Sabtu, 01 Juni 2019

KAJIAN TENTANG TAHNIAH (UCAPAN SELAMAT) IDUL FITRI


Ramadhan 1440 H akan segera berlalu. Umat Islam merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1440 H. Selama masa hari raya ini ucapan selamat (tahniah) yang paling populer yang sering disampaikan oleh banyak orang adalah minal ‘aaidiin wal faaiziin dan mohon maaf lahir batin. Media massa baik cetak maupun elektronik pun berperan besar mengampanyekan ucapan selamat ini.

Saya penasaran fenomena itu, sehingga tertarik untuk melakukan survey sederhana. Setiap teman atau sahabat yang mengucapkan minal ‘aaidiin wal faaiziin kepada saya, saya pun bertanya, “Apa maksudnya?”. Mereka pun menjawab, ”Mohon maaf lahir batin, Pak!”. Saya pun menyimpulkan bahwa selama ini ungkapan minal ‘aaidiin wal faaiziin dikira bermakna mohon maaf lahir batin.

Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, walaupun hanya sedikit, pasti akan mengatakan bahwa ini adalah tidak tepat. Dalam hal ini saya menganalogikannya seperti anak-anak SD yang baru saja belajar bahasa Inggris yang tahunya ada tulisan welcome di keset (alas yang difungsikan untuk membersihkan kotoran pada alas kaki), maka hal itu melekat dalam ingatan mereka bahwa bahasa Inggris keset adalah welcome. Karena kesalahan ini dilakukan secara massif, maka inilah yang dinamakan salah kaprah, salah tapi dilakukan banyak orang sehingga dianggap sebagai suatu kebenaran.

Bagaimana seharusnya yang ucapan tahni’ah yang tepat? Jika kita membaca literatur, memang kita menemukan tradisi di kalangan para sahabat Nabi, yakni mengucapkan selamat (tahniah) kepada sesama umat Islam yang telah berhasil menyelesaikan puasa Ramadlan. Bunyi bacaan selamatnya adalah “taqabbalallaahu minnaa wa minkum”, namun ada pula yang menambahnya “taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Ada pula yang masih menambahnya “wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair”.

Jika ucapan selamat itu dirangkai memang menjadi sangat panjang, “taqabbalallaahi minnaa wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidin wal faaiziin wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair” Artinya adalah “semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadlan) kami dan kamu. Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu senantia dalam kebaikan.”

Dari ucapan selamat yang panjang inilah, kita bisa lacak asal-usul ucapan minal “aaidiin wal faaiziin” yang artinya termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Dari sini pula kita sudah tahu kan bahwa ucapan tahniah ini tidak ada sangkut pautnya dengan mohon maaf lahir batin.

Kalau kita mau meniru apa yang dilakukan sahabat Nabi, sebenarnya yang paling tepat kita ucapkan adalah bacaan selamat panjang itu. Kalaupun itu telalu panjang, kita bisa menyingkatnya dengan bacaan yang paling populer di kalangan mereka, yaitu “taqabbalallaahu minnaa wa minkum”, bukan mengucapkan minal ‘aaidin wal faizin."

Alasannya adalah “taqabbalallaahu minnaa wa minkum” adalah bacaan yang telah sempurna struktur  kalimatnya. Selain itu, bacaan ini adalah paling populer di kalangan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dibadingkan bacaan “minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Hal ini bisa kita lacak pada kitab Fathul Bari karya Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau mengatakan dalam kitabnya itu, “Telah sampai kepada kami riwayat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata: “Adalah para sahabat Rasulullah saat saling bertemu di hari raya, sebagiannya mengucapkan kepada sebagian lainnya: “Taqabbalallahu minnaa wa minkum.” (Fathul Bari, juz 4, halaman 19).

Bagaimana fakta di Indonesia? Ternyata yang populer adalah “minal ‘aidiin wal faiziin”. Inilah uniknya orang Islam di Indonesia. Mereka tidak langsung menerima tradisi pengucapan tahniah ini apa adanya. Mereka justru mengkreasi tradisi baru ala Indonesia, walaupun sebenarnya salah kaprah justru lebih membudaya.

Buktinya, “minal ‘aaidiin wal faaiziin” lebih populer dan dikira bermakna mohon maaf lahir batin. Selain itu mereka mengkreasi tradisi Halal Bi Halal yang tidak ada rujukannya secara khusus dari Islam atau dari tradisi Arab.

Halal bihalal merupakan kegiatan silaturahmi atau silaturahim [صِلَةُ الرَّحِمِ] dan saling bermaafan. Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi (shilaturrahim) merupakan bagian dari Risalah Islam dan tidak terbatas saat Idul Fitri.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (QS. Al-A'raf:199)

Penggagas istilah “halal bi halal” ini adalah KH. Wahab Chasbullah. Ceritanya begini: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.

Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Romadlon, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, jelas Kyai Wahab.

Dari saran kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah.

Inilah masalah budaya. Selama ia mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari’at, marilah bersikap moderat.

Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari' juz 4 hal. 19 bab Kesunahan Bagi Umat Islam di Dua Hari Raya menjelaskan sebuah hadits dari Jubair bin Nufair ra

«كان أصحاب رسول اللَّه إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض: تقبل الله منا ومنك» – فتح الباري، 4-19

"Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila saling bertemu di hari raya mereka satu sama lain mengucapkan, *Taqobbalallohu minna wa minkum (Semoga Allah menerima (amalan ibadah) dari kami dan dari kamu)*

Imam Ahmad bin Hanbal berkata,

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka”.

وَقَالَ حَرْبٌ : سُئِلَ أَحْمَدُ عَنْ قَوْلِ النَّاسِ فِي الْعِيدَيْنِ تَقَبَّلَ اللَّهُ وَمِنْكُمْ .قَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، يَرْوِيه أَهْلُ الشَّامِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قِيلَ : وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ ؟ قَالَ : نَعَمْ .قِيلَ : فَلَا تُكْرَهُ أَنْ يُقَالَ هَذَا يَوْمَ الْعِيدِ .قَالَ : لَا .

Salah seorang ulama, Harb mengatakan, “Imam Ahmad pernah ditanya mengenai apa yang mesti diucapkan di hari raya ‘ied (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha), apakah dengan ucapan, ‘Taqobbalallahu minna wa minkum’?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak mengapa mengucapkan seperti itu.” Kisah tadi diriwayatkan oleh penduduk Syam dari Abu Umamah.

Ada pula yang mengatakan, “Apakah Watsilah bin Al Asqo’ juga berpendapat demikian?” Imam Ahmad berkata, “Betul demikian.” Ada pula yang mengatakan, “Mengucapkan semacam tadi tidaklah dimakruhkan pada hari raya ‘ied.” Imam Ahmad mengatakan, “Iya betul sekali, tidak dimakruhkan.”

وَذَكَرَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي تَهْنِئَةِ الْعِيدِ أَحَادِيثَ ، مِنْهَا ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ زِيَادٍ ، قَالَ : كُنْت مَعَ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانُوا إذَا رَجَعُوا مِنْ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لَبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك .وَقَالَ أَحْمَدُ : إسْنَادُ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ إسْنَادٌ جَيِّدٌ .

Ibnu ‘Aqil menceritakan beberapa hadits mengenai ucapan selamat di hari raya ‘id. Di antara hadits tersebut adalah dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya. Jika mereka kembali dari ‘ied (yakni shalat ‘id), satu sama lain di antara mereka mengucapkan, ‘Taqobbalallahu minna wa minka” Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad riwayat Abu Umamah ini jayyid.

‘Ali bin Tsabit berkata, “Aku pernah menanyakan pada Malik bin Anas sejak 35 tahun yang lalu.” Ia berkata, “Ucapan selamat semacam ini tidak dikenal di Madinah.”

Diriwayatkan dari Ahmad bahwasanya beliau berkata, “Aku tidak mendahului dalam mengucapkan selamat (hari raya) pada seorang pun. Namun jika ada yang mengucapkan selamat padaku, aku pun akan membalasnya.” Demikian berbagai nukilan riwayat sebagaimana kami kutip dari Al Mughni.

Terdapat juga hadits yang berlawanan dengan riwayat hadits diatas yaitu bahwa ucapan "Taqobbalallohu minna wa minkum" ternyata adalah kebiasaan ahlul kitab (yahudi dan nashrani).

أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ بِبَغْدَادَ، أنبأ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو الرَّزَّازُ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْهَيْثَمِ بْنِ حَمَّادٍ، ثنا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّاد، ثنا عَبْدُ الْخَالِقِ بْنُ زَيْدِ بْنِ وَاقِدٍ الدِّمَشْقِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” عَنْ قَوْلِ النَّاسِ فِي الْعِيدَيْنِ: ” تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ، قَالَ: ” ذَلِكَ فِعْلُ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ وَكَرِهَهُ

Telah mengkhabarkannya kepada kami Abul Husain bin Bisyraan -di Baghdaad-, telah memberitakan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Ar-Razzaaz, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Haitsam bin Hammaad, telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammaad, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Khaaliq bin Zaid bin Waaqid Ad-Dimasyqi, dari Ayahnya, dari Makhuul, dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai perkataan orang-orang pada dua hari raya ‘Id, “Taqabbalallaahu minnaa wa minkum,” maka beliau bersabda, “Itu adalah perbuatan dua ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan tidak disukai.” (Sunan Al-Kubra li Al-Baihaqi 3/319)

Ibnu habib mengatakan, “Yang semisal dengan ucapan dalam riwayat diatas adalah perkataan sebagian orang ketika id, ‘عِيدٌ مُبَارَكٌ‘ (Id yang diberkahi), ‘أَحْيَاكُمُ‘ (Semoga Allah memberi keselamatan bagimu), dan semisalnya. Tidak diragukan, bahwa ini semua diperbolehkan.” (Al-Fawakih Ad-Dawani, 3:244)

Imam Malik ditanya tentang ucapan seseorang kepada temannya di hari raya, “Taqabbalallahu minna wa minkum,” atau “Ghafarallahu lana wa laka.” Beliau menjawab, “Saya tidak mengenalnya dan tidak mengingkarinya.” (At-Taj wal Iklil, 2:301)

Sebagaimana juga sudah menjadi adat kebiasaan kebanyakan bangsa arab dalam mengucapkan tahniah (ucapan selamat) dengan perkataan, *'Idukum Mubarok* (hari raya kamu diberkahi) atau *Kullu 'Aamin wa antum bikhoir* (semoga tiap tahun kamu selalu baik-baik saja) atau dgn ucapan *Minal 'Aidina wal Faizin* (Termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang-orang yang menang) sebagaimana dijelaskan,

وقد جرت العادة في كثير من الدول العربية بالتهنئة بقول: عيدكم مبارك، أو كل عام وأنتم بخير أو من العائدين الفائزين.

Jika bangsa arab sesuai adat kebiasaan bisa berkreasi dalam tahniah tentu bangsa indonesia tidak seharusnya disalahkan budayanya oleh bangsanya sendiri yang terkadang merasa paling islami atau paling arab.

Arti sebenarnya dari minal ‘aidin wal faizin.
من العادين و الفائزين

1. Min من , Yang memiliki arti “termasuk”.
2. Al-aidin العائدين, Artinya”orang-orang yang kembali (fitrah/suci)”
3. Wa و , Artinya “dan”
4. Al-faizin الفائزين, Artinya “ orang-orang yang menang”.

Jika dimaknai secara harfiah dari Minal ‘Aidin wal Faizin dalam bahasa indonesia, menjadi: “Termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang”

Tetaplah jadi muslim yang fleksibel dan berbudaya indonesia yang ramah, santun dan toleran dan rahmatan lil'alamin dengan istilah yang viral saat ini yaitu *Islam Nusantara*. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar