Sabtu, 01 Juni 2019

KAJIAN TENTANG KEUTAMAAN MENDO'AKAN KEBAIKAN ORANG LAIN


Do'a merupakan senjata yang paling dahsyat bagi orang beriman, aktivitas ibadah yang mudah dilakukan. Betapa dahsyatnya kekuatan do'a yang dilantunkan oleh orang-orang yang yakin, bahwa Allah akan mengabulkan segala do'a-do'anya. Banyak contoh dari orang-orang terdahulu, bagaimana lantunan do'a dapat mengubah sesuatu yang mustahil dapat dilakukan, tentu hal itu adanya kekuatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa.

Oleh sebab itu, manusia diperintahkan untuk berdo'a kepada-Nya. Do'a yang dihiasi dengan sikap merendah disertai dengan pengaharapan dan keyakinan, bahwa do'anya dapat dikabulkan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala bagaimana manusia diperintahkan untuk berdoa.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS. Al-Mukminun : 60)

Al-Hafizh Imam adz-Dzahabi menyebutkan kisah dari Ummud Darda’ rahimahallah bahwa Abud Darda’ Radhiyallahu anhu memiliki 360 kekasih di jalan Allah yang selalu dido’akan dalam shalat, lalu Ummud Darda’ mempertanyakan hal tersebut, beliau menjawab: “Apakah aku tidak boleh menyukai jika para Malaikat mendo’akanku?” (Siyar A'lamin Nubala juz II hql. 351)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang mukmin yang telah mendahului mereka, hal ini sebagaimana termaktub di dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Hasyr: 10]

Dari Shofwan bin ‘Abdillah bin Shofwan suami dari Ad Darda’ binti Abid Darda’, beliau mengatakan,

قدمت عليهم الشام، فوجدت أم الدرداء في البيت، ولم أجد أبا الدرداء. قالت: أتريد الحج العام ؟ قلت : نعم. قالت: فادع الله لنا بخير؛ فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول

“Aku tiba di negeri Syam. Kemudian saya bertemu dengan Ummud Darda’ (ibu mertua Shofwan) di rumah. Namun, saya tidak bertemu dengan Abud Darda’ (bapak mertua Shofwan). Ummu Darda’ berkata, “Apakah engkau ingin berhaji tahun ini?” Aku (Shofwan) berkata, “Iya.”

Ummu Darda’ pun mengatakan, “Kalau begitu do’akanlah kebaikan padaku karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,”

: “إن دعوة المرء المسلم مستجابة لأخيه بظهر الغيب، عند رأسه ملك موكل، كلما دعا لأخيه بخير، قال: آمين، ولك بمثل”. قال: فلقيت أبا الدرداء في السوق، فقال مثل ذلك، يأثر عن النبي صلى الله عليه وسلم.

“Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.”

Shofwan pun mengatakan, “Aku pun bertemu Abu Darda’ di pasar, lalu Abu Darda’ mengatakan sebagaimana istrinya tadi. Abu Darda’ mengatakan bahwa dia menukilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata bahwa seseorang mengatakan,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَلِمُحَمَّدٍ وَحْدَنَا

“Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad saja!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

لَقَدْ حَجَبْتَهَا عَنْ نَاسٍ كَثِيرٍ

“Sungguh engkau telah menyempitkan do’amu tadi dari do’a kepada orang banyak.” (HR. Bukhari)

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits-hadits di atas adalah :

Pertama: Islam sangat mendorong umatnya agar dapat mengikat hubungan antara saudaranya sesama muslim dalam berbagai keadaan dan di setiap saat.

Kedua: Do’a seorang muslim kepada saudaranya karena Allah di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang sangat utama dan do’a yang akan segera terijabahi (mustajab). Orang yang mendo’akan saudaranya tersebut akan mendapatkan semisal yang didapatkan oleh saudaranya.

Ketiga: Ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’a seorang muslim kepada suadaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya.

Keempat: Malaikat tidaklah mengaminkan do’a selain do’a dalam kebaikan.

Kelima: Sebagaimana terdapat dalam hadits ketiga di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Arab Badui di mana dia membatasi rahmat Allah yang luas meliputi segala makhluk-Nya, lalu dibatasi hanya pada dirinya dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

Inilah beberapa pelajaran berharga dari hadits di atas. Janganlah lupakan saudaramu di setiap engkau bermunajat dan memanjatkan do’a kepada Allah, apalagi orang-orang yang telah memberikan kebaikan padamu terutama dalam masalah agama dan akhiratmu.

Dari Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“إن دعوة الأخ في الله تستجاب”

“Sesungguhnya do’a seseorang kepada saudaranya karena Allah adalah do’a yang mustajab (terkabulkan).“

Mendo'akan orang lain besar pahalanya. Dan malaikat disebutkan di dalam hadits akan membalas do'a bagi yang mendo'akan orang lain.

عن أَبي الدرداء رضي الله عنه: أنَّه سَمِعَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقول: “مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلمٍ يدعُو لأَخِيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ إِلا قَالَ المَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ”. رواه مسلم.

“Dari Abu Darda’ ra., bahwa beliau mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang muslim mendoakan saudaranya dari kejauhan melainkan malaikat mengatakan, “Dan bagimu seperti yang engkau do'akan!”. (HR. Muslim no. 2732)

Dalam hadits yang lain juga dari Abu Darda’ bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

“دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لأَخيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ المَلَكُ المُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلٍ”. رواه مسلم

“Doa seorang muslim bagi saudaranya dari kejauhan adalah mustajab. Di sisi kepalanya terdapat malaikat yang diutuskan, setiap kali ia mendoakan bagi saudaranya kebaikan maka malaikat tersebut akan mengatakan, “Aamiiin. Dan bagimu seperti yang engkau doakan”. (HR. Muslim no. 2733).

Imam An Nawawi menanggapi hadits ini beliau berkata,

وفى هذا فضل الدعاء لأخيه المسلم بظهر الغيب، ولو دعا لجماعة من المسلمين حصلت هذه الفضيلة، ولو دعا لجملة المسلمين فالظاهر حصولها أيضاً، وكان بعض السلف إذا أراد أن يدعو لنفسه يدعو لأخيه المسلم بتلك الدعوة؛ لأنها تستجاب ويحصل له مثلها.

“Dalam hadits ini terdapat keutamaan mendo'akan saudaranya yang muslim dari kejauhan. Sekiranya ia mendo'akan bagi jamaah kaum muslimin ia akan mendapatkan keutamaan ini. Sekiranya ia mendo'akan bagi sekelompok kaum muslimin, secara zhahirnya juga akan ia dapatkan keutamaannya. Adalah sebagian kaum salaf jika hendak berdoa bagi dirinya sendiri maka ia akan mendoakan saudaranya yang lain yang muslim dengan do'a yang ia inginkan. Karena hal ini termasuk doa yang mustajab dan ia juga akan mendapatkan seperti apa yang doakan”. (Syarah An Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 17/49).

Meminta do'a dari orang lain juga ternyata Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab ketika Umar berangkat Umrah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mewasiatkan kepada Umar agar jangan lupa mendo'akan beliau.

وقد روى أبو داود والترمذي وصححه وابن ماجه عن عمر رضي الله عنه قال: استأذنت النبي صلى الله عليه وسلم في العمرة، فأذن لي، وقال: “لا تنسنا يا أخي من دعائك”، فقال كلمة ما يسرني أن لي بها الدنيا.

Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Umar bin Al Khattab bahwa ia berkata, Saya pernah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berangkat umrah. Lalu beliau mengizinkanku, lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau lupa mendo'akan kami wahai saudaraku”. Beliau mengucapkan seuntaian kalimat yang aku tidak ingin digantikan dengan dunia dan seluruh isinya”. (HR. Abu Daut, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Betapa indahnya akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau sangat tawadhu' beliau juga memberikan keteladanan kepada kita meminta do'a dari orang shaleh adalah sesuai dengan Sunnah beliau.

Meminta do'a dari orang yang shaleh juga sangat baik. Dalam hadits yang panjang tentang keutamaan Uwais Al Qarni seorang Sayyidut Tabi’in, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Umar bin Al Khattab ra,

( .. فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ) فَأَتَى أُوَيْسًا فَقَالَ : اسْتَغْفِرْ لِي …

“Jika kamu mampu meminta do'a keampunan padanya maka lakukanlah”. Lalu Umar mendatangi Uwais dan berkata, "Beristighfarlah untukku…" (HR. Muslim no. 2542).

Dalam kitab Tadzkirah al-Auliyâ’, Imam Fariduddin Attar memasukkan kisah unik dari Imam Ma’rûf al-Karkhi. Ma'ruf Al-Kharqi adalah seorang sufi besar yang berpengaruh. Ia bernama lengkap Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Sufi yang satu ini menetap di Baghdad, Irak di masa kejayaan Harun Al Rasyid. Ia berasal dari Persia, Iran dan mempunyai banyak murid. Salah satunya adalah Sarry As-Saqaty.

Berikut salah satu kisahnya,

نقل أنه يوما يمرّ مع جماعة بساحل دجلة, وجماعة من الشبان كانوا في زورق علي دجلة يشربون الخمر ويضربون الرباب ويجاهرون بالفسق، فقال الأصحاب لمعروف: يا شيخ، ادع الله عليهم لعلّه يهلكهم بالغرق، لئلا يصل شؤمهم إلي الخلائق وينقطع عن النّاس فسقهم. فقال: ارفعوا أيديكم. فلمّا رفعوا، قال: إلهي، كما طيّبتَ عيشهم في الدنيا فطيّبْ كذلك عيشهم في الآخرة. فتعجّب الأصجاب عن هذا الأمر، وقالوا: يا شيخ نحن لا نبلغ إلي سرّ هذا الدعاء. قال: توقّفوا ليتبيّن لكم الأمر. فلمّا رأي حماعة الشبان الشيخ، كسروا الرباب وأراقوا الخمر ووقعوا في البكاء وجاؤوا إليه مسرعين وتابوا، فقال الشيخ: انظروا إلي هذا الشأن البديع حصل مراد الجميع بلا غرق

Dikisahkan bahwa Imam Ma’ruf al-Karkhi berjalan bersama murid-muridnya di tepian sungai Tigris, dan sekelompok pemuda sedang asyik minum-minum khamr, menabuh rebab (sejenis alat musik), dan menampakkan kefasikan secara terbuka di atas perahu sungai Tigris. Berkata sebagian murid kepada Imam Ma’ruf: “Wahai guru, berdoalah kepada Allah agar mereka binasa dengan tenggelam, agar kesialan mereka tidak mengenai makhluk lainnya dan kefasikan mereka berhenti (mempengaruhi) orang lain.”

Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata: “Angkatlah tangan kalian.” Ketika mereka semua mengangkatnya, Imam Ma’ruf berdoa: “Tuhanku, sebagaimana Kau senangkan hidup mereka di dunia, maka senangkan juga hidup mereka di akhirat kelak.” Maka murid-muridnya terkejut dengan isi doa Imam Ma’ruf al-Karkhi, dan berkata: “Wahai guru, kami tidak memahami rahasia do'a ini.” Imam Ma’ruf al-Karkhi menjawab: “Tunggulah, maka kalian akan memahami rahasia di balik doa tersebut.”

Kemudian, ketika sekelompok pemuda itu melihat Imam Ma’ruf al-Karkhi, seketika mereka menghancurkan rebabnya, membuang khamarnya, menjatuhkan diri menangis, dan menghampiri Imam Ma’ruf al-Karkhi dengan terburu-buru, lalu mereka semua bertobat. Setelah itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata (pada murid-muridnya): “Lihatlah peristiwa mengagumkan ini, tujuannya tercapai tanpa harus ada yang ditenggelamkan.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i [836 H], Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hal. 346-347)

Kisah di atas harus dihidupi dengan pemahaman menyeluruh, jangan hanya terjebak pada “mungkin” atau “tidak mungkin” pengaruh doa bisa secepat itu. Keterjebakan semacam itu akan membuat kita terlewat sisi baik kisah tersebut. Kita perlu memahaminya dengan terbuka, membuka pandangan selebar-lebarnya untuk menyerap hikmahnya. Lagi pula, Allah telah berjanji bahwa siapa pun yang berdo'a kepada-Nya akan dikabulkan, apalagi yang berdo'a adalah orang yang saleh lagi berilmu.

Dalam kisah di atas, Imam Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H) menampilkan pengajaran akhlak dalam do'anya. Di saat murid-muridnya memintanya untuk mendo'akan keburukan, Imam Ma’ruf al-Karkhi meresponsnya dengan cara yang tidak diharapkan. Ia berdo'a memohon kebaikan bagi para pemabuk itu di dunia dan akhirat. Tentu saja ini tidak dipahami oleh murid-muridnya. Bagaimana mungkin para pendosa bisa bersenang-senang di akhirat? Bukankah hidupnya bergelimang dosa? Begitulah kira-kira yang bergulir di benak mereka.

Namun, jika dicermati dengan baik, kalimat do'a, “Tuhanku, sebagaimana Kau senangkan hidup mereka di dunia, maka senangkan juga hidup mereka di akhirat kelak,” mengandung makna yang sangat dalam. Tidak mungkin seseorang bisa bersenang-senang di akhirat jika mereka ahli maksiat dan tidak pernah beramal baik. Artinya, dengan do'a tersebut Imam Ma’ruf al-Karkhi sedang memohonkan tobat untuk mereka, tapi dengan cara yang halus dan beradab. Pertanyaannya, kenapa harus dengan cara halus dan beradab?

Jawabannya sederhana, Imam Ma’ruf al-Karkhi melihat kebencian dalam murid-muridnya. Mereka menginginkan kebinasaan para pemabuk itu dengan cara ditenggelamkan, meskipun tujuan mereka baik. Oleh karenanya, Imam Ma’ruf al-Karkhi membacakan do'a yang tidak mereka mengerti, bahkan mungkin mereka kritisi. Sisi menariknya, Imam Ma’ruf al-Karkhi melibatkan murid-muridnya dalam proses pengajaran akhlak melalui do'a ini. Dengan demikian, murid-muridnya turut mendapat pahala dari tobatnya para pemabuk itu, yang akhirnya membuat mereka lebih sadar terhadap tanggung jawab seorang muslim kepada muslim lainnya.

Di samping itu, ada juga soal adab dan seni bertutur kepada Allah. Contohnya ketika seseorang mohon kaya, ada yang berdo'a, “Tuhan, berikanlah aku kekayaan dua ratus miliar,” tapi ada juga yang berdoa, “Tuhan, berikanlah aku kemampuan berzakat dan bersedekah lima miliar.” Ini sekedar contoh, soal mana yang lebih beradab dan berseni tutur tinggi, silahkan dinilai sendiri, yang jelas ada nilai lebih yang terkandung di dalamnya.

Karena itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi menegaskan pada baris terakhir kisah di atas, “Lihatlah peristiwa mengagumkan ini, tujuannya tercapai tanpa harus ada yang ditenggelamkan.” Tujuan yang dimaksud di sini adalah tujuan dalam arti sebenarnya, bukan tujuan yang diharapkan oleh murid-muridnya, yaitu kebinasaan para pemabuk. Dengan kata lain, Imam Ma’ruf al-Karkhi berusaha menyelarasi kehendak Tuhan untuk membawa para pendosa kembali ke jalan-Nya, bukan membinasakan mereka atas nama-Nya. Sebab, jika Imam Ma’ruf al-Karkhi membinasakan mereka sekarang, berarti ia telah merenggut peluang tobat para pemabuk itu.

Penegasan tersebut juga berarti peringatan kepada murid-muridnya, agar jangan sampai kebencian mereka pada perilaku buruk orang lain membuat mereka terjangkiti virus ujub dan takabbur. Dua virus yang sangat berbahaya bagi seorang salik yang sedang mencari Tuhan karena bisa menutup pintu kerendahan hati (tawadhu'). Agar lebih mudah memahaminya, kita perlu merenungkin dialog Imam Abu Yazid al-Busthami dengan seekor anjing. Katanya:

يا شيخ, إن تلوّث ذيلك بمثلي يتنظّف بغسله سبع مرات, وإن تلوّثت بنفسك لا تطهر بسبعين بحرا. فقال الشيخ: أنت نجس الظاهر طاهر الباطن وأنا طاهر الظاهر نجس الباطن.

“Wahai tuan guru, jika ujung (jubah)mu terkotori olehku, bisa dibersihkan dengan membasuhnya tujuh kali saja, tapi jika kau terkotori oleh egomu sendiri, tujuh lautan pun tak bisa menbersihkannya.” Imam Abu Yazib berkata: “Kau memang najis secara zhahir, tapi batinmu suci. Sementara aku suci secara zhahir, tapi batinku najis.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, hal. 193-194)

Dialog di atas adalah sebuah gambaran, bahwa hati manusia teramat sangat rumit, dipenuhi dengan berbagai macam watak dan rasa. Tidak seperti binatang yang hanya memiliki naluri sehingga selalu mengerjakan hal yang sama (monoton). Oleh karena itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi memperingatkan murid-muridnya agar mengambil pelajaran dari peristiwa mengagumkan ini, bahwa ada pilihan lain dalam menghadapi manusia, tidak selalu menghukum yang akhirnya merenggut peluang mereka menjadi baik. Jadi, seberapa besarkah peluang kita? Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar