Senin, 16 Desember 2019
KAJIAN TENTANG RASULULLAH SAW TIDAK MENGAJARKAN CACIAN DAN MAKIAN
Maher At-Thuwailibi adalah salah satu diantara para pendakwah yang dikenal dengan makian dan omongan kasar. Ada banyak video bertebaran di media sosial yang membuktikan kalau Maher seringkali melontarkan kata-kata yang tidak sesuai dengan adab Islam dan etika yang diajarkan Rasulullah. Ketika ditanya kenapa suka berkata kasar, Maher berdalih kalau apa yang dilakukannya itu adalah ajaran dari Rasulullah itu sendiri. Dia mengutip pernyataan Rasulullah yang menyebut kelompok Khawarij sebagai Kilabunnar, anjing neraka
Pertanyaannya bisakah hadits tersebut dijadikan landasan untuk berkata kasar seenaknya kepada orang yang beda pendapat dengan kita?
Pertama yang perlu ditegaskan bahwa pernyataan yang dikutip Maher itu masih diperdebatkan para ulama apakah itu betul-betul perkataan Nabi atau tidak. Dalam hal ini ulama beda pendapat, ada yang menshahihkan dan ada pula yang mendhaifkan.Namun, yang ingin dibahas dalam tulisan ini, benarkah jika hadis tersebut dijadikan legitimasi tentang kebolehan berkata atau bersikap kasar kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita?
Setidaknya ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam hadits tersebut:
*Pertama,* hadits tersebut bersifat futuristik dan bernilai sebagai pengingat bagi kaum muslimin agar berhati-hati dengan kaum khawarij yang menghalalkan darah saudaranya sesama muslim jika ia berbeda pandangan dengan mereka dalam permasalahan yang masih debatable dan bersifat ijtihadi.
*Kedua,* penyematan kata “كلاب النار” kepada kaum khawarij apakah bisa dikategorikan statemen kasar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa melihat konteks fungsi kata tersebut dalam kebudayaan Arab ketika itu, dan tanpa mengetahui cara berbicara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah mimik wajah serta intonasi suaranya.
Lalu yang ketiga, jika memang statemen tersebut merupakan statemen kasar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada suatu kelompok, apakah ia bersifat khusus bagi kaum khawarij, atau boleh disematkan kepada siapapun yang “diduga” merugikan umat islam, meskipun tidak sampai menghalalkan darah mereka misalnya, apalagi kita mengetahui diantara fungsi “أل للتعريف” adalah memberi makna kekhususan bagi jenis kata benda yang disandarkan kepadanya “أل” tersebut. Maka, jikapun diperkenankan menyematkan statemen yang “diduga” kasar itu kepada kelompok tertentu, maka hanya kelompok yang tergolong khawarij saja yang diperbolehkan.
Sedangkan yang kita temui akhir-akhir ini para penceramah yang gemar menggunakan kata-kata kasar, dengan mudahnya menggunakannya kepada orang-orang yang bukan khawarij, dan bahkan jika diupayakan dengan logika analogi pun mereka yang diumpat oleh penceramah-penceramah tersebut sangat jauh dari kriteria-kriteria sifat kaum khawarij.
*Makna Anjing-anjing Neraka*
Istilah Anjing Anjing neraka ini terdapat dalam sebuah hadist Nabi, mereka adalah kelompok khawarij, para pemberontak yang mengatas namakan jihad di jalan Allah. Nabi Bersabda, “Anjing-anjing neraka, (mereka) seburuk-buruk yang terbunuh di bawah kolong langit,dan sebaik-baik yang terbunuh adalah yang mereka bunuh.” Lalu Abu Umamah berkata: "Sekiranya aku tidak mendengar hadits ini (dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam) sekali, dua kali sampai tujuh kali, aku tidak akan memberitakannya kepada kalian. (HR.Tirmidzi:3000).
Ulama berbeda pendapat mengenai status khawarij, apakah mereka muslim ataukah telah keluar dari islam..
Hampir semua ulama, termasuk para sahabat, mereka menilai khawarij masih muslim dan tidak keluar dari islam.
Bahkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, khalifah pertama yang dimusuhi khawarij, tidak menganggap bahwa khawarij telah keluar dari islam.
Hanya saja, khawarij sekte menyimpang yang banyak diperingatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ
Khawarij adalah anjing-anjingnya neraka. (HR. Ahmad 19415, Ibnu Majah 173).
Apa makna khawarij anjingnya neraka?
Ada 2 kemungkinan makna yang disampaikan para ulama,
[1] Mereka akan dijadikan Allah dalam bentuk anjing ketika di neraka
[2] Mereka memiliki karakter sebagaimana anjing, yang dihinakan ketika di neraka.
Ali al-Qari menjelaskan,
أَيْ هُمْ كِلَابُ أَهْلِهَا، أَوْ عَلَى صُورَةِ كِلَابٍ فِيهَا
Artinya, mereka akan menjadi anjing penduduk neraka, atau mereka akan menjadi makhluk seperti anjing di neraka. (Mirqah al-Mafatih, 6/2323)
Kemudian, ada juga keterangan al-Munawi,
أي أنهم يتعاوون فيها عواء الكلاب ، أو أنهم أخس أهلها ، وأحقرهم ، كما أن الكلاب أخس الحيوانات وأحقرها
Maksudnya, mereka akan melolong seperti lolongan anjing, atau mereka menjadi penduduk neraka yang paling hina, sebagaimana anjing menjadi binatang yang paling rendah. (Faidhul qadir, 1/528).
*Abul Hakam menjadi Abu Jahal*
Sebelum Islam datang, ‘Amr bin Hisyâm (570 – 624 M) adalah orang yang dikenal kebijaksanaan dan kecerdasannya. Dalam usia yang masih muda, para tetua Quraisy sudah sering meminta bantuannya dalam menghadapi masalah, oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan Abul Hakam (Bapak Kebijaksanaan).
Hanya saja, semua itu berubah ketika Islam datang, kecerdasan otaknya tidak digunakan untuk membela Islam, bahkan sebaliknya, digunakan untuk memutarbalikkan fakta dalam rangka menentang kebenaran Islam. Kedudukan dan reputasinya yang sudah tinggi menghalangi dia untuk menerima Islam, ajaran yang bakalan memposisikan manusia sederajat, hanya dibedakan oleh ketaqwaannya.
Al Mughirah bin Syu’bah ra menceritakan, “Sesungguhnya hari pertama aku mengenal Rasulullah saw. ialah ketika aku dan Abu Jahal bin Hisyam tengah berjalan kaki di sebagian gang kota Makkah. Ketika itu kami bertemu dengan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada Abu Jahal,
يَا أَبَا الْحَكَمِ، هلمَّ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ، أَدْعُوكَ إِلَى اللَّهِ
“Hai Abu Hakam, marilah menuju Allah dan Rasul-Nya. Aku menyeru kamu kepada Allah.”
Abu Jahal berkata,
يَا مُحَمَّدُ، هَلْ أَنْتَ مُنْتَهٍ عَنْ سَبِّ آلِهَتِنَا؟ هَلْ تُرِيدُ إِلَّا أَنْ نَشْهَدَ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ؟ فَنَحْنُ نَشْهَدُ أَنَّ قَدْ بَلَّغْتَ؟ فَوَاللَّهِ لَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنَّ مَا تَقُولُ حَقٌّ لَاتَّبَعْتُكَ
“Hai Muhammad, apakah kamu mau berhenti mencaci tuhan-tuhan kami? Adakah yang kamu inginkan selain supaya kami bersaksi bahwa kamu telah menyampajkan seruanmu? Maka kami bersaksi bahwa kamu telah menyampaikan (dakwah kepada kami)?. Demi Allah, seandainya aku mengetahui bahwa ucapanmu itu benar, pasti aku akan mengikutimu”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun pergi, lalu Abu Jahal berkata kepadaku,
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أن ما يقول حق، ولكن [يمنعني] شئ.
“Demi Tuhan, sesungguhnya aku mengetahui bahwa yang dikatakannya adalah benar, akan tetapi ada sesuatu yang menghalangiku untuk membenarkan ucapannya.”
Abu Jahal lalu menjelaskan alasannya,
إِنَّ بَنِي قُصَيٍّ قَالُوا: فِينَا الْحِجَابَةُ. فَقُلْنَا نَعَمْ، ثُمَّ قَالُوا فِينَا السِّقَايَةُ، فَقُلْنَا نَعَمْ. ثُمَّ قَالُوا فِينَا النَّدْوَةُ، فَقُلْنَا نَعَمْ. ثُمَّ قَالُوا فِينَا اللِّوَاءُ، فَقُلْنَا نَعَمْ. ثُمَّ أَطْعَمُوا وَأَطْعَمْنَا. حَتَّى إِذَا تَحَاكَّتِ الرُّكَبُ قَالُوا مِنَّا نَبِيٌّ، وَاللَّهِ لَا أَفْعَلُ
Sesungguhnya Bani Qushay (kakek keempat Rasulullah) telah berkata, “al Hijâbah adalah milik (hak) kami.” Maka kami pun berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “as Siqâyah adalah hak kami.” Kami pun berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “An Nadwah adalah hak kami” Kami berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “Panji (al Liwa’) adalah hak kami (kami yang memegang).” Kami berkata, “Ya.” Kemudian mereka memberi makan dan kami juga memberi makan. Kemudian ketika lutut-lutut sudah saling bersentuhan (sama kedudukannya dalam kemuliaan) mereka berkata, “Kenabian ada pada kami. Demi Allah, aku tak mau mengakuinya.” [al Bidâyah wan Nihayah, 3/83. Maktabah Syamilah].
Al hijâbah adalah kekuasaan terkait dengan mengurus Ka’bah termasuk mengganti hijab (kain penutup)nya, as siqâyah terkait dengan mengurus dan memberi minum jama’ah haji, dan an nadwah terkait dengan kepemimpinan dalam musyawarah. Ketika nenek moyang Abu Jahal dulu berada dalam posisi dibawah nenek moyang nabi, lalu pada saat ini (masanya Abu Jahal) posisi mereka sudah hampir setara, maka jika kenabian ada pada Nabi, maka jelas kemuliaan pada Nabi tidak bisa lagi tersaingi, inilah yang menjadikan Abu Jahal bersumpah tidak akan mau mengikuti kebenaran yang sudah jelas baginya.
Kecerdasan, kemuliaan, bahkan gelar sebagai ‘bapak kebijaksanaan’ (Abul Hakam), dan reputasi cemerlang sebelumnya, tidaklah selalu berakibat baik, justru hal-hal tersebut bisa ‘menghalangi’ untuk tunduk kepada kebenaran, terutama jika berhadapan dengan pembawa kebenaran yang levelnya sejajar dengannya apalagi jauh dibawah levelnya.
Begitu juga dengan gelar-gelar sekarang, tidak usah heran, jika dulu sebelum mendapatkan jabatan, seseorang bisa mendukung dakwah, sangat bijak, track recordnya baik, namun setelah mendapatkan posisi dan jabatan tertentu lalu berbalik menyerang dakwah.
Lalu kenapa nabi mengganti gelar ‘bapak kebijaksanaan’ (Abul Hakam) menjadi ‘bapak kebodohan’ (Abu Jahal)?, tidak lain karena penentangannya yang sangat keji terhadap dakwah, dialah yang sering ‘membubarkan’ pengajian yang dilakukan Nabi, memprovokasi orang yang sudah cenderung menerima dakwah nabi hingga orang-orang tersebut berbalik menentang nabi, paling bernafsu dalam memboikot total Nabi, Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.
Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa ketika Nabi sedang sujud di Baitullah, kaum kafir Quraisy meletakkan kotoran unta di punggung beliau di antara kedua pundaknya, lalu mereka, diantaranya adalah Amr bin Hisyam, tertawa-tawa dan mengolok-olok.
Dalam keadaan sujud, beliau tidak mengangkat kepalanya hingga datang Fatimah. Fatimah lalu membersihkan kotoran itu dari punggung beliau, setelah itu baru Rasulullah mengangkat kepalanya seraya berdo’a, diantara yang beliau ucapkan:
اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ …
“Ya Allah, aku serahkan (urusan) Abu Jahal kepada-Mu (HR. al Bukhari).
Adakah orang yang digelari ‘bapak kebijaksanaan’ sanggup melakukan hal sekeji itu?. Jika seseorang tidak mau menerima sesuatu karena tidak tahu, mungkin dia hanya disebut ‘bodoh’ saja. Jika dia tidak tahu, lalu tidak mau diberi tahu karena merasa dirinya lebih tahu, lalu menghalangi orang lain agar orang lain juga tidak tahu mungkin dia hanya disebut jahil murokkab (bodoh berlipat-lipat).
Singkatnya, yang pasti gaya kasar yang mereka lakukan dalam berceramah, banyak sekali membuat kaum muslimin malu dengan statusnya sebagai muslim. Hal ini terbukti dari kejadian yang dialami salah seorang kerabat penulis yang mulai ragu dengan islam karena isi ceramah–ceramah para orator agamis yang tampak bengis.
Yang perlu kita ingat, nilai-nilai kebaikan yang disampaikan dengan cara yang santun lebih mudah diterima nurani, dibandingkan jika disampaikan secara beringasan. Toh, untuk apa kita beringasan memaksa orang–orang untuk mengikuti ijtihad kita, yang kemungkinan kelirunya lebih besar dibanding dengan kemungkinan benarnya, padahal masalah kecondongan hati, merupakan otoritas Dzat Allah yang Berkuasa membolak-balikkan hati. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar