Rabu, 29 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG PENOLAKAN KEABSAHAN NASAB KARENA ADANYA CACAT YANG BISA DITERIMA ATAU TIDAK





Ada alasan-alasan tertentu yang memungkinkan pembatalan nasab, tetapi juga ada kondisi yang membuat nasab tidak dapat dibatalkan, terutama dalam Islam. Hal itu telah dijelaskan oleh Asy-Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin dalam karyanya Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh sebagai berikut,

الجرح القادح في الأنساب والجرح المردود

ليس كلُّ جرحٍ قادحًا في النسب، بل من الجرح: ما هو قادحٌ، ومنه: ما هو مردود غير قادح.  

فالجرح القادح في الأنساب: هو الجرح المفسَّر، الصادر ممّن يُعتدُّ برأيه وديانته من العلماء، ولا تحوم حوله شبهة تحاملٍ أو تَعَنُّتٍ أو هوى، مع ذِكر أسبابه وشواهده.  

هذه القيود والشروط التي وضعها هي طَريقة أهل الحديث في تعديل الرواة وجرحهم، ولا بُدَّ من اعتبارها؛ لأنَّ الطعن في الأنساب داءٌ في هذه الأمة، أخبر عنه ﷺ وذمَّه بقوله: أَرْبَعٌ في أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الجَاهِلِيَّةِ لا يَتْرُكُونَهُنَّ: الفَخْرُ في الأَحْسَابِ، والطَّعْنُ في الأَنْسَابِ. (أخرجه مسلم برقم 934 وغيره).  

ولمّا كانت قواعد علم النسب غير محرَّرة في كتاب عبر التاريخ، استعينت بقواعد أهل الحديث لسببين:  

أحدُهما: أنَّ بين علم الحديث وعلم النسب وُشائجَ قويّة.  

فكِلا العلمين يتعلق بنقل الأخبار، وإن اختلفت مادة الخبر المنقول في كلٍّ منهما.  

الثاني: أنَّ قواعد أهل الحديث تُعَدُّ من أدقّ القواعد لضبط العلوم على الإطلاق؛ فلا استهانة ببعض قواعدهم وتطبيقاتهم في تحرير أصول وقواعد النسب، تقي النَّسَّابة من الزَّلل.  

فمثال الجرح القادح المفسَّر: إبطال النَّسَّابة إسماعيل الأزورقاني (ت: بعد 641هـ) دعوى انتساب نقيب خوارزم إلى النسب العلوي الحسني، وفسّره بالأسباب التالية:  

الأول: أنَّه لا شهرةَ له بنسبٍ ما.  

الثاني: أنَّه انتسب المرة الأولى إلى الحسن بن صالح بن موسى الثاني، وهذا باطلٌ لأنَّ صالح بن موسى الثاني لم يُعقّب إلا من ولده محمد الأرقَ فقط، وليس له ولد اسمه الحسن.  

الثالث: أنه انتسب في المرة الثانية إلى موسى بن عبدالله بن موسى الثاني، وليس لعبدالله بن موسى الثاني ابنٌ اسمه موسى.  

"Cacat yang Memengaruhi Nasab dan Cacat yang Ditolak

Tidak semua cacat yang diberikan pada seseorang dapat memengaruhi nasabnya.

Ada dua jenis cacat: cacat yang memengaruhi dan cacat yang ditolak.

Cacat yang memengaruhi nasab adalah cacat yang dijelaskan dengan detail dan diberikan oleh seorang yang ahli dan terpercaya dalam bidangnya, tidak ada dugaan sedikit pun tentang keberpihakan atau kebencian terhadap orang yang dicacat, serta disertai dengan alasan dan bukti yang jelas.

Kriteria dan syarat ini adalah metode yang digunakan oleh ahli hadits dalam menilai kredibilitas perawi dan memberikan cacat.

Syarat-syarat ini harus dipertimbangkan karena mencacat nasab orang lain adalah penyakit yang telah ada sejak zaman jahiliah dan telah dikecam oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

"Ada empat perkara yang merupakan bagian dari perilaku jahiliah yang tidak ditinggalkan oleh umatku: membanggakan diri dengan nasab, mencela nasab orang lain." (HR. Muslim, no. 934)

Karena kaidah-kaidah ilmu nasab tidak terdokumentasikan secara lengkap dalam satu kitab sepanjang sejarah, maka digunakanlah kaidah-kaidah ahli hadits sebagai rujukan.

Hal ini didasarkan pada dua alasan:

1. Adanya hubungan yang erat antara ilmu hadits dan ilmu nasab, karena keduanya berkaitan dengan penukilan berita.

2. Kaidah-kaidah ahli hadits merupakan salah satu kaidah yang paling akurat dalam mengatur ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, penerapan kaidah-kaidah ini dalam ilmu nasab dapat membantu mencegah kesalahan.

Contoh cacat yang memengaruhi nasab adalah ketika seorang ahli nasab bernama Ismail Az-Zurqani (wafat setelah 641 H) menolak klaim seorang naqib di Khawarizm yang mengaku sebagai keturunan Hasan bin Ali.

Ismail Az-Zurqani memberikan tiga alasan untuk menolak klaim tersebut:

1. Tidak ada satu pun kesepakatan tentang nasabnya.

2. Klaim pertama bahwa dia adalah keturunan Hasan bin Shalih bin Musa Ats-Tsani adalah salah, karena Shalih bin Musa Ats-Tsani hanya memiliki anak laki-laki bernama Muhammad Al-Arqi, dan tidak ada anak laki-laki bernama Hasan.

3. Klaim kedua bahwa dia adalah keturunan Musa bin Abdullah bin Musa II juga salah, karena Abdullah bin Musa II tidak memiliki anak laki-laki bernama Musa." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.62-63)

ونصُّ كلامه:  صالح بن موسى الثاني: انتمى إليه اليوم نقيب خوارزم المعروف بـ *الافتخار*، فِيمَا أملاء، عَلَى أَوْلادِهِ، فزعَمَ أنَّه عمر، ويُسَمَّى بالمرتضى بن عليّ بن الحسن بن نوفل بن محمد بن الحسن. قال: ابن صالح بن موسى الثاني.  

ثم كتب إليَّ ثانيًا: أنَّه عمر بن عليّ بن الحسن بن نوفل بن محمد بن الحسن بن إسحاق بن عليّ بن صالح بن محمد بن موسى بن عبدالله بن موسى بن عبدالله بن موسى بن عبدالله بن الحسن».  

وكلامهما ليس بشيء، فإنَّ صالح بن موسى الثاني لم يُعقِب إلا من محمد الأَرَق وحده، وليس له الحسن البنَّة، وموسى الثاني كان من عبدالله، وهو مفترق لا محالة، وليس لعبدالله بن موسى الثاني ابن اسمه موسى.  

وهو عاميٌّ محضٌ بلا شكٍّ ولا شُبهة، على ما هو متواتر في خوارزم، ولا حَظَّ له في نَسَبٍ ما، وله قصة أَثْبتها في «حظيرة القدس».  

وهناك أمثلة أخرى على الجرح القادح المفسَّر، نتركها خشية التطويل، ونقتصر على ما ذكرنا؛ فإنَّه كافٍ في تصوير المسألة.  

وأما الجرح المردود في النَّسب: فهو الصادر بدون دليلٍ وتفسيرٍ، إمّا عن جهلٍ، أو عن هوىٍ لخلاف ماديٍّ، أو علميٍّ، أو عقديٍّ، أو سياسيٍّ، ونحو ذلك؛ فهذا الجرحُ مما لا يُلتفتُ إليه.  

ولو أُخذ بكلِّ جرحٍ غير مفسَّرٍ لما سَلِمَ نَسَبٌ، لِما هو معلومٌ من مسارعة الناس إلى الطعن لأدنى الأسباب وأوهى الخلاف.  

وقد ضبط العلماء البابَ بأنَّ المرءَ لا يُنكَر عليه نسبٌ ثبت بالشُّهرة والاستفاضة إلا بجرحٍ نفسه  من نَقَلةٍ عالِمين بالنَّسب، غير مخالفين لإجماعٍ فيه.  

"Dan teks ucapan Ismail Az-Zurqani adalah: "Shalih bin Musa Ats-Tsani sekarang ini dinisbatkan kepada Naqib Khawarizm yang dikenal dengan Al-Iftikhar, berdasarkan apa yang dia diktekan kepada anak-anaknya.

Dia mengaku bahwa dia adalah Umar yang dijuluki Al-Murtadha bin Ali bin Hasan bin Naufal bin Muhammad bin Hasan bin Shalih bin Musa Ats-Tsani."

Kemudian dia menulis kepada saya untuk kedua kalinya bahwa dia adalah Umar bin Ali bin Hasan bin Naufal bin Muhammad bin Hasan bin Ishaq bin Ali bin Shalih bin Muhammad bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah bin Hasan.

Kedua klaim ini tidak dapat diterima, karena Salih bin Musa Ats-Tsani hanya memiliki anak laki-laki bernama Muhammad Al-Arqi, dan tidak memiliki anak laki-laki bernama Hasan.

Musa Ats-Tsani adalah anak Abdullah, dan tidak mungkin ada percabangan nasab di sini.

Tidak ada anak laki-laki Abdullah bin Musa Ats-Tsani yang bernama Musa.

Dia adalah orang awam yang tidak memiliki pengetahuan tentang nasab, dan tidak ada satupun nasab yang dapat dibuktikan untuknya.

Dia memiliki cerita yang saya catat dalam kitab "Hazhirat Al-Quds".

Ada contoh lain tentang cacat yang memengaruhi nasab yang dijelaskan dengan detail, tetapi saya tidak ingin memperpanjang pembahasan ini.

Apa yang telah disebutkan sudah cukup untuk menjelaskan masalah ini.

Adapun cacat yang ditolak dalam nasab adalah cacat yang diberikan tanpa bukti dan penjelasan yang jelas, baik karena kebodohan atau karena ada kepentingan tertentu.

Cacat seperti ini tidak dapat diterima.

Jika setiap cacat yang tidak dijelaskan dengan detail diterima, maka tidak ada satu pun nasab yang dapat dianggap aman.

Hal ini disebabkan oleh sifat manusia yang cenderung cepat mencela orang lain karena alasan yang sangat lemah.

Para ulama telah menetapkan kaidah bahwa seseorang tidak dapat ditolak nasabnya yang telah terbukti dengan syuhrah dan istifadhah kecuali dengan cacat yang dijelaskan dengan detail oleh orang-orang yang ahli dalam bidang nasab dan tidak menyalahi ijma'." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.64-65)

ومن أمثلة الجرح المردود في النسب  

طعن الفقيه محمد بن يحيى الجرجاني الحنفي (ت: 398هـ) في نسب الإمام الشافعي، وزعم أنه مولى قريش، وقلده الفقيه محمد زاهد الكوثري الحنفي (ت: 1371هـ).  

ونصُّ الجرجاني: «إن أصحاب مالك لا يُسلِّمون أن نسب الشافعي من قريش، بل يزعمون: أن شافعًا كان مولىً لأبي لهب، فطلب من عمر أن يجعله من موالي قريش، فامتنع، فطلب من عثمان ذلك ففعل، فعلى هذا فالتقريب يكون الشافعي من الموالي، لا من قريش».  

قلتُ: هذا الجرح مردود، لا يستند دليلٌ، ولا يُلتفت إليه، لأسباب:  

أولها: مخالفة المشهور المستفيض من كون الإمام الشافعي قرشيًا مطَّلبِيًّا، وشهرته بالنسبة القرشي مبسوطة في كتب الأنساب والتواريخ والتراجم وغيرها.  

الثاني: مخالفته إجماع العلماء على قرشية الإمام الشافعي، قال الإمام النووي (ت: 676هـ):  

«الشافعيُّ ﷺ قرشيٌّ مُطَّلبيٌّ بإجماع أهل النقل من جميع الطوائف».  

الثالث: أن الجرجاني نسب الطعون لأصحاب الإمام مالك، ولم يسمِّ منهم أحدًا، وهذه إحالـةٌ لِمُبهَمٍ، والمبهَمُ نَوعٌ من أنواع المجهول، والمجهول لا يُقبل نقلُه ولا يُعتد به. قال الحافظ ابن كثير الدمشقي (ت: 774هـ):  

«الهمذاني لم يُسَمَّ، أو مَن يُسمّي ولا نعرف عينَه، فهذه ممن لا تُقبل روايته ألبتة».  

وقال الحافظ ابن حجر العسقلاني (ت: 852هـ):  

«ومن يُهمِل اسمه لا نعرف عينَه، فكيف نعرف عدالته؟!»  

الرابع: أنه صادر عن هوى وتَعَصُّبٍ مذهبيٍّ، لأن الإمام الشافعي انتقد الإمام أبا حنيفة وأصحابه، فحمله ذلك على الطعن في نسبه.  

"Contoh cacat yang ditolak dalam nasab adalah:

Kritik dari ahli fikih Muhammad bin Yahya Al-Jurjani Al-Hanafi (wafat 398 H) terhadap nasab Imam Syafi'i, yang mengklaim bahwa Imam Syafi'i adalah seorang maula (budak yang dibebaskan) Quraisy.

Klaim ini diikuti oleh ahli fikih Muhammad Zahid Al-Kautsari Al-Hanafi (wafat 1371 H).

Teks pernyataan Al-Jurjani adalah: "Para pengikut Imam Malik tidak mengakui bahwa nasab Imam Syafi'i berasal dari Quraisy.

Mereka mengklaim bahwa Syafi' adalah budak Abu Lahab, dan dia meminta Umar untuk memasukkannya ke dalam golongan maula Quraisy, tetapi Umar menolak.

Lalu dia meminta Utsman untuk melakukan hal itu, dan Utsman melakukannya.

Jadi, berdasarkan hal ini, Imam Syafi'i adalah seorang maula, bukan orang Quraisy."

Saya katakan: Kritik ini tidak dapat diterima karena tidak didasarkan pada bukti yang jelas dan tidak dapat dipercaya karena beberapa alasan:

1. Kritik ini bertentangan dengan pendapat yang terkenal dan tersebar luas bahwa Imam Syafi'i adalah orang Quraisy yang berasal dari kabilah Bani Muttalib.

Ketenaran nasab Imam Syafi'i sebagai orang Quraisy telah disebutkan dalam berbagai kitab nasab, sejarah, dan biografi.

2. Kritik ini juga bertentangan dengan ijma' (kesepakatan) ulama bahwa Imam Syafi'i adalah orang Quraisy.

Imam An-Nawawi (wafat 676 H) mengatakan: "Imam Syafi'i adalah orang Quraisy yang berasal dari kabilah Bani Muttalib berdasarkan ijma' para ahli sejarah dari berbagai golongan."

3. Al-Jurjani menisbatkan kritik ini kepada pengikut Imam Malik tanpa menyebutkan nama spesifik.

Ini adalah rujukan yang tidak jelas dan tidak dapat diterima.

Rujukan yang tidak jelas tidak dapat dijadikan sebagai bukti.

4. Kritik ini kemungkinan besar didorong oleh fanatisme mazhab, karena Imam Syafi'i telah mengkritik Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.

Hal ini mungkin memotivasi Al-Jurjani untuk mencela nasab Imam Syafi'i." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.84-85)

َأَمَّا الْأَسْبَابُ الدَّافِعَةُ إِلَيْهَا، فَمِنْهَا

١. تَطَلُّعُ ذٰلِكَ الشَّخْصِ إِلَى مَكَارِمِ لَيْسَتْ لَهُ، كَالشَّرَفِ بِعُلُوِّ النَّسَبِ، كَالاِنْتِمَاءِ إِلَى الدَّوْحَةِ الْعُلْوِيَّةِ الْهَاشِمِيَّةِ، أَوْ كَسْبِ مَآثِرَ حَمِيدَةً كَالْجُودِ وَالْكَرَمِ وَالشَّجَاعَةِ، مِمَّا كَانَتْ تَتَصِفُ بِهِ الْقَبَائِلُ الْعَرَبِيَّةُ.  

٢. تَحْقِيقُ الْمَآرِبِ السِّيَاسِيَّةِ، وَذٰلِكَ لِمَا يَتَمَتَّعُ بِهِ الْمُنْتَسِبُ إِلَى دَوْحَةِ الشَّرَفِ فِي النَّسَبِ وَالْحَسَبِ مِنْ مَكَانَةٍ اِجْتِمَاعِيَّةٍ عَالِيَةٍ، يَسْهُلُ بِهَا إِقْنَاعُ الْغَوْغَاءِ بِاِتِّبَاعِهِ وَالسَّيْرِ خَلْفَ أَطْمَاعِهِ، وَقَدِ ادَّعَى طَاغِيَةُ الزَّنْجِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الْعَبْدِيُّ بِأَنَّهُ عَلَوِيٌّ هَاشِمِيٌّ (١)، كَمَا مَرَّ، وَادَّعَى عُبَيْدُ اللهِ مُؤَسِّسُ الدَّوْلَةِ الْعُبَيْدِيَّةِ بِمِصْرَ بِأَنَّهُ عَلَوِيٌّ هَاشِمِيٌّ، وَتَصَدَّى عُلَمَاءُ ذٰلِكَ الزَّمَانِ لِكَشْفِ هٰذَا الزَّيْفِ وَالْبُهْتَانِ.  

"Adapun keberadaan nasab-nasab yang dicegah  (pemalsuannya) , di antaranya:

1. Keinginan seseorang untuk memiliki kemuliaan yang tidak dimilikinya, seperti kehormatan karena nasab yang tinggi, misalnya mengaku sebagai keturunan dari keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang termasuk dalam kelompok Hasyimiyah, atau ingin mendapatkan sifat-sifat terpuji seperti kedermawanan, kemurahan hati, dan keberanian yang menjadi ciri khas suku Arab.

2. Untuk mencapai tujuan-tujuan politik, karena orang yang memiliki nasab yang mulia dan terhormat akan memiliki kedudukan sosial yang tinggi, sehingga memudahkan baginya untuk mempengaruhi orang-orang awam agar mengikutinya dan memenuhi ambisinya.

Contohnya, pendiri Dinasti Zanji yang bernama Muhammad bin Ali Al-Abdi mengaku sebagai keturunan keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kelompok Hasyimiyah.

Demikian pula Ubaidillah, pendiri Dinasti Ubaidiyah di Mesir, mengaku sebagai keturunan keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kelompok Hasyimiyah.

Namun, para ulama pada masa itu telah berupaya untuk mengungkapkan kepalsuan klaim mereka." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.86). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar