Selasa, 09 April 2024

EDISI KHUTBAH IDUL FITRI 1445 H (Tiga Tanda Sukses Ramadhan Di Momen Lebaran)

*Khutbah Pertama*

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته*

اَللهُ أَكْبَرُ x 9

اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَنَا ِلإِتْمَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَأَعَانَناَ عَلىَ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ وَجَعَلَنَا خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ للِنَّاسِ. نَحْمَدُهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَهِدَايَتِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقُ الْمُبِيْنُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُسُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ شَهْرُ رَمَضانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّناتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

*Allahu Akbar 3 x, wa lillahilh hamd,*

*Jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,*

Lebaran atau momen Idul Fitri hampir selalu diwarnai dengan gegap gempita kegembiraan umat Islam di berbagai penjuru. Gema takbir dikumandangkan di malam harinya, kadang disertai sejumlah aksi pawai. Pada pagi harinya pun mayoritas dari mereka mengenakan pakaian serba baru, makan makanan khas dan istimewa, serta bersiap bepergian untuk silaturahim ke sanak kerabat hingga berkunjung ke beberapa wahana liburan yang menarik.

Umat Islam merayakan sebuah momen yang mereka sebut-sebut sebagai “hari kemenangan”. Tapi kemenangan atas apa?

*Allahu Akbar 3 x, wa lillahilh hamd,*

*Jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,*

Idul Fitri tiba ketika umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Sepanjang bulan suci tersebut, mereka menahan lapar, haus dan hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam. 

Proses latihan tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan terhadap hal-hal yang sebelumnya halal, seperti makan dan minum. Puasa itu ibarat pekan ujian nasional bagi siswa sekolah. 

Siswa mendapatkan rapor selepas melewati masa-masa krusial ujian, demikian pula orang-orang yang berpuasa. Setelah melewati momen-momen penting sebulan penuh, umat Islam pun berhak mendapatkan hasilnya. Apa hasil itu? Jawabannya tak lain adalah predikat “takwa”, sebagaimana terdapat di al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Takwa merupakan standar paling tinggi tingkat kemuliaan manusia. Seberapa tinggi derajat mulia manusia tergantung pada seberapa tinggi takwanya. Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum. Dalam konteks puasa Ramadhan, tentu takwa tak bisa digapai dengan sebatas menahan lapar dan dahaga. Ada yang lebih substansial yang perlu ditahan, yakni ketergantungan manusia kepada hal-hal selain Allah, termasuk hawa nafsu. 

Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ

“Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja.” (HR. Imam Ahmad)

*Allahu Akbar 3 x, wa lillahilh hamd,*

*Jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,*

Karena puasa sudah kita lewati dan tak ada jaminan kita bakal bertemu Ramadhan lagi, pertanyaan yang lebih relevan adalah “apa tanda-tanda kita telah mencapai kemenangan?”. Jangan-jangan kita seperti yang disabdakan Nabi, termasuk golongan yang sekadar mendapatkan lapar dan dahaga, tanpa pahala?

Jika standar capaian tertinggi puasa adalah takwa, lantas, apa saja ciri-ciri orang bertakwa? Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ciri-ciri orang takwa. Salah satu ayatnya terdapat dalam Surat Ali Imran:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَـــافِينَ عَنِ النَّــاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُـحْسِنِــينَ

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarrâ’ (senang) dan pada saat dlarrâ’ (susah), dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran: 134)

*Allahu Akbar 3 x, wa lillahilh hamd,*

*Jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,*

Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa. *Ciri Pertama,* gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit. Orang bertakwa tidak akan sibuk hanya memikirkan diri sendiri. Ia mesti berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban untuk orang lain dalam setiap keadaan. 

Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, ciri pertama sifat takwa ini sebenarnya sudah dimulai dengan zakat fitrah. Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhari’ yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus. Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat fitrah hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada bulan-bulan berikutnya.

*Ciri Kedua* orang bertakwa adalah mampu menahan amarah. Marah merupakan gejala manusiawi. Tapi orang-orang yang bertakwa tidak akan mengumbar marah begitu saja. Al-kâdhim (orang yang menahan) serumpun kata dengan al-kadhîmah (termos). Kedua-duanya mempunyai fungsi membendung: yang pertama membendung amarah, yang kedua membendung air panas.

Selayak termos, orang bertakwa semestinya mampu menyembunyikan panas di dadanya sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tahu bahwa ia sedang marah. 

*Ciri Ketiga* orang bertakwa adalah memaafkan kesalahan orang lain. Sepanjang Ramadhan, umat Islam paling dianjurkan memperbanyak permohonan maaf kepada Allah dengan membaca,

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku.”

Kata ‘afw (maaf) diulang tiga kali dalam kalimat tersebut, menunjukkan bahwa manusia memohon dengan sangat serius ampunan dari Allah SWT. Memohon ampun merupakan bukti kerendahan diri di hadapan-Nya sebagai hamba yang banyak kesalahan dan dosa.

Cara ini, bila dipraktikkan  sebenarnya melatih orang tentang pentingnya maaf. Maaf merupakan sesuatu yang singkat namun bisa terasa sangat berat karena persoalan ego, gengsi, dan unsur-unsur nafsu lainnya.

Amatlah arif ulama-ulama di Tanah Air yang menciptakan tradisi bersilaturahim dan saling memaafkan di momen lebaran. Sempurnalah, ketika kita usai membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan kepada Allah, selanjutnya kita saling memaafkan kesalahan masing-masing di antara manusia.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَذِكْرِ اْلحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.

*Khutbah Kedua*

اَللهُ أَكْبَرُ 7×،

اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً, لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

الحمد لله الذي جعل الاعياد باالافراج والسرور، وضاعف للمتقين جزيل الاجور، وكمل الضيافة لعموم المؤمنين بسعيهم المشكور، أشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له ألعفو الغفور، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذي نال من ربه مطهر مبرور، أللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله أصحابه الذين هم يرجون تجارة لن تبور. أما بعد : فيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. إن أمركم بأمر بداء فيه بنفسه، وثنى بملائكته وأياه باالمؤمنين من عباده. وقالَ اللهُ عز وجل "إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا". اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَأًصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِماَتِ, وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ, اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ اْلحَاجَاتِ. رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِاْلحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ اْلفَاتِحِيْنَ. رَبَّنَا أَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهىَ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

TPQ AL-IHSAN PONDOK GEDE BERPERAN DALAM MEMPERSIAPAN GENERASI PENERUS YANG AHLI AL-QUR'AN

Dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan,

وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ. (رَوَاهُ البُخَارِيُّ) .

Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no.5027)

Sebagai negara muslim  kualitas keagamaan di negara kita terbilang rendah. Hal ini didasari oleh rendahnya kesadaran untuk untuk mempelajari Al-Qur'an di masyarakat. Sebagai organisasi terkecil di masyarakat keluarga memerankan peran yang sangat penting dalam membentuk karakter manusia.

Fakta sejarah akan membuktikan bahwa islam di indonesia akan tinggal sejarah jika umat islam tidak peduli dengan keislamannya.  Fenomena pendikan Al-Qur'an di masyarakat saat ini menurut seorang ulama Yusuf Qardhawi berada di level 2, yakni mendengarkan. Al-Qur'an sebagai obyek yang sekedar didengarkan, tidak dipelajari dengan semestinya. Radikalisme muncul akibat kesalahan dalam memahami Al-Qur'an. Al-Qur'an tidak dipahami karena lemahnya kesadaran untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan Al-Qur'an. Al AlQur'an hanya dipandang sebatas teks dengan pemahaman bighoiri ilmi (tanpa ilmu), tanpa menguasai perangkat untuk memahami Al-Qur'an secara utuh. 

Teladan orangtua menjadi garda terdepan dalam pendidikan Al-Qur'an. Semangat memasyarakatkan Al-Qur'an dan meng-Al-Qur'an-kan masyarakat. Merubah mindset masyarakat dari pendengar menjadi pembaca, dari membaca menjadi memahami, dan dari memahami menjadi pengamalan. Arah pendidikan Al-Qur'an harus jelas tidak asal jalan. Taman Pendidikan Al-Qur'an harus didesain untuk bisa melahirkan qari'/qari'ah, mufassir-mufassir dan Ahli Al-Qur'an sebagai khas Indonesia.

Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) Al-Ihsan Pondok Gede bangkit dan memantapkan peran sebagai lembaga pengajaran Al-Qur’an yang tidak cuma meningkat dari sisi kuantitatif tetapi harus meningkat secara kualitatif, artinya kualitas harus menjadi target utama mengingat secara empiris eksistensi TPQ Al-Ihsan yang keberadaannya sudah sangat dibutuhkan dan diyakini memberikan manfaat.

Kalau mencermati statistik keberadaan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) di Pondok Gede Bekasi khususnya semakin menjamur, ini menjadi potensi, peluang dan tantangan tersendiri bagi TPQ Al-Ihsan dibawah naungan Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islam Al-Ihsan (YP-DIA) Pondok Gede dan pemerintah, walaupun bersifat non formal eksistensi TPQ tidak bisa di lihat sebelah mata dalam rangka mencerdaskan dan membekali budi pekerti/aklaq mulia bagi anak-anak.

Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) Al-Ihsan sangat berperan dalam mendidik dan melahirkan generasi muslim yang cinta dan mengamalkan ajaran Islam yang sesuai dengan syari’ahnya dan mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat serta mampu menghadapi era globalisasi saat ini. TPQ Al-Ihsan merupakan salah satu program unggulan Yayasan Pendidikan Dan Dakwah Islam Al-Ihsan (YP-DIA) melalui Direktorat Keagamaan dan Dakwah Islam yang membawahi Devisi Kemasjidan Masjid Besar Nurul Ihsan Pondok Gede - Bekasi - Jawa Barat.

Fenomena di kota Bekasi menunjukkan 70% anak usia SMP termasuk tsanawiyah tidak bisa membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar. Hal ini diungkapkan oleh Plt. Kepala Kementerian Agama Kota Bekasi, H Shobirin (15/9/2020). Hal ini memacu semangat  penanaman keagamaa usia dini jadi kata kunci pendidikan karakter di Kota Bekasi. Sebagai way of life pendidikan Al-Qur'an  harus diajarkan sejak dini. H.Shobirin juga menambahkan degradasi moral nyata di depan mata. Lembaga Pndidikan Al-Qur'an harus tampil di depan dalam menanamkan nilai-nilai moral, penghayatan dan pengamalan Al-Qur'an.

Tujuan TPQ Al-Ihsan Pondok Gede hanyalah mengharap ridha Ilahi Rabbi juga ikut membantu program pemerintah dalam menyiapkan terbentuknya generasi yanh Qur’ani, yaitu generasi yang memiliki komitmen terhadap Al-Qur’an sebagai sumber perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam terhadap Al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus menerus mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kemauan yang kuat untuk mengamalkannya secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari.

Kedepan TPQ Al-Ihsan Pondok Gede harus lebih eksis dan semangat dapat mencapai tujuannya secara lebih berdaya guna dan berhasil guna khususnya pembelajaran Al-Qur’an serta berfungsi dalam meningkatkan profesionalisme guru TPQ di Provinsi Jawa Barat. Adapun kegiatan yang diadakan TPQ Al-Ihsan dalam meningkatkan profesionalisme guru TPQ diwujudkan dalam bentuk, melakukan pembinaan terhadap para pembina, ustadz/ustadzah, dan masyarakat secara periodik sehubungan dengan gerakan Al-Qur’an, memantapkan profesionalisme guru dan kualitas sumber daya manusia TPQ Al-Ihsan. (Asimun Mas'ud Dir. Pendidikan & Dakwah)

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Menggapai Ampunan Allah di Bulan Rajab)

*Khutbah Pertama*

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

*Ma’asyiral muslimin rahimakumullah*

Rajab merupakan salah satu bulan yang mulia. Dari segi bahasa saja Rajab berasal dari kata “tarjib” yang berarti mulia dan agung. Karena saking mulianya, sehingga menjadikan Rajab sebagai bulan yang penuh rahmat, anugerah, dan kebaikan dari Allah SWT. Nabi Muhammad SAW dalam memuliakan bulan Rajab sampai memanjatkan doa sebagaimana diriwayatkan oleh Anas Ibn Malik dalam Musnad Ahmad,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, semoga Engkau memberkahi kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, semoga Engkau pertemukan kami dengan bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)

Dari doa Nabi di atas, sangat jelas bahwa bulan Rajab menjadi bulan yang menjadi awal dari rangkaian terpenting ibadah umat Islam di seluruh dunia, yakni bulan suci Ramadhan.

Bulan Rajab adalah bulan istighfar, oleh karena itu marilah pada bulan ini kita memperbanyak bacaan istighfar dan terus menerus melantunkannya dalam kehidupan kita semua. Ulama berkata,

رَجَبٌ شَهْرُ اْلاِسْتِغْفَارِ، وَشَعْبَانُ شَهْرُ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ الْمُخْتَارِ، وَرَمَضَانُ شَهْرُ الْقُرْآنِ.

“Bulan Rajab adalah bulannya Istihfar, Sya’ban adalah bulannya membaca shalawat kepada Nabi saw. dan Ramadhan adalah bulan memperbanyak bacaan al-Qur’an.

Diantara Bacaan Istighfar yang diajarkan para ulama untuk baca setiap bulan Rajab adalah,

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَتُبْ عَلَيَّ

para ulama mengajarkan istighfar ini dibaca sebanyak 70 kali setiap pagi dan sore hari selama bulan Rajab.

Diantara ajaran lainnya adalah para ulama mewasiatkan kepada kita semua untuk senantiasa memperbanyak bacaan Sayyid al-Istighfar yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw,

عن شَدَّادِ بْنِ أَوسٍ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ : سَيِّدُ اْلاسْتِغْفَارِ أَنْ يَقُوْلَ العَبْدُ : اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وأَبُوءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ.

“Diriwayatkan dari Syaddad ibn Aus r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: “Sayyid al-Istighfar adalah seorang hamba mengucapkan: “Ya Allah, Engkau adalah tuhanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau, yang telah menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu, dan aku atas tanggungan-Mu dan janji-Mu selama aku masih mampu. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang telah aku perbuat. Aku mengakui nikmat yang telah Engkau berikan padaku, Aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku, Sesunguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Disebut dengan bulan haram karena pada bulan tersebut diharamkan maksiat dengan keras. Demikian kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsir beliau.

Mengenai empat bulan yang dimaksud dan salah satunya bulan Rajab, telah disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dan Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Ibnu ’Abbas radhiyallahu ‘anhumaa mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya lebih besar, dan amalan shalih yang dilakukan pahalanya lebih banyak.” (Lathaif al-Ma’arif)

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah*

Oleh karena itu, marilah kita sibukkan diri dengan melakukan kebaikan-kebaikan. Tidak ada kata terlambat untuk bertaubat dan beramal baik. Usia tak bisa membatasi kita untuk mengerjakan aneka kebaikan. Muda atau tua sekalipun sama-sama memiliki kesempatan menghias diri dengan amal-amal saleh. Satu kalimat yang seringkali kita dengar terkait dengan hal ini, ‘ojo leren dadi wong apik‘ (jangan berhenti jadi orang baik). Demikian khutbah yang singkat ini, mudah-mudahan pada bulan Rajab ini kita senantiasa diberi kekuatan, kemudahan dan kemampuan untuk memperbanyak kebaikan dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Aamiiin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

*Khutbah Kedua*

إِنَّ الْحَمْدَ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الصَّادِقِ الْوَعْدِ الْأَمِيْنِ، وَعَلٰى إِخْوَانِهِ النَّبِيِّيْنَ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَارْضَ اللهم عَنْ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَآلِ الْبَيْتِ الطَّاهِرِيْنَ، وَعَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنِ الْأَئِمَّةِ الْمُهْتَدِيْنَ، أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَعَنِ الْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ فَاتَّقُوْهُ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلٰى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضٰالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ، اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا وآمِنْ رَّوْعَاتِنَا وَاكْفِنَا مَا أَهَمَّنَا وَقِنَا شَرَّ ما نَتَخوَّفُ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبٰى ويَنْهٰى عَنِ الفَحْشٰاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَاتَّقُوْهُ يَجْعَلْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مَخْرَجًا، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Bulan Rajab Bulan Penuh Berkah Untuk Beramal Shalih)

*Khutbah Pertama*

اَلْحَمْدُ لِلهِ وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْاِحْسَانِ، وَمُضَاعِفِ الْحَسَنَاتِ لِذَوِي الْاِيْمَانِ وَالْاِحْسَانِ، اَلْغَنِيِّ الَّذِيْ لَمِ تَزَلْ سَحَائِبُ جُوْدِهِ تَسِحُّ الْخَيْرَاتِ كُلَّ وَقْتٍ وَأَوَانٍ، العَلِيْمِ الَّذِيْ لَايَخْفَى عَلَيْهِ خَوَاطِرُ الْجَنَانِ، اَلْحَيِّ الْقَيُّوْمِ الَّذِيْ لَاتَغِيْضُ نَفَقَاتُهُ بِمَرِّ الدُّهُوْرِ وَالْأَزْمَانِ، اَلْكَرِيْمِ الَّذِيْ تَأَذَّنَ بِالْمَزِيْدِ لِذَوِي الشُّكْرَانِ. أَحْمَدُهُ حُمْدًا يَفُوْقُ الْعَدَّ وَالْحِسْبَانَ، وَأَشْكُرُهُ شُكْرًا نَنَالُ بِهِ مِنْهُ مَوَاهِبَ الرِّضْوَانِ 

أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ دَائِمُ الْمُلْكِ وَالسُّلْطَانِ، وَمُبْرِزُ كُلِّ مَنْ سِوَاهُ مِنَ الْعَدَمِ اِلَى الْوِجْدَانِ، عَالِمُ الظَّاهِرِ وَمَا انْطَوَى عَلَيْهِ الْجَنَانُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَخِيْرَتُهُ مِنْ نَوْعِ الْاِنْسَانِ، نَبِيٌّ رَفَعَ اللهُ بِهِ الْحَقَّ حَتَّى اتَّضَحَ وَاسْتَبَانَ. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدْقِ وَالْجُوْدِ وَالْوَفَاءِ وَالْاِحْسَانِ. أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

*Jama'ah Shalat Jum'at rahimakumullah*

Bulan Rajab adalah bulan istimewa. Dalam kitab I‘anatut Thalibin dijelaskan bahwa “Rajab" merupakan derivasi dari kata “tarjib” yang berarti mengagungkan atau memuliakan. Masyarakat Arab zaman dahulu memuliakan Rajab melebihi bulan lainnya. Rajab biasa juga disebut “Al-Ashabb” (الأصب) yang berarti “yang mengucur” atau menetes”. Dijuluki demikian karena derasnya tetesan kebaikan pada bulan ini. 

Bulan Rajab bisa juga dikenal dengan sebutan “Al-Ashamm” (الأصم) atau “yang tuli”, karena tidak terdengar gemerincing senjata pasukan perang pada bulan ini. 

*Jama'ah Shalat Jum'at rahimakumullah*

Karena kita semua diciptakan untuk menyembah Allah Ta'ala, maka sudah sepantasnya pada bulan Rajab yang mulia ini, kita harus memperbanyak ibadah kepada-Nya, karena sesungguhnya ibadah di bulan Rajab, Allah Ta'ala akan melipatgandakan amal perbuatan kita. 

Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyampaikan khutbah Jumat di bulan Rajab pada masanya. Dalam khutbahnya beliau bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّهُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرُ رَجَبَ، شَهْرُ الله تُضَاعَفُ فِيْهِ الْحَسَنَاتُ وَتُسْتَجَابُ فِيْهِ الدَّعَوَاتُ وَيُفَرَّجُ عَنْ الْكُرْبَاتِ، لَا يُرَدُّ فِيْهِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ دَعْوَةٌ، فَمَنْ اِكْتَسَبَ فِيْهِ خَيْراً ضُوْعِفَ لَهُ فِيْهِ أَضْعَافاً مُضَاعَفَةً، وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ 

"Wahai manusia! Sungguh telah menaungi kepada kalian semua, bulan yang agung, yaitu bulan Rajab yang merupakan bulan Allah, setiap kebaikan akan dilipatgandakan di dalamnya dan doa-doa akan diterima, kegelisahan akan dihilangkan, doa-doa orang mukmin tidak ditolak. Barangsiapa yang melakukan kebaikan di dalamnya, maka akan dilipatgandakan menjadi berlipat ganda, dan Allah bisa melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki (HR. Anas biberikut).

Amaliah ibadah dan kebaikan yang bisa kita lakukan di bulan Rajab ini sangatlah banyak, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Tabyinu al-‘Ajb bi Ma Warada fi Syahr Rajab, halaman 20, di antaranya (1) puasa; (2) bersedekah; (3) silaturahim; (4) memberi makan orang yang lapar; (6) menjenguk orang sakit; (7) menyenangkan anak yatim; serta semua ibadah dan kebaikan lainnya.

Sedangkan anjuran dasar ibadah puasa dari empat bulan yang dimuliakan (termasuk di dalamnya bulan Rajab), telah ditegaskan oleh Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib, juz 16, halaman 54, yang merupakan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ أَشْهُرِ اللّٰهِ الْحُرُمِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا 

"Barang siapa yang berpuasa satu hari pada bulan-bulan yang dimuliakan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), maka ia akan mendapat pahala puasa 30 hari."

*Jama'ah Shalat Jum'at rahimakumullah*

Sementara Sayyid Abu Bakar Syattha’ dalam kitab I’ânah at-Thâlibîn mengutip hadits berikut,

صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ   

"Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah!" (HR Abu Dawud dan yang lainnya).

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala tetap memberkahi umur kita semua dengan dijumpakan kepada bulan mulia yang lainnya yakni Sya'ban dan Ramadhan. 

 بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْاَنِ وَجَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ جَمِيْعَ أَعْمَالِنَا إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ 

Khutbah Kedua

 اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، اِلَهٌ لَمْ يَزَلْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيْلًا. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَحَبِيْبُهُ وَخَلِيْلُهُ، أَكْرَمُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ، اَلْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ كَانَ لَهُمْ مِنَ التَّابِعِيْنَ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَذَرُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ. وَحَافِظُوْا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ وَالصَّوْمِ وَجَمِيْعِ الْمَأْمُوْرَاتِ وَالْوَاجِبَاتِ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ بِنَفْسِهِ. وَثَنَى بِمَلَائِكَةِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ. إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِيْ العَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وِالْأَمْوَاتِ. اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً، اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرُكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

KAJIAN TENTANG HUKUM FANTASI SEKS MENURUT AJARAN ISLAM (18+)

Fathul Izar ialah kitab yang berisi edukasi pendidikan seks, tata aturan, adab berhubungan, posisi kenikmatan dan larangan, dan hal-hal yang diperbolehkan berhubungan seks sesuai dengan anjuran agama Islam.

Kitab tersebut ditulis oleh Agus Abdullah Fauzi dan dibuka dengan surat Al-Baqarah ayat 223.

نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ

"Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman." (QS Al-Baqarah ayat 223)

Di zaman globalisasi, perilaku manusia dipengaruhi oleh arus informasi yang semakin kencang dan terbuka, termasuk pembahasan mengenai variasi dalam berhubungan seks dengan pasangannya. Bagi mereka yang telah banyak mendapatkan pengetahuan dan informasi dari berbagai sumber mengenai gaya bersetubuh, tentunya ingin menerapkannya dalam kehidupan seksualnya.

Nah, apabila keadaan ini dapat dipahami oleh pasangan suami istri, tidaklah menimbulkan masalah. Akan tetapi jika terjadi keinginan sepihak tentunya akan menimbulkan permasalahan. Lalu, bagaimanakah jika seorang istri menolak untuk memenuhi tuntutan suami dalam melakukan variasi bercinta? Apakah istri telah melakukan pembangkangan terhadap suami (nusyuz)?

Pada saat istri menolak permintaan suami dalam melayani variasi bercintanya tidaklah termasuk dalam kategori membangkan (nusyuz, dalam fiqih mengakibatkan hak suami berhak memberhentikan nafkah kepada istriI). Sebab, pada dasarnya kewajiban melayani hubungan seks seorang istri adalah sewajarnya saja. Kecuali apabila seorang suami tidak bisa mengeluarkan sperma tanpa variasi tersebut atau akan menyebabkan kerepotan yang lain, maka bagi istri memenuhi permintaan suaminya tersebut hukumnya adalah wajib, selama bentuk variasi itu masih dalam kewajaran seperti dengan berbagai gaya ( jurus cakar elang, hariamau menerkam dan lain-lain) atau sekedar bermain-main dengan tangan dan jari-jari di wilayah mister v, atau menggunakan tangan istri untuk mempermainkan dzakar dan lainnya. 

Akan tetapi jika variasi itu telah melanggar norma agama, maka tidak wajib bagi istri untuk menurutinya misalnya dengan menggunakan jalur belakang (dubur).

Penjelasan tersebut dituangkan dalam kitab Fathul Muin dan juga kitab-kitab lainnya semisal dalam Al-Fatawi Al-Fiqhiyyah Al-kubra karangan Ibnu Hajar Al-Haitami,

الواجب عليها هو التمكين من الوطء ولايجب عليها ما وراء ذلك مما هو معروف وان ترتب عليه مزيد قوة لهمة الرجل وتنشيط للجماع هذا هو الذى يتجه ويحتمل أن يجب عليها ما يتوقف عليه الانزال او مايترتب على تركه ضرر للرجل  

"Yang wajib dilakukan oleh isterinya adalah membolehkan laki-laki untuk melakukan hubungan intim, dan dia tidak wajib melakukan apa pun di luar itu, yang diketahui, meskipun hal itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar bagi gairah dan rangsangan laki-laki untuk melakukan hubungan intim. dan mungkin saja dia wajib melakukan apa yang menjadi sandaran ejakulasi, atau bagaimana jika tidak melakukan hal itu akan mengakibatkan kerugian bagi laki-laki."

Setiap orang maupun pasangan memiliki fantasi tersendiri saat berhubungan badan. Namun, ketika fantasi yang terbayang adalah wajah orang lain bahkan wajah artis saat bercinta dengan pasangan.

Bagaimana hukum fantasi seksual dengan wanita lain saat bercinta dengan istri? Pasalnya, terkadang ada seorang suami yang membayangkan wanita lain saat bersenggema. Lantas bagaimana hukum membayangkan wanita lain atau fantasi seksual?

Kebahagian dalam rumah tangga adalah tujuan dan impian setiap pasangan halal. Kebahagiaan dapat diperolehnya dengan terciptanya keharmonisan dalam berkeluarga. Keharmonisan tersebut dapat diupayakan dengan selalu terpupuknya rasa cinta antara suami dan istri.

Hubungan badan merupakan pekerjaan fisik yang kepuasannya dirasakan sepenuhnya oleh hati. Namun kepuasan tersebut tidak selalu didapatkannya sebab beberapa faktor hingga tidak sedikit akal memberontak dan membayangkan wanita lain saat bersenggama dengan pasangannya.

Syari’at memberikan penjelasan terkait tindakan membayangkan wanita lain atau hukum fantasi seksual dengan wanita lain saat bersenggama dengan pasangan halalnya. Disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj,

“Seorang yang memikirkan keindahan wanita lain pada waktu bersetubuh dengan istri hingga membayangkan menyetubuhi wanita lain tersebut. Apakah demikian dilarang ?. 

Ulama berselisih pendapat, Ibnu Al-Farkah, Jamlul Islam bin Al-Bazri dan Al-Kamal Radad penjabar kitab Al-Irsyad serta lmam Jalaluddin As-Suyuthi dan lainnya, mereka berpendapat bahwa hal demikian adalah halal dilakukannya. Dan Taqiyudin As-Subki mencegah tindakan tersebut “.

Para pakar ilmuan Islam yang melegalkan membayangkan wanita lain atau fantasi seksual dengan wanita lain saat bersenggama dengan istri, mereka berdalih sebagaimana disampaikan Ibnu Hajar Al-Haitami,

لأنه لم يخطر له عند ذلك التفكر والتخيل فعل زنا ولا مقدمة له فضلا عن العزم عليه وإنما الواقع منه تصور قبيح بصورة حسن فهو متناس للوصف الذاتي متذكر للوصف العارض باعتبار تخيله وذلك لا محذور فيه إذ غايته أنه تصور شيء في الذهن غير مطابق للخارج

“Tindakan tersebut tidaklah dilarang, sebab tidaklah terlintas apalagi berniat untuk melakukan perzinaan dan permulaan zina.

Dia hanyalah membayangkan raupan yang buruk dengan bentuk yang indah hingga dia melupakan sifat (istri)nya dan teringat sifat yang baru muncul tersebut dengan sebab membayangkanya. Demikian tidak dilarang karena hanyalah membayangkan dalam hati sesuatu yang tidak sesuai kenyataan “.

وقد تقرر أنه لا محذور فيه على أنا لو فرضنا أنه يضم إليه خطور الزنا بتلك الحسناء لو ظفر بها حقيقة لم يأثم إلا إن صمم على ذلك -وأنه لا إثم إلا إن صمم على فعل المعصية بتلك المتخيلة لو ظفر بها في الخارج.

“Telah jelas tidak dilarang, andaikan dia membayangkan melakukan perzina dengan wanita cantik tersebut bila dia mendapatkannya maka tidaklah berdosa kecuali bila dia bertekad berniat melakukan perzinaan dengannya.

Dan sesungguhnya tidak ada dosa kecuali bila dia berniat melakukan perbuatan maksiat dengan wanita dalam khayalannya andaikan dia mendapatkannya “.

Sementara Imam Abu Hamid Al-Ghazali memberikan komentar terkait seorang yang fantasi seksual dengan wanita lain yang tidak halal baginya. Dalam karyanya Ihya ‘Ulumuddin halaman dua ratus tujuh puluh tujuh disampaikan.

وأما من يتمثل في نفسه صورة صبي أو امرأة لا يحل له النظر إليها وكان ينزل ما يسمع على ما تمثل في نفسه فهذا حرام لأنه محرك للفكر في الأفعال المحظورة، ومهيج للداعية إلى ما لا يباح الوصول إليه وأكثر العشاق والسفهاء من الشباب في وقت هيجان الشهوة لا ينفكون عن إضمار شيء من ذلك: وذلك ممنوع في حقهم لما فيه من الداء الدفين لا لأمر يرجع إلى نفس السماع. ولذلك سئل حكيم عن العشق فقال. دخان يصعد إلى دماغ الإنسان يزيله الجماع ويهيجه السماع.

Seseorang yang dalam benak hatinya membayangkan seorang anak atau perempuan yang tidak halal melihatnya dan segala sesuatu yang telah didengarnya masuk ke dalam hatinya.

Demikian tidak diperbolehkan sebab hal tersebut menggerakannya untuk memikirkan pekerjaan-pekerjaan yang dilarang serta membangkitkannya melakukan hal yang menarik kepada sesuatu yang tidak diperbolehkan. Membayangkan berhubungan seksual, berfantasi melakukan hubungan intim, dan berimajinasi melakukan persetubuhan dengan lawan jenis (apalagi sesama jenis) yang tidak halal termasuk perbuatan dosa tanpa membedakan apakah pelakunya belum menikah ataupun sudah menikah. Fantasi seorang suami yang membayangkan wanita lain ketika bersetubuh dengan istrinya, atau fantasi seorang istri yang membayangkan lelaki lain ketika bersetubuh dengan suaminya juga termasuk dosa. Namun dosa jenis ini tidak seperti dosa perzinaan secara langsung yang dihukumi dosa besar (Kaba-ir). Dosa jenis ini termasuk dosa yang disebut Al-Qur'an dengan istilah Lamam. Allah berfirman,

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ (النجم: 32)

"(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari Lamam (kesalahan-kesalahan kecil)."(QS. An-Najm : 32)

Menurut Imam As-Syaukani, makna asal Lamam secara bahasa adalah sesuatu yang sedikit dan kecil. As-Syaukani berkata,

فتح القدير للشوكاني (7/ 76، بترقيم الشاملة آليا)

وأصل اللمم في اللغة : ما قلّ وصغر ،

“Makna asal Lamam secara bahasa adalah; Sesuatu yang sedikit dan kecil (Fathu Al-Qodir, vol.7 hlm 76)

Jadi berdasarkan makna bahasa ini, Lamam adalah jenis dosa yang dianggap kecil dan sedikit. Penafsiran paling indah tentang makna Lamam diberikan oleh Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim;

صحيح مسلم (13/ 124)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ مِمَّا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

Dari Ibnu Abbas dia berkata; ‘Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling dekat dengan makna Lamam (dosa dosa kecil) selain dari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan zinanya hati adalah berangan-anga dan berhasrat, namun kemaluanlah yang (menjadi penentu untuk) membenarkan hal itu atau mendustakannya.” (HR.Muslim)

Jadi, berdasarkan riwayat ini berfantasi seks termasuk zina juga, namun bukan Zina hakiki. Berfantasi seks sebagaimana memandang dengan syahwat, atau mengucapkan kata-kata porno, atau meraba, mencium dan semisalnya termasuk zina Majazi yang dihukumi dosa, namun terkategori dosa Lamam. 

Imam An-Nawawi menafsirkan hadis Ibnu Abbas diatas sebagai berikut,

صحيح مسلم (13/ 124)

شرح النووي على مسلم (16/ 206)

معنى الحديث أن بن آدم قدر عليه نصيب من الزنى فمنهم من يكون زناه حقيقيا بادخال الفرج في الفرج الحرام ومنهم من يكون زناه مجازا بالنظر الحرام اوالاستماع إلى الزنى وما يتعلق بتحصيله او بالمس باليد بأن يمس أجنبية بيده او يقبلها او بالمشي بالرجل إلى الزنى اوالنظر او اللمس او الحديث الحرام مع اجنبية ونحو ذلك او بالفكر بالقلب فكل هذه انواع من الزنى المجازي

“Makna hadits tersebut adalah, bahwasanya anak Adam ditetapkan bagian zinanya. Diantara mereka ada yang perzinaannya secara hakiki yakni dengan memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan yang haram, dan diantara mereka ada yang perzinaannya Majazi, yakni dengan memandang yang haram, atau mendengar perzinaan (dan semua yang berhubungan dengan upaya mendapatkannya), atau menyentuh dengan tangan (yakni menyentuh wanita asing dengan tangannya), atau menciumnya, atau berjalan dengan kaki untuk berzina, atau memandang atau meraba, atau ngobrol haram dengan wanita asing dan yang semisal, atau berfantasi dengan hati. Semuanya termasuk varian-varian zina Majazi” (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, vol.16 hlm.206)

Atas dasar ini, maka dilarang berfantasi seks dengan orang yang tidak halal baginya karena termasuk zina majazi. Berfantasi seks hanya diizinkan dengan orang yang halal baginya (suami istri). Berfantasi seks dengan orang yang tidak halal termasuk dosa jenis Lamam sebagai mana dosa memandang dengan syahwat, menyentuh dengan syahwat, mencium, mendengar ucapan porno, berbicara mesum, berjalan untuk berzina dan yang semakna dengannya. Lamam akan diampuni Allah dan dihapuskan jika perzinaan hakiki dihindari karena rasa takut kepada Allah. 

Demikian dapat dipahami bahwa hukum berfantasi atau membayangkan wanita lain saat bersetubuh dengan istri sebab berbagai faktor. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan dilarang dan ada yang membolehkan dengan argumentasi bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang tidak dilarang oleh agama kecuali dia berniat melakukan perzinahan atau kemaksiatan dengan wanita lain yang ada dalam khayalannya. Oleh karenanya dalam memilih pendapat ulama mana kita mengikutinya, tentu harus mendapatkan persetujuan suami istri. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG HUKUM SUAMI ISTRI SALING TERPUASKAN DALAM HUBUNGAN BADAN (18+)

Hubungan badan antara suami-istri sudah sepatutnya kedua pasangan mesti saling mengerti dengan keinginan masing-masing. Jangan sampai salah satu pihak merasa “puas” tetapi mengabaikan pihak lain.

Komunikasi yang baik di antara keduanya adalah kata kuncinya. Idealnya dalam berhubungan badan antara suami-istri adalah kedua belah pihak merasa puas, orgasme bersama-sama.

Namun terkadang bisa suaminya yang lama, istrinya tidak atau sebaliknya. Perbedaan ini memang acapkali menimbulkan masalah, terutama jika pihak suami yang keluar duluan padahal istrinya belum. Istri pasti kecewa dan “ngambek” karena syahwatnya tidak dituntaskan.

Atau bisa jadi, suami egois karena langsung berhubungan intim, tanpa pemanasan alias foreplay. Sementara, istrinya belum siap. Dan itu akan berpengaruh terhadap tingkat kepuasan istri.

Dalil pokok dalam masalah ini adalah firman Allah,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Sang istri memiliki hak (yang harus dipenuhi suami) sebagaimana kewajiban yg dia yang harus dia penuhi untuk suaminya, dengan baik (dalam batas wajar).” (QS. Al-Baqarah: 228)

Sebagaimana suami menginginkan mendapatkan kepuasan ketika melakukan hubungan badan dengan istrinya, demikian pula istri. Dia memiliki hak untuk mendapatkan kepuasan yang sama sebagaimana suaminya. Oleh karena itu, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Batasannya adalah bil ma’ruf (dalam batas wajar). Dan batasan ini dikembalikan menurut anggapan umumnya masyarakat.

Ibnu Abbas mengatakan:

إني لأحب أن أتزين للمرأة كما أحب أن تتزين لي المرأة ؛ لأن الله يقول : وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ 

"Saya suka berhias untuk istri, sebagaimana saya suka ketika istriku berhias untukku. Karena Allah berfirman, … (beliau membaca surat Al-Baqarah ayat 228 di atas)." (HR. Ibn Jarir & Ibn Abi Hatim)

Sikap sebagian pasangan yang hanya mementingkan diri sendiri, baik dalam pergaulan pada umumnya maupun ketika di atas ranjang, termasuk bentuk pelanggaran hak sesama. Itu artinya, sikap seacam ini termasuk pelanggaran terhadap perintah sebagaimana pada ayat di atas.

Terkait permasalahan ini Imam Abu Hamid Al-Ghozali lebih lanjut menjelaskan,

وَاْلاِخْتِلَافُ فيِ طَبْعِ الْإِنْزَالِ يُوجِبُ التَّنَافُرِ مَهْمَا كَانَ الزَّوْجُ سَابِقاً إِلَى الْإِنْزَالِ ، وَالتَّوَافُقُ فِي وَقْتِ الْإِنَزَالِ أَلَذُّ عِنْدَهَا وَلَا يَشْتَغِلُ الرَّجُلُ بِنَفْسِهِ عَنْهَا فَإِنَّهَا رُبَّمَا تَسْتَحْي

“Perbedaan karakter keluarnya mani (diantara suami-isteri) akan menimbulkan perselisihan terutama jika pihak suami keluar terlebih dahulu. Padahal bagi istri keluar secara bersamaan akan terasa lebih nikmat. Suami tidak boleh mementingkan egonya sendiri sehingga mengabaikan istrinya. Sebab, acapkali istri merasa malu untuk mengungkapkan gejolaknya,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz 2, halaman 52).

Lantas bagaimana jika suami keluar duluan, kemudian ia membiarkan istrinya padahal syahwatnya belum tuntas?

Dalam konteks ini menarik apa yang dikemukakan Ibnu Qudamah melalui kitab Al-Mughni. Menurutnya, tindakan suami yang dalam berhubungan badan dan keluar duluan kemudian mengabaikan istrinya padahal ia belum tuntas syahwatnya adalah makruh.

إِنْ فَرَغَ قَبْلَهَا ، كُرِهَ لَهُ النَّزْعُ حَتَّى تَفْرُغَ ؛لِمَا رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { إذَا جَامَعَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ فَلْيَصْدُقْهَا ، ثُمَّ إذَا قَضَى حَاجَتَهُ ، فَلَا يُعَجِّلْهَا حَتَّى تَقْضِيَ حَاجَتَهَا } .وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ ضَرَرًا عَلَيْهَا ، وَمَنْعًا لَهَا مِنْ قَضَاءِ شَهْوَتِهَا

“Apabila suami keluar terlebih dahulu sebelum istrinya, maka dimakruhkan bagi suami untuk melepaskannya sebelum istri menuntaskan syahwatnya. Karena ada riwayat dari Anas bin Malik RA menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, ‘Ketika seorang suami menggauli istrinya, maka hendaknya ia memberinya cinta dengan tulus (falyashduqha). Kemudian ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, maka jangan terburu-terburu untuk mengakhirinya sebelum istrinya menuntaskan hajatnya juga.’ Demikian itu karena bisa menimbulkan bahaya bagi istri dan menghalanginya untuk menuntaskan syahwat,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Fikr, 1405 H, juz VIII, halaman 136).

Kalimat “hendaknya ia memberinya cinta dengan tulus” (falyasduqha) maksudnya adalah hendaknya ia (suami) menggauli istrinya dengan sungguh-sungguh, perkasa, dan memberikan servis di ranjang dengan baik serta penuh kasih sayang.

Hal ini mengacu kepada penjelasan dalam kitab At-Taysir bi Syarh Jami’is Shaghir karya Abdurrauf al-Munawi.

فَلْيَصْدُقْهَا ) بِفَتْحِ الْمُثَنَّاةِ وَضَمِّ الدَّالِ مِنَ الصِّدْقِ فِي الوُدِّ وَالنَّصْحِ أَيْ فَلْيُجَامِعْهَا بِشِدَّةٍ وَقُوَّةٍ وَحُسْنِ فِعْلٍ

’Falyashduqha’ dengan diberi tanda harakat fathah pada huruf yang bertitik dua (huruf ya`) dan diharakati dhammah huruf dal-nya berasal dari ungkapan ash-shidq fil wudd wan nashh (tulus dalam memberikan cinta dan nasihat). Maksudnya adalah hendaknya ia (suami) menggauli istrinya dengan sungguh-sungguh, perkasa, dan menggaulinya dengan cara yang baik,” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, At-Taysir bi Syarhi Jami’is Shaghir, Riyadl, Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’i, cet ke-3, 1408 H/1988 M, juz I, halaman 175).

Mengacu pada penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulanab bahwa makruh bagi suami ketika berhubungan badan dan keluar terlebih dahulu terburu-buru untuk melepaskan istri atau membiarkannya, sementara ia (istri) belum sampai menuntaskan syahwatnya. Hal ini karena bisa menimbulkan mudharat atau kerugian bagi istri karena tertunda syahwatnya.

Di samping itu seorang suami sudah sepatutnya untuk menggauli istrinya dengan penuh kesungguhan, menunjukan keperkasaannya serta menggauli dengan cara yang baik. Hal ini penting diperhatikan bagi para suami agar terhindar dari percekcokan dengan istri.

Sebab, jika di “ranjang” sendiri bermasalah, maka akan mengakibatnya munculnya masalah di luar “ranjang” sebagaimana dikemukakan oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali di atas. Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. Bagi suami yang kurang perkasa di “ranjang”, lakukan komunikasi secara baik-baik dengan istri, kemudian segeralah berkonsultasi dengan ahlinya serta jangan lupa untuk selalu berdoa dan tetap berusaha menggauli istri dengan baik. Wallahu a'lam bis-Shawab

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Bulan Rajab Bulan Penuh Berkah Untuk Beramal Shalih)

*Khutbah Pertama*

اَلْحَمْدُ لِلهِ وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْاِحْسَانِ، وَمُضَاعِفِ الْحَسَنَاتِ لِذَوِي الْاِيْمَانِ وَالْاِحْسَانِ، اَلْغَنِيِّ الَّذِيْ لَمِ تَزَلْ سَحَائِبُ جُوْدِهِ تَسِحُّ الْخَيْرَاتِ كُلَّ وَقْتٍ وَأَوَانٍ، العَلِيْمِ الَّذِيْ لَايَخْفَى عَلَيْهِ خَوَاطِرُ الْجَنَانِ، اَلْحَيِّ الْقَيُّوْمِ الَّذِيْ لَاتَغِيْضُ نَفَقَاتُهُ بِمَرِّ الدُّهُوْرِ وَالْأَزْمَانِ، اَلْكَرِيْمِ الَّذِيْ تَأَذَّنَ بِالْمَزِيْدِ لِذَوِي الشُّكْرَانِ. أَحْمَدُهُ حُمْدًا يَفُوْقُ الْعَدَّ وَالْحِسْبَانَ، وَأَشْكُرُهُ شُكْرًا نَنَالُ بِهِ مِنْهُ مَوَاهِبَ الرِّضْوَانِ 

أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ دَائِمُ الْمُلْكِ وَالسُّلْطَانِ، وَمُبْرِزُ كُلِّ مَنْ سِوَاهُ مِنَ الْعَدَمِ اِلَى الْوِجْدَانِ، عَالِمُ الظَّاهِرِ وَمَا انْطَوَى عَلَيْهِ الْجَنَانُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَخِيْرَتُهُ مِنْ نَوْعِ الْاِنْسَانِ، نَبِيٌّ رَفَعَ اللهُ بِهِ الْحَقَّ حَتَّى اتَّضَحَ وَاسْتَبَانَ. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدْقِ وَالْجُوْدِ وَالْوَفَاءِ وَالْاِحْسَانِ. أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

*Jama'ah Shalat Jum'at rahimakumullah*

Bulan Rajab adalah bulan istimewa. Dalam kitab I‘anatut Thalibin dijelaskan bahwa “Rajab" merupakan derivasi dari kata “tarjib” yang berarti mengagungkan atau memuliakan. Masyarakat Arab zaman dahulu memuliakan Rajab melebihi bulan lainnya. Rajab biasa juga disebut “Al-Ashabb” (الأصب) yang berarti “yang mengucur” atau menetes”. Dijuluki demikian karena derasnya tetesan kebaikan pada bulan ini. 

Bulan Rajab bisa juga dikenal dengan sebutan “Al-Ashamm” (الأصم) atau “yang tuli”, karena tidak terdengar gemerincing senjata pasukan perang pada bulan ini. 

*Jama'ah Shalat Jum'at rahimakumullah*

Karena kita semua diciptakan untuk menyembah Allah Ta'ala, maka sudah sepantasnya pada bulan Rajab yang mulia ini, kita harus memperbanyak ibadah kepada-Nya, karena sesungguhnya ibadah di bulan Rajab, Allah Ta'ala akan melipatgandakan amal perbuatan kita. 

Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyampaikan khutbah Jumat di bulan Rajab pada masanya. Dalam khutbahnya beliau bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّهُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرُ رَجَبَ، شَهْرُ الله تُضَاعَفُ فِيْهِ الْحَسَنَاتُ وَتُسْتَجَابُ فِيْهِ الدَّعَوَاتُ وَيُفَرَّجُ عَنْ الْكُرْبَاتِ، لَا يُرَدُّ فِيْهِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ دَعْوَةٌ، فَمَنْ اِكْتَسَبَ فِيْهِ خَيْراً ضُوْعِفَ لَهُ فِيْهِ أَضْعَافاً مُضَاعَفَةً، وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ 

"Wahai manusia! Sungguh telah menaungi kepada kalian semua, bulan yang agung, yaitu bulan Rajab yang merupakan bulan Allah, setiap kebaikan akan dilipatgandakan di dalamnya dan doa-doa akan diterima, kegelisahan akan dihilangkan, doa-doa orang mukmin tidak ditolak. Barangsiapa yang melakukan kebaikan di dalamnya, maka akan dilipatgandakan menjadi berlipat ganda, dan Allah bisa melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki (HR. Anas bin Malik).

Amaliah ibadah dan kebaikan yang bisa kita lakukan di bulan Rajab ini sangatlah banyak, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Tabyinu al-‘Ajb bi Ma Warada fi Syahr Rajab, halaman 20, di antaranya (1) puasa; (2) bersedekah; (3) silaturahim; (4) memberi makan orang yang lapar; (6) menjenguk orang sakit; (7) menyenangkan anak yatim; serta semua ibadah dan kebaikan lainnya.

Sedangkan anjuran dasar ibadah puasa dari empat bulan yang dimuliakan (termasuk di dalamnya bulan Rajab), telah ditegaskan oleh Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib, juz 16, halaman 54, yang merupakan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ أَشْهُرِ اللّٰهِ الْحُرُمِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا 

"Barang siapa yang berpuasa satu hari pada bulan-bulan yang dimuliakan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), maka ia akan mendapat pahala puasa 30 hari."

*Jama'ah Shalat Jum'at rahimakumullah*

Sementara Sayyid Abu Bakar Syattha’ dalam kitab I’ânah at-Thâlibîn mengutip hadits berikut,

صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ   

"Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah!" (HR Abu Dawud dan yang lainnya).

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala tetap memberkahi umur kita semua dengan dijumpakan kepada bulan mulia yang lainnya yakni Sya'ban dan Ramadhan. 

 بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْاَنِ وَجَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ جَمِيْعَ أَعْمَالِنَا إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ 

Khutbah Kedua

 اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، اِلَهٌ لَمْ يَزَلْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيْلًا. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَحَبِيْبُهُ وَخَلِيْلُهُ، أَكْرَمُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ، اَلْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ كَانَ لَهُمْ مِنَ التَّابِعِيْنَ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَذَرُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ. وَحَافِظُوْا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ وَالصَّوْمِ وَجَمِيْعِ الْمَأْمُوْرَاتِ وَالْوَاجِبَاتِ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ بِنَفْسِهِ. وَثَنَى بِمَلَائِكَةِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ. إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِيْ العَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وِالْأَمْوَاتِ. اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً، اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرُكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

KAJIAN TENTANG HUKUM PENGGUNAAN DANA KAS MASJID UNTUK JAMUAN NGOPI DAN KEPENTINGAN LAINNYA

Dewasa ini sering kali terjadi cekcok antara pengurus masjid atau biasa kita sebut takmir mengenai uang kotak amal yang menjadi pemasukan pasti. Biasanya para takmir kebingungan mengenai pengalokasian uang tersebut. Terlebih uangnya milik Masjid. Sehingga mereka perlu mengatur dan melakukan penanganan secara khusus supaya tindakan mereka tidak menyalahi syariat Islam.

Masjid dan Musholla sudah maklum menjadi kegiatan keagamaan sentral di masyarakat. Seringkali kegiatan PHBI seperti perayaan Maulidin Nabi, Isra' Mi'raj dan lainnya di masjid atau Musholla mengadakan rapat-rapat demi suksesnya acara PHBI yang di peringati. Sering juga kegiatan Maulidin Nabi atau rapat-rapat persiapanya menggunakan dana Kas masjid atau Musholla untuk membiayai kegiatan tersebut.

Bolehkah penggunaan kas Masjid atau Musholla untuk membiayai kegiatan Maulid atau rapat-rapat persiapanya?

Jawabnya boleh, jika kas tersebut untuk kemaslahatan Masjid dan masih mempertimbangkan mana yang lebih penting dalam penggunaan kas tersebut.

Adapun referensi ibarohnya sebagai berikut,

بغية المسترشدين – (1 / 132)

، ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد في المسجد من قهوة ودخون وغيرهما مما يرغب نحو المصلين ، وإن لم يعتد قبل إذا زاد على عمارته.

"Diperbolehkan bahkan disunnahkan bagi takmir melakukan sesuatu yang biasa dilakukan di masjid, seperti menyediakan kopi, rokok dan sesuatu yang disukai para jama’ah walaupun hal ini tidak dibiasakan sebelumnya apabila uang kas ini sudah melebihi untuk pembangunan masjid." (Bughyah Al-Mustarsyidin juz 1 hal.132).

فتح الاله المنان ص 150

الموقوف على مصالح المساجد كما في مسئلة السؤال يجوز الصرف فيه البناء والتجصيص المحكم وفي أجرة القيم والمعلم والإمام والحصر والدهن وكذا فيما يرغب المصلين من نحو قهوة وبخور يقدم من ذلك الأهم فالأهم وعليه فيجوز الصرف في مسئلة السؤال لما ذكره السائل اذا فضل من عمارته ولم يكن ثم ما هو أهم منه من المصالح

"Barang yang diwakafkan untuk kemaslahatan masjid seperti yang terjadi pada pertanyaan boleh di pergunakan untuk membangun, memperkuat masjid dan juga untuk membayar takmir, pengajar, imam, membeli karpet, minyak dan segala sesuatu yang disukai oleh paara jama’ah seperti kopi dan rokok. dalam hal ini juga harus mempertimbangkan mana yang lebih penting." (Fath Al-Ilaah Al-Mannaan hal.150).

Sebagaimana juga telah dijelaskan dalam kitab Hasyiah Qulyubi wa Umairah,

حاشية قليوبي وعميرة – (10 / 42)

فُرُوعٌ : عِمَارَةُ الْمَسْجِدِ هِيَ الْبِنَاءُ وَالتَّرْمِيمُ َوالتجْصِيصُ الاَحْكَامِ وَالسَّلَالِمُ وَالسَّوَارِي وَالْمَكَانِسُ وَالْبَوَارِي لِلتَّظْلِيلِ أَوْ لِمَنْعِ صَبِّ الْمَاءِ فِيهِ لِتَدْفَعَهُ لِنَحْوِ شَارِعٍ وَالْمَسَّاحِي وَأُجْرَةُ الْقَيِّمِ وَمَصَالِحِهِ تَشْمَلُ ذَلِكَ ، وَمَا لِمُؤَذِّنٍ وَإِمَامٍ وَدُهْنٍ لِلسِّرَاجِ وَقَنَادِيلَ لذلك 

Cabang : “Yang tergolong pemakmuran masjid ialah pembangunan (masjid) itu sendiri, perenovasian, plesteran untuk tiang, dan tangga, sapu, dan atap untuk berteduh atau untuk menghalangi air mengalir ke dalam sehingga terdorong keluar ke jalanan. Bayaran qayyim dan kemaslahatannya tercakup juga. Uang untuk muazin, imam, dan minyak untuk penerangan.” (Hasyiah Qulyubi wa 'Umairah juz 10 hal.40).

واعلم أن أموال المسجد تنقسم على ثلاثة أقسام ، قسم للعمار كالموهوب والمتصدق به له وريع الموقوف عليه ، وقسم للمصالح كالموهوب والمتصدق به لها وكذا ريع الموقوف عليها وربح التجارة وغلة أملاكه وثمن ما يباع من أملاكه وكذا ثمن الموقوف عليه عند من جوز بيعه عند البلى والإنكسار وقسم مطلق كالموهوب والمتصدق به له مطلقا وكذا ريع الموقوف عليه مطلقا , وهذا التقسيم مأخوذ من مفهوم أقوالهم فى كتب القفه المعتبرة والمعتمدة ، والفرق بين العمارة والمصالح هو أن ما كان يرجع إلى عين الوقف حفظا وإحكاما كالبناء والترميم والتجصيص للإحكام والسلالم والسوارى والمكاسن وغير ذلك هو العمارة , أن ما كان يرجع إلى جميع ما يكون مصلحة وهذا يشمل العمارة وغيرها من المصالح كالمؤذن والإمام والدهن للسراج هو المصالح

"Dan ketahuilah, bahwa harta masjid (harta usaha masjid) itu terbagi menjadi tiga bagian: Bagian untuk kemakmuran (bagi hasil) seperti bagian untuk penerima harta hibah, pemilik harta sedekah (hibah) dan hasil pengelolaan) harta wakaf; 

Bagian untuk kepentingan bersama (kemaslahatan)  seperti pemberi harta hibah, orang yang dihibahkannya, serta hasil dari harta hibah, keuntungan perdagangan, hasil hartanya, dan harga barang yang dijual. harta miliknya, serta harga barang yang kepadanya boleh dijual bila sudah usang dan rusak;

Bagian bagi pemilik harta hibah dan penerima sedekah harta hibah secara mutlak, serta hasil yang diperolehnya secara mutlak. Pembagian ini diambil dari makna pernyataan mereka dalam kitab-kitab wakaf yang terpercaya dan terkuat, dan perbedaan antara kemakmuran dan kepentingan  (kemashlahatan) adalah apa yang dikembalikan kepada hakikat wakaf untuk pemeliharaan dan ketelitian, seperti bangunan, pemugaran, dan plesteran untuk perbekalan, tangga, tiang, keranjang, dan lain-lain, adalah bentuk memakmurkan  jika keberadaannya kembali kepada segala sesuatu yang menjadi kemashlahatan masjid termasuk dalam arti memakmurkan dan kepentingan lainnya, seperti (honor) muazin, imam, dan minyak untuk lampu (biaya PLN) merupakan kepentingan." (Hasiyah Qulyubi Juz 3, halaman 108).

الفتاوى الفقهية الكبرى) 6/ 208)

وأن المسجد حر يملك فلا يجوز التصرف فيه إلا بما فيه مصلحة تعود عليه أو على عموم المسلمين ، وأما مجرد المصلحة الخاصة فلا يكتفي بها في مثل ذلك فاتضح أنه لا يجوز إلا للمصلحة الخاصة بالمسجد أو العامة لعموم المسلمين ، ولا تتحقق تلك المصلحة إلا بتلك الشروط فلم نجوزه إلا بها ،

"Masjid itu bebas (umum) kepemilikannya, maka tidak boleh mentasarupkan (mempergunakan kas masjid) kecuali untuk kepentingannya atau kepentingan seluruh umat Islam. Sedangkan untuk kepentingan pribadi tidak cukup (tidak boleh) dalam hal ini tidak diperbolehkan kecuali untuk kepentingan masjid secara khusus atau kepentingan umum seluruh umat Islam, dan kepentingan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan syarat-syarat itu (harus memakai kas masjid)." (Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra juz 6 hal.208). 

Dengan demikian sudah jelas bahwa status uang kotak amal masjid merupakan barang sedekah. Dan barang yang sudah dimiliki oleh masjid pengalokasiannya pun harus untuk kemaslahatan masjid itu sendiri. Harta sedekah statusnya juga sama dengan harta hasil wakaf – seperti keuntungan menyewakan barang wakaf – maka dari itu boleh saja kita memakai ibarot mengenai pengalokasian harta hasil (keuntungan) wakaf. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat 🙏🏻

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG SIAPA SABILILLAH PENERIMA ZAKAT ITU?


Fi sabîlillâh (di jalan Allâh) adalah satu diantara delapan pihak atau golongan atau pos yang berhak menerima zakat mal kaum Muslimin, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allâh dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allâh, dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS.At-Taubah : 60)

Hadits marfu' dari Abu Said al-Khudri  Radhiyallahu 'anhu,

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ : لِغَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتَصَدَّقَ عَلىَ المِسْكِيْنِ فَأَهْدَاهَا المِسْكِيْنُ لِلْغَنِي

"Zakat itu tidak halal untuk orang kaya kecuali lima orang (kaya ini) : orang yang berperang di jalan Allâh atau amil zakat atau gharim atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang memiliki tetangga miskin, dia memberikan zakat kepada tetangga tersebut lalu tetangga yang miskin tersebut menghadiahkannya kepada orang kaya." (HR. Abu Daud no.1635, Al-Hakim no.1481 dan Ahmad)

*Fisabilillah menurut 4 Imam Madzhab*

1. Madzhab Hanafi

Menurut Abu Yusuf ulama kalangan hanafiyah, yang dimaksud fisabilillah adalah tentara miskin yang kehabisan bekal atau jamaah haji yang kehabisan bekal.

2. Madzhab Maliki

Ibnu Arabi menafsirkan fisabilillah dengan menukil kepada Imam Maliki, sabilillah memiliki banyak makna yakni berjuang di jalan Allah SWT. Sedangkan menurut Muhammad bin Abdul Hakam sabilillah yang mendapat zakat untuk keperluan perang.

3. Madzhab Syafi’i

Dari Imam Nawawi dan syarahnya oleh Ibnu Hajar Al Haitami, maksud dari fisabilillah adalah tentara perang sukarelawan yang tidak mendapat tunjangan dari pemerintah.

4. Madzhab Hambali

Sama halnya dengan madzhab Syafi’i, Imam Hambali berpendapat bahwa fisabilillah adalah tentara sukarelawan yang tidak mendapat tunjangan khusus dari pemerintah.

Dalam kitab Fiqhuz Zakat, Syeikh Yusuf Qardhawi berpandangan,

Sesungguhnya, jihad itu dapat dilakukan dengan pena dan perkataan, sebagaimana juga dapat dilakukan dengan pedang dan tombak. Jihad dapat berupa jihad pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi dan politik, sebagaimana juga dapat berupa militer. Semua jenis jihad ini tentunya memerlukan bantuan dan dana.

Yang penting, dalam jihad tersebut harus terpenuhi syarat utama: yaitu hendaklah dilakukan di jalan Allah. Artinya, hendaknya semua jenis jihad tersebut bertujuan untuk menegakkan Ajaran Islam dan meninggikan kalimat Allah di atas muka bumi ini.

Arti fi sabilillah tergolong luas, tidak hanya orang yang berperang di jalan Allah. Penjelasan ini termaktub dalam kitab Jawahir Al-Bukhari berikut,

والسابع سبيل الله تعالى وهو غاز ذكر متطوع بالجهاد فيعطى ولو غنيا إعانة له على الغزو اهل سبيل الله الغزاة المتطوعون بالجهاد وان كانوا اغنياء ويدخل في ذلك طلبة العلم الشرعي ورواد الحق وطلاب العدل ومقيموا الانصاف والوعظ والارشاد وناصر الدين الحنيف

"(Golongan) yang ketujuh adalah Sabilillah (di jalan Allah Ta'ala), yaitu seorang penyerbu (mujahid) laki-laki yang rela berjihad, ia diberi bantuan meskipun ia kaya, untuk membantunya dalam peperangan, sekalipun mereka kaya, termasuk para pembela ilmu Islam, pelopor kebenaran, pencari keadilan, penegak keadilan, dakwah, dan bimbingan, serta mereka yang mendukung agama yang benar." (Jawahir Al-Bukhari hal. 106 dan Iqna' li Asy-Syarbin hal. 621).

ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ﺹ:244

(ﻓﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ) ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻐﺎﺯﻯ ﺍﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻏﻨﻴﺎ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺍﺳحاﻖ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﺻﺎﺣﺒﺎﻩ ﻻ ﻳﻌﻄﻰ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﺘﺎﺟﺎ ﻭﻧﻘﻞ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺃﻧﻬﻢ ﺍﺟﺎﺯﻭﺍ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﺇﻟﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻣﻦ ﺗﻜﻔﻴﻦ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻭﺑﻨﺎﺀ ﺍﻟﺤﺼﻮﻥ ﻭﻋﻤﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ، ﻻﻥ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺎﻡ ﻓﻰ ﺍﻟﻜﻞ

Tafsir Al-Munir juz 1, hal.244

"Fisabilillah (di jalan Allah). Boleh bagi penyerbu (tentara) mengambil dari uang zakat, meskipun dia orang kaya, sebagaimana mazhab Syafi'i, dan Malik dan Ishaq Abu Hanifah dan sahabatnya hanya diberikan jika ada keperluan dan telah dialihkan bagiannya dari sebagian ahli hukum. Mereka membolehkan pendistribusian zakat untuk segala amal kebaikan, termasuk untuk membiayai orang-orang yang membutuhkan. Bahkan pembangunan benteng (pertahanan) dan pembangunan masjid, karena firman Allah Ta'ala "Sabilillah (di jalan Allah) bersifat umum (bagi semua orang)."

ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻹﺳﻼﻣﻰ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺜﺎﻧﻰ ﺹ : 876

ﺃﺗﻔﻖ ﺟﻤﺎﻫﻴﺮ ﻓﻘﻬﺎﺀ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﻣﻦ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﺑﻨﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺏ ﺍﻟﺘﻰ ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮﻫﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻤﺎ ﻻ ﺗﻤﻠﻴﻚ ﻓﻴﻪ: ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺎﻝ (ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﻟﻠﻔﻘﺮﺀ) ﻭﻛﻠﻤﺔ ﺇﻧﻤﺎ ﻟﻠﺤﺼﺮ ﻭﺍﻹﺛﺒﺎﺕ. ﺛﺒﺖ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻭﺗﻨﻘﻀﻰ ﻣﺎ ﻋﺪﺍﻩ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻮﺟﻪ: ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻮﺟﺪ ﺍﻟﺘﻤﻠﻴﻚ ﺍﺻﻼ، ﻟﻜﻦ ﻓﺴﺮ ﺍﻟﻜﺴﺎﻧﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﺒﺪﺍﺋﻊ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺠﻤﻴﻊ ﺍﻟﻘﺮﺏ ﻓﻴﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺳﻌﻰ ﻓﻰ ﻃﺎﻋﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﺘﺎﺟﺎ ﻷﻥ ﻓﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺎﻡ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺍﻯ ﻳﺸﻤﻞ ﻋﻤﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ ﻣﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﻭﻓﺴﺮ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺤﻨﻴﻔﻴﺔ "ﻓﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ" ﺑﻄﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻄﻠﺐ ﻋﻨﻴﺎ  

Al-Fiqhul Islami juz 2, hal.876

"Mayoritas ahli hukum madzhab sepakat bahwa tidak boleh membagikan zakat kepada selain untuk orang yang mengingat Allah Ta'ala, seperti (tidak boleh) untuk membangun masjid dan tempat-tempat suci lainnya yang tidak untuk berdzikir (mengingat) Allah Ta'ala yang tidak memiliki hak di dalamnya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "(Sesungguhnya sedekah (zakat) hanya untuk fakir miskin)" dan kata “hanya” itu untuk penentuan dan penetapan. Hal tersebut sebagai ketetapan bahwa pembagian zakat bukan untuk selainnya, sehingga penyaluran zakat harus karena arah ini (fakir miskin). Karena pada mulanya tidak ada kepemilikan bagian, namun Imam  Al-Kasani dalam Al-Bada'i Ash-Shanai' (Fikih Madzab Hanafi) memaknai Sabilillah dengan segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepada Allah Ta'ala, maka masuklah ke dalamnya semua orang yang berusaha mentaati Allah dan jalan amal shaleh. Jika dia membutuhkan, karena demi Allah itu adalah hal yang biasa di kalangan raja. Termasuk pembangunan masjid dan hal-hal lain yang disebutkan dan ditafsirkan oleh sebagian ulama Hanafi “Demi Allah” dengan mencari ilmu, meskipun pencarian itu bersifat egois."

شرح المختصر للخرشي الملكي ج ٢ درالكتب العلمية الطبعة ١٩٩٧

يجوز اعطاء الزكاة  للقارئ و العالم و المعلم و من فيه منفعة للمسلمين ولو كانوا اغنياء لعموم نفعهم ولبقاء الدين كما نص على جوازها ابن رشد واللخمي وقد عدهم الله سبحانه وتعالى في الاصناف الثمانية التي تعطى لهم الزكاة حيث قال (وفي سبيل الله) يعني المجاهد لإعلاء كلمة الله وانما ذلك لعموم نفعهم للمسلمين فيعطى المجاهد ولو كان غنيا كما ذكرناه فى عموم النفع، وفي هذا المعنى العالم والقارئ والمعلم والمؤذن هذا كله مالم يكن راتب في بيت المال.

Sharh Al-Mukhtasar karya Al-Kharshi Al-Maliki juz 2, Edisi Buku Ilmiah, 1997

"Boleh mengeluarkan zakat kepada Qari' (ahli membaca Al-Qur'an), ulama, penuntut ilmu, guru, dan siapa saja yang memberikan manfaat bagi kaum muslimin, sekalipun mereka itu kaya. Secara umum memberi manfaat demi tegaknya agama. Sebagaimana dalil nash Ibnu Rush dan Al-Lakhmi tentang kebolehannya. Allah telah menetapkan hitungan mereka penerima zakat dalam delapan ashnab (8 mustahiq zakat). Ketika difirmankan wa fi Sabilillah (dan di jalan Allah) yaitu mujahid (para pejuang) di jalan Alllah demi tegaknya kalimat Allah karena mereka itu secara umum memberi kemanfaatan bagi umat islam. Maka para pejuang di jalan Allah (mujahid) diberikan bagian zakat sebagaimana kami menyebutkannya meskipun mereka kaya, karena secara umum memberi manfaat. Dalam pengertian ini (berhak menerima zakat) adalah ulama, Qari' (ahli pembaca Al-Qur'an), guru, dan muadzin Itu semua selama tidak ada gaji dari Baitul mal (perbendaharaan harta).

مواهب الفضل من فتاوى بافضل. ص ٣٨-٣٩

ما قولكم في اخراج الزكاة نحو بناء المسجد و مدرسة و معهد ولنحو فرش  المسجد و غيرها من  مصالح العامة بدعوى انها داخلة في سبيل الله ؟ ويقال *ان القفل  من الشافعية نقل عن بعد الفقهاء لانهم اجازوا صرف الزكاة الى جميع الوجوه الخير من تكفين الموتى و بناء الحصون و عمارة المساجد لان ذالك   كله في سبيل الله*

Mawahib Al-Fadhl fi Fatawa Bifadhl. hal.38-39

Bagaimana pendapat anda mengenai zakat untuk pembangunan mesjid, sekolah, institut, untuk perabotan mesjid dan kepentingan umum lainnya dengan alasan bahwa hal-hal tersebut merupakan bagian dari jalan Allah? Dikatakan, sesungguhnya sebuah terobosan dari madzab Syafi'iyyah dari sebagian pendapat dari para fuqaha, mereka membolehkan penyaluran/penggunaan zakat untuk segala perbuatan yang baik, antara lain untuk mengkafani orang mati, membangun benteng, dan membangun masjid, karena semua itu fisabilillah (di jalan Allah).

فتاوى يسألونك :

و من جملة سبيل الله الصرف في العلماء الذين يقومون بمصالح  المسلمين الدينيه الدنية فإن لهم في مال الله نصيبا سواء اكانوا اغنياءاو فقراء  بل الصرف في هذه الجهة  من اهم الامور لان العلماء ورثة الانبياء حملةالدين  و ابيهم وبهم  بيضة الاسلام وشريعة سيد الانام.

Fatwa: Yas-alunaka:

"Dan di antara Sabilillah (di jalan Allah) itu adalah mentasarufkan (membagikan) kepada para ulama, mereka yang menegakkan kepentingan umat Islam dalam agama dan dunia, karena mereka mempunyai hak bagian dalam harta Allah, baik kmereka kaya ataupun miskin, bahkan membagikan zakat dari arah ini adalah perkara yang diharapkan karena ulama adalah pewaris para nabi, pembawa agama, dan ayah mereka, serta bersama mereka benih Islam dan syari'at (hukum) Pemimpin Manusia. 

Dengan demikian, maka setiap jihad yang dilakukan dengan tujuan agar agama Allah SWT ini menjadi mulia, dan ilmu ajarannya benar-benar difahami oleh pemeluknya, maka jihad tersebut adalah jihad fi sabilillah, apapun bentuknya, apa pun senjatanya. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat 🙏🏻

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 01 April 2024

KAJIAN TENTANG HUKUM MENYAMPUR BERAS ZAKAT

Fenomena Zakat memang tak pernah ada habisnya, ada yang bertanya hukum mencampur beras zakat fitrah. Kemudian masalah menjual sampai memindah zakat (dengan nilai uang). 

Zakat Fitrah merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam yang mampu yang ditunaikan mulai terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan kepada delapan kelompok yang telah ditetapkan dalam surah At-Taubah ayat 60.

Proses penyaluran zakat Fitrah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia umumnya melalui tiga cara: pertama, muzakki menyerahkan langsung zakat fitrahnya kepada mustahiq. Kedua, Muzakki menyerahkannya melalui Amil Zakat untuk diserahkan kepada mustahiq. Ketiga, Muzakki menyerahkan melalui panitia zakat untuk diserahkan kepada mustahiq.

Perlu diketahui perbedaan antara amil zakat dengan panitia zakat dimana para ulama membedakan antara Amil Zakat dan Panitia zakat, yaitu:

Pertama, Amil, sebagaimana fatwa MUI no 8 tahun 2011, ada dua kriteria: (1). seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola zakat; (2). Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.

Berdasarkan ketentuan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang mengelola zakat baru bisa disebut amil jika mendapat legitimasi dari pemerintah. Dalam hal ini, yang berwenang mengangkat Amil adalah BAZNAS atau LAZ

Sementara panitia zakat yang ada selama ini adalah bentukan sebuah organisasi atau DKM Masjid dan Musholla yang notabene belum memiliki legalitas dari pemerintah atau lembaga yang memiliki wewenang mengeluarkan SK. Dengan demikian pengertian amil zakat sebagaimana dijelaskan dalam kitab fiqih sebagai berikut, 

كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار - (ج 1 / ص 194)

الصنف الثالث: العامل، وهو الذي استعمله الإمام على أخذ الزكوات ليدفعها إلى مستحقيها كما أمره الله تعالى.

"Bagian ketiga: Amil (zakat), yaitu orang yang ditunjuk/diperkerjakan mengelola zakat oleh Imam (pemimpin) untuk mendistribukan zakat kepada orang yang berhak, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala." (Kifayatul Akhyar juz 1 hal.194)

Dalam kitab al- Umm juz 2, hal 84 disebutkan juga bahwa,

الأم الجزء 2 صحـ : 84 مكتبة دار المعرفة

وَلاَ يَجُوْزُ لَكَ إذَا كَانَتْ الزَّكَاةُ فَرْضًا عَلَيْكَ أَنْ يَعُوْدَ إلَيْكَ مِنْهَا شَيْءٌ فَإِنْ أَدَّيْتَ مَا كَانَ عَلَيْكَ أَنْ تُؤَدِّيَهُ وَإِلاَّ كُنْتَ عَاصِيًا لَوْ مَنَعْتَهُ فَإِنْ قَالَ فَإِنْ وَلَّيْتَهَا غَيْرِيْ قِيْلَ إذَا كُنْتَ لاَ تَكُوْنُ عَامِلاً عَلَى غَيْرِكَ لَمْ يَكُنْ غَيْرُكَ عَامِلاً إذَا اسْتَعْمَلْتَهُ أَنْتَ وَلاَ يَكُوْنُ وَكِيْلُكَ فِيْهَا إِلاَّ فِيْ 

مَعْنَاكَ أَوْ أَقَلَّ لأَنَّ عَلَيْك تَفْرِيْقُهَا فَإِذَا تَحَقَّقَ مِنْكَ فَلَيْسَ لَك اْلانْتِقَاصُ مِنْهَا لَمَّا تَحَقَّقْتَ بِقِيَامِهِ بها  اهـ

"Tidak halal bagimu jika zakat itu wajib bagimu, sebagian darinya dikembalikan kepadamu, jika kamu membayar apa yang wajib kamu bayarkan, sebaliknya maka kamu berdosa jika ada orang yang mengatakan, “Jika aku menugaskannya kepada orang lain,” dikatakan, “Jika kamu tidak bertanggung jawab atas orang lain, maka orang lain itu bukanlah amil, jika kamu mempekerjakannya dan dia bukan amil kamu.” Tidak ada yang lain selain itu dalam maknanya kurang lebih karena harus dipisahkan, jika terbukti olehmu, maka kamu tidak berhak menguranginya karena kamu telah mencapainya dengan melakukannya." (Al-Umm juz 2 hal.84)

Di dalam kitab lainnya disebutkan,

البيان جز ٣ صحيفة ٤٠٦

فإن أخذ الإمام من رجل زكاته وكان الدافع مستحقا لأخذ الزكاة فدفع الإمام إليه زكاته بعينه أجزءه لأن ذمته قد برئت بتسليمها إلى الإمام وإنما رجعت بسبب آخر..

"Jika seorang imam (amil zakat) mengambil dari seorang laki-laki akan zakatnya dan orang yang membayar zakat itu layak untuk mengambil zakatnya (mustahiq zakat), dan imam itu membayarkan (mengembalikan) zakat kepadanya secara langsung, maka hal itu boleh, karena kewajibannya telah terhapuskan dengan menyerahkannya kepada imam (amil zakat), tetapi tidak dikembalikan karena alasan lain.." (La-Bayan juz 3 hal.406)

Dari ibaroh diatas , akhirnya difahami oleh sebagian pihak bahwa tindakan panitia zakat selama ini yg mengumpulkan dan mencampur hasil zakat fitrah adalah sebuah kesalahan besar, sebab hal tersebut berpotensi kembalinya beras zakat pada muzakki.

Tafsil, jika panitia zakat tersebut merupakan badan resmi yg diangkat oleh pemerintah, maka tindakan amil tersebut tidaklah salah, sebab dengan demikian tanggungan muzaki telah gugur saat menyerahkan zakat pada amil resmi tersebut. Dan amil berhak memberikan hasil zakat pada siapapun yg berhak dan termasuk muzakki sendiri. Namun bila panitia tersebut hanya dibentuk oleh tokoh masyarakat atau ormas maka tindakannya dapat disalahkan sebab dengan begitu status panitia hanya sebagai wakil dari muzaki (tidak boleh mencampur beras zakat dengan kata lain beras tidak boleh kembali lagi pada dirinya sendiri).

Adapun cara menyerahkan zakat kepada amil zakat cara dan niatnya dijelaskan,

حاشية إعانة الطالبين جز ٢ صحيفة ٢٠٦

وتكفي النية إعطاء إمام الزكاة لأن الإمام نائب المستحقين فالدفع إليه كالدفع إليهم ولهذا أجزأت وإن تلفت عنده بخلاف الوكيل

"Niatnya cukup dengan mengeluarkan zakat kepada imam (amil zakat), karena imam adalah wakil para penerima manfaat (mustahiq zakat), maka menunaikannya seperti membayar kepada mereka, dan oleh karena itu diperbolehkan, meskipun hilang di hadapannya. berbeda dengan wakilnya (panitia zakat)." (Hasyiah I'anah Ath-Tholibin juz 2 hal.206)

Dalam kitab lain juga ada penjelasan, 

نهاية الزين صحـ : 178

وَيُشْتَرَطُ لِبَرَاءَةِ ذِمَّةِ الْمُوَكِّلِ الْعِلْمُ بِوُصُوْلِهَا لِلْمُسْتَحِقِّ وَمِثْلُ الصَّبِيِّ الْمُمَيِّزُ السَّفِيْهُ وَ الرَّقِيْقُ فِيْ ذَلِكَ  اهـ

"Dan disyaratkan untuk wakil (amil zakat; sebagai salah satu mustahiq zakat) supaya terbebas dari tanggung jawabnya, maka ia harus mengetahui bahwa tanggung jawab itu telah sampai kepada orang yang berhak, dan sebagai contoh anak yang berakal budi (mumayyiz) adalah orang yang bodoh dan budak dalam hal ini." (Nihayah Az-Zain hal.178)

Adapun mengenai panitia zakat yang tidak memiliki legalitas dari pemerintah dalam hal ini SK dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas atau yang setingkat) maka mencampur beras zakat fitrah adalah suatu kesalahan. Sebagaimana penjelasan berikut,

المنثور الجزء 2 صحـ : 125

الخَلْطُ بِمَا لاَ يَتَمَيَّزُ بِمَنْزِلَةِ اْلإِتْلاَفِ وَلِهَذَا لَوْ خَلَطَ الْوَدِيْعَةَ بِمَالِهِ وَلَمْ تَتَمَيَّزْ ضَمِنَ وَلَوْ غَصَبَ حِنْطَةً أَوْ زَيْتًا وَخَلَطَهَا بِمِثْلِهَا فَهُوَ إهْلاَكٌ حَتَّى يَنْتَقِلَ ( ذَلِكَ ) الْمَالُ إلَيْهِ وَيَتَرَتَّبَ فِي ذِمَّتِهِ بَدَلُهُ وَحِينَئِذٍ فَيَضْمَنُ ضَمَانَ الْمَغْصُوْبِ اهـ

"Mencampur dengan sesuatu yang tidak dapat dibedakan sama dengan pembusukan. Oleh karena itu, jika dia (panitia zakat) mencampurkan titipan itu dengan uangnya, namun tidak ada yang membedakannya, meskipun dia menyita gandum atau minyak dan mencampurkannya dengan sesuatu. Baginya, itu adalah penyusutan sampai (bahwa) uang itu ditransfer kepadanya dan dia bertanggung jawab atas penggantiannya, dan kemudian dia dijamin hak milik dari harta yang dirampas itu." (Al-Mantsur juz 2 hal.125)

Lebih lanjut dijelaskan dalam kitab fiqih Fathul Wahhab berikut,

2- فتح الوهاب - (ج 1 / ص 202)

المال الباطن زكاة الفطر (و) له أداؤها بنفسه أو وكيله (لامام) لانه (صلى الله عليه وسلم) والخلفاء بعده كانوا يبعثون السعاة لاخذ الزكوات، (وهو) أي أداؤها له (أفضل) من تفريقها بنفسه أو وكيله لانه أعرف بالمستحقين (إن كان عادلا) فيها وإلا فتفريقه بنفسه أو وكيله أفضل من الاداء له، وتفريقه بنفسه أفضل من تفريقه بوكيله (وتجب نية) في الزكاة (كهذا زكاة أو فرض صدقة) أو صدقة مالي المفروضة

"Harta yang tersembunyi itu adalah Zakat Fitrah (dan) ia berhak membayarkannya sendiri atau wakilnya (kepada seorang imam sebagai amil zakat) karena ia (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan para khalifah setelahnya biasa mengirim kurir untuk mengambilkan zakat, yaitu menyalurkan zakat kepadanya (panitia zakat itu lebih baik) daripada membagikannya sendiri atau (menyerahkan zakat kepada) wakilnya (panitia zakat itu lebih utama) karena dia mengetahui siapa yang berhak mendapatkannya (jika dia adil) dalam pembagian zakat, jika (panitia zakat) tidak adil maka membagikan (zakat)nya sendiri (langsung) atau (boleh) menyerahkan zakatnya kepada wakilnya itu lebih baik daripada menyalurkannya langsung, dan mendistribusikannya sendiri itu lebih baik daripada mendistribusikannya melalui wakilnya (panitia zakat) (dan wajib niat) dalam bentuk zakat (seperti zakat ini atau sedekah wajib) atau sedekah keuangan wajib." (Fathul Wahhab juz 1 hal.202)

Dari keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa amil zakat dengan panitia zakat itu berbeda tupoksinya, sehingga apabila amil zakat diperbolehkan mencampur beras zakat sementara panitia zakat tidak dibenarkan melakukannya. Karena amil zakat adalah salah satu mustahiq zakat sementara panitia zakat bukan termasuk mustahiq zakat (amilin). Lantas bagaimana jika panitia zakat tersebut termasuk fakir miskin?

Jawabnya, selama mereka belum memiliki legalitas sebagai amil maka status kepanitian zakatnya sebatas wakil muzakki untuk mendistribusikan zakat dan tidak punya wewenang mengatur atau mengubah beras zakat. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*