Jumat, 05 April 2019

MEMAHAMI DEFINISI ANAK YATIM DAN HUKUM MENYANTUNINYA


Secara bahasa, yatim artinya الفرد (al-Fardu = sendirian) dan segala 
sesuatu yg di  tinggal oleh sesuatu yang serupa dengannya. (As-Shihah fi Al-Lughah, kata: يتم)

Ibnu Sikkith mengatakan:

الْيَتِيمُ فِي النَّاسِ مِنْ قِبَل الأَبِ، وَفِي الْبَهَائِمِ مِنْ قِبَل الأُمِّ، وَلاَ يُقَال لِمَنْ فَقَدَ الأُمَّ مِنَ النَّاسِ يَتِيمٌ

“Kata ‘yatim’ untuk manusia, karena ayahnya meninggal, sedangkan untuk binatang, kata ‘yatim’ digunakan untuk menyebut binatang yg kehilangan ibunya. Manusia yg kehilangan ibunya tidak bisa disebut yatim.” (Lisanul ‘Arab, 12 : 645).

Secara istilah, para ulama mendefinisikan yatim sebagai berikut,

الْيَتِيمَ بِأَنَّهُ مَنْ مَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ دُونُ الْبُلُوغِ. لِحَدِيثِ: ” لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ”

"Anak yatim adalah anak yg ditinggal mati bapaknya, ketika dia belum baligh. Berdasarkan hadits: “Tidak ada status yatim setelah mimpi basah)." (HR. At-Thabrani, dalam Mu’jam Al-Kabir, dari sahabat Handzalah bin Hudzaim). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 45 : 254)

Yatim untuk manusia, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 816 H) dalam kitabnya at-Ta’rifat,

اليتيم: هو المنفرد عن الأب؛ لأن نفقته عليه لا على الأم، وفي البهائم: اليتيم: هو المنفرد عن الأم؛ لأن اللبن والأطعمة منها

"Yatim artinya seseorang yang bapaknya wafat. Sedangkan untuk hewan adalah yang ibunya mati." (Imam Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 816 H), at-Ta’rifat, h. 258)

Pengertian yatim dalam syari'ah tak jauh beda dengan makna secara bahasa, yaitu seseorang yang ditinggal wafat bapaknya dan belum baligh. Imam as-Syairazi as-Syafi’i (w. 476 H) menyebutkan,

اليتيم هو الذي لا أب له وليس لبالغ فيه حق لأنه لا يسمى بعد البلوغ يتيماً

"Yatim adalah seorang yg tak punya bapak sedang dia belum baligh. Setelah baligh maka orang itu tak disebut yatim." (Abu Ishaq as-Syairazi w. 476 H, al-Muhaddzab, h. 3/ 301)

Imam as-Sarakhsi al-Hanafi (w. 483 H) menyebutkan,

فإذا احتلم يخرج من اليتم

Ketika seseorang itu sudah ihtilam, maka telah keluar dari sifat yatim (as-Sarakhsi al-Hanafi w. 483 H, al-Mabsuth, h. 10/ 30)

Hal itu didasari dari sebuah hadits Nabi,

قوله صلى الله عليه وسلم: "لا يتم بعد الحلم" رواه أبو داود

Tidak disebut yatim orang yang telah hulm/ baligh. (H.R. Abu Daud)

Hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut batasan yatim pada baligh. Berikut ini keterangan Imam An-Nawawi,

وأما نفس اليتم فينقضي بالبلوغ وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يتم بعد الحلم، وفي هذا دليل للشافعي ومالك وجماهير العلماء أن حكم اليتم لا ينقطع بمجرد البلوغ ولا بعلو السن، بل لا بد أن يظهر منه الرشد في دينه وماله. وقال أبو حنيفة: إذا بلغ خمسا وعشرين سنة زال عنه حكم الصبيان، وصار رشيدا يتصرف في ماله، ويجب تسليمه إليه وإن كان غير ضابط له

"Status yatim sendiri selesai lantaran balig. Sebuah riwayat menyebut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada keyatiman setelah baligh”. Hadits ini menjadi dalil bagi Imam Syafi’i, Imam Malik, dan jumhur ulama yg berpendapat bahwa status yatim tidak selesai karena balig semata atau bertambahnya usia yatim. Tetapi sebuah kedewasaan dalam beragama maupun kematangan dalam mengelola harta harus tampak pada si yatim."

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, jika seseorang yatim sudah mencapai usia 25 tahun, statusnya sebagai anak lenyap darinya. Ia menyandang status dewasa yang dapat mengatur sendiri perekonomiannya. Kita pun wajib menyerahkan harta (peninggalan orang tuanya) kepadanya sekalipun ia bukan orang yang cermat." (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Minhajul Muslim fi Syarhi Shahihi Muslim, Darul Hadits, Kairo, cetakan keempat, 2001, juz 6, halaman 433).

Menyambut keterangan Imam An-Nawawi di atas, Wahbah Az-Zuhaily menyebut sejumlah batasan perihal yatim. Berikut ini keterangannya,

لكن أجمع العلماء أن الصبي إذا بلغ سفيها يمنع منه ماله لقوله تعالى وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا . فإن أصبح راشدا ببلوغ خمس وعشرين سنة، فيسقط حينئذ منع المال عنه لقوله تعالى وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

"Ulama sepakat bahwa ketika seorang anak yatim sudah balig tetapi masih belum sempurna akalnya (belum bisa mengatur harta dengan benar), ia tidak diperbolehkan mengatur hartanya. Ini didasarkan pada firman Allah di surat An-Nisa ayat 5 yang berbunyi “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”

Namun, ketika ia baligh dan sudah matang pikirannya dengan mencapai usia 25 tahun, gugurlah penangguhan atas pengelolaan sendiri harta mereka. Ini didasarkan pada firman Allah di surat An-Nisa ayat 5 yang berbunyi, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Jika kamu merasa mereka telah matang (bisa mengatur harta dengan benar), serahkanlah harta-hartanya kepada mereka.” (Lihat Wahbah Az-Zuhaily, Ushulul Fiqhil Islami, Darul Fikr Mu’ashir, Beirut, juz 1, halaman 181).

Dari keterangan di atas kita bisa simpulkan bahwa anak yatim meskipun sudah baligh di usia 15 tahun secara fisik masih berhak menerima santunan. Di samping itu masyarakat juga bertanggung jawab atas pengajaran agama dan pendidikan yang memadai agar anak yatim dapat menjalankan praktik beragama secara wajar dan mandiri secara ekonomi ke depan.

Terlebih dalam konteks Indonesia, anak-anak wajib sekolah juga kuliah sebagai bekal hidupnya ke depan. Menurut hemat kami, anak-anak yatim yang masih sekolah atau sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tetap berhak menerima santunan. Pasalnya anak yatim dalam rentang balig hingga matang di usia 25 tahun sangat membutuhkan dukungan. Sebab, usia anak dalam rentang itu merupakan usia perkembangan yang sangat baik dimanfaatkan untuk sekolah, mondok, dan kuliah.

*Batasan Baligh*

الْبُلُوغُ بِالاِحْتِلاَمِ :

يَتَّفِقُ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْبُلُوغَ يَحْصُل بِالاِحْتِلاَمِ مَعَ الإِْنْزَال ، وَيَنْقَطِعُ بِهِ الْيُتْمُ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَال : لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ وَلاَ صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْل . (2)…..

سَهْمٌ لِلْيَتَامَى : وَهُمُ الَّذِينَ مَاتَ آبَاؤُهُمْ وَلَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ ، فَإِنْ بَلَغُوا الْحُلُمَ لَمْ يَكُونُوا يَتَامَى لِحَدِيثِ : لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ . (2)
__________
(2) حديث " لا يتم بعد احتلام . . . " أخرجه أبو داود ( 3 / 293 - 294 - تحقيق عزت عبيد دعاس ) من حديث علي بن أبي طالب وفي إسناده مقال ، ولكنه صحيح لطرقه ، التلخيص لابن حجر ( 3 / 101 - . ط شركة الطباعة الفنية ) .

"[MASA DEWASA sebab Mimpi Keluar mani ] Ulama Ahli Fiqh sepakat bahwa masa dewasa seorang anak dapat terjadi ditandap mimpi keluar mani dan berakibat hilangnya sifat YATIM."

"[PEMBAGIAN HARTA RAMPASAN] Satu bagian untuk anak-anak yatim ialah mereka-mereka yang ayahnya meninggal dan belum baligh kalau sudah baligh bukan lagi anak yatim berdasarkan hadits “Tidak ada yatim bagi anak yang baligh” (HR. Abu Daud III/293-294)." [Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah II/99, XX/15]

Kapan disebut seorang itu baligh? Para ulama membahasnya dengan memberikan beberapa tanda, diantaranya:
1. Keluar mani, baik melalui mimpi atau lainnya
2. Haidh atau hamil bagi perempuan
3. Tumbuh bulu kemaluannya
4. Usia 15 bagi laki-laki dan 9 bagi perempuan dengan tahun qamariyah, sebagai batas minimal.

Lantas bolehkan memberi santunan kepada anak yang sudah baligh, dan masih tergolong anak-anak? Jawabnya tentu boleh saja. Hanya bukan atas nama anak yatim. Misalnya atas nama sumbangan anak-anak dari keluarga tak mampu.

Karena antara yatim dan tak mampu ini tidak saling berkaitan. Karena bisa jadi seorang itu yatim tetapi hartanya banyak. Bisa jadi seorang itu tak mampu padahal bapak dan ibunya masih hidup.

*Bagaimana jika yatim memiliki ayah tiri?*

كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُأَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

“Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”. (HR Muslim)

“Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yg termasuk) kerabat di sini,ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya atau pun pihak-pihak selain mereka yg memiliki kekerabatan dengannya, bisa juga ayah tiri.

Jika akan menyantuni anak yatim yang sudah mempunyai bapak tiri, maka perlu dilihat kondisi ekonomi bapak tirinya tersebut. Apabila bapak tirinya memiliki ekonomi yang kurang dan belum dapat memenuhi kebutuhan anak yatim tersebut, maka umat Islam lainnya berkewajiban untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhannya sebagaimana mereka wajib menyantuni dan memenuhi kebutuhan anak yatim lain yang tidak mempunyai bapak tiri. Namun apabila bapak tirinya sudah mapan dan mampu memenuhi kebutuhannya, maka umat Islam lainnya tidak berkewajiban untuk menyantuninya. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar