah. Bahkan hal tersebut disunnahkan, seperti halnya yg dijelaskan oleh ulama’ Ahli fiqh.

Dari pemaparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan. Umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan perpecahan. 

Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’ (Quds/Palestina),

هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ إِيْلِيَاءَ مِنَ الْأَمَانِ: أَعْطَاهُمْ أَمَانًا لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلْبَانِهِمْ وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ، وَلَا تُهْدَمُ. 

“Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3, halaman 609) Wallahu a'lam bis-Shawab

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 16 Desember 2019

KAJIAN TENTANG RASULULLAH SAW TIDAK MENGAJARKAN CACIAN DAN MAKIAN


Maher At-Thuwailibi adalah salah satu diantara para pendakwah yang dikenal dengan makian dan omongan kasar. Ada banyak video bertebaran di media sosial yang membuktikan kalau Maher seringkali melontarkan kata-kata yang tidak sesuai dengan adab Islam dan etika yang diajarkan Rasulullah. Ketika ditanya kenapa suka berkata kasar, Maher berdalih kalau apa yang dilakukannya itu adalah ajaran dari Rasulullah itu sendiri. Dia mengutip pernyataan Rasulullah yang menyebut kelompok Khawarij sebagai Kilabunnar, anjing neraka

Pertanyaannya bisakah hadits tersebut dijadikan landasan untuk berkata kasar seenaknya kepada orang yang beda pendapat dengan kita?

Pertama yang perlu ditegaskan bahwa pernyataan yang dikutip Maher itu masih diperdebatkan para ulama apakah itu betul-betul perkataan Nabi atau tidak. Dalam hal ini ulama beda pendapat, ada yang menshahihkan dan ada pula yang mendhaifkan.Namun, yang ingin dibahas dalam tulisan ini, benarkah jika hadis tersebut dijadikan legitimasi tentang kebolehan berkata atau bersikap kasar kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita?

Setidaknya ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam hadits tersebut:

*Pertama,* hadits tersebut bersifat futuristik dan bernilai sebagai pengingat bagi kaum muslimin agar berhati-hati dengan kaum khawarij yang menghalalkan darah saudaranya sesama muslim jika ia berbeda pandangan dengan mereka dalam permasalahan yang masih debatable dan bersifat ijtihadi.

*Kedua,* penyematan kata “كلاب النار” kepada kaum khawarij apakah bisa dikategorikan statemen kasar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa melihat konteks fungsi kata tersebut dalam kebudayaan Arab ketika itu, dan tanpa mengetahui cara berbicara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah mimik wajah serta intonasi suaranya.

Lalu yang ketiga, jika memang statemen tersebut merupakan statemen kasar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada suatu kelompok, apakah ia bersifat khusus bagi kaum khawarij, atau boleh disematkan kepada siapapun yang “diduga” merugikan umat islam, meskipun tidak sampai menghalalkan darah mereka misalnya, apalagi kita mengetahui diantara fungsi “أل للتعريف” adalah memberi makna kekhususan bagi jenis kata benda yang disandarkan kepadanya “أل” tersebut. Maka, jikapun diperkenankan menyematkan statemen yang “diduga” kasar itu kepada kelompok tertentu, maka hanya kelompok yang tergolong khawarij saja yang diperbolehkan.

Sedangkan yang kita temui akhir-akhir ini para penceramah yang gemar menggunakan kata-kata kasar, dengan mudahnya menggunakannya kepada orang-orang yang bukan khawarij, dan bahkan jika diupayakan dengan logika analogi pun mereka yang diumpat oleh penceramah-penceramah tersebut sangat jauh dari kriteria-kriteria sifat kaum khawarij.

*Makna Anjing-anjing Neraka*

Istilah Anjing Anjing neraka ini terdapat dalam sebuah hadist Nabi, mereka adalah kelompok khawarij, para pemberontak yang mengatas namakan jihad di jalan Allah. Nabi Bersabda, “Anjing-anjing neraka, (mereka) seburuk-buruk yang terbunuh di bawah kolong langit,dan sebaik-baik yang terbunuh adalah yang mereka bunuh.” Lalu Abu Umamah berkata: "Sekiranya aku tidak mendengar hadits ini (dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam) sekali, dua kali sampai tujuh kali, aku tidak akan memberitakannya kepada kalian. (HR.Tirmidzi:3000).

Ulama berbeda pendapat mengenai status khawarij, apakah mereka muslim ataukah telah keluar dari islam..

Hampir semua ulama, termasuk para sahabat, mereka menilai khawarij masih muslim dan tidak keluar dari islam.

Bahkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, khalifah pertama yang dimusuhi khawarij, tidak menganggap bahwa khawarij telah keluar dari islam.

Hanya saja, khawarij sekte menyimpang yang banyak diperingatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ

Khawarij adalah anjing-anjingnya neraka. (HR. Ahmad 19415, Ibnu Majah 173).

Apa makna khawarij anjingnya neraka?

Ada 2 kemungkinan makna yang disampaikan para ulama,

[1] Mereka akan dijadikan Allah dalam bentuk anjing ketika di neraka

[2] Mereka memiliki karakter sebagaimana anjing, yang dihinakan ketika di neraka.

Ali al-Qari menjelaskan,

أَيْ هُمْ كِلَابُ أَهْلِهَا، أَوْ عَلَى صُورَةِ كِلَابٍ فِيهَا

Artinya, mereka akan menjadi anjing penduduk neraka, atau mereka akan menjadi makhluk seperti anjing di neraka. (Mirqah al-Mafatih, 6/2323)

Kemudian, ada juga keterangan al-Munawi,

أي أنهم يتعاوون فيها عواء الكلاب ، أو أنهم أخس أهلها ، وأحقرهم ، كما أن الكلاب أخس الحيوانات وأحقرها

Maksudnya, mereka akan melolong seperti lolongan anjing, atau mereka menjadi penduduk neraka yang paling hina, sebagaimana anjing menjadi binatang yang paling rendah. (Faidhul qadir, 1/528).

*Abul Hakam menjadi Abu Jahal*

Sebelum Islam datang, ‘Amr bin Hisyâm (570 – 624 M) adalah orang yang dikenal kebijaksanaan dan kecerdasannya. Dalam usia yang masih muda, para tetua Quraisy sudah sering meminta bantuannya dalam menghadapi masalah, oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan Abul Hakam (Bapak Kebijaksanaan).

Hanya saja, semua itu berubah ketika Islam datang, kecerdasan otaknya tidak digunakan untuk membela Islam, bahkan sebaliknya, digunakan untuk memutarbalikkan fakta dalam rangka menentang kebenaran Islam. Kedudukan dan reputasinya yang sudah tinggi menghalangi dia untuk menerima Islam, ajaran yang bakalan memposisikan manusia sederajat, hanya dibedakan oleh ketaqwaannya.

Al Mughirah bin Syu’bah ra menceritakan, “Sesungguhnya hari pertama aku mengenal Rasulullah saw. ialah ketika aku dan Abu Jahal bin Hisyam tengah berjalan kaki di sebagian gang kota Makkah. Ketika itu kami bertemu dengan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada Abu Jahal,

يَا أَبَا الْحَكَمِ، هلمَّ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ، أَدْعُوكَ إِلَى اللَّهِ
“Hai Abu Hakam, marilah menuju Allah dan Rasul-Nya. Aku menyeru kamu kepada Allah.”

Abu Jahal berkata,

يَا مُحَمَّدُ، هَلْ أَنْتَ مُنْتَهٍ عَنْ سَبِّ آلِهَتِنَا؟ هَلْ تُرِيدُ إِلَّا أَنْ نَشْهَدَ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ؟ فَنَحْنُ نَشْهَدُ أَنَّ قَدْ بَلَّغْتَ؟ فَوَاللَّهِ لَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنَّ مَا تَقُولُ حَقٌّ لَاتَّبَعْتُكَ

“Hai Muhammad, apakah kamu mau berhenti mencaci tuhan-tuhan kami? Adakah yang kamu inginkan selain supaya kami bersaksi bahwa kamu telah menyampajkan seruanmu? Maka kami bersaksi bahwa kamu telah menyampaikan (dakwah kepada kami)?. Demi Allah, seandainya aku mengetahui bahwa ucapanmu itu benar, pasti aku akan mengikutimu”

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun pergi, lalu Abu Jahal berkata kepadaku,

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أن ما يقول حق، ولكن [يمنعني] شئ.

“Demi Tuhan, sesungguhnya aku mengetahui bahwa yang dikatakannya adalah benar, akan tetapi ada sesuatu yang menghalangiku untuk membenarkan ucapannya.”

Abu Jahal lalu menjelaskan alasannya,

إِنَّ بَنِي قُصَيٍّ قَالُوا: فِينَا الْحِجَابَةُ. فَقُلْنَا نَعَمْ، ثُمَّ قَالُوا فِينَا السِّقَايَةُ، فَقُلْنَا نَعَمْ. ثُمَّ قَالُوا فِينَا النَّدْوَةُ، فَقُلْنَا نَعَمْ. ثُمَّ قَالُوا فِينَا اللِّوَاءُ، فَقُلْنَا نَعَمْ. ثُمَّ أَطْعَمُوا وَأَطْعَمْنَا. حَتَّى إِذَا تَحَاكَّتِ الرُّكَبُ قَالُوا مِنَّا نَبِيٌّ، وَاللَّهِ لَا أَفْعَلُ

Sesungguhnya Bani Qushay (kakek keempat Rasulullah) telah berkata, “al Hijâbah adalah milik (hak) kami.” Maka kami pun berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “as Siqâyah adalah hak kami.” Kami pun berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “An Nadwah adalah hak kami” Kami berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “Panji (al Liwa’) adalah hak kami (kami yang memegang).” Kami berkata, “Ya.” Kemudian mereka memberi makan dan kami juga memberi makan. Kemudian ketika lutut-lutut sudah saling bersentuhan (sama kedudukannya dalam kemuliaan) mereka berkata, “Kenabian ada pada kami. Demi Allah, aku tak mau mengakuinya.” [al Bidâyah wan Nihayah, 3/83. Maktabah Syamilah].

Al hijâbah adalah kekuasaan terkait dengan mengurus Ka’bah termasuk mengganti hijab (kain penutup)nya, as siqâyah terkait dengan mengurus dan memberi minum jama’ah haji, dan an nadwah terkait dengan kepemimpinan dalam musyawarah. Ketika nenek moyang Abu Jahal dulu berada dalam posisi dibawah nenek moyang nabi, lalu pada saat ini (masanya Abu Jahal) posisi mereka sudah hampir setara, maka jika kenabian ada pada Nabi, maka jelas kemuliaan pada Nabi tidak bisa lagi tersaingi, inilah yang menjadikan Abu Jahal bersumpah tidak akan mau mengikuti kebenaran yang sudah jelas baginya.

Kecerdasan, kemuliaan, bahkan gelar sebagai ‘bapak kebijaksanaan’ (Abul Hakam), dan reputasi cemerlang sebelumnya, tidaklah selalu berakibat baik, justru hal-hal tersebut bisa ‘menghalangi’ untuk tunduk kepada kebenaran, terutama jika berhadapan dengan pembawa kebenaran yang levelnya sejajar dengannya apalagi jauh dibawah levelnya.

Begitu juga dengan gelar-gelar sekarang, tidak usah heran, jika dulu sebelum mendapatkan jabatan, seseorang bisa mendukung dakwah, sangat bijak, track recordnya baik, namun setelah mendapatkan posisi dan jabatan tertentu lalu berbalik menyerang dakwah.

Lalu kenapa nabi mengganti gelar ‘bapak kebijaksanaan’ (Abul Hakam) menjadi ‘bapak kebodohan’ (Abu Jahal)?, tidak lain karena penentangannya yang sangat keji terhadap dakwah, dialah yang sering ‘membubarkan’ pengajian yang dilakukan Nabi, memprovokasi orang yang sudah cenderung menerima dakwah nabi hingga orang-orang tersebut berbalik menentang nabi, paling bernafsu dalam memboikot total Nabi, Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.

Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa ketika Nabi sedang sujud di Baitullah, kaum kafir Quraisy meletakkan kotoran unta di punggung beliau di antara kedua pundaknya, lalu mereka, diantaranya adalah Amr bin Hisyam, tertawa-tawa dan mengolok-olok.

Dalam keadaan sujud, beliau tidak mengangkat kepalanya hingga datang Fatimah. Fatimah lalu membersihkan kotoran itu dari punggung beliau, setelah itu baru Rasulullah mengangkat kepalanya seraya berdo’a, diantara yang beliau ucapkan:

اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ …

“Ya Allah, aku serahkan (urusan) Abu Jahal kepada-Mu (HR. al Bukhari).

Adakah orang yang digelari ‘bapak kebijaksanaan’ sanggup melakukan hal sekeji itu?. Jika seseorang tidak mau menerima sesuatu karena tidak tahu, mungkin dia hanya disebut ‘bodoh’ saja. Jika dia tidak tahu, lalu tidak mau diberi tahu karena merasa dirinya lebih tahu, lalu menghalangi orang lain agar orang lain juga tidak tahu mungkin dia hanya disebut jahil murokkab (bodoh berlipat-lipat).

Singkatnya, yang pasti gaya kasar yang mereka lakukan dalam berceramah, banyak sekali membuat kaum muslimin malu dengan statusnya sebagai muslim. Hal ini terbukti dari kejadian yang dialami salah seorang kerabat penulis yang mulai ragu dengan islam karena isi ceramah–ceramah para orator agamis yang tampak bengis.

Yang perlu kita ingat, nilai-nilai kebaikan yang disampaikan dengan cara yang santun lebih mudah diterima nurani, dibandingkan jika disampaikan secara beringasan. Toh, untuk apa kita beringasan memaksa orang–orang untuk mengikuti ijtihad kita, yang kemungkinan kelirunya lebih besar dibanding dengan kemungkinan benarnya, padahal masalah kecondongan hati, merupakan otoritas Dzat Allah yang Berkuasa membolak-balikkan hati. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 12 Desember 2019

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Akhlak Dan Etika Di Tengah Masyarakat)


*Khutbah Pertama*

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ  أَمَرَنَا بِتَرْك الْمَنَاهِيْ وَفِعْل
الطَّاعَاتِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ الهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اْلمَآبِ. اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ:

*Jamaah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Akhlak merupakan hal yang amat fundamental dalam Islam. Misi utama Rasulullah ﷺ diutus oleh Allah pun adalah untuk menyempurnakan akhlak. Innamâ bu‘itstu li utammima makârimal akhlâq. Akhlak setidaknya terbagi menjadi tiga, yakni akhlak manusia kepada Allah, akhlak individu manusia kepada masyarakat dan alam, serta akhlak manusia kepada dirinya sendiri. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

"Sesungguhnya orang-orang mukmin
 itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat."(QS. al-Hujurat : 10)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." (QS. al-Hujurat : 13)

Kemuliaan orang ditentukan oleh kemuliaan akhlaknya. Sebuah sistem juga akan berjalan dengan baik bila diisi oleh orang-orang yang memiliki akhlak yang baik. Jabatan, status sosial, kekayaan, popularitas tak menjamin sang pemilik lantas terhormat bila ia, mialnya, gemar merendahkan orang lain, korupsi, menyakiti, berbuat sewenang-wenang, dan lain-lain. Demikian pula, secanggih apapun sistem yang dibangun, tak ada apa-apanya jika orang-orang di dalamnya hanya pandai memanipulasi, tak bertanggung jawab, dan sejenisnya.

*Jamaah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Baginda nabi Muhammad ﷺ pernah mengingatkan kita semua,

إتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun berada. Iringilah perbuatan buruk yang sudah dilakukan dengan perbuatan baik yang dapat menghapusnya. Dan berakhlaklah kepada orang-orang dengan akhlak yang baik.” (HR at-Tirmidzi)

Hadits ini menerangkan tentang kewajiban seseorang untuk mempedulikan etika sosial. Nabi menyampaikan pesan tersebut setelah berseru agar manusia bertakwa kepada Allah di mana pun berada: di masjid, di sawah, di kantor, di trotoar, di pasar, di warung, di lembaga pendidikan, di forum dakwah, dan lain sebagainya. Ketakwaan yang isiqamah, tak pandang tempat maupun waktu. Rasulullah juga berpesan dalam hadits itu untuk tidak membiarkan keburukan berlarut-larut, dengan menggantinya dengan perbuatan baik.

Para ulama mengaitkan kalimat wa khâliqin nâsa bi khuluqin hasanin sebagai imbauan tentang pergaulan sosial yang baik, sesuai arti yang tersurat: berakhlaklah kepada masyarakat dengan akhlak yang baik. Perintah Nabi tersebut sekaligus menandakan bahwa manusia sesungguhnya potensial berbuat buruk kepada sesamanya. Karena memang sejatinya manusia punya dua kecenderungan akhlak, yakni mahmûdah (terpuji) dan madzmûmah (tercela).

Manusia berlaku tercela ketika nafsu lebih menguasai daripada hati nuraninya. Egoisme atau kepentingan untuk memuaskan diri sendiri atau golongan sering kali membuat kita lupa diri kepada hak-hak orang lain, meremehkan orang lain, memojokkan orang lain, bahkan mezalimi orang lain.  Bagaimana pengejawantahan husnul khuluq (akhlak yang baik) kepada masyarakat sebagaimana diperintahkan Rasulullah ﷺ?

*Jamaah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Al-Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad mengatakan,

وَحُسْنُ الْخُلُقِ مَعَ النَّاسِ أَلَّا تَحْمِل النَّاسَ عَلَى مُرَادِ نَفْسِكَ، بَلْ تَحْمِل نَفْسَكَ عَلَى مُرَادِهِمْ مَا لَمْ يُخَالِفُوا الشَّرْعَ

“Husnul khuluq (berakhlak yang baik) kepada masyarakat adalah engkau tidak menuntut mereka sesuai kehendakmu, namun hendaknya engkau menyesuaikan dirimu sesuai kehendak mereka selama tidak bertentangan dengan syari’at.”

Inti dari definisi husnul khuluq menurut Imam al-Ghazali ini adalah penghargaan yang tinggi seseorang kepada kehendak masyarakat selama kehendak itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tidak selalu pemahaman, kebiasaan, dan kebudayaan kita sejalan dengan pemahaman, kebiasaan, dan kebudayaan orang lain. Di sinilah pentingnya seseorang “mengorbankan” egoisme diri untuk kehidupan yang harmonis di masyarakat.

*Jamaah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Contoh konkret dari praktik dari pesan tersebut adalah cara berdakwah para ulama terdahulu dalam membumikan Islam di bumi Nusantara. Wali Songo yang mempunyai wawasan fiqih dan tasawuf secara mendalam tak serta merta melarang tradisi dan kebudayaan yang berkembang di Nusantara. Tentu mereka sadar ada beberapa aspek yang tak sesuai dengan syariat, tapi toh dengan bijaksana mereka tetap menghormati nilai-nilai lokal, mengikutinya, lalu mengisinya dengan nilai-nilai Islam secara bertahap.

Mereka merupakan ulama-ulama yang menjunjung tinggi prinsip memanusiakan manusia, menghargai proses, rendah hati, dan bergaul bersama masyarakat dengan sudut pandang kasih sayang. Padahal, dengan kapasitas, status sosial, bahkan kekuasaan yang dimiliki, mereka waktu itu bisa saja memaksa penduduk pribumi untuk memeluk ajaran Islam dan meninggalkan seluruh tradisi dan adat istiadat lokal. Tapi itu tidak dilakukan, karena memang menyalahi ketentuan wa khâliqin nâsa bi khuluqin hasanin.

*Jamaah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Senada dengan Imam al-Ghazali, salah seorang ulama Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantani, mengartikan berakhlak kepada masyarakat sebagai,

هُوَ مُوَافَقَةُ النَّاسِ فِيْ كُلِّ شَيْئٍ مَا عَدَا الْمَعَاصِيْ

“Berakhlak yang baik adalah mengikuti konsensus/tradisi dalam segala hal selama bukan kemaksiatan.” (Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Taufiq, halaman 61)

Pengertian ini berangkat dari kecerdasan para ulama kita bahwa masyarakat punya kebudayaan atau tradisi yang berbeda-beda. Universalitas nilai Islam mereka tunjukkan dengan bukti bahwa Islam mampu membumi meski dengan wajah yang beragam itu.

Tradisi halal bi halal, misalnya, adalah contoh dari menyatunya nilai-nilai Islam dengan budaya di masyarakat: nilai persaudaraan dan saling memaafkan dalam Islam bersatu dengan keguyuban dan tradisi kumpul-kumpul orang Nusantara. Itulah mengapa halal bi halal tak lazim di Timur Tengah, atau belahan dunia lain, karena memang terkait dengan kebudayaan khas Nusantara. Tidak ada yang berubah dengan Islam, terutama yang berkenaan dengan ibadah mahdhah, hanya saja praktiknya yang bersinggungan dengan tradisi masyarakat bisa berbeda-beda di tiap daerah. Tentu dengan catatan tradisi itu tidak bertentangan dengan syariat.

*Jamaah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Karena sangat menghargai kearifan budaya yang berkembang di masyarakat, berakhlak yang baik kepada orang lain juga menghindari gampang memvonis sesat orang lain, menuduh munafik, dan menuduh syirik, dan lain sebagainya. Kita boleh memegang kuat-kuat prinsip yang kita yakini, tapi tak seharusnya itu mengoyak kedamian atau menimbulkan keributan yang tak perlu di tengah masyarakat. Pesan yang baik pun harus disalurkan dengan cara atau akhlak yang baik pula.  Semoga kita semua terjaga dari akhlak yang buruk, baik kepada diri sendiri, kepada masyarakat dan alam, serta lebih-lebih kepada Allah. Semoga kita termasuk dari umat Nabi Muhammad yang berhasil diperbaiki akhlaknya, mendapat ridhanya, dan memperoleh syafaatnya. Aamiin

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ

فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.

رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Senin, 02 Desember 2019

KAJIAN TENTANG HUKUM MAIN DADU DAN CATUR


(Tanggapan atas video Tengku Zulkarnain tentang hukum catur seperti memegang daging dan darah babi)

Setelah kita sepakat bahwa Islam adalah agama paripurna, kita juga harus sepakat bahwa semua ajaran Islam akan membawa manusia pada kemaslahatan di dunia dan akhirat. Itu artinya bahwa semua aturan Islam, yang isinya perintah dan larangan, merupakan pilihan terbaik bagi kehidupan umat.

Sebagaimana perintah dalam Islam mengajak untuk melakukan hal terbaik bagi hidup kita, demikian pula larangan dalam Islam, menghindarkan kita dari semua yang membahayakan hidup kita, baik disadari maupun tidak disadari.

Dengan memahami prinsip ini, semoga kita lebih perhatian terhadap aturan Allah dan berusaha untuk menerapkannya dalam aktivitas kita, meskipun bisa jadi aturan itu bertentangan dengan kebiasaan kita. Jika sudah demikian, bersiaplah untuk menjadi muslim yang kaffah, yang siap menerapkan setiap aturan Islam dalam kehidupannya.

Dalam video Tengku Zulkarnain berikut ini dia mengatakan dengan berhujjah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam riwayat Imam Muslim, dimana katanya memegang catur itu sama halnya memegang daging babi padahal sesuai hadits yang dimaksudkan itu tidak benar.

Dalam hadits riwayat Imam Muslim yang akan saya sebutkan dibawah ini menjelaskan bahwa memegang permainan (judi) dadu sama halnya mencelupkan tangannya kedalam daging babi dan darahnya. Bukankah berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berdosa?

Dalam hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan:

لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ

"Janganlah kamu berdusta atasku, karena sesungguhnya barangsiapa berdusta atasku, maka silahkan dia masuk ke neraka." [HR. Al-Bukhâri, no. 106 dan Muslim, no. 1]

مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

"Barangsiapa menceritakan sebuah hadits dariku, dia mengetahui bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta." [HR. Muslim di dalam Muqaddimah]

*Bagaimana jika permainan catur ini tidak melalaikan kewajiban dan tidak mengandung unsur yang haram?*

Dalam hal ini ulama berbeda pendapat:

*Pertama,* Imam Syafii berpendapat bahwa permainan ini hukumnya makruh.

Adz-Dzahabi menyebutkan, bahwa an-Nawawi pernah ditanya tentang permainan catur, haram ataukah boleh? Beliau menjawab:

إن فوت به صلاة عن وقتها أو لعب بها على عوض فهو حرام وإلا فمكروه عند الشافعي وحرام عند غيره . . .

“Jika itu menyebabkan orang ketinggalan shalat dari waktunya, atau bermain dengan taruhan maka itu haram. Jika tidak, hukumnya makruh menurut Syafi’i, dan haram menurut ulama lainnya.” (al-Kabair, 90)

Akan tetapi, kita juga perlu hati-hati, karena istilah makruh menurut para ulama masa silam, bisa jadi tidak sebagaimana makruh sebagaimana pengertian fikih masa sekarang. Mereka menyebut makruh karena ketaqwaan mereka, sehingga tidak berani menegaskan ini haram. Menegaskan hukum halal dan haram adalah hak Allah Ta’ala. Sehingga mereka hanya menggunakan ungkapan umum, dibenci, dalam arti harus ditinggalkan.

*Kedua,* Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan sebagian ulama syafiiyah berpendapat, catur hukumnya haram. Diantara dalilnya,

1. Firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ( ) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنتَهُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 90 – 91)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi mengatakan,

هذه الآية تدل على تحريم اللعب بالنرد والشطرنج قمارا أو غير قمار لأن الله تعالى لما حرم الخمر أخبر بالمعنى الذي فيها فقال : (إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ) فكل لهو دعا قليلُه إلى كثيره وأوقع العداوة والبغضاء بين العاكفين عليه وصد عن ذكر الله وعن الصلاة فهو كشرب الخمر وأوجب أن يكون حراماً مثله اهـ الجامع لأحكام القرآن

Ayat ini menunjukkan haramnya bermain dadu dan catur, baik untuk judi mapun bukan untuk judi. Karena Allah Ta’ala ketika mengharamkan khamr, Allah menyampaikan secara tersirat apa yang ada dalam permainan itu dalam firman-Nya (yang artinya): “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat.”

Maka semua permainan yang memicu terjadinya permusuhan dan saling membenci diantara pemain, serta menghalangi orang untuk mengingat Allah dan melaksanakan shalat maka statusnya seperti minum khamr, sehingga harus berstatus haram, seperti minum khamr. (Tafsir al-Qurthubi, 6:291)

2. Larangan tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya untuk main dadu (bukan catur). Karena di zaman beliau, permainan itu yang baru dikenal. Melalui sabdanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَ شِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَده فِي لَحْم خِنْزِير وَدَمه

“Siapa yang bermain dadu, dia seperti mencelupkan tangannya ke daging babi dan darahnya.” (HR. Muslim 2260).

Berkaitan dengan hadits ini, Imam An-Nawawi mengatakan,

وَهَذَا الْحَدِيث حُجَّة لِلشَّافِعِيِّ وَالْجُمْهُور فِي تَحْرِيم اللَّعِب بِالنَّرْدِ. وَمَعْنَى (صَبَغَ يَده فِي لَحْم الْخِنْزِير وَدَمه) أي: فِي حَال أَكْله مِنْهُمَا ، وَهُوَ تَشْبِيه لِتَحْرِيمِهِ بِتَحْرِيمِ أَكْلهمَا

“Hadits ini merupakan dalil Imam Syafi'i dan mayoritas ulama lainnya tentang haramnya bermain dadu. Makna: ‘mencelupkan tangannya ke daging babi dan darahnya’ sebagaimana ketika orang makan daging dan darah babi, yaitu menyamakan haramnya bermain dadu sebagaimana haramnya makan babi.” (Syarh Shahih Muslim, 15:15)

Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Siapa yang bermain dadu maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad 19521, Abu Daud 4938, Ibn Majah 3762, Ibn Hibban dalam shahihnya 5872). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 01 Desember 2019

MELURUSKAN KESALAHAN DALAM MEMAHAMI HADITS TENTANG BID'AH


Perayaan Maulid Nabi, Tahlilan, Yasinan dan tasyakkuran sejenisnya sering dinilai sebagai amalan sia-sia dan mengada-ngada dalam agama yg harus dihindari. Demikian anggapan mereka yg memahami hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara tekstual tanpa memahaminya secara detail kandungan dan maksud hadits tersebut. Misal dalam memahami hadits-hadits berikut :

Dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 20 dan Muslim, no. 1718]

Dalam riwayat Muslim, disebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim, no. 1718]

*Memahami hadits per-kata*

Hadits pertama,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini..."

Hadits kedua,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
"Barangsiapa melakukan suatu amalan..."

*Penjelasan penggalan hadits*

Contoh : Perayaan Maulid Nabi, Tahlilan, Yasinan dan sejenisnya adalah *perkara baru dalam agama atau suatu amalan baru dalam agama (bid'ah).*

مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"...yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”

لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"...yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”

*Penjelasan penggalan hadits*

Contoh : Perayaan Maulid Nabi, Tahlilan, Yasinan dan sejenisnya *pada umumnya berisi bacaan kalimah-kalimah thoiyibah seperti dzikir, sholawat, tasbih, tahlil, tahmid, bacaan Al-Qur'an dan Hadits Nabi serta taushiyah adalah berasal dari perintah agama,* maka semuanya itu tidaklah tertolak sebagaimana yg mereka pahami selama ini.

*Kesimpulannya*

Perayaan Maulid Nabi, Tahlilan, Yasinan dan tasyakkuran sejenisnya adalah *merupakan sesuatu perkara baru atau amalan baru yg berlandaskan perintah agama, maka hal baru tersebut tidaklah tertolak. * Wallahu a'lam bis-Shawab

Demikian Asimun Mas'ud menjelaskan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KULLUL QULUB (SETIAP HATI)


*Kullul Qulub ( کل القلوب )*
Syair Hasan bin Tsabit

كُلُّ الْقُلُوْبِ إِلَى الْحَبِيْبِ تَمِيْلُ
وَمَعِي بِهذا شَاهِدٌ وَ دَلِيْلٌ
أَمَّا الدَّلِيْلُ إِذَا ذَكَرْتَ مُحَمَّداً
صَارَتْ دُمُوْعُ العَاشِقِيْنَ تَسِيْلُ
يَا سَيِّدَ الْكَوْنَيْنِ يَا عَلَمَ الْهُدَي
هَذَا الْمُتَيَّمْ فِيْ حِمَاكَ نَزِيْلُ
لَوْ صَادَفَتْنِيْ مِنْ لَدُنْكَ عِنَايَةٌ
لَأَزُوْرُ طَيْبَةَ وَالنَّخِيْلُ جَمِيْلُ
هَذَا رَسُوْلُ اللهِ هَذَا الْمُصْطَفَى
هَذَا لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ رَسُوْلُ
هَذَا الَّذِيْ رَدَّ اْلعُيُوْنَ بِكَفِّهِ
لَمَّا بَدَتْ فَوْقَ الْخُدُوْد تَسِيْلُ

کل القلوب
(Kullul qulûb)
"Setiap hati"

کل القلوب الی الحبيب تميل
(Kullul qulûbi ilâl habîbi tamîlu)
"Setiap hati yang cenderung mencintai sang kekasih (Nabi Muhammad SAW)"

ومعي بهذا شاهد ودليل
(Wa ma’i bihadzâ syâhidun wa dalîlu)
"Padanya terdapat tanda dan bukti"

أما الدليل إذا ذگرت محمدا
(Ammad-dalîlu idzâ dzakarta Muhammadan)
"Tandanya, adalah ketika kanu menyebut nama Nabi Muhammad (SAW)"

صارت دموع العاشقين تسيل
(Shôrot dumû’ul ‘âsyiqîna tasîlu)
"Mengalirlah airmata orang yg terpendam rindunya"

هذا رسول الله
(Hâdzâ Rosûlullâh)
"Dialah Rasulullah (SAW)"

هذا رسول الله
(Hâdzâ Rosûlullâh)
"Dialah Rasulullah (SAW)"

هذا المصطفی
(Hâdzâl Mushthofâ)
"Dialah insan yang terpilih"

هذا لرب العالمين خليل
(Hâdzâ lirobbil ‘âlamîna kholîlu)
"Dialah kekasihnya Allah, Tuhan semesta alam"