Jumat, 08 Juni 2018

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT JUM'AT DI HARI RAYA


Hari Jum'at merupakan salah satu hari raya umat Islam. Dalam Islam dikenal ada tiga hari raya yaitu Idhul Fitri, Idhul Adha dan hari Jum'at. Hari Jum'at merupakan hari raya mingguan, sebagaimana Idhul Fitri dan Idhul Adha merupakan hari raya tahunan.

Tidak diragukan bahwa keberadaan kita yang mendapati hari 'Id bertepatan dengan hari Jum’at adalah karunia dan nikmat Allah yang sangat besar.

Akan tetapi, ketika hari 'Id bertepatan dengan hari Jum’at, banyak yang mempertanyakan tentang hukum pelaksanaan shalat Jum’at pada hari tersebut.

Orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.

Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:

Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)

Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.” (HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomiri).

Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: (1) budak, (2) wanita, (3) anak kecil, dan (4) orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab)

Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘Id adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘Id itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘Id tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Id.

Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘Id adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,

قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ

“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari no. 5572)

Seperti di zaman awal Islam, ada sahabat yang jarak rumahnya dengan Madinah sejauh 4 km, bahkan lebih dari itu, dan harus ditempuh melewati padang pasir dan ditempuh dengan jalan kaki. Apakah ia harus kembali lagi ke Madinah tanpa kendaraan untuk menunaikan shalat Jum'at? Kalaulah ia harus kembali menempuh perjalanan dari rumah ke masjid dan sebaliknya, sungguh melelahkan. Pertanyaan berikutnya apakah Islam tidak memberikan solusi?

Di sinilah kemudian timbul perbedaan pendapat. Pendapat pertama mengatakan, tidak perlu kembali ke masjid untuk menunaikan shalat Jum'at. Shalat Jum'atnya dapat dikerjakan di rumah dan menggantinya dengan shalat zhuhur. Ini termasuk rukhshah atau keringanan dalam beragama.

Pendapat kedua mengatakan, kasus di Madinah di awal Islam itu bisa dijadikan alasan, tetapi apakah kita di Indonesia benar-benar mengalami nasib seperti itu? Bagi kaum Muslimin di Indonesia yang mayoritas NU, hampir di setiap dusun ada masjid, rata-rata kurang dari 1 km dan tidak melewati padang pasir.

Pendapat kedua inilah yang dipilih sebagian besar warga NU. Karena itu seorang Muslim harus kembali ke masjid untuk mengerjakan shalat Jum'at setelah paginya menunaikan shalat hari raya atau shalat 'Id.

Meskipun demikian, tidak sedikit yang mengikuti jejak golongan pertama. Dengan mengajukan kasus di Madinah, tidak perlu mengajukan alasan apapun seperti perbedaan geografis dan cuaca suatu negara. Yang jelas rukhshah itu patut disambut.

Imam Syafi'i seperti dikutip dalam Kitab Al-Mizan lis Sya’rani Juz I, mengatakan, jika kebetulan hari raya bertepatan dengan hari Jum'at maka bagi penduduk perkotaan kewajiban menjalankan shalat Jum'at tidak gugur dikarenakan telah menjalankan shalat 'Id. Lain halnya dengan penduduk desa (yang amat jauh), kewajibannya mengerjakan shalat Jum'at gugur, mereka diperbolehkan untuk tidak Jum'atan.

Dalam kitab yang sama disebutkan, pendapat Imam Syafi'i ini sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Sedang Imam Ahmad mengatakan, tidak wajib Jum'atan baik penduduk desa maupun kota dan gugurlah kewajiban Jum'atan sebab mereka telah mengerjakan shalat 'Id, hanya saja mereka tetap wajib mengerjakan shalat dzuhur.

Hadits tentang rukhsah ini diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam berikut ini:

قال: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَصَ فِي الْجُمْعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Rasulullah menjalankan shalat 'Id kemudian memberikan rukhshah untuk tidak menjalankan shalat Jumat, kemudian beliau bersabda," Siapa ingin shalat Jumat, Silakan!" (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Darami serta Ibnu Khazimah dan Al-Hakim). Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى اقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar