Sabtu, 06 April 2019
KAJIAN TENTANG KEABSAHAN WALI HAKIM DAN WALI MUHAKKAM DALAM PERNIKAHAN
Keberadaan wali merupakan rukun dalam akad pernikahan. Karena itu, tidak sah menikah tanpa wali. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan kesimpulan, ini, diantaranya,
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Abu Daud 1785, Turmudzi 1101, dan Ibnu Majah 1870).
Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).
Dan keberadaan wali dalam akad nikah, merupakan salah satu pembeda antara nikah yang sah dengan transaksi prostitusi.
*DEFINISI WALI HAKIM DAN MUHAKKAM*
Wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah atau biasa disebut dengan nama Ahlu-halli wal aqdi, yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai wali alam suatu pernikahan (Pejabat KUA).
Apabila seorang perempuan dengan kategori:
1. Tidak mempunyai nasab sama sekali
2. Wali mafqud (tidak tentu rimbanya)
3. Wali sendiri yang akan jadi pengantin laki-laki, sedangkan wali yang sederajat dengan dia tidak ada
4. Wali berada di tempat yang sangat jauh sekali
5. Wali dalam penjara/tahanan yang tidak boleh dijumpai
6. Wali adhol (wali tdk bersedia/menolak/keberatan untuk menikahkan
7. Wali sedang ibadah haji atau umrah
Maka, yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila si wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain dan yang diwakilkan itulah yang berhak menjadi wali nikah.
Dalam PMA Nomor 30/2005 Pasal 1 ayat (2), PMA Nomor 11/2007 pasal 18 ayat (4), wali hakim adalah kepala Kantor Urusan Agama kecamatan yang ditunjuk oleh menteri agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita. Dan adholnya wali sebagaimana dimaksud, ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama.
Secara bahasa, wali muhakkam merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu wali dan muhakkam. Dalam Lisan al-Arab (juz 15, hal. 405), kata wali satu akar dengan kata wilayah yang menurut Ibnu Atsir berarti mengatur dan menguasai. Menurut Sibawaih, wilayah juga berarti memerintah (imarah) dan mempersatukan (niqabah). Sedangkan menurut Ibnu as-Sakiit, kata wilayah berarti kekuasaan. Kata wali juga seakar dengan kata walayah, yang menurut Ibnu as-Sakiit berarti menolong (nushrah).
Kata muhakkam merupakan kata benda pasif (isim maf’ul) yang berasal dari kata hakkama, yuhakkimu, tahkiman, yang berarti mengangkat seseorang menjadi hakim dan menyerahkan persoalan hukum kepadanya. Kata muhakkam berarti seseorang yang diangkat sebagai hakim. (Al-Mau’su’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 10, hal. 233).
Dalam hal pernikahan, wali muhakkam adalah orang biasa, bukan pejabat hakim resmi, yang ditunjuk oleh seorang perempuan untuk menjadi wali dan menikahkan dirinya dengan seorang lelaki yang telah melamarnya. (Al-Hawi al-Kabir, juz 16, hal. 648).
*MASALAH :*
1. Bukankan dalam islam yg menikahkan perempuan harus wali yg sah.
2. Apakah ada dalil/hadist yg shahih yg menerangkan bahwa wali perempuan boleh digantikan oleh wali yg ditunjuk (keluarga pihak laki-laki dan bukan wali hakim) oleh pihak pengantin laki-laki, sehingga perkawinan tersebut bisa berlangsung?
3. Apakah perkawinan ini bisa jadi sah dalam pandangan agama islam?
*JAWABAN*
1. Betul. Dalam situasi ideal, hukum asalnya adalah: ayah harus menjadi wali nikah putrinya. Tapi wali hakim bisa menikahkan juga dalam keadaan tertentu antara lain:
(a) lokasi wali jauh melebihi 85 km (bolehnya shalat qashar);
(b) ayah tidak mau atau menolak menikahkan putrinya tanpa alasan yang syar'i;
(c) wanita tidak punya wali kerabat.
Dalam ketiga keadaan ini, maka wanita tersebut boleh meminta wali hakim untuk menikahkan. Yang dimaksud wali hakim adalah pejabat negara yang membidangi masalah tersebut yaitu hakim agama, pegawai KUA (Kantor Urusan Agama), dan pegawai PPN (pegawai pencatat nikah).
2. Hadits penggunaan wali hakim adalah hadits shahih riwayat Ahmad dan Abu Dawud sbb (teks hadits disingkat):
أيما امرأة نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها باطل " ثلاث مرات " ثم قال:" فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
"Pereumpuan yang menikah tanpa ijin walinya maka nikahnya batal (Nabi mengucapkannya 3x). Kemudian berkata: Apabila para wali tidak mau, maka sultan (wali hakim - red) dapat menjadi wali dari wanita yang tidak memiliki wali." (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Berdasarkan hadits di atas, maka ulama mujtahid ahli syari'ah sepakat atas bolehnya fungsi wali kerabat diganti wali hakim.
*SIAPAKAH WALI HAKIM?*
Yang dimaksud sulton dalam hadits di atas adalah kepala negara atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala negara untuk mengurusi urusan pernikahan. Di Indonesia itu berarti hakim agama dan jajaran di bawahnya seperti pegawai KUA (Kantor Urusan Agama) untuk tingkat kecamatan dan petugas PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau Modin untuk tingkat desa atau kelurahan. Karena itu, di Indonesia perkawinan semacam ini (bukan wali kerabat) disebut perkawinan dengan wali hakim.
*KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)*
Pasal 1 huruf b KHI menyebutkan,
Wali Hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. (Pasal 23 ayat (1) KHI)
Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. (Pasal 23 ayat (2) KHI)
Kepala KUA kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal yang ditetapkan dengan putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (4) dan (5) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah)
*TOKOH AGAMA SEBAGAI GANTI WALI APABILA HAKIM AGAMA, PEJABAT KUA, PPN TIDAK ADA*
Apabila para pejabat negara yang bertugas menikahkan tidak ada, maka wanita yang ingin menikah boleh meminta kepada seorang lelaki untuk menikahkannya (idealnya tokoh agama atau yang mengerti agama).
Imam Nawawi dalama kitab Raudah al-Talibin hlm. 7/50 menyatakan,
رَوَى يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى ، أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : إِذَا كَانَ فِي الرُّفْقَةِ امْرَأَةٌ لَا وَلِيَّ لَهَا، فَوَلَّتْ أَمْرَهَا رَجُلًا حَتَّى يُزَوِّجَهَا، جَازَ
"Yunus bin Abdul A'la meriwayatkan bahwa Imam Syafi'i berkata: "Apabila ada perempuan yang tidak punya wali lalu dia menunjuk seorang lelaki untuk menjadi wali. Lalu si lelaki itu menikahkannya, maka hukumnya boleh (sah nikahnya)."
Al-Qurtubi dalam kitab Al-Jamik li Ahkam al-Quran 3/76 menyatakan,
وَإِذَا كَانَتِ الْمَرْأَةُ بِمَوْضِعٍ لَا سُلْطَانَ فِيهِ ، وَلَا وَلِيَّ لَهَا ، فَإِنَّهَا تُصَيِّرُ أَمْرَهَا إِلَى مَنْ يُوثَقُ بِهِ مِنْ جِيرَانِهَا ، فَيُزَوِّجُهَا وَيَكُونُ هُوَ وَلِيَّهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ ، لِأَنَّ النَّاسَ لا بد لَهُمْ مِنَ التَّزْوِيجِ ، وَإِنَّمَا يَعْمَلُونَ فِيهِ بِأَحْسَنِ مَا يُمْكِنُ
"Apabila wanita (yang hendak kawin) berada di suatu tempat yang tidak ada hakim dan jajarannya dan tidak ada wali kerabat, maka ia dapat menyerahkan urusan pernikahannya pada lelaki yang dipercaya seperti tetangganya untuk menikahkannya. Maka lelaki itu menjadi walinya dalam hal ini. Karena manusia harus menikah dan mareka melakukannya dengan cara sebaik mungkin."
*APABILA WALI HAKIM ADA TAPI DINIKAHKAN OLEH TOKOH AGAMA*
Apabila wali kerabat tidak ada, sedang pejabat KUA ada, tapi si wanita meminta tokoh agama yang menjadi wali, maka hal seperti ini juga sah nikahnya walaupun terjadi perselisihan ulama sebagaimana dikatakan As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj, hlm. 4/244,
لَوْ عُدِمَ الْوَلِيُّ وَالْحَاكِمُ ، فَوَلَّتْ مَعَ خَاطِبِهَا أَمْرَهَا رَجُلًا .. لِيُزَوِّجَهَا مِنْهُ صَحَّ ؛ لِأَنَّهُ مُحَكَّمٌ ، وَالْمُحَكَّمُ كَالْحَاكِمِ...؛ لِشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ.
قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ [ وهو جمال الدين الإسنوي ] : وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِفَقْدِ الْحَاكِمِ ، بَلْ يَجُوزُ مَعَ وُجُودِهِ ، سَفَرًا وَحَضَرًا .
وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ : جَوَازُ ذَلِكَ مَعَ وُجُودِ الْقَاضِي بَعِيدٌ مِنْ الْمَذْهَبِ وَالدَّلِيلُ ؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ وَلِيٌّ حَاضِرٌ ، وَيَظْهَرُ الْجَزْمُ بِمَنْعِ الصِّحَّةِ ، إذَا أَمْكَنَ التَّزْوِيجُ مِنْ جِهَتِهِ .
وَكَلَامُ الشَّافِعِيِّ مُؤْذِنٌ بِأَنَّ مَوْضِعَ الْجَوَازِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ ، وَلَا ضَرُورَةَ مَعَ إمْكَانِ التَّزْوِيجِ مِنْ حَاكِمٍ أَهْلٍ حَاضِرٍ بِالْبَلَدِ ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ
"Apabila wali dan hakim tidak ada, lalu wanita dan tunangannya meminta seorang lelaki untuk menikahkannya, maka itu sah karena lelaki itu seorang muhakkam dan muhakam itu seperti hakim karena sangat dibutuhkan. Jamaluddin Asnawi dalam Al-Muhimmat berkata: Bolehnya tersebut tidak hanya karena ketiadaan hakim. Bahkan boleh dengan adanya hakim saat di perjalanan atau di rumah. Adzro'i berkata: Bolehnya hal itu saat ada qadhi (hakim) jauh dari mazhab dan dalil karena hakim adalah wali yang hadir, maka hukumnya tidak sah (memakai wali non-hakim) apabila ada hakim. Adapun perkataan Imam Syafi'i yang membolehkan nikah semacam itu adalah dalam konteks darurat dan tidak ada darurat apabila bisa dinikahkan oleh hakim. Ini pendapat yang muktamad."
*KESIMPULAN*
- Wali hakim adalah hakim agama dan jajaran dibawahnya (KUA, PPN, Modin) yang dapat menikahkan seorang perempuan apabila diminta asal terpenuhi syarat-syaratnya antara lain wali kerabat (ayah) tidak ada atau lokasi berjauhan sejauh bolehnya qashar.
- Tokoh agama seperti ustadz, kyai, guru, imam masjid juga bisa menjadi wali nikah atas permintaan atau persetujuan si perempuan apabila wali hakim tidak ada. Apabila wali hakim ada juga tetap boleh menjadi wali nikah menurut sebagian pendapat dalam mazhab Syafi'i.
*NIKAH WALI MUHAKKAM PADAHAL SAUDARA ADA*
*MASALAH*
1. Bagaimana hukum seorang janda menikah dengan wali hakim, sementata wali nasabnya masih ada?
JAWABAN
1. Pandangan bahwa janda berhak atas dirinya sendiri berasal dari hadits sahih riwayat Muslim, Nabi bersabda,
الأيم أحق بنفسها من وليها ، والبكر تستأذن في نفسها ، وإذنها صماتها وفي رواية : الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر ، وإذنها سكوتها
"Janda lebih berhak pada dirinya sendiri daripada walinya. Sedang perawan dimintai izin. Dan izinnya adalah diamnya." (HR. Muslim)
Pandangan seperti masalah diatas tidak salah kalau mengikuti penafsiran Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) dan Dawud yang memaknai hadits di atas sebagai dalil atas bolehnya seorang janda menikah tanpa harus meminta ijin pada walinya.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim hlm. 5/39 menyatakan,
وقوله صلى الله عليه وسلم ( أحق بنفسها ) يحتمل من حيث اللفظ أن المراد أحق من وليها في كل شيء من عقد وغيره كما قال أبو حنيفة وداود ، ويحتمل أنها أحق بالرضا أي لا تزوج حتى تنطق بالإذن بخلاف البكر ، ولكن لما صح قوله صلى الله عليه وسلم " لا نكاح إلا بولي " مع غيره من الأحاديث الدالة على اشتراط الولي تعين الاحتمال الثاني .
"Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "janda lebih berhak pada dirinya" dari segi sintaks ada kemungkinan yang dimaksud adalah bahwa janda lebih berhak dari walinya dalam segala hal yakni dalam segi akad (nikah) dan lainnya sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Hanifah dan Dawud. Tapi mungkin juga maksudnya adalah (janda) lebih berhak untuk dimintai ijinnya yakni janda tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya berbeda dengan perawan. Namun kalau melihat pada sabda Nabi yang lain "tidak sah nikahnya kecuali dengan wali" dengan beberapa hadis lain yang mensyaratkan adanya wali, maka kemungkinan kedua yang benar (yakni janda menikah harus dengan wali).
Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa mayoritas ulama dari mazhab empat mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Hanya mazhab Hanafi yang berpendapat sebaliknya.
Yang dimaksud dalam mazhab Hanafi "wanita janda lebih berhak atas dirinya" adalah bahwa janda boleh menikahkan dirinya sendiri, tanpa memakai wali apapun baik wali kerabat (ayah, saudara, dll) ataupun wali hakim. Misalnya, si janda berkata pada calon suami, "Saya nikahkan saya sendiri denganmu dengan maskawin 1 juta kontan."
Sedangkan dalam kasus diatas sebenarnya masih memakai wali hanya saja wali muhakkam yakni guru ngaji tadi, bukan wali kerabat yakni saudara kandungnya. Dengan demikian pernikahan terjadi tetap dengan memakai wali.
Masalahnya sekarang, bolehkah menikah dengan wali muhakkam sementara ada wali kerabat? Jawabnya adalah boleh.
Khotib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Ma'ani Alfadzi al-Minhaj 3/159 menyatakan,
ولو غاب) الولي (الأقرب) نسباً أو ولاءً (إلى مرحلتين) ولا وكيل لـه حاضر بالبلد، أو دون مسافة القصر، (زوج السلطان) أي سلطان بلدها أو نائبه لا سلطان غير بلدها ولا الأبعد على الأصح؛ لأن الغائب ولي والتزويج حق لـه، فإذا تعذر استيفاؤه منه ناب عنه الحاكم، وقيل: يزوج الأبعد كالجنون. قال الشيخان: والأولى للقاضي أن يأذن للأبعد أن يزوج أو يستأذنه فيزوج القاضي للخروج من الخلاف
"Kalau wali kerabat lokasinya jauh sampai 2 marhalah (sekitar 83 km) dan tidak ada wakilnya yang hadir di tempat tersebut, atau kurang dari jarak qashar, maka Sultan boleh menikahkan yakni sultan daerah tersebut atau wakilnya. Kewalian tidak pindah pada wali yang jauh menurut pendapat yang lebih sahih."
Dalam penjelasan di atas dibolehkan memakai wali hakim atau muhakkam kalau di lokasi yang berbeda walaupun kurang dari jarak qashar. Aturan ini berlaku bagi wali ayah, apalagi kalau wali yang ada adalah saudara yang derajat kewalian berada di bawah ayah.
Al-Jaziri dalam Al-Fiqh 'alal Mazahib al-Arba'ah 4/19 menyatakan,
والحاكم يزوجها بإذنها ورضاها بعد أن يثبت عنده خلوها من الموانع وأن لا ولي لها أو لها ولي منعها من الزواج أو غاب عنها غيبة بعيدة
"Hakim boleh menikahkan wanita atas ijin dan restu wanita itu setelah jelas tidak ada penghalang pernikahan, tidak ada wali, atau ada wali yang menolak menikahkan atau lokasinya berjauhan."
Ba Alwi dalam Bughiyah al-Mustarsyidin hlm. 432 menyatakan,
يصح تزويج الحاكم من غاب وليها بعد البحث عنه هل هو بمسافة القصر أم لا ؟ فلو شك وتعذر الإذن لعدم العلم بمحله صح أيضاً ما لم يبن قريباً
"Sah hakim menikahkan wanita yang walinya tidak ada setelah dicari. Apakah jauhnya harus jarak qashar atau tidak? Apabila ragu dan sulit meminta ijin karena tidak tahu tempatnya maka sah juga selagi tidak jelas dekatnya.
Dr. Ahmad Al-Hajji Al-Kurdi, pakar fikih salah satu kontributor Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah secara tegas menyatakan bolehnya seorang janda menikah walaupun tanpa kehadiran walinya atau tanpa sepengetahuan wali. Dalam salah satu fatwanya ia berkata,
وبعضهم يشترط الولي إذا كانت بكراً، والأكثرون على عدم اشتراط الولي إذا كانت ثيباً بالغة، وعليه فلك الزواج من هذا الرجل لدى الماذون ولو لم يعلم الولي على مذهب بعض الفقهاء.
"Sebagian ulama mensyaratkan adanya wali apabila masih perawan. Sebagian besar ulama tidak mensyaratkan adanya wali apabila ia seorang janda yang sudah baligh (dewasa). Berdasarkan ini, maka janda boleh menikahi seorang lelaki walaupun wali tidak tahu menurut pendapat sebagian ahli fiqih.
*KESIMPULAN*
- Seorang janda yang ayahnya meninggal, lalu dia menunjuk seseorang lelaki untuk menjadi walinya hukumnya sah baik diketahui oleh wali kerabat lain (saudara kandung) atau tidak diketahui sebagaimana fatwa dari Dr. Ahmad Al-Hajji Al-Kurdi. Tentang wali hakim dan muhakkam. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar